Rabu, 28 Desember 2011

Blok 15 Skenario 5 Part 2


  Etiologi
            Secara pasti penyebab GBS tidak diketahui, namun diduga berkaitan dengan :
a.       Penyakit akut, trauma, pembedahanm dan imunisasi 1-4 minggu sebelum tanda dan gejala GBS (15% dari kasus)
b.      Di dahulu Infeksi saluran pernapasan akut, penyakit gastrointestinal (50% dari kasus)
c.      Reaksi immunologi (Hickey dalam Donna, 1995)
d.      Kehamilan atau dalam masa nifas
e.      Dahulu diduga penyakit ini disebabkan oleh virus tetapi tidak ditemui pada pemeriksaan patologis. Teori sekarang ini mengatakan bahwa SGB disebabkan oleh kelainan immunobiologik.

 

(gbs)

Epidemiologi


 Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim. Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.  Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.  Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3 bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya. Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit putih, 7% kulit
hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak. Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan kemarau.

Klasifikasi

 Beberapa varian dari sindroma Guillan-Barre dapat diklasifikasikan, yaitu:
1. Acute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
2. Subacute inflammatory demyelinating polyradiculoneuropathy
3. Acute motor axonal neuropathy
4. Acute motor sensory axonal neuropathy
5. Fisher’s syndrome
6. Acute pandysautonomia

Patogenesa

Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi.
 Bukti-bukti bahwa imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada sindroma ini adalah:
1. didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler  (celi mediated immunity) terhadap agen infeksious pada saraf tepi.
2. adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi
3. didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demyelinisasi saraf tepi.

Proses demyelinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya, yang paling sering adalah infeksi virus.

Peran imunitas seluler

Dalam sistem kekebalan seluler, sel limposit T memegang peranan penting disamping peran makrofag. Prekursor sel limposit berasal dari sumsum tulang (bone marrow) steam cell yang mengalami pendewasaan sebelum dilepaskan kedalam jaringan limfoid danperedaran.
Sebelum respon imunitas seluler ini terjadi pada saraf tepi antigen harus dikenalkan pada limposit T (CD4) melalui makrofag. Makrofag yang telah menelan (fagositosis) antigen/terangsang oleh virus, allergen atau bahan imunogen lain akan memproses antigen tersebut oleh penyaji antigen (antigen presenting cell = APC). Kemudian antigen tersebut akan dikenalkan pada limposit T (CD4). Setelah itu limposit  T tersebut menjadi aktif karena aktivasi marker dan pelepasan substansi interlekuin (IL2), gamma interferon serta alfa TNF.  Kelarutan E selectin dan adesi molekul (ICAM) yang dihasilkan oleh aktifasi sel endothelial akan berperan dalam membuka sawar darah saraf, untuk mengaktifkan sel limfosit T dan pengambilan makrofag . Makrofag akan mensekresikan protease yang dapat merusak protein myelin disamping
menghasilkan TNF dan komplemen.

Patologi

 Pada pemeriksaan makroskopis tidak tampak jelas gambaran pembengkakan saraf tepi. Dengan mikroskop sinar tampak perubahan pada saraf tepi. Perubahan pertama berupa edema yang terjadi pada hari ke tiga atau ke empat, kemudian timbul pembengkakan dan iregularitas selubung myelin pada hari ke lima, terlihat beberapa limfosit pada hari ke sembilan dan makrofag pada hari ke sebelas, poliferasi sel schwan pada hari ke tigabelas. Perubahan pada myelin, akson, dan selubung schwan berjalan secara progresif, sehingga pada hari ke enampuluh enam, sebagian radiks dan saraf tepi telah hancur.  Asbury dkk mengemukakan bahwa perubahan pertama yang terjadi adalah infiltrasi sel limfosit yang ekstravasasi dari pembuluh darah kecil pada endo dan epineural. Keadaan ini segera diikuti demyelinisasi segmental. Bila peradangannya berat akan berkembang menjadi degenerasi Wallerian. Kerusakan myelin disebabkan makrofag yang menembus membran basalis dan melepaskan selubung myelin dari sel schwan dan akson.




GBS
Spondilitis TB
HNP
Komplikasi

·   Abses,
·   deformitas tulang belakang. Pada stadium lanjut terjadi destruksi vertebra yang hebat sehingga timbul kifosis.
·   defisit neurologis
paraplegia.

Pem penunjang
·   Cairan serebrospinal yang khas yaitu adanya disosiasi sito-albumin.Berkebalikan dengan penyebab infeksinya, didapati peningkatan protein(100-1000 mg/dL) tapa adanya pleositosis. Jika didapati peningkatan seldarah putih maka kemungkian terjadi infeksi sekunder
·   Elektrofisiologi yang membuktikan adanya demielinisasi dengan dua cara,yaitu elektromiografi dan NCS (Nerve Conduction Study) yangmenunjukan adanya perpanjangan masa laten motorik distal, penurunankecepatan konduksi, bahkan bisa didapati hambatan konduksi. Kerusakanawal pada axon, menunjukan penurunan amplitudo dari potensial aksitanpa penurunan kecepatan konduksi
Lab:
·   LED meningkat (ada yg menyebutkan 33% pasien anak LED nya normal), leukositosis
·   Mantoux (+)
·   Biakan kuman ditemukan mikobakterium
·   Pem serologi didapatkan Antibodi spesifik
pem ELISA didapatkan sensitifitas 60-80%
Radiologi:
·   Pemeriksaan foto toraks untuk melihat adanya TB paru. Dan diperlukan untuk menyingkirkan DD lain
·   Pada foto polos vertebra, ditemukan osteoporosis, osteolitik, dan destruksi corpus vertebra, disertai penyempitan discus intervertebralis
·   Dekalsifikasi suatu corpus vertebra
·   Diskus intervertebra nya menyempit
·   o CT scan dapat memberi gambaran tulang secara lebih detail dari lesi
irreguler, skelerosis, kolaps diskus dan gangguan sirkumferensi tulang.
o Mendeteksi lebih awal serta lebih efektif umtuk menegaskan bentuk dan
kalsifikasi dari abses jaringan lunak. Terlihat destruksi litik pada vertebra (panah hitam) dengan abses soft-tissue (panah putih)

Anamnesis: nyeri LBP menjalar ke bawah
·   dimulai dari lumbal menjalar ke belakang lutut hingga tungkai bawah
·   Nyeri bertambah jika mengejan, batuk
·   Nyeri bertambah jika ditekan diantara L5- S1
·   Nyeri bertambah pada perubahan posisi berbaring menjadi duduk.
·   Nyeri berkurang saat berbaring
Tes khusus:
·   Lasegue (+)
·   Reflek tendon achilles menurun atau menghilang jika radiks L5-S1 terkena

·   Laborat darah dan urine tidak spesifik

MRI : penonjolan diskus intervertebra masuk ke medulla spinalis
Penatalaksanaan
·   Dilakukan sedini mungkin setelah diagnosis ditegakkan. Karena 2 minggu setelah gejala motorik pertama timbul, immunoterapi jadi ga efektif
·   Immunioterapi yg digunakan adalah intravenous ummunoglobulin (IVIG) 2g/kg/hari yg dibagi dalam 5 dosis selama 5 hari
·   Atau dengan plasmapheresis 5-6 kali selama 1-2 minggu
Kortikosteroid masih diperdebatkan untuk pemakaian
Lihat di bawah
Penatalaksanaan diawali dengan bed rest dan dilanjutkan terapi farmako obat anti nyeri dan anti inflamasi, kemudian terapi fisik.
Farmako:
·   NSAID
·   Jika ada kaku punggung, diberi muscle relaxant
Fisioterapi:
·   Bedrest 3-6 minggu
·   Kompres hangat di daerah nyeri
·   Hindari kerja berat
·   Penggunaan korset untuk mencegah gerakan lumbal berlebihan
Operasi:
·   Diskectorny dilakukan untuk memindahkan bagian yang menonjol dengan general anesthesia. Hanya sekitar 2 – 3 hari tinggal di rumah sakit. Akan diajurkan untuk berjalan pada hari pertama setelah operasi untuk mengurangi resiko pengumpulan darah.
·   Chemonucleosis meliputi injeksi enzim (yang disebut chymopapain) ke dalam herniasi diskus untuk melarutkan substansi gelatin yang menonjol. Prosedur ini merupakan salah satu alternatif disectomy pada kasus-kasus tertentu.
Prognosis
Bisa kembali normal
Setelah proses penyakit erhenti, gejala menetap selama 2-4 minggu dan pemnyembuhan nya bertahap.
Penurunan keberhasilan terapi jika pasien >60 tahun. Prognosis buruk biasanya dtandai dengan kelemahan tungkai
Prognosis bergantung pada cepatnya dilakukan terapi dan ada tidaknya komplikasi neurologik. Untuk spondilitis dengan paraplegia awal, prognosis untuk kesembuhan sarafnya lebih baik, sedangkan spondilitis dengan paraplegia akhir prognosis biasanya kurang baik.

Penatalaksanaan Spondilitis TB

Tujuannya untuk : eradikasi (menahan agar tidak berkembang), mencegah dan memperbaiki deformitas, dan mencegah atau menanggulangi komplikasi. Kriteria kesembuhan pasien didefinisikan jika pasien dapat beraktifitas penuh tanpa kemoterapi atau tindakan bedah lanjutan
Prinsipnya : sesegera mungkin biar ga komplikasi hingga mencegah paraplegia.
1. Beri obat anti TB
2. Dekompresi Medula Spinalis
3. Menghilangkan infeksi
4. Stabilisasi vertebra dg Graft tulang
Terapi konservatif nya :
bed rest, berikan korset agar membatasi gerak vertebra, memperbaiki keadaan umum pasien, dan mengobati dgn anti TB

Penatalaksanan menurut P2TB:

Kategori 1 :
·         Jika hasil BTA (+) dan BTA - / rontgen +, diberikan dalam 2 tahap
1. Rifampisin 450 mg, INH 300mg, Etambutamol 100mg, dan Pirazimid 1500mg. Diberikan setiap hari selama 2 bulan pertama (60 kali).
2. Rifampisin 450 mg, INH 600 mg. Diberikan 3x seminggu selama 4 bulan.
·         Jika hasil BTA (+), sudah pernah minum obat selama sebulan dan BTA + yg kambuh/ gagal. diberikan dalam 2 tahap
1. Streptomisin 750 mg, INH 300 mg, Rifampisin 450 mg, Pirazinamid 1500mg dan Etambutol 750 mg. Obat ini diberikan setiap hari , Streptomisin injeksi hanya 2 bulan pertama (60 kali) dan obat lainnya selama 3 bulan (90 kali).
2. Diberikan INH 600 mg, Rifampisin 450 mg dan Etambutol 1250 mg. Obat diberikan 3 kali seminggu (intermitten) selama 5 bulan (66 kali).
Kriteria penghentian pengobatan yaitu apabila keadaan umum penderita bertambah baik, laju endap darah menurun dan menetap, gejala-gejala klinis berupa nyeri dan spasme berkurang serta gambaran radiologik ditemukan adanya union pada vertebra.
Terapi Operatif  -> bedah costotransversektomi dilakukan  dengan debrideman dan penggantian corpus vertebra yg rusak dg tulang spongiosa/ kortikospongiosa.
Dengan indikasi :
1. Defisit neurologi
2. Abses besar segment cervical pada penderita dengan obstruksi saluran nafas
3. Lesi posterior yg disertai pembentukan abses sinus
4. Instabilitas/ kifosis progresif
5. Kegagalan terapi  konserfatif
6. Rekurensi penyakit atau defisit neurologi



POSTINGAN INI MASIH BAKAL DI UPDATE, SO STAY TUNED!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar