Etiologi
Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan :
a. Penyakit
akut, trauma, pembedahanm dan imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda dan gejala GBS
(15% dari kasus)
b. Di dahulu
Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus)
c. Reaksi
immunologi (Hickey dalam Donna, 1995)
d. Kehamilan atau
dalam masa nifas
e. Dahulu
diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada pemeriksaan
patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan oleh kelainan
immunobiologik.
(gbs)
Epidemiologi
Penyakit ini terjadi di seluruh
dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi
tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan
kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini
hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun
demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu
pada akhir musim panas dan musim gugur. Insidensi sindroma Guillain-Barre
bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama
periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan
insidensi rate 1.7 per 100.000 orang. Terjadi puncak insidensi antara
usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun.
Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95
tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan
bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada
kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran
epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi
terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan
jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di
Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia
rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi
pergantian musim hujan dan kemarau.
Klasifikasi
Beberapa varian dari sindroma
Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating
polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia
Patogenesa
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi,
trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut
pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan
bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme
imunlogi.
Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa
merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya
respon kekebalan seluler (celi mediated immunity) terhadap agen
infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem
saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks
antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan
proses demyelinisasi saraf tepi.
Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB
dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh
berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.
Peran imunitas seluler
Dalam sistem kekebalan seluler, sel
limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel
limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami
pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini
terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui
makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh
virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh
penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan
dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit T tersebut menjadi
aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma
interferon serta alfa TNF. Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM)
yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar
darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag .
Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin
disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.
Patologi
Pada
pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi.
Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama
berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul
pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa
limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi
sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung
schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian
radiks dan saraf tepi telah hancur. Asbury dkk mengemukakan bahwa
perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi
dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti
demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi
degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus
membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.
GBS
|
Spondilitis TB
|
HNP
|
|
Komplikasi
|
·
Abses,
·
deformitas tulang belakang. Pada stadium
lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
·
defisit neurologis
paraplegia.
|
||
Pem penunjang
|
· Cairan serebrospinal yang khas yaitu adanya disosiasi sito-albumin.Berkebalikan dengan penyebab infeksinya, didapati
peningkatan protein(100-1000 mg/dL)
tapa adanya pleositosis. Jika didapati peningkatan seldarah putih maka kemungkian terjadi infeksi sekunder
·
Elektrofisiologi yang
membuktikan adanya demielinisasi dengan dua cara,yaitu elektromiografi dan NCS (Nerve Conduction Study) yangmenunjukan adanya perpanjangan
masa laten motorik distal, penurunankecepatan konduksi, bahkan bisa didapati hambatan konduksi. Kerusakanawal pada axon,
menunjukan penurunan amplitudo dari potensial aksitanpa penurunan kecepatan konduksi
|
Lab:
·
LED meningkat (ada yg menyebutkan 33% pasien anak LED nya normal), leukositosis
·
Mantoux (+)
·
Biakan kuman ditemukan mikobakterium
·
Pem serologi didapatkan Antibodi spesifik
pem ELISA didapatkan sensitifitas 60-80% Radiologi:
·
Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya
TB paru. Dan diperlukan untuk menyingkirkan DD lain
·
Pada foto polos vertebra, ditemukan
osteoporosis, osteolitik, dan destruksi corpus vertebra, disertai penyempitan
discus intervertebralis
·
Dekalsifikasi suatu corpus vertebra
·
Diskus intervertebra nya menyempit
·
o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara
lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang. o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih) |
Anamnesis: nyeri LBP menjalar ke bawah
·
dimulai dari lumbal menjalar ke belakang lutut
hingga tungkai bawah
·
Nyeri bertambah jika mengejan, batuk
·
Nyeri bertambah jika ditekan diantara L5- S1
·
Nyeri bertambah pada perubahan posisi
berbaring menjadi duduk.
·
Nyeri berkurang saat berbaring
Tes khusus:
·
Lasegue (+)
·
Reflek tendon achilles menurun atau menghilang
jika radiks L5-S1 terkena
·
Laborat darah dan urine tidak spesifik
MRI : penonjolan diskus intervertebra masuk ke medulla
spinalis
|
Penatalaksanaan
|
·
Dilakukan sedini mungkin setelah diagnosis
ditegakkan. Karena 2 minggu setelah gejala motorik pertama timbul,
immunoterapi jadi ga efektif
·
Immunioterapi yg digunakan adalah intravenous
ummunoglobulin (IVIG) 2g/kg/hari yg dibagi dalam 5 dosis selama 5 hari
·
Atau dengan plasmapheresis 5-6 kali selama 1-2
minggu
Kortikosteroid masih diperdebatkan untuk
pemakaian
|
Lihat di bawah
|
Penatalaksanaan diawali dengan bed rest dan
dilanjutkan terapi farmako obat anti nyeri dan anti inflamasi, kemudian
terapi fisik.
Farmako:
·
NSAID
·
Jika ada kaku punggung, diberi muscle relaxant
Fisioterapi:
·
Bedrest 3-6 minggu
·
Kompres hangat di daerah nyeri
·
Hindari kerja berat
·
Penggunaan korset untuk mencegah gerakan
lumbal berlebihan
Operasi:
·
Diskectorny dilakukan untuk memindahkan bagian
yang menonjol dengan general anesthesia. Hanya sekitar 2 – 3 hari tinggal di
rumah sakit. Akan diajurkan untuk berjalan pada hari pertama setelah operasi
untuk mengurangi resiko pengumpulan darah.
·
Chemonucleosis meliputi injeksi enzim (yang
disebut chymopapain) ke dalam herniasi diskus untuk melarutkan substansi
gelatin yang menonjol. Prosedur ini merupakan salah satu alternatif disectomy
pada kasus-kasus tertentu.
|
Prognosis
|
Bisa kembali normal
Setelah proses penyakit erhenti, gejala menetap
selama 2-4 minggu dan pemnyembuhan nya bertahap.
Penurunan keberhasilan terapi jika pasien >60
tahun. Prognosis buruk biasanya dtandai dengan kelemahan tungkai
|
Prognosis bergantung pada cepatnya dilakukan
terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan
paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan
spondilitis dengan paraplegia akhir prognosis biasanya kurang baik.
|
Penatalaksanaan Spondilitis TB
Tujuannya untuk : eradikasi (menahan agar tidak berkembang),
mencegah dan memperbaiki deformitas, dan mencegah atau menanggulangi komplikasi.
Kriteria kesembuhan pasien didefinisikan jika pasien dapat beraktifitas penuh
tanpa kemoterapi atau tindakan bedah lanjutan
Prinsipnya : sesegera mungkin biar ga komplikasi hingga
mencegah paraplegia.
1. Beri obat anti TB
2. Dekompresi Medula Spinalis
3. Menghilangkan infeksi
4. Stabilisasi vertebra dg Graft tulang
1. Beri obat anti TB
2. Dekompresi Medula Spinalis
3. Menghilangkan infeksi
4. Stabilisasi vertebra dg Graft tulang
Terapi konservatif nya :
bed rest, berikan korset agar membatasi gerak vertebra, memperbaiki keadaan umum pasien, dan mengobati dgn anti TB
bed rest, berikan korset agar membatasi gerak vertebra, memperbaiki keadaan umum pasien, dan mengobati dgn anti TB
Penatalaksanan menurut P2TB:
Kategori 1 :
·
Jika hasil BTA (+) dan BTA - / rontgen +,
diberikan dalam 2 tahap
1. Rifampisin 450 mg, INH 300mg, Etambutamol 100mg, dan Pirazimid 1500mg. Diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
2. Rifampisin 450 mg, INH 600 mg. Diberikan 3x seminggu selama 4 bulan.
1. Rifampisin 450 mg, INH 300mg, Etambutamol 100mg, dan Pirazimid 1500mg. Diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
2. Rifampisin 450 mg, INH 600 mg. Diberikan 3x seminggu selama 4 bulan.
·
Jika hasil BTA (+), sudah pernah minum obat
selama sebulan dan BTA + yg kambuh/ gagal. diberikan dalam 2 tahap
1. Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2. Diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
1. Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2. Diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria
penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik,
laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan
spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada
vertebra.
Terapi Operatif ->
bedah costotransversektomi dilakukan
dengan debrideman dan penggantian corpus vertebra yg rusak dg tulang
spongiosa/ kortikospongiosa.
Dengan indikasi :
1. Defisit neurologi
2. Abses besar segment cervical pada penderita dengan obstruksi saluran nafas
3. Lesi posterior yg disertai pembentukan abses sinus
4. Instabilitas/ kifosis progresif
5. Kegagalan terapi konserfatif
6. Rekurensi penyakit atau defisit neurologi
1. Defisit neurologi
2. Abses besar segment cervical pada penderita dengan obstruksi saluran nafas
3. Lesi posterior yg disertai pembentukan abses sinus
4. Instabilitas/ kifosis progresif
5. Kegagalan terapi konserfatif
6. Rekurensi penyakit atau defisit neurologi
POSTINGAN INI MASIH BAKAL DI UPDATE, SO STAY TUNED!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar