Senin, 16 Juni 2014

SKENARIO 6 BLOK 12



SKENARIO 6 BLOK 12
author : fida


ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
a. Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting, yang seharusnya dapat perhatian lebih dari biasanya.Hidung mempunyai beberapa fungsi: sebagai indra penghidu,menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara
(peter, 1989).
1) Hidung Luar
Menonjol pada garis tengah di antara pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian: yang paling atas, kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah lobulus
hidung yang mudah digerakkan. Belahan bawah aperture piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung, semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan bagian dari prosesus maksilaris medial embrio yang meliputi premaksila anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian berikutnya, yaitu kubah kartilago yangs edikit dapat digerakkan, dibentuk oleh kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh kolumela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung (Peter, 1989).
2) Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah, secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada dinding lateral
hidung terdapat pula konka dengan rongga udara yang tak teratur di antaranya—meatus superior, media dan inferior. Sementara kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti dari rongga udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi
tebalnya, juga mengubah resistensi, dan akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan badan vascular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari
krusta dan deposit atau secret mukosa. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior. Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis, etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada resesus sfenoetmoidalis. Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil pada bagian medial dan latreral dinding hidung dalam dan atas hingga kubah hidung. Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian dapat sangat mengganggu penghiduan.
Bagian tulang dari septum terdiri dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah anterior,lamina perpendikularis tulang etmodalis di sebelah atas, vomer dan rostrum sphenoid di posterior dan suatu Krista di sebelah bawah, terdiri dari Krista maksial dan Krista
palatina (Hilger, 1989).
b. Fisiologi hidung
Seperti halnya anatomi hidung biasanya tidak memungkinkan inspeksi celah olfaktorius dengan speculum hidung, maka untuk alas an yang sama lengkung aliran udara inspirasi normalnya tidak cukup tinggi untuk mencapai celah tersebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila bau tersebut sangat kuat. Bila kita ingin mengenali suatu bau, biasanya kita mengendus, yaitu, menambah tekanan negative guna menarik aliran udara yang masfaktorius. Pada sumbatan hidung yang patologik, pasien sering mengeluh anosmia sebelum mengemukakan bahwa ia juga bernafas lewat mulut. Lebih lanjut, karena kita membedakan berbagai makanan lewat kombinasi rasa dan bau, keluhan pasiendapat pula berupa makanan tidak lagi “pas” rasanya. Indra penghidu pada manusia tergolong rudimenter dibandingkan hewan lainnya, namun kepekaan organ ini cukup mengejutkan.
McKenzie menyatakan vanillin dapat dipersepsi manusia sebagai suatu bau bila terdapat dalam konsentrasi hingga serendah 5 x 10-10 gm/L udara. Proses persepsi bau belum dapat dipastikan, namun terdapat dua teori yang mengisyaratkan mekanisme kimia atau undulasi. Menurut teori kimia, partikel-partikel zat yang berbau desebarkan secara difusi lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia saat mencapai epitel olfaktorius. Menurut teori undulasi, gelombang energi serupa dengan tempaan ringan pada ujung saraf olfaktorius. Tanpa memandang mekanismenya, indra penghidu dengan cepat menghilang. Masih sangat sulit untuk melakukan standarisasi uraian ciri-ciri beragam bau atau pengukuran kadar bau yang dapat dibandingkan dalam
suatu uji laboratorium. Amoore mengidentifikasi tujuh kategori utama dari bau, yang cukup memadai untuk menjembatani dan menjelaskan semua perbedaan yang dirasakan. Meskipun banyak peneliti dapat menerima teori ini, namun sistem ini belum diterima dalam praktek klinis rutin ataupun sebagai dasar untuk menentukan derajat kecacatan. Sebaliknya, peneliti seringkali mencoba membedakan anosmia, hiposmia, penghiduan normal dan parosmia (penghiduan yang berubah) memakai suatu zat yang berbau, misalnya minyak cengkeh dalam berbagai derajat pengeceran pada subjek yang diuji. Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Negus adalah salah satu pendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan sfenoidalis.Etmokonka yang dilapisi epitel penghidu dapat ditemukan pada beberapa binatang rendah. Pada manusia, sinus biasanya kosong dan indra penghidu kita jauh lebih rendah dari misalnya anjing atau kucing; etmokonka manusia jelas telah menghilang selama proses evolusi
(Peter,1989)

SINUSITIS
a. Definisi
Sinusitis adalah radang pada sinus paranasalis, dimana dapat disebabkan oleh infeksi maupun bukan infeksi, dari bakteri, jamur, virus, alergi maupun sebab autoimun (Williams, 1992)
Bila mengenai beberapa sinus disebut multisinus sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal, disebut pansinusitis (Endang, 1990)
b. Klasifikasi
1) Berdasar lokasinya:
Ditemukan beberapa pasang sinus paranasalis, yaitu; frontalis,ethmoidalis, maksilaris dan spenoidalis
a) Sinusitis maksilaris: menyebabkan nyeri daerah maksila sepertisakit gigi dan kepala.
b) Sinusitis frontalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakangdan atas mata.
c) Sinusitis ethmoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakangmata, maupun sakit kepala.
d) Sinusitis sphenoidalis: menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata, tetepi lebih sering pada vertex kepala (Mehle, 2005).
2) Berdasar durasinya:
Menurut Adams (1978),sinusitis dibagi menjadi
(a) sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari sampai beberapa minggu,
(b) sinusitis subakut, bila infeksi beberapa minggu sampai beberapa bulan,
(c) sinusitis kronis apabila infeksi beberapa bulan sampai beberapa tahun.
Menurut Cauwenberge (1983) disebut sinusitis kronis, apabila sudah lebih dari 3 bulan.Tetapi apabila dilihat dari gejalanya, maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang akut.Dikatakan sinusitis subakut, bila tanda akut sudah reda dan perubahan histologik mukosa sinus masih reversibel dan disebut sinusitis kronik, bila perubahan histologik mukosa sinus sudah irreversibel, misal sudah berubah menjadi jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi tepat yang lain ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan ini tidak rutin dikerjakan.
a) Sinusitis Akut
Sinusitis akut biasanya didahului infeksi traktus respiratorius,
umumnya disebabkan oleh virus seperti:
Haemophilus influenzae,Streptococcus pneumoniae,Moraxella catarrhalis dan Staphylococcus aureus
Bakteri pathogen seperti:
Streptococci species,anaerobic bacteriadan beberapa gram negatif (Fokken,2007). Penyakit ini dimulai dangan penyumbatan kompleks ostiomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi. Selain itu juga dapat merupakan penyebaran dari infeksi gigi (Nusjirwan,1990).
Sinusitis akut memiliki gejala subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif bersifat sistemik dan lokal. Gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu. Gejala lokal dapat kita temukan pada hidung, sinus paranasal dan tempat lainnya sebagai nyeri alih (referred pain). Gejala pada hidung dapat terasa adanya ingus yang kental & berbau mengalir ke nasofaring. Selain itu, hidung terasa tersumbat. Gejala pada sinus paranasal berupa rasa nyeri dan nyeri alih (referred pain)
Gejala subjektifyang bersifat lokal pada sinusitis maksila berupa rasa nyeri dibawah kelopak mata dan kadang tersebar ke alveolus sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa di dahi dan depan telinga. Gejala sinusitis etmoid berupa rasa nyeri pada pangkal hidung, kantus medius, kadang-kadang pada bola mata atau dibelakang bola mata. Akan terasa makin sakit bila pasien menggerakkan bola matanya. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa pada pelipis (parietal).
Gejala sinusitis frontal berupa rasa nyeri yang terlokalisir pada dahi atau seluruh kepala.
 Gejala sinusitis sfenoid berupa rasa nyeri pada verteks, oksipital, belakang bola mata atau daerah mastoid.
Gejala objektif sinusitis akut yaitu tampak bengkak pada muka pasien.
 Gejala sinusitis maksila berupa pembengkakan pada pipi dan kelopak mata bawah. Gejala sinusitis frontal berupa pembengkakan pada dahi dan kelopak mata atas. Pembengkakan jarang terjadi pada sinusitis etmoid kecuali ada komplikasi.
Rinoskopi sinusitis akut. Pemeriksaan rinoskopi anterior menampakkan mukosa konka nasi hiperemis dan edema. Terdapat mukopus (nanah) di meatus nasi medius pada sinusitis maksila,
sinusitis forntal, dan sinusitis etmoid anterior. Nanah tampak keluar dari meatus nasi superior pada sinusitis etmoid posterior dan sinusitis sfenoid. Pemeriksaan rinoskopi posterior menampakkan adanya mukopus (nanah) di nasofaring (post nasal drip) (Muhammad, 2007).
b) Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat, nyeri tekan) sudah reda. Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di meatus medius atau superior.Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di nasofaring.Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sedikit suram ataupun gelap (Endang, 1997)
c) Sinusitis Kronis
Sinusitis kronis adalah komplikasi dari berbagai penyakit radang sinus pada umumnya.Penyebabnya multi faktorial dan juga termasuk alergi,faktor lingkungan seperti debu, infeksi bakteri, atau jamur.Faktor non alergi seperti rhinitis vasomotor dapat juga menyebabkan masalah sinus kronis (Schreiber, 2005).
Etiologi sinusitis kronis. Infeksi kronis pada sinusitis kronis
dapat disebabkan :
(1)Gangguan drainase: Gangguan drainase dapat disebabkan obstruksi mekanik dan kerusakan silia.
(2)Perubahan mukosa: Perubahan mukosa dapat disebabkan alergi, defisiensi imunologik, dan kerusakan silia.
(3)Pengobatan : Pengobatan infeksi akut yang tidak sempurna. Sebaliknya, kerusakan silia dapat disebabkan oleh gangguan drainase, perubahan mukosa, dan polusi bahan kimia.
Gejala sinusitis kronik. Secara subjektif, sinusitis kronis
memberikan gejala :
(1)Hidung: Terasa ada sekret dalam hidung.
(2)Nasofaring: Terasa ada sekret pasca nasal (post nasal drip). Sekret ini memicu terjadinya batuk kronis.
(3)Faring: Rasa gatal dan tidak nyaman di tenggorok.
(4)Telinga: Gangguan pendengaran karena sumbatan tuba Eustachius.
(5)Kepala: Nyeri kepala / sakit kepala yang biasanya terasa pada pagi hari dan berkurang atau menghilang setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui pasti. Mungkin karena malam hari terjadi penimbunan ingus dalam sinus paranasal dan rongga hidung serta terjadi stasis vena.
(6)Mata: Terjadi infeksi mata melalui penjalaran duktus nasolakrimalis.
(7)Saluran napas: Terjadi batuk dan kadang-kadang terjadi komplikasi pada paru seperti bronkitis, bronkiektasis, dan asma bronkial
(8)Saluran cerna: Terjadi gastroenteritis akibat tertelannya mukopus. Sering terjadi pada anak-anak. Secara objektif, gejala sinusitis kronis tidak seberat sinusitis akut. Tidak terjadi pembengkakan wajah pada sinusitis kronis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior ditemukan sekret kental purulen di meatus nasi medius dan meatus nasi superior. Sekret purulen juga ditemukan di nasofaring dan dapat turun ke tenggorok pada pemeriksaan rinoskopi posterior. Pemeriksaan mikrobiologik sinusitis kronis. Biasanya
sinusitis kronis terinfeksi oleh kuman campuran, bakteri aerob (S. aureus, S. viridans &H.influenzae) dan bakteri anaerob (Peptostreptokokus & Fusobakterium)(Muhammad, 2007)
3) Berdasar penyebabnya
a)Rhinogenik (penyebab kelainan atau masalah di hidung), Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan sinusitis
b)Dentogenik/Odontogenik (penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi pada gigi geraham atas (pre molar dan molar)(Sukri, 2007)
3.DIAGNOSIS
Faktor predisposisi yang dapat mengembangkan sinusitis, antara lain: alergi; masalah struktural seperti deviasi septum atau ostium sinus yang kecil; merokok; polip hidung; membawa gen fibrosis kistik.Beberapa prediksi sudah dikembangkan untuk diagnosa berdasar fisik dan riwayat penyakit, prediktor terbaik yaitu adanya cairan hidung yang kental (Simel, 1992).
Pemeriksaan yang dilakukan didapat nyeri tekan pada pipi kanan / kiri atau dua-duanya,terkadang nyeri tekan di atas hidung. Pemeriksaan lain misalnya: Transiluminasi, Rinoskopi, Sinoskopi, pemeriksaan foto rontgen sinus paranasal (foto waters, PA, lateral), pemeriksaan Naso-endoskopi, CT Scan, tentu juga pemeriksaan kultur kuman (Erawati, 2001)
4.PENGOBATAN
Didapatkan beberapa obat yang dapat melegakan gejala yang menyertai sinusitis, seperti sakit kepala, nyeri maupun kelelahan.Biasanya dapat dikombinasikan antara jenis obat antihistamin bersamaan dengan decongestan atau pelega nyeri.Bila sinusitis tidak membaik pada 48 jam, atau menyebabkan nyeri berarti, dapat diberikan antibiotik (Amoxicillin yang paling umum).Flouroquinolone untuk pasien dengan alergi penicillin (Samsa, 1992).
Antibiotik dosis penuh untuk 10 - 14 hari,obat dekongestan lokal berupa tetes hidung dengan waktu terbatas 5 – 10 hari (Erawati, 2001)
5.TINDAKAN MEDIS
Penderita dengan sinusitis kronis, diindikasikan untuk mendapatkan pembedahan hidung, atau biasa disebut FESS (Functional Endoscopic Sinus Surgery) dimana mengembalikan fungsi normal sinus dengan menghilangkan bagian-bagian baik yang normal maupun patologis yang menyebabkan sumbatan pada sinus (Ian, 2007). Pencucian hidung : Apabila dengan pengobatan tidak banyak menolong, maka mungkin pencucian hidung diperlukan. Dilakukan dengan Anestesi lokal, di mana trokar dan kanula dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan menembus dinding naso antral dan kemudian di drainase. Setiap pus yang didapatkan dibuat pemeriksaan biakannya. Apabila setelah 2-3kali pencucian, infeksi belum sirna, maka mungkin diperlukan tindakan Antrostomi intranasal. Namun perlu diketahui, jarang dibutuhkan terapi pembedahan pada sinusitis akut. Antrostomi yaitu membuat hubungan / lubang di bawah pangkal konka inferior, sehingga ada hubungan langsung antara sinus maxilaris dengan cavum nasi supaya pengaliran lendir/sekret lebihbaik. Bila pengobatan konservatif tidak berhasil maka dilakukan tindakan radikal berupa: Operasi Cadwell-Luc. Selain itu tindakan operasi dengan
menggunakan endosop disebut Bedah Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Sejumlah komplikasi sinusitis yang mungkin timbul adalah infeksi tulang (Osteomielitis dan abses periostal) biasanya pada anak-anak, kelainan Orbita (ruangan tempat bola mata), kelainan dalam kepala (intrakranial), kelainan paru. Sementara jumlah pencucian sinus tergantung dengan kondisi penyakitnya. Jarak waktu pencucian kurang lebih dua minggu setelah pencucian pertama. Untuk menghindari kambuh, upayakan agar aliran silia mukosa sinus tidak rusak. Bila tidak rusak, kemungkinan kambuh sangat kecil (Erawati, 2001).
6. PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS
Untuk melihat sinus maksilaris, kita usulkan memakai posisi Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih utuh ataukah tidak (Sardjono, 2000)
Spesifisitas dari pemeriksaan foto polos termasuk tinggi, tapi sensitifitasnya rendah kecuali untuk sinus maksillaris (sensitifitas 80%) (Hagtvedt, 2002).
Foto polos adalah salah satu cara mendiagnosa penyakit sinus.Walaupun didapatkan beberapa gambaran radiografi untuk evaluasi sinus paranasal, umumnya hanya ada empat gambaran – Caldwell, water, lateral dan base. Pengerjaan rutin radiografis harus meliputi sebuah cross-table atau film lateral tegak dipadukan dengan penyinaran sinar-X horizontal, dimana menampilkan cairan dalam sinus dengan membandingkan tingkat cairanudara.Dengan cara lain, penyinaran sinar-X dari depan, dan pasien dalam posisi pronasi maupun supinasi dengan kepala menengok ke suatu sisi, cairan akan memenuhi dinding sinus, maka tidak akan tampak tingkat air-udara
(Babbel, 1991) 

RINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah penyakit inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan denganalergen spesifik tersebut (von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.

 Klasifikasi rinitis alergi
 Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1.Rinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis)
2.Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya berbeda dalam sifat berlangsungnya(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008). Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO IniativeARIA (AllergicRhinitisand its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1.Intermiten (kadang-kadang): bila gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2.Persisten/menetap bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
Sedangkan untuk tingkat berat ringannya penyakit, rinitis alergi dibagi menjadi:
1.Ringan, bila tidak ditemukan gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,belajar, bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2.Sedang atau berat bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut
diatas(Bousquet et al, 2001).

Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan penyakitnya.
Faktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).Penyebab rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria dan gangguan pencernaan.Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial(sepanjang tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu Dermatophagoides farinae
dan Dermatophagoides pteronyssinus, jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).Berdasarkan cara masuknya allergen dibagi atas:
Alergen Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel dari bulu binatang serta jamur.
Alergen Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu, telur,coklat, ikan dan udang.
Alergen Injektan, yang masukmelalui suntikan atau tusukan, misalnya penisilin atau sengatan lebah.
Alergen Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau perhiasan (Kaplan, 2003)

Gejala klinik rinitis alergi, yaitu :
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin. Disebut juga sebagai bersin patologis(Soepardi, Iskandar, 2004).
Gejala lain ialah keluar ingus (rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar (lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam melintangpada tengah punggunghidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak.Disertai dengan sekret mukoid atau cair. Tanda di matatermasuk edema kelopak mata, kongestikonjungtiva, lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telingatermasuk retraksi membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba eustachii.
Tanda faringeal termasuk faringitis granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringealtermasuk suara serak dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO, 2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan nyeri wajah, post nasal
drip. Beberapa orang juga mengalami lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji, 1993).
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat ditegakkan dari anamnesis saja.
Gejala rinitis alergi yang khas ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Gejala lain ialah keluar hingus (rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai denganbanyak air mata keluar (lakr imasi). Kada ng-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya gejala yangdiutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya, identifikasi faktor predisposisi karenafaktor genetik dan herediter sangat berperan pada ekspresi rinitis alergi,respon terhadap pengobatan, kondisi lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan mata gatal, ingus encerlebih dari satu jam,hidung tersumbat,dan mata merah serta berairmaka dinyatakan positif (Rusmono,Kasakayan, 1990).
2.Pemeriksaan Fisik
Pada muka biasanya didapatkan garis Dennie-Morgan dan
allergic shinner, yaitu bayangan gelap di daerah bawah matakarena stasisvena sekunder akibat obstruksi hidung (Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic creaseyaitu berupa garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute). Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati, 2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi dapat normal ataumeningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total (prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno Sorbent AssayTest).
 Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak dapat memastikan diagnosis,tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap. Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi inhalan.Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal atau berseri (Skin End-pointTitration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui (Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan dieteliminasi danprovokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi -1 (klasik) dan generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa. Preparat kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor kolinergik permukaan sel efektor(Mulyarjo, 2006).
b. Operatif- Tindakan konkotomi (pemotongan konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor asetat
(Roland, McCluggage, Sciinneider, 2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo, 2006).

Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar biasa banyaknya (lebiheosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel, hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif, terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia sinus oleh proses alergis dalam mukosayang menyebabkan sumbatan ostia sehingga terjadi penurunan oksigenasi  dan tekanan udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basayang dilepas sel eosinofil (MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).