Aloha
teman-teman..Besok pas tutorial kita bakal liat video yah?hmmmm. tapi sayang
bgt karena kita belom dpt kata kunci soal video tsb. Namun jangan sedih! :D,
menurut sumber terpercaya saya, scenario besok itu masih berhubungan dgn Dispepsia. Info ini
langsung dari dr. Risal selaku PJ BLOK. Krena kmren hamper udah semua dibahas
sama upil. Kali ini aku mosting tentang salah satu DD dari Dispepsia yaaa. Silahkan
dibaca dan semoga bermanfaat…
Diagnosis
Gastroesophageal Reflux Disease (GERD) Secara Klinis
Gastroesophageal Reflux disease (GERD) adalah
suatu kondisi dimana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus sehingga
menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan
komplikasi. GERD merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan jangka
panjang sehingga berdampak terhadap penurunan produktivitas, kualitas hidup.
Anamnesis gejala klinis tipikal, adanya faktor risiko dan test PPI dapat
menegakkan diagnosis GERD lebih dini sehingga komplikasi dapat dicegah.
Penatalaksanaan GERD dapat berupa pengobatan non farmakologis seperti mengubah
gaya hidup diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Penggunaan PPI diperlukan
untuk mengurangi gejala refluks. Untuk pasien yang sudah lanjut mengalami
komplikasi penggunaan PPI setiap hari diperlukan.
Gastroesophageal reflux disease (GERD) adalah
suatu kondisi di mana cairan lambung mengalami refluks ke esofagus sehingga
menimbulkan gejala khas berupa rasa terbakar, nyeri di dada, regurgitasi dan
komplikasi. GERD merupakan penyakit kronik yang memerlukan pengobatan jangka
panjang sehingga berdampak terhadap penurunan produktivitas, kualitas hidup.
Suatu studi kohort di Argentina dari 4000 kasus GERD dilaporkan adanya
peningkatan insiden striktur, asma, batuk kronis, fibrosis paru, laringitis dan
metaplasi esofagus. Esofagus Barrett’s adalah bentuk metaplasi yang merupakan
komplikasi lanjut penyakit GERD.
Penderita GERD hampir separuh penduduk dunia.
Di negara Barat GERD merupakan penyakit di mana pasien sering meminta
pertolongan. Menurut data di Amerika Serikat diperkirakan 7% dari populasi
menderita heart burn tiap hari, 14% tiap minggu. Prevalensi GERD di negara
Barat sekitar 20-40% dari populasi. Studi lain mengatakan prevalensi GERD
19,4%. Sedangkan di Asia prevalensi GERD lebih rendah.
Keluhan heart burn dan regurgitasi adalah
gejala klasik GERD. Tetapi gejala heart burn tidak timbul bahkan pada kasus
yang menimbulkan komplikasi Esofagus Barrett’s dan adenokarsinoma esofagus
tidak menimbulkan gejala heart burn lagi. Lebih lanjut beberapa pasien gejala
GERD tidak khas sehingga tidak dapat dijadikan pegangan untuk menegakkan
diagnosis.
Patofisiologi GERD
Anatomi Esofagus
Ada dua fungsi esofagus yaitu sebagai
transport makanan dari mulut ke lambung dan mencegah isi lambung kembali
esofagus. Esofagus adalah organ tubuh yang berbentuk seperti tabung. Panjangnya
kurang lebih 25 cm dimulai dari otot krikofaringeus dan sampai 2-3 cm di bawah
diafragma. Mempunyai spingter atas dan spinter bawah. Spingter atas terletak
setinggi C5-6 yaitu terdiri atas kricopharengeus dan bagian bawah otot
konstriktor pharingeus inferior.
Mukosa esofagus terdiri dari epiter sel
skuamosa. Sedangkan perbatasan dengan lambung sel barganti menjadi sel epitel
selindris dan daerah tersebut bernama squamocollumnar junction atau garis Z
yang terletak 2 cm distal hiatus diafragma. Sedangkan otot esofagus terdiri
dari 2 lapis yaitu bagian dalam sirkuler dan bagian luar longitudinal. Bagian
yang sirkuler bila kontraksi akan menyebabkan penyempitan lumen sedangkan
bagian otot longitudinal bila kontraksi akan menyebabkan pemendekan esofagus.
Jenis otot esofagus adalah 1/3 atas adalah otot skletal sedangkan otot 1/3
distal adalah otot polos, diantaranya adalah daerah otot transisional. Esofagus
tidak memiliki lapisan serosa. Perdarahan berasal dari dari arteri tiroidal
inferior, aorta, dan arteri gastrika sinistra. Kemudian darah balik melalui
vena porta inferior, vena azygos dan vena koronaria.
Fisiologi Menelan
Fase volunter
Proses dimulai dari makanan yang berbentuk
bolus yang ada di mulut dan dengan dorongan lidah masuk ke faring. Kemudian di
orofaring bolus makanan akan mengaktifkan reseptor sensorik dan akan memulai
fase involunter di faring dan esofagus
Fase involunter
Fase ini dikenal dengan deglutitive reflex
suatu serial kompleks di mana makanan tidak sampai masuk ke jalan napas. Ketika
bolus sampai di belakang lidah, kemudian laring bergerak ke depan sehingga
jalan napas tertutup dan spingter atas esofagus terbuka (deglutitive
inhibition).
Kontraksi konstriktor faring superior
mengatasi tahanan dari kontraksi palatum mole akhirnya bolus makanan bergerak
ke esofagus. Dengan kontraksi peristaltik bolus akhirnya masuk ke lambung.
Respon peristaltik oleh proses menelan disebut peristaltik primer. Distensi
lokal di esofagus oleh makanan mengaktifkan refleks intramular. Kemudian
dilanjutkan peristaltik sekunder dengan batas esofagus bagian toraks.
Esofagus berperan sebagai transport makanan
dari mulut ke lambung. Kedua spingter atas dan bawah tertutup pada saat
istirahat. Spingter atas berguna mencegah masuk makanan ke dalam saluran
pernapasan. Sedangkan spingter bawah mencegah masuknya material dari lambung ke
esofagus. Kemudian saat menelan, spingter atas terbuka kemudian dengan
gelombang peristaltik otot sirkuler dan longitdinal, bolus makanan sampai ke
kardia setelah spinter bawah terbuka. Jadi bolus makanan sampai ke lambung
melalui gelombang peristaltik dan gaya gravitasi.
Spektrum patologi dari penyakit refluks
esofagus adalah mulai dari esofagitis sampai terjadinya komplikasi metaplasi
yaitu Barrett’s esofagus. Refluks material dari lambung ke esofagus menyebabkan
kerusakan jaringan mukosa. Ada beberapa faktor yang berperan untuk terjadinya
GERD, yaitu:
1. Mekanisme
antirefluks.
2. Kandungan
cairan lambung.
3. Mekanisme
bersihan oleh esofagus.
4. Resistensi
sel epitel esofagus.
5. Infeksi
Helicobacter pylori.
1. Mekanisme antirefluks
Spingter Esofagus Bawah
(SEB)
Keadaan normal terdapat perbedaan tekanan
antara abdomen dan thorak. Di mana tekanan intraabdomen lebih tinggi. Keadaan
ini membuat kecenderungan terjadinya refluks cairan lambung ke esofagus.
Spingter esofagus bawah adalah pertahanan yang pertama untuk mencagah refluks.
Bila spingter tidak ada maka akan terjadi refluks terus-menerus. Terdapat otot
sirkuler pada esofagus bagian bawah sepanjang 1-3,5 cm yang mempertahankan
tekanan sebesar 10-45 mmHg lebih tinggi dari tekanan dari lambung untuk
mencegah refluks. Meskipun otot SEB tidak dapat dibedakan dengan otot esofagus
yang lain, tapi otot SEB dapat dibedakan dari fungsinya yang khas. Otot SEB
secara spontan tekanan meningkat dan relaksasi berdasarkan stimulasi elektrik.
Ada beberapa keadaaan yang membuat SEB terganggu, yaitu:
a. Kelemahan otot SEB. Ketika tekanan otot SEB
mendekati nol, SEB tidak efektif mencegah refluks. Keadaan ini tidak biasa pada
orang normal. Penelitian yang dilakukan oleh Kahrilas dan Gupta rokok adalah salah
satu yang membuat kelemahan otot SEB. Di kepustakaan dikatakan GERD yang berat
disebabkan oleh karena kelemahan otot SEB.
b. Respon tonus otot SEB yang kurang. Keadaan
ini terjadi pada saat pasien batuk dan bersin. Oleh karena otot SEB yang tidak
respon terhadap peningkatan tekanan abdomen, maka terjadi refluks.
c. Relaksasi otot SEB yang menetap. Mekanisme
ini paling penting terhadap kejadian refluks. Dalam keadaan normal, peristaltik
esofagus dirangsang oleh proses menelan. Kemudian esofagus relaksasi selama
3-10 detik mengikuti bolus makanan yang mulai masuk ke lambung. Bila makanan
sudah masuk ke lambung dan relaksasi berlangsung lebih lama lebih dari 45 detik
di mana tekanan mendekati 0, maka terjadi refluks. Fenomena ini dapat
menjelaskan pada pasien yang mengalami gangguan kelemahan otot yang sering
mengalami refluks. Secara fisiologi normal, relaksasi terjadi
karena adanya rangsangan bolus makanan yang akan memasuki lambung seperti
penjelasan di atas. Keadaan lain adalah rangsangan gas dari lambung. Tekanan
gas yang terkumpul di lambung akan mengirim informasi melalui reseptor di
lambung ke medula spinalis melalui nukleus traktus solitarius dan menyebabkan
relaksasi SEB. Di medula spinalis terdapat reseptor G-Aminobutyric Acid B
(GABAB). Perangsangan reseptor ini akan menghambat relaksasi otot SEB. Blok
reseptor kolienergik juga dapat menghambat relaksasi otot SEB. Relaksasi SEB
dirangsang melalui reseptor kolesitokinin-A pada otot SEB.
d. Hiatal hernia. Esofagus membentang dari
thoraks sampai abdomen melewati diafragma yang disebut dengan hiatus esophagus.
Ketika diafragma kontraksi atau pada saat inspirasi, maka diafragma menjepit
esophagus. Efek ini penting sebagai antirefluks pada saat inspirasi dan
peningkatan tekanan intraabdomen. Banyak kasus GERD yang berat karena adanya
hiatal hernia di mana bagian fundus gaster masuk ke hiatal hernia. Kondisi ini
menyebabkan mengganggu tekanan SEB sehingga peningkatan tekanan intraabdomen
menyebabkan refluks. Ada dua hal yang mempengaruhi tekanan SEB yaitu otot
intrinsik yang berasal dari otot esofagus dan otot ekstrinsik yang berasal dari
crural diafragma. Pada kasus hiatal hernia, SEB berada di rongga thoraks. Jadi
walaupun tonus SEB normal tapi kalau terpisah dari crural esofagus maka akan
mudah terjadi refluks.
2. Kandungan asam lambung
Yang menyebabkan injuri mukosa esofagus adalah
cairan lambung yang bersifat kaustik. Zat yang terkandung di cairan lambung
yang bersifat kaustik adalah asam lambung, pepsin, cairan empedu, dan enzim
pankreas. Atas dasar inilah peran PPI untuk menghambat sekresi asam lambung dan
pepsin penting dalam penatalaksanaan GERD. Juga perlambatan pengosongan lambung
akan menyebabkan produksi asam lambung meningkat dan juga menyebabkan penurunan
tonus SEB yang menetap. Oleh karena itu kondisi tersebut meningkatkan risiko
GERD.
3. Resistensi sel epitel
esofagus
Sel epitel esofagus adalah faktor yang
berperan sebagai proteksi terhadap injuri. Telah diketahui kalau pada orang
normal terjadi refluks. Oleh karena itu sel epitel penting untuk mencegah
esofagitis. Akan tetapi bila kejadian refluks terus berlangsung lamakelamaan
akan merusak epitel juga sebagai benteng pertahanan.
4. Mekanisme bersihan
esofagus
Material kautik yang berasal dari lambung
masuk ke esofagus normalnya akan cepat dibersihkan. Ada 4 mekanisme yang
berperan:
§ Gaya
gravitasi.
§ Peristaltik.
§ Saliva.
§ Produksi
bikarbonat esofagus.
Bila material lambung masuk ke esofagus, maka
keempat mekanisme tersebut bekerja bersamaan. Pada penderita skleroderma risiko
GERD meningkat melalui mekanisme bersihan esofagus yang tidak normal. Pada saat
tidur atau bungkuk risiko terjadi GERD akan tetapi ada mekanisme lain sebagai
proteksi, maka GERD terhindari. Rokok akan meningkatkan risiko GERD melalui
peningkatan produksi asam dan penurunan produksi saliva.
5. Infeksi Helicobacter
pylori
Infeksi bakteri ini sudah diketahui akan
meningkatkan risiko kanker lambung. Tapi kuman ini tidak menginfeksi esofagus.
Malahan merupakan sebagai faktor menurunkan risiko GERD. Diduga karena infeksi
Helicobacter pylori akan menurunkan produksi asam lambung. Saat ini hubungan
infeksi Helicobacter pylori dan patogenesis GERD masih kontroversi.
Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis GERD dapat berupa gejala
yang tipikal (esofagus) dan gejala atipikal (ekstraesofagus). Gejala GERD 70%
merupakan tipikal, yaitu:
1. Heart burn. Heart
burn adalah sensasi terbakar di daerah retrosternal. Gejala heart burn adalah
gejala yang tersering.
2. Regurgitasi. Regurgitasi
adalah kondisi di mana material lambung terasa di pharing. Kemudian mulut
terasa asam dan pahit. Kejadian ini dapat menyebabkan komplikasi paru-paru.
3. Disfagia. Disfagia
biasanya terjadi oleh karena komplikasi berupa striktur.
Gejala atipikal (ekstraesofagus) seperti batuk
kronik dan kadang wheezing, suara serak, pneumonia asmpirasi, fibrosis paru,
bronkiektasis, dan nyeri dada nonkardiak. Data yang ada kejadian suara serak
14,8%, bronkhitis 14%, disfagia 13,5%, dispepsia 10,6%, dan asma 9,3%.
Kadang-kadang gejala GERD tumpang tindih dengan gejala klinis dispepsia sehigga
keluhan GERD yang tipikal tidak mudah ditemukan. Spektrum klinik GERD
bervariasi mulai gejala refluks berupa heart burn, regurgitasi, dispepsia tipe
ulkus atau motilitas. Terdapat dua kelompok GERD yaitu GERD pada pemeriksaan
endoskopi terdapat kelainan esofagitis erosif yang ditandai dengan mucosal
break dan yang tidak terdapat mucosal break yang disebut Non Erosive Reflux
Disease (NERD). Manifestasi klinis GERD dapat menyerupai manifestasi klinis
dispepsia berdasarkan gejala yang paling dominan adalah:
• Manifestasi klinis mirip refluks yaitu bila
gejala yang dominan adalah rasa panas di dada seperti terbakar.
• Manifestasi klinis mirip ulkus yaitu bila
gejala yang dominan adalah nyeri ulu hati.
• Manifestasi klinis dismotilitas yaitu gejala
yang dominan adalah kembung, mual, dan cepat kenyang.
• Manifestasi klinis campuran atau
nonspesifik.
Untuk menilai derajat esofagitis digunakan
klasifikasi Los Angeles.
Tabel 1. Klasifikasi Los Angeles
Spektrum Klinis GERD di
Beberapa Negara
Menurut Melleney dan Willoughby di Inggris,
dari 84 pasien dengan manifestasi klinis dispepsia yang di endoskopi didapatkan
11,9% normal, 35,7% esofagitis, 28,6% hiperemis ringan di mukosa gaster atau
duodenum, 4,8% ulkus peptik, 7,1% kanker esofagus dan gaster, dan kelainan
ringan 11,9%. Di Indonesia data dari rumah sakit yang mempunyai fasilitas
endoskopi didapatkan hasil dispepsia fungsional 60-70%, refluks esofagus
10-20%, tukak peptik 10-15%, keganasan lambung 2-5%. Ada pula pasien dispepsia
dengan keluhan yang tumpang tindih seperti rasa terbakar di dada dan nyeri
bagian tengah abdomen (42,7%). Juga didapatkan data bahwa pasien dengan
diagnosa ulkus peptikum 28% dengan keluhan heart burn. Data lain keluhan nyeri
epigastrium didapatkan 9% ulkus dan 14% esofagitis. Penelitian oleh Syafruddin
di RSCM yang berhubungan dengan keluhan esofagitis adalah disfagia 10%, mual
26,7%, nyeri ulu hati 33,3%, esofagitis 22,8%, dan kembung 40%. Sedangkan
penelitian oleh Poeniati didapatkan keluhan rasa panas di dada seperti terbakar
(heart burn) 24,7% dan muntah 26,7%. Dengan demikian ada beberapa kasus GERD
dengan manifestasi klinis dispepsia.
Dari penelitian Syafruddin didapatkan esofagitis
derajat ringan (derajat 1 dan 2) sebesar 36,6%, dan tidak didapatkan derajat 3
dan 4. Sedangkan penelitan Marshal dkk derajat 3 dan 4 mencapai 4%. Berdasarkan
data endoskopi dari bagian gastroenterologi FKUIRSCM dari tahun 2003-2005 kasus
esofagitis tidak jauh berbeda dari sebelumnya yaitu sebesar 22,24%. Penyakit
ini cukup sering yang membuat seseorang berobat ke dokter umum maupun ahli
penyakit dalam.
Penelitian yang dilakukan Khek Yu Ho dkk di
Asia membagi menjadi 3 etnis yaitu Cina, Melayu dan India. Gejala regurgitasi
>1 kali dalam seminggu pada etnis India 11%, Melayu 2,1%, Cina 0,4%.
Sedangkan gejala heart burn pada etnis India 5,3%, Melayu 3%, Cina 0,4%. Di
barat didapatkan gejala regurgitasi dan heart burn lebih banyak dari pada di Asia
sebesar 29-44%. Heart burn pada wanita hamil di Singapura dilaporkan sebesar
23% sedangkan di negara barat 50%.
Penelitian Swarnjit Singh dkk meneliti
hubungan antara keluhan heart burn dan chest pain dengan GERD. Mereka menemukan
data bahwa keluhan heart burn merupakan keluhan yang bermakna dihubungkan
dengan GERD dengan sensitivitas 93% dan spesifisitas 71%. Sedangkan chest pain
tidak ada hubungan yang bermakna dengan GERD.
Penelitian Ho June Song dkk meneliti gejala
atipikal GERD berupa gejala dispepsi predominan nyeri dan predominan
dismotilitas yang dihubungkan dengan temuan esofagitis. Hasilnya adalah
didapatkan hasil yang bermakna antara gejala dispepsi predominan nyeri dengan
GERD (p<0,001). Jose D Sollano dkk meneliti erosif esofagitis
derajat A dan B di Philipina. Dari jumlah sampel 15.981 didapatkan gejala
erosif esofagitis antara lain nyeri epigastrium (p<0,001), pirosis
(p=0,281), regurgitasi (p=0,544), disfagia (p=0,193), perdarahan saluran cerna
bagian atas (p=0,138), muntah (p<0,001), dan kembung (p=0,190).
Penelitian yang dilakukan di Jepang menemukan
terdapat hubungan antara gejala berat heart burn, regurgitasi, disfagia, dan
odynophagia yang semakin berat dengan grade esofagitis (gambar).
Gambar. Hubungan antara grade esofagitis
dengan gejala klinis
Menurut kepustakaan gejala ekstraesofagus
berupa pneumonia 23,6%, nyeri dada tidak khas 23,1%, suara serak 14,8%,
disfagia 13,5%, dispepsi 10,6%, dan asma 9,3%. Menurut penelitian di Cina
dikatakan terdapat hubungan antara esofagus Barrett’s dengan penyakit GERD.
Penelitian di Swedia menghasilkan kesimpulan
bahwa terdapat hubungan yang kuat antara edenokarsinoma dengan GERD. Di Asia
prevalensi esofagus Barrett’s sebesar 0,08%. Sedangkan di Amerika 0,4%.
Diagnosis GERD
Untuk menegakkan diagnosis GERD dapat
ditegakkan berdasarkan dari analisa gejala klinis, sistem skoring gejala dan
pemeriksaan penunjang. Akan tetapi tidak satupun yang menjadi standar baku.
Menurut konsensus nasional penatalaksanaan penyakit reflux gastroesofagus,
standar baku untuk diagnosa GERD adalah dengan pemeriksaan endoskopi saluran
cerna bagian atas dengan ditemukan mucosal break di esofagus. Pemeriksaan lain
menurut konsensus nasional penatalaksanaan penyakit reflux gastroesofagus
adalah pemeriksaan pH esofagus dan terapi empiris. Kendala yang dihadapi adalah
tidak semua pelayanan kesehatan mempunyai alat endoskopi dan operator sehingga
tidak dapat mendiagnosa GERD dengan pasti dan tepat yang berdampak terhadap
penatalaksanaan pasien GERD.
Di pusat kesehatan primer di Indonesia
diagnosis GERD ditegakkan hanya berdasarkan gejala saja karena terbatasnya
sarana diagnostik endoskopi dan biaya yang tidak terjangkau oleh masyarakat.
Oleh karena itu dokter yang bertugas di tempat tersebut masih bingung untuk
membedakan antara GERD dan dispepsi. Oleh karena itu dibutuhkah guideline untuk
mendeteksi GERD agar penatalaksanaan lebih tepat dan cepat sehingga dapat
meningkatkan kualitas hidup.
Saat ini di keluarkan konsensus yang dimotori
oleh 18 negara yang terdiri dari ahli di bidang gastroenterologi untuk
mempermudah diagnosis GERD di puskesmas. Walaupun demikian untuk menegakkan
GERD dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis walaupun mempunyai sensitivitas
yang lebih rendah daripada dengan pemeriksaan endoskopi. Berdasarkan penelitian
yang sudah dilakukan di beberapa negara, gejala-gejala yang ditemukan pada
pasien GERD dapat menjadi pertimbangan dalam menegakkan diagnosis. Kalau
melihat datadata penelitian yang sudah dilakukan, gejala tipikal GERD seperti
heart burn dan regurgitasi yang mempunyai sensitivitas 93% dan spesivisitas 71%
dapat menjadi pertimbangan untuk memutuskan memulai terapi GERD. Walaupun ada
juga GERD dengan manifestasi klinis dispepsi yang merupakan gejala atipikal
GERD. Akan tapi dispepsi predominan nyeri dapat pula dipertimbangkan sebagai
gejala GERD. Selain itu gejala ekstraesofagus dan faktor risiko dapat menjadi
pertimbangan dalam menegakkan diagnosis GERD. (tabel 2)
Tabel 2.
Untuk mendiagnosa GERD dari keluhan tidak
mudah. Oleh karena itu diperlukan juga pemeriksaan penunjang lain. Pemeriksaan
baku emas untuk mendiagnosis GERD adalah dengan pemeriksaan endoskopi saluran
cerna atas dan ditemukan mucosal break di esofagus. Tetapi untuk mendiagnosis
NERD tidak ada pemeriksaan standar. Sehingga untuk melakukan diagnosis
digunakan pedoman:
• Tidak ditemukan mucosal break pada
pemeriksaan endoskopi.
• Pemeriksaan pH esofagus dengan hasil
positif.
• Terapi empiris yang dikenal dengan tes PPI
Ada beberapa pemeriksaan untuk diagnosis GERD
yaitu:
1. Pemeriksaan Esofagogram.Pemeriksaan
ini dapat menemukan kelainan berupa penebalan lipatan mukosa esofagus, erosi
dan striktur. Pemeriksaan ini mempunyai akurasi 24,6% untuk esofagitis ringan,
81,6% esofagitis sedang, dan 98,7% esofagitis berat.
2. Monitoring pH intra
esofagus 24 jam.Pemeriksaan ini berhubungan dengan episode
reflux dan gejala-gejalanya serta
NERD. Akurasi pemeriksaan ini mencapai 96%.
3. Tes Perfusi Berstein. Digunakan
untuk menilai sensitivitas mukosa esofagus terhadap paparan asam. Pemeriksaan
ini dengan menggunakan HCl 0,1% yang dialirkan ke esofagus dan menggunakan NaCl
0,9% sebagai kontrol. Sensitivitas pemeriksaan ini 78 % dan spesifisitas 84%.
4. Tes PPI. Diagnosis
ini menggunakan PPI dosis ganda selama 1-2 minggu pada pasien yang diduga
menderita GERD. Tes positif bila 75% keluhan hilang selama satu minggu. Tes ini
mempunyai sensitivitas 75% dan spesitivitas 55%.
5. Manometri esofagus. Tes
ini untuk menilai pengobatan sebelum dan sesudah pemberian terapi pada pasien
NERD terutama untuk tujuan penelitian. Pemeriksaan ini juga untuk menilai
gangguan peristaltik/motilitas esofagus.
6. Endoskopi.
Diindikasikan:
§ Menilai
adanya kerusakan mukosa esofagus mulai erosi sampai keganasan.
§ Mengambil
sampel biopsi.
§ Kecurigaan
adanya esofagus Barrett’s.
7. Histopatologi. Pemeriksaan
untuk menilai adanya metaplasia, displasia atau keganasan. Tetapi bukan untuk
memastikan NERD.
Penatalaksanaan
1. Modifikasi gaya hidup. Hal
ini dilakukan dengan menghilangkan faktor risiko seperti berhenti merokok,
menurunkan berat badan, menghindari makanan yang berpotensial menyebabkan
reflux seperti coklat dan makanan yang mengandung mint, meninggikan kepala dan
tempat tidur, dan menghindari makan sebelum tidur.
2. Farmakologi.
Pengobatan GERD (tabel 3)
Tabel 3. Pengobatan GERD
3. Pembedahan antireflux
Modalitas ini bersifat individu. Terapi ini
dilakukan apabila dengan pengobatan medikamentosa gagal. Operasi dilakukan bila
pemeriksaan manometri menunjukkan motilitas esofagus normal. Indikasi lain
adalah untuk memperbaiki diafragma pada kasus hiatus hernia.
4. Terapi endoskopi
Terapi ini masih terus dikembangkan. Contohnya
adalah radiofrekuensi, endoscopic suturing, dan endoscopic emplatation.
Radiofrekuensi adalah dengan memanaskan gastroesophageal junction. Tujuan dari
jenis terapi ini adalah untuk mengurangi penggunaan obat, meningkatkan kualitas
hidup, dan mengurangi reflux.
5. Follow up. Menurut
beberapa studi observasi, bila selama 10 tahun tidak ada perubahan gejala, maka
sebaiknya dilakukan endoskopi ulang dan selanjutnya dilakukan setiap 10 tahun.
Komplikasi
1. Erosif
esofagus. Keadaan ini paling sering terjadi yaitu suatu inflamasi mukosa
esofagus.
2. Esofagus
barrett’s. Adalah komplikasi jangka panjang. Benyak penelitian sudah
membuktikan ada hubungan antara reflux jangka panjang dengan insiden esofagus
Barrett’s.
3. Striktur
esofagus. Jika reflux berlangsung secara kronik, dan inflamasi berlangsung lama
dapat menyebabkan striktur.
Kesimpulan
GERD adalah suatu kondisi kronik yang
memerlukan terapi jangka lama. Pengobatan untuk mengurangi gejala terus menerus
kadang kala diperlukan untuk kenyamanan pasien, dan yang menjadi masalah adalah
dalam menegakkan diagnosis memerlukan pemeriksaan yang invasif. Walaupun
demikian dari anamnesis gejala klinis tipikal, adanya faktor risiko dan tes PPI
dapat menegakkan diagnosis GERD lebih dini sehingga komplikasi dapat dicegah.
Penatalaksanaan GERD dapat berupa pengobatan nonfarmakologis seperti mengubah
gaya hidup diperlukan dalam penatalaksanaan pasien. Penggunaan PPI diperlukan
untuk mengurangi gejala reflux. Untuk pasien yang sudah lanjut mengalami
komplikasi penggunaan PPI setiap hari diperlukan.
Materi
lain juga bisa di download di http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/3466/1/tht-hary.pdf
Smoga bermanfaat...^___^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar