Komponen–Komponen Bioaktif Dalam Makanan dan Pengaruhnya Terhadap Kesehatan
JANSEN
SILALAHI DAN NETTY HUTAGALUNG
Jurusan Farmasi Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas
Sumatera Utara, Medan
Pendahuluan
Makanan
berfungsi sebagai sumber energi dan zat gizi (nutrien). Tetapi, efek fisiologis
dari berbagai senyawa minor yang ada dalam makanan dan pengaruhnya terhadap
kesehatan banyak mendapat perhatian para peneliti dalam tiga dekade terakhir
ini. Kadar senyawa ini biasanya rendah sehingga biasanya dikelompokkan dalam
komponen bioaktif, karena mempunyai efek fisiologis yang positif dan negatif.
Komponen-komponen bioaktif dalam makanan dapat terbentuk secara alami atau
terbentuk selama proses pengolahan makanan. Komponen bioaktif ini meliputi
senyawa yang berasal dari karbohidrat, protein, lemak, dan komponen-komponen
yang terdapat secara alami di dalam sayuran serta buah-buahan. Khusus mengenai
komponen bioaktif di dalam sayur dan buah-buahan yang berpengaruh secara
fisiologis untuk meningkatkan kesehatan, mencegah, serta mengobati berbagai
penyakit, disebut sebagai phytochemicals.2 Makanan yang
mengandung phytochemicals, di samping fungsinya sebagai sumber zat gizi,
disebut juga makanan fungsional. Berikut ini akan diuraikan mengenai
pembentukan dan efek fisiologis dari berbagai komponen bioaktif turunan dari
karbohidrat, protein, dan lemak pangan.
Bioaktif
Amin dari Protein
Proses Pembentukan
Protein
pangan adalah sumber utama asam amino yang dikonsumsi, baik sebagai protein
atau sebagai asam amino bebas. Selama proses pengolahan, protein dapat berubah
menjadi asam amino bebas yang selanjutnya menjadi senyawa amin. Jadi, senyawa
amin merupakan komponen minor dalam makanan yang tersedia secara alamiah atau
terbentuk selama proses pengolahan. Sebagian senyawa amin tersebut aktif secara
fisiologis sehingga sering disebut amin bioaktif (bioactive amine).1,2
Pada umumnya, amin bioaktif terdapat di dalam bahan makanan dalam jumlah kecil
dan biasanya tidak beracun. Tetapi, dalam makanan tertentu, terutama yang
diolah dengan proses fermentasi, konsentrasi beberapa amin bioaktif meningkat
sehingga dapat bersifat toksis jika dikonsumsi.1,4 Amin bioaktif
yang menjadi fokus perhatian para ahli kimia pangan ialah tiramin,
feniletilamin, histamin, putresin, dan kadaverin. Asam amino bebas merupakan
bahan baku dalam pembentukan amin toksis tersebut. Histidin, misalnya, akan
diubah oleh histidin dekarboksilase menjadi histamin. Dengan cara yang sama,
tirosin diubah oleh tirosin dekarboksilase menjadi tiramin, fenilalanin menjadi
feniletilamin, ornitin menjadi putresin, dan lisin menjadi kadaverin.4
Keberadaan senyawa amin dalam makanan dapat menjadi indikator kerusakan makanan
sekaligus sebagai indikator toksisitas, sehingga analisis senyawa amin yang
terdapat dalam makanan telah dikembangkan, kemudian telah digunakan untuk
menganalisis senyawa amin dalam produk ikani. 5,6,7,8 Makin tinggi kandungan
senyawa amin dalam produk ikani dan daging, makin rendah mutunya yang juga
berarti makin toksis.5 Ada tiga faktor yang mempengaruhi pembentukan amin
toksis di dalam makanan, yaitu: (a) tersedianya asam amino bebas; (b) kehadiran
dan perkembangan bakteri penghasil enzim dakarboksilase; dan (c) adanya kondisi
yang mendukung pertumbuhan mikroba serta proses dekarboksilasi asam amino
tersebut1.
Efek
Fisiologis
Amin
bioaktif umumnya aktif secara fisiologis terhadap susunan syaraf pusat
(psikoaktif) dan terhadap sistem peredaran darah (vasoaktif), baik langsung
maupun tidak langsung. Tiramin dan feniletilamin dapat menaikkan tekanan darah.
Sebaliknya, histamin mempunyai efek menurunkan tekanan darah. Keracunan amin
bioaktif dapat terjadi apabila kadar amin toksis meningkat dalam makanan yang
dikonsumsi dan efeknya dapat dipengaruhi oleh zat lain dan obat tertentu.1 Pada
kondisi normal, dalam tubuh tersedia suatu sistem penawar efek senyawa amin
(detoksikasi amin), yaitu enzim-enzim monoamin oksidase (MAO), diaminoksidase
(DAO), histamin metil transferase (HMT), dan histaminase dalam hati serta
dinding usus. Enzim-enzim ini akan mengubah amin toksis menjadi bentuk yang
tidak aktif. Tetapi, karena pengaruh zat lain atau kondisi seseorang, sistem
detoksikasi tidak berfungsi, maka kepekaan orang tersebut meningkat dan
keracunan amin toksis dapat terjadi.1,4
Mekanisme
kerja tiramin adalah melepaskan norepinefrin dari jaringan (ujung syaraf).
Tiramin menaikkan tekanan darah dengan mempengaruhi denyut jantung, menambah
volume darah dalam sistem vaskular, dan mengecilkan pembuluh darah perifer.
Feniletilamin memiliki mekanisme kerja dan efek fisiologis yang mirip dengan
tiramin, tetapi efeknya jauh lebih rendah. Mengkonsumsi keju bagi mereka yang
menderita hipertensi dapat berakibat fatal. Meningkatnya tekanan darah disertai
sakit kepala yang hebat, pendarahan di otak, dan mungkin juga kegagalan jantung
(heart failure), dikenal sebagai cheese reaction. Hal ini mungkin
terjadi karena penyerapan tiramin yang ada di dalam keju sebagai akibat
inhibisi aktivitas monoamin oksidase sehingga menimbulkan krisis hipertensi.1
Krisis hipertensi dapat terjadi pada pasien yang menggunakan obat golongan monoamine
oxidase inhibitor (MAOI) seperti iproniazid dan obat depressi yang
termasuk golongan MAOI. Krisis hipertensi muncul pada pasien yang mengkonsumsi
obat golongan MAOI bersamaan dengan makanan yang terdiri dari keju dan makanan
lain yang mengandung tiramin yang cukup tinggi seperti coklat, hati ayam, hati
lembu, dan sosis. Gejala keracunan lain karena tiramin dan feniletilamin adalah
migrain.1
Efek Toksis
Keracunan
histamin pada mulanya lebih dikenal dengan nama scombroid poisoning,
karena terjadi sesudah mengkonsumsi ikan dari golongan scombridae, yaitu
ikan tongkol dan sejenisnya. Gejala keracunan sangat bervariasi dan merupakan
gejala alergis, meliputi bercak merah pada kulit, rasa gatal, gangguan
pencernaan, mual, muntah, mencret, sakit kepala, dan tekanan darah menurun.
Pada umumnya, penderita kembali normal setelah beberapa hari dan pemberian
antihistamin dapat menghentikan gejala-gejalanya. Selain ikan tongkol, makanan
lain seperti sardensis, keju, sosis juga dapat menimbulkan keracunan karena
kadang-kadang mengandung histamin yang cukup tinggi.1,4 Sebenarnya,
pemberian histamin murni dalam jumlah besar (500 mg) jika diberikan secara oral
tidak akan toksis, tetapi histamin yang disuntikkan sebanyak 0,1 mg sudah cukup
untuk menimbulkan gejala-gejala keracunan. Detoksikasi histamin pada pemberian
oral adalah karena terjadinya perombakan histamin di dalam hati oleh
enzim-enzim diamin oksidase, histaminase, dan histamin metil transferase
menjadi bentuk yang tidak aktif, sehingga tidak toksis. Keracunan histamin
karena makan ikan terjadi karena adanya zat-zat lain dalam ikan yang mampu
menghalangi metabolisme histamin dengan menghalangi aktivitas enzim-enzim tadi
sehingga histamin diserap secara utuh dan menjadi toksis.
Senyawa lain
dalam ikan dan makanan lain yang dapat menghalangi kerja enzim-enzim yang
merombak histamin adalah senyawa amin, yaitu kadaverin, putresin, tiramin,
feniletilamin. Keracunan histamin akibat mengkonsumsi ikan tongkol dengan
kandungan histamin sedang pada pasien TBC yang menggunakan isoniazid dan
derivat nikotinamid, pernah terjadi di Srilangka. Kasus ini diyakini karena
isoniazid menginhibisi aktivitas diamin oksidase. Beberapa obat malaria seperti
kloroquin dan amidoquin dapat menghambat metabolisme histamin dengan
menghalangi kerja histamin metil transferase. Di Amerika, telah ditetapkan
sebagai batas tertinggi kadar histamin dalam ikan tongkol yang masih
diperbolehkan adalah 50 mg histamin/100 g ikan tongkol1,8.
Nitrosamin
Selain
senyawa amin yang berasal dari asam amino, terdapat juga senyawa amin hasil
metabolit dalam ikan air laut (bukan ikan air tawar), yakni alkilamin, terutama
dimetilamin dan trimetilamin. Kedua senyawa ini berasal dari peruraian
trimetilamin oksida (TMAO) oleh bakteri pembusuk menjadi trimetilamin, dan pada
proses pembekuan menjadi dimetilamin oleh enzim TMAO-ase. Alkilamin, terutama
dimetilamin yang ada di dalam ikan, akan bereaksi dengan nitrit yang berasal
dari sayuran, terutama bayam (dalam bentuk nitrat yang diubah oleh mikroflora
usus menjadi nitrit), atau dari natrium nitrit yang digunakan sebagai pengawet
pada daging. Reaksi antara nitrit dengan dimetilamin akan membentuk nitrosamin
yang bersifat karsinogenik paling kuat di antara karsinogen kimiawi. Oleh
karena itu, tidak dianjurkan mengkonsumsi cumi-cumi (sotong), udang halus
kering, dan ikan teri karena sering mengandung dimetilamin cukup tinggi
bersamaan dengan sayur bayam atau daging yang menggunakan pengawet natrium
nitrit. 1,8
Komponen
Bioaktif dari Karbohidrat
Serat Pangan
Serat pangan
atau dietary fiber adalah karbohidrat (polisakarida) dan lignin yang
tidak dapat dihidrolisis (dicerna) oleh enzim percernaan manusia, dan akan
sampai di usus besar (kolon) dalam keadaan utuh sehingga kebanyakan akan
menjadi substrat untuk fermentasi bagi bakteri yang hidup di kolon. Serat
pangan dapat diklasifikasikan berdasarkan struktur molekul dan kelarutannya.
Kebanyakan jenis karbohidrat yang sampai ke kolon tanpa terhidrolisis meliputi
polisakarida yang bukan pati (non-starch polysaccharides = NSP), pati
yang resisten (resistant starch = RS), dan karbohidrat rantai pendek (short
chain carbohydrates = SC). 9,10,11 Serat pangan yang larut sangat mudah
difermentasikan dan mempengaruhi metabolisme karbohidrat serta lipida,
sedangkan serat pangan yang tidak larut akan memperbesar volume feses dan akan
mengurangi waktu transitnya (bersifat laksatif lemah). Monomer dari serat
pangan (NSP) adalah gula netral dan gula asam, sedangkan lignin terdiri dari
monomer aromatik. Gula-gula yang membentuk serat pangan yakni glukosa, galaktosa,
xylosa, mannosa, arabinosa, rhamnosa, dan gula asam, yakni mannuronat,
galakturonat, glukoronat, serta 4-O-metil-glukoronat.10,12 Rangkaian NSP yang
dibentuk oleh monosakarida ini dihubungkan melalui ikatan b (1-4) glikosida seperti pektin,
sellulosa, dan gum. Oleh karena itu, serat pangan tersebut (NSP) tidak dapat
dihidrolisis oleh enzim percerna manusia. Misalnya, pektin mengandung asam
galakturonat, baik yang termetilasi maupun yang tidak. Perbandingan dari
metilasi dan sebagai asam (derajat metilasi) dalam polimer pektin, sangat
berpengaruh terhadap sifat fungsional dari pektin. Pektin dengan derajat
metilasi yang tinggi (high-methoxy pectin = HMP) yang terdapat secara
alamiah pada buah dan sayuran, mungkin tidak larut dengan baik dibandingkan dengan
pektin yang telah diisolasi. Hemisellolosa terdiri dari xylosa dan arabinosa
dengan perbandingan tertentu yang membedakan jenis hemisellulosa tersebut.
Nilai gizi dari serat pangan semula dianggap tidak menyumbangkan energi karena
tidak dapat dicerna oleh enzim pencerna manusia. Akan tetapi karena serat
pangan difermentasikan di dalam kolon dan menghasilkan hidrogen, metana, karbon
dioksida, serta asam lemak rantai pendek seperti propionat, butirat yang dapat
diserap, dan menghasilkan sejumlah energi maka serat pangan dapat menghasilkan
energi 0-3 kalori per gram. 9,10,12
Efek
Fisiologis
Serat
terlarut akan memperlambat waktu transit dari mulut ke usus dengan mengurangi
kecepatan pengosongan lambung, tetapi meningkatkan waktu transit usus.
Peningkatan viskositas isi usus akan mengurangi kecepatan transportasi zat gizi
dan menghalangi kontak antara zat gizi dengan permukaan mukosa. Dengan
demikian, peristaltik pengadukan menurun, kontak antara substrat dengan enzim
dan pembentukan misel berkurang, sehingga penyerapan diperlambat. Serat tak
terlarut seperti sellulosa akan menambah volume dan memperlunak feses serta
mengurangi waktu transit isi kolon. Serat terlarut terfermentasikan hanya
sedikit mempengaruhi volume feses di kolon.9,10,13 Serat terlarut mengurangi
kadar gula sesudah makan dan memperbaiki profil insulin. Serat terlarut
bersifat hipoglikemik melalui beberapa mekanisme. Peningkatan viskositas dalam
saluran pencernaan dianggap sebagai faktor utama yang mempengaruhi kecepatan
penyerapan glukosa. Dengan memperlambat waktu transit dari lambung ke usus
halus, berarti mengurangi absorpsi zat gizi, yang juga terjadi karena tidak
tersedianya pati dan gula akibat terjerat. Efek samping dari konsumsi serat
ialah mencret dan flatulen.9,12
Serat
terlarut telah terbukti dapat menurunkan kadar kolesterol darah, sedangkan
serat tak terlarut tidak berpengaruh. Bagaimana serat dapat mempengaruhi
kolesterol belum diketahui dengan pasti. Tetapi, hasil penelitian cenderung
mengindikasikan karena perubahan sifat fisiko-kimia di dalam isi usus, misalnya
viskositas akan mengganggu pembentukan misel dan penyerapan lipida. Juga karena
peningkatan ekskresi sterol menyebabkan penurunan kadar kolesterol oleh serat.
Serat
tertentu dapat mengikat garam empedu dan kolesterol netral. Dengan demikian,
akan meningkatkan pengeluaran kolesterol dari tubuh. Garam empedu dikeluarkan
bersama feses sehingga mengurangi jumlah yang akan diserap kembali (reabsorbsi)
melalui sirkulasi entero-hepatik. Akibatnya, menghalangi penyerapan lipida. Di
samping itu, kolesterol di dalam hati dan serum akan dipakai dalam sintesis
asam empedu untuk menggantikan kekurangan yang terjadi. Hasil fermentasi
bakteri di kolon juga dapat berperan terhadap metabolisme lipida. Asam lemak
rantai pendek dihasilkan dalam jumlah besar di dalam kolon sebagai hasil
fermentasi mikroba terhadap serat pangan tersebut. Asam lemak tersebut cepat
diserap ke hati, dan diduga asam propionat hasil fermentasi menghambat sintesa
kolesterol di dalam hati.9,10,12 Hasil penelitian cenderung menunjukkan adanya
penurunan kanker kolon dengan konsumsi serat pangan tidak terlarut yang tinggi,
sedangkan serat terlarut belum dapat dipastikan pengaruhnya. Banyak mekanisme
yang dikemukakan, tetapi mekanisme yang utama ialah bahwa serat pangan akan
menambah volume feses. Dengan demikian, akan mengencerkan isi usus sehingga
interaksi mokusa dengan karsinogenik berkurang.13,14
Oligosakarida
Oligosakarida
merupakan komponen makanan fungsional yang paling popular di Jepang.
Oligosakarida adalah karbohidrat sederhana, banyak dikonsumsi dalam bentuk
minuman ringan, biskuit, gula-gula/bonbon, dan produk susu. Oligosakarida
fungsional adalah polisakarida pendek dengan struktur kimia yang unik sehingga
tidak dapat dicerna oleh enzim-enzim pada percernaan manusia. Jadi, seperti
serat pangan, akhirnya akan sampai di dalam usus besar. Dengan demikian, akan
merupakan media yang baik untuk pertumbuhan bakteri bifidobacteria yang
menguntungkan di dalam usus besar (kolon), sehingga oligosakarida disebut
sebagai prebiotik.15,16 Manfaat dari konsumsi
oligosakarida ialah karena oligosakarida dapat meningkatkan populasi bifidobacteria
dalam kolon. Dengan peningkatan jumlah bakteri ini, akan menekan
pertumbuhan bakteri pembusuk yang merugikan, yakni Escherichia coli dan
Streptococcus faecalis. Efek yang sama juga dapat dicapai dengan
mengkonsumsi produk makanan yang mengandung bakteri asam laktat dalam keadaan
hidup seperti Yogurt, yang disebut probiotik. Bakteri asam laktat dan
sejenisnya relatif tahan terhadap asam lambung sehingga dapat sampai di kolon,
dan selanjutnya akan menekan pertumbuhan bakteri yang merugikan.15,16
Metabolit-metabolit
toksis hasil fermentasi protein yang mencapai kolon oleh bakteri pembusuk dalam
kolon meliputi ammonia dan senyawa amina (toksis terhadap hati), nitrosamin,
fenol dan kresol, indol dan skatol (karsinogen) asam-asam empedu sekunder
(karsinogen pada kolon), estrogen (karsinogen pada payudara), dll. Pada
dasarnya, senyawa-senyawa nitrogen ini bersifat basa. Karena 40-50% padatan feses
adalah bakteri, jumlah metabolit toksis hasil fermentasi ini tidak boleh
diabaikan. Berdasarkan laporan hasil penelitian, dalam setiap 300 g feses basah
terdapat 186 mg ammonia; 1,4 mg fenol; 12,2 mg para-kresol; 8,5 mg indol; dan
3,3 mg skatole. Juga terbentuk N-dimetilnitrosamin sekitar 0,067-0,67 mg per
hari per 75 kg berat badan. Jumlah ini hanya 10-100 kali lebih kecil dari dosis
karsinogenik pada tikus. Bakteri-bakteri yang terlibat dalam pembentukan
zat-zat toksis ini melalui fermentasi adalah bakteri pembusuk Escherichia
coli, Clostridia, Streptococcus faecalis, dan Proteus.
Bakteri pembusuk ini biasanya tidak suka dalam kondisi yang asam10,15,16.
Secara fisiologis, oligosakarida dapat mencegah penyakit kanker dan
meningkatkan kesehatan melalui beberapa mekanisme.
Peningkatan
jumlah bifidobakteria sesudah mengkonsumsi oligosakarida akan terjadi.
Selanjutnya, akan mencegah pertumbuhan bakteri patogen yang masuk dari luar
tubuh dan bakteri saluran pencernaan yang merugikan. Karena, konsumsi oligosakarida
akan memproduksi asam lemak rantai pendek (terutama asam asetat dan asma laktat
dengan perbandingan 3:2) dan kemampuan untuk menghasilkan zat yang bersifat
sebagai antibiotik. Hampir semua zat yang diproduksi oleh bakteri bersifat asam
sebagai hasil fermentasi karbohidrat oligosakarida. 15,16,17
Dengan terbentuknya zat-zat antibakteri dan asam maka pertumbuhan bakteri
patogen seperti Salmonella dan E. Coli akan dihambat. Bifidin,
suatu antibiotik yang dihasilkan oleh Bifidobacterium bifidum, sangat efektif
melawan Shigella dysenteria, Salmonella typhosa, Staphylococcus aureus, E.
Coli, dan bakteri lainnya. 10,15,16 Konsumsi oligosakarida akan mengurangi
metabolit toksis dan enzim-enzim yang merugikan. Dengan konsumsi 3-6 g
oligosakarida per hari,, akan mengurangi senyawa-senyawa toksis yang ada dalam
usus dan enzim-enzim yang merugikan sebanyak 44,6% dan 40,9%, masing-masing
selama tiga minggu.15
Konsumsi
produk makanan yang mengandung bifidobakteria seperti Yogurt (disebut sebagai probiotik),
dapat menekan pertumbuhan bakteri patogen. Melalui pembentukan asam lemak
pendek dalam jumlah yang tinggi dari oligosakarida oleh bifidobakteria, juga
mencegah konstipasi dengan merangsang peristaltis usus melalui peningkatan
kandungan air feses akibat adanya tekanan osmosis. Penurunan metabolit toksis
oleh oligosakarida atau konsumsi bifidobakteria (probiotik) akan meringankan
beban bahan toksis dalam hati yang berarti melindungi hati.10,15,16 Bird16
melaporkan bahwa suplementasi oligosakarida sebanyak 4 gram per hari selama 25
hari akan mengurangi risiko kanker. Kombinasi dari probiotik dan prebiotik akan
bersifat sinbiotik. Penurunan kadar kolesterol oleh oligosakarida diduga karena
perubahan mikroflora usus. Bakteri Lactobacillus (bakteri asam laktat)
diketahui akan menurunkan kolesterol darah karena dapat mencegah absorbsi
kolesterol dari usus. Bifidobacteria juga mampu untuk menghasilkan
niasin juga memberi kontribusi terhadap penurunan kolesterol ini. Mekanisme
kerja oligosakarida dan serat terlarut tidak jauh berbeda, kecuali
oligosakarida tidak aktif secara fisis.15,16
Beberapa
makanan secara alamiah mengandung oligosakarida. Misalnya, frukto oligosakarida
(FOS) dapat ditemukan dalam bawang, bawang putih, asparagus, dan kacang kedelai
mengadung soybean oligosakarida. Akan tetapi, melalui makanan setiap hari tidak
mungkin dapat memenuhi jumlah oligosakarida yang dianggap berkhasiat untuk
mencegah penyakit seperti diuraikan di atas, maka konsumsi tambahan diperlukan
untuk dapat berfungsi mencegah penyakit dan meningkatkan kesehatan.15
Misalnya, frukto oligosakarida (FOS) ditambahkan ke dalam susu bubuk untuk
balita sebagai prebiotik. Prebiotik dapat diperoleh dari Yogurt dan produk
sayur asinan.
Komponen
Bioaktif dari Lemak
Lipida
merupakan komponen senyawa organik yang terdapat di dalam mahluk hidup yang
larut di dalam pelarut organik atau pelarut non-polar, tapi tidak larut di
dalam air. Lemak (komponen lipida terbesar) merupakan ester dari gliserol dan
tiga asam lemak sehingga disebut triasilgliserol atau trigliserida. Sifat fisis
dan kimia dan bahkan nilai gizi dari lemak ditentukan oleh komposisi asam lemak
dan posisi asam lemak di dalam molekul trigliserida.18,19 Ada beberapa asam
lemak dan senyawa lipida lain yang mendapat perhatian secara khusus karena
mempunyai efek fisiologis yang positif maupun negatif terhadap kesehatan, yakni
asam lemak essensial, omega-3, dan asam lemak tak jenuh isomer trans (trans
fatty acids =TFA).
Asam Lemak
Essensial dan Omega-3 Rantai Panjang
Asam lemak
essensial terdiri dari asam lemak linoleat (LA) (18:2 n-6) dan linolenat (LNA)
(18:3 n-3) yang juga termasuk omega-3. Omega-3 berantai panjang yang tidak
essensial yakni asam lemak yang biasanya memiliki ikatan rangkap lebih dari dua
(poly unsaturated fatty acid=PUFA) dan ikatan rangkap yang paling
terakhir terdapat pada atom karbon ketiga dari ujung rantai asam lemak
tersebut. Karena itu, sering disebut poly usaturated fatty acids omega-3
(PUFA n-3). 18,19
Asam lemak
esensial LA dan LNA berperanan sebagai bahan dasar untuk pembentukan zat yang
menyerupai hormon (hormon-like substances) yang teridri dari
prostaglandin dan leukotrien. Zat-zat ini merupakan senyawa yang terbentuk dari
PUFA dengan 20 atom karbon dan mempunyai peran penting sebagai pengatur fungsi
normal sel. Juga tromboksan yang berperan dalam platelet serta trombosit pada
proses pembekuan darah. 20,21,22 LA akan diubah melalui serangkaian tahapan
desaturasi dan perpanjangan rantai karbon menjadi asam arahidonat (AA) (20: 4
n-6), serta LNA diubah menjadi eicosapentaenoic acid (EPA)(20:5 n-3) dan
docosahexaenoic acid (DHA) (22:6 n-3).
Sedangkan
bayi kurang mampu mensintesis DHA dari LNA sehingga diperlukan dari makanan.
Oleh karena itu, DHA sering dikategorikan sebagai asam lemak essensial pada
bayi. Defisiensi akan asam lemak essensial LA atau AA (omega-6) akan
menyebabkan gejala-gejala kulit bersisik, rambut rontok, diare, dan penyembuhan
luka yang lama. Oleh karena itu, Food and Drug Administration (FDA)
menganjurkan supaya formula makanan bayi harus mengandung paling tidak 300 mg
LA per 100 kalori, atau 2,7% dari total kalori sebagai LA.22
Air susu ibu (ASI) mengandung asam lemak essensial LA, LNA, dan non-esensial AA
serta DHA. Dalam jaringan otak dan jaringan syaraf lain pada bayi yang berumur
beberapa bulan pertama, terdapat akumulasi DHA. Hal ini diyakini bahwa anak
yang diberi ASI akan lebih pintar daripada yang tidak diberi ASI. Keseimbangan
antara LA dan LNA pada bayi sangat menentukan untuk mengoptimalkan fungsi
penglihatan dan pertumbuhan bayi. Sampai sekarang, penambahan DHA dan AA ke
dalam formula makanan bayi masih dalam taraf penelitian, karena manfaatnya
belum diketahui dengan pasti. Di Amerika, tidak ada makanan formula bayi yang
mengandung DHA.22,23 LNA terdapat di dalam sayuran hijau sedangkan LA banyak
terdapat di dalam biji-bijian. Jika kebanyakan mengkonsumsi LA maka sintesis
LNA menjadi EPA dan DHA berkurang, kecuali di beberapa jaringan tertentu
seperti jaringan otak dan testis. Akan tetapi, DHA dapat diperoleh langsung
dari minyak ikan atau disintesis dari LNA yang terdapat dalam makanan. 20,21
EPA dan AA
di dalam tubuh akan diubah menjadi zat-zat yang dikenal sebagai eikosanoid,
yaitu prostanoid (prostaglandin dan prostacylin) dan leukotrien. Eikosanoida
yang berasal dari EPA dikenal sebagai prostanoida seri-3 dan leukotrien seri-5,
sedangkan yang berasal dari AA ialah prostanoida seri-2 dan leukotrien seri-4.
Eikosanoida yang berasal dari EPA dan AA mempunyai fungsi yang kompetitif.
Konsumsi EPA dan DHA dari ikan atau minyak ikan akan menggantikan AA dari
pospolipida membrane pada sel-sel. Jika hal ini terjadi, keadaan akan mengarah
kepada kondisi fisiologis dimana akan diproduksi prostanoid dan leukotrien yang
bersifat sebagai antithrombotik, antikemotaktik, antivasokontriktif, hipotensif,
antiateromateous, dan anti-inflamatori. Perubahan seperti ini akan
menguntungkan kesehatan, terutama akan menurunkan risiko penyakit jantung
koroner (PJK). Sebaliknya, jika konsumsi LA dan atau AA (omega-6) lebih banyak
daripada LNA dan DHA (omega-3) maka keadaan kurang menguntungkan, karena akan
mengarah ke keadaan kondisi fisiologis yang bersifat prothrombik dan
proaggregatori dengan kenaikkan viskositas darah, vasokonstriksi, dan
menurunkan bleeding time. Dengan demikian, akan meningkatkan risiko
PJK.11,21 Hal lain yang berdampak positif ialah bahwa konsumsi EPA dan DHA dari
minyak ikan akan menurunkan kadar trigliserida di dalam darah, dengan cara
menurunkan sintesa very low density lipoprotein (VLDL), walaupun tidak
konsisten menurunkan kolesterol. Tetapi, konsumsi dalam jumlah yang tinggi (20
g/hari) omega-3 akan menurunkan kolesterol darah tanpa menurunkan high
density lipoprotein (HDL). Sebaliknya, omega-6 akan menurunkan koletserol
HDL20,21.
Asam Lemak
Trans
Pada
mulanya, mentega dibuat dari lemak susu karena konsistensinya yang setengah
padat. Tetapi, karena pasokan lemak susu terbatas kemudian mentega ini
digantikan dengan produk sejenis, yakni margarin dengan menggunakan lemak sapi
yang ditemukan oleh Mege-Mouries pada 1869. Selanjutnya, setelah ditemukan
teknik hidrogenasi, margarin dibuat dari minyak nabati karena berbagai alasan
antara lain: (a) karena kebutuhan akan lemak tidak sebanding lagi dengan
produksi; (b) dari aspek nutrisi, terutama tentang kandungan kolesterol di
dalam lemak hewani; (c) karena adanya efek menurunkan kolesterol dari lemak tak
jenuh dari minyak nabati; dan (d) karena alasan religius.24 Proses hidrogenasi
ditemukan pada 1903 oleh Norman. Proses ini terdiri dari pemanasan dengan
adanya hidrogen elementer yang dibantu oleh suatu katalisator logam, biasanya
menggunakan nikel. Hasil hidrogenasi ialah (a) terjadinya penjenuhan dari
ikatan tak jenuh asam lemak; (b) isomerisasi ikatan rangkap bentuk cis
(alami) menjadi bentuk isomer trans; dan (c) perubahan posisi ikatan
rangkap. Perubahan ini terutama akan menaikkan titik leleh, berarti mengubah
minyak cair menjadi lemak setengah padat yang sesaui dengan kebutuhan.18,24
Sebelumnya, keberadaan TFA di dalam lemak terhidrogenasi di dalam margarin
dianggap menguntungkan karena mempunyai titik leleh yang lebih tinggi (sama
dengan titik leleh asam lemak jenuh) daripada bentuk cis. Akan tetapi, sejak
1990, penelitian tentang efek negatif dari TFA meningkat karena ternyata TFA
dapat meningkatkan risiko penyakit jantung koroner (PJK).25,26,27
Selain proses hidrogenasi, pemanasan selama pengolahan minyak (refinery),
menggoreng (deep frying), dan TFA juga terdapat secara alami di dalam
lemak susu. Perubahan cis menjadi trans mulai terjadi pada temperatur 180oC dan
meningkat sebanding dengan kenaikan temperatur.
Konsumsi TFA
menimbulkan pengaruh negatif karena menaikkan kadar LDL, sama seperti pengaruh
dari asam lemak jenuh dan menurunkan HDL. Asam lemak jenuh tidak akan
mempengaruhi kadar HDL.28,29 Menurut penelitian Subbaiah et al.30 bahwa
mekanisme TFA menurunkan HDL ialah dengan menghambat aktivitas lecithin
cholesterol acyltransferase (LCTA). Ratio dari LDL/HDL merupakan indikator
dari risiko dari PJK. Makin tinggi ratio LDL/HDL di atas nilai ideal 4 (empat),
makin besar risiko PJK. Jika dibandingkan dengan pengaruh TFA dengan asam lemak
jenuh, maka efek negatif dari TFA dapat menjadi dua kali lipat dari asam lemak
jenuh, karena asam lemak jenuh hanya menaikkan LDL tanpa mempengaruhi HDL.
Sedangkan TFA, selain menaikkan LDL juga akan menurunkan HDL. 27,31 Pertambahan
asupan 2% TFA dari total energi akan menaikkan risiko PJK sekitar 25%. Pengaruh
TFA sangat tergantung pada kadar asupan. Kadar yang yang tinggi jelas akan
berbahaya, tetapi kadar yang rendah dan sedang tidak akan berbahaya jika
dikonsumsi bersamaan dengan asam lemak tak jenuh ganda.25,26 Diperkirakan,
orang Amerika mengkonsumsi TFA sebanyak 10% dari total asam lemak, bahkan di
daerah tertentu mecapai 25% dari total asam lemak di dalam makanan.30
Effek negatif dari konsumsi TFA ini masih dipengaruhi oleh komponen lain,
terutama asam lemak tak jenuh ganda. Kandungan TFA yang rendah di dalam
margarine yang juga masih mengandung asam lemak tak jenuh masih lebih baik
daripada mentega yang terdiri dari asam lemak jenuh.
Kesimpulan
Komponen
bioaktif dalam makanan, baik yang bersifat negatif dan positif, terbentuk
secara alami dan/atau selama proses pengolahan. Komponen bioaktif dari protein
adalah turunan asam amino berupa senyawa amin dan bersifat toksis; histamin,
feniletilamin, tiramin, cadaverin, dan putrescin yang terbentuk selama proses
pengolahan, terutama selama fermentasi. Keracunan histamin akan menimbulkan
gejala-gejala alergis dan bersifat hipotensif. Tingkat keracunan dipengaruhi
oleh senyawa amin lain dan obat-bat monoamin oksidae inhibitor (MAOI).
Feniletilamin dan triptamin mempunyai efek fisiologis yang mirip sebagai
hiperternsif dan menimbulkan migrain.
Komponen
bioaktif dari karbohidrat terdiri dari berbagai serat pangan (dietary fibre)
dan oligosakarida. Ia bersifat protektif terhadap kesehatan dan bahkan dapat
mencegah berbagai penyakit seperti kanker kolon, bersifat hipoglisemik, dan
hipokolesterolemik. Serat pangan bekerja secara fisis dan biokimiawi melalui
metabolisme karbohidrat dan lipida, sedangkan oligosakarida hanya aktif secara
biokoimiawi.
Asam lemak
esensial, omega-3 rantai panjang, dan asam lemak trans (trans fatty acid =
TFA) adalah komponen bioaktif dari lemak. Dua asam lemak esensial linoleat
(omega-6) dan linolenat (omega-3) berperan sebagai bahan dasar eikosanoida di
dalam tubuh untuk mengatur fungsi normal sel. Omega-3 rantai panjang tak jenuh
ganda (pyunsaturated fatty acids omega-3=PUFA n-3) eicosapentaenoic
acid (EPA) dan docosahexaenoic acid (DHA) disintesis dari asam
linolenat di dalam tubuh atau berasal dari makanan. Efek fisiologis yang
menguntungkan dari EPA dan DHA ialah karena pembentukan eikosanoid yang
bersifat antitrombotik, hipotensif, antiaritmia, vasodilator, dan
hipokolesterolemik sehingga mampu mengurangi risiko penyakit jantung koroner
dan stroke. TFA meningkatkan risiko PJK dengan menaikkan kadar LDL dan
menurunkan HDL sehingga ratio LDL/HDL meningkat. Kadar TFA yang tinggi di dalam
makanan (5% dari total energi) akan meningkatkan risiko PJK, tetapi efek
negatif dari konsumsi di bawah 2% dari total energi dapat ditiadakan jika
dikonsumsi bersamaan dengan omega-3 atau margarin yang masih mengandung asam
lemak tak jenuh. Tugas para ilmuwan adalah mengurangi atau menghilangkan
zat-zat yang berpengaruh negatif dalam makanan dan meningkatkan jumlah,
mengisolasi, serta meneliti khasiat dari komponen-komponen minor yang
berkhasiat dalam makanan, serta efek interaksi di antara komponen-komponen.
Daftar
Pustaka
- Silalahi,
J. Toksikologi senyawa amin bioaktif yang terdapat di dalam makanan. Media
Farmasi. 1994: 2(1): 19-25.
- Silalahi,
J. Anticancer and health protective properties of citrus fruit components.
Asia Pasific J Clin Nutr. 2002: 11(1): (In press).
- Silalahi,
J. Changes in Amines During Salting and Drying of Fish. Media Farmasi.
1994a: 2(1): 33-39
- Silalahi,
J. Extraction of Amines From Marine Fish. Media Farmasi. 1997:
5(2): 100-108.
- Silalahi,
J. Amines in Seafood products. Media Farmasi: 1997a: 5(2): 84-99.
- Wills,
RBH., Silalahi, J., and Wootton, M. Simultaneous determination of
food-related amines by high performance liquid chromatography. J Liq
Chromatog. 1987: 10: 3183-3191.
- Wootton,
M., Silalahi, J., and Wills, RBH. Amine levels in some Asian Seafood
Products. J Sci Food Agric. 1989: 49: 503-506.
- Silalahi,
J. Analysis of amines in seafood products by high performance liquid
chromatography. PhD Thesis. University of New South Wales. 1989.
- Stark,
A., Madar, Z. Dietary fibre. In: Goldberg, I (ed). Functional Foods:
Designer Foods, Pharmafoods, and Nutraceuticals. Chapman &Hall.
New York. 1994: p. 183-201.
- Muir,
JG. Location of colonic fermentation events: Importance of combining
resistant starch with dietary fibre. Asia Pacific J Clin Nutr:
1999: 8(Suppl.): S14-S21
- Silalahi,
J. Hypocholesterolemic Factors in Foods: A Review. Indonesian Food
and Nutrition Progress. 2000: 7(1): 26-35.
- Lo,
GS., Moore, WR., and Gordon, DT. Physiological effects and Functional
Properties of Dietary Fibre Sources. In: Goldberg, I and Williams, R.(eds).
Biotechnology and Food Ingredients. Van Nostrand. New York.1991: p.
153-191.
- Kritchevsky,D.
Dietary fibre in health and disease: An overview. Asia Pasific J Clin
Nutr. 1999: 8(Suppl.): S1-S2.
- Ferguson,
LR., and Harris, JP. Wheat bran and cancer: The role of dietary fibre. Asia
Pacific J Clin Nutr: 1999: 8(Suppl.): S41-S46.
- Tomomatsu,
H. Health Effects of Oligosaccharides. Food Technology,. 1994. Oct:
61-64.
- Bird, A
R.. Prebiotics: A role for dietary fibre and resistant starch. Asia
Pacific J Clin Nutr.: 1999:
8(Suppl.): S32-S36.
- Topping,
DL. Physiological effects of dietary carbohydrates in the large bowel: Is
there a need to recognize dietary fibre equivalents? Asia Pacific J
Clin Nutr. 1999: 8(Suppl.): S22-S26.
- Silalahi,
J. Modification of Fats and Oils. Media Farmasi. 1999: 7(1): 1-16.
- Silalahi,
J. Fats, Olis and Fat Substitutes in Human Nutrition. Indonesian Food and
Nutrition progress. 2000a: 7(2): 56-66.
- Padley,
FB., Podmore, J. Fatty Acids. The role of fats in Human Nutritoin.
Ellis Horwood. Chichester (England): 1985.
- Simopoulos,
AP. Fatty Acids. In: Goldberg, I(ed). Functional Foods: Designer Foofs,
Pharma foods, Nutraceuticals. Chapman & Hall. New York. 1994:p.
183-201.
- Johnson,
DB. Nutrition in Infancy: Physiology, Development, and Nutritional
Recommendations. In: Roberts, BSW and Williams, SR (eds). Nutrition
Throughout The Life Cycle. Fourth edition. McGrawHill. Sydney. 2000.
p. 193-210.
- Roberts,
BSW. Lactation: The Mother and Her Milk. In: Roberts, BSW and Williams, SR
(eds). Nutrition Throughout The Life Cycle. Fourth edition.
McGrawHill. Sydney. 2000. p. 130-161.
- O`Brien,
RD. Fats and Oils: Formulating and Processing for Applications.
Technomic. Lancaster. 1998
- Oomen,
CM., Ocke, MC., Feskens, EJM., Kok, FJ., and Kromhout, D. Association
between trans fatty acid intake and 10-year risk of coronary heart disease
in the Zutphen Elderly Study: a prospective population-based study. Lancet.
2001: 357, March 10: 746-751.
- Aro, A.
Complexity of issue of dietary trans fatty acids. [Commentary]. Lancet.
2001: 357. March. 10.: 732-733.
- Ascherio,
A., Katan, MB., and Stampfer, MJ. Trnas Fatty acids and Coronary Heart
Disease. N Eng J Med. 1999: 340(25): 1994-1998.
- Sebedio,
JL., and Chardigny, JM. Physiological effects of trans and Cyclic
Fatty Acids. In: Perkins and Erickson (eds). Deep Frying: Chemistry,
Nutrition, and Practical Applications. AOCS Press. Champaign.1996:p.
183-209.
- Martin,
JC., Nour,M., Lavillonniere, F.,and Sebedio, JL. Effect of Fatty Acid
Positionsl Distribution and Triacylglycerol Composition on Lipid
By-Products Formation During Heat Treatment: II. Trans Isomers. J Am
Oil Chem Soc. 1998:75(9): 1073-1078.
- Subbaiah,
PV., Subramanian, VS.,and Liu, M. Trans unsaturated fatty acids inhibit
lechitin: cholesterolacyltransferase and alter its positional specifity. J
Lipid Res. 1998: Vol. 39: July: 1438-1447.
- McGowan, MP. Menjaga Kebugaran Jantung. Penerjemah, Raja, P., Hariyanto, S., dan Sukono. Rajagrafindo Persada. Jakarta. 2001.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar