Aloha teman-teman..Besok pas tutorial kita bakal
liat video yah?hmmmm.
tapi Untungnya
udah ada bocoran di modul,heheheh,,jeng..jeng skenario kali ini membahas
tentang IKTERUS.
Silahkan
di baca dan semoga bermanfaat..^0^,, semangat..:DD
Definisi
Ikterus adalah warna kuning pada kulit, konjungtiva dan
selaput akibat penumpukan bilirubin. Sedangkan hiperbilirubinemia adalah
ikterus dengan konsentrasi bilirubin serum yang menjurus ke arah terjadinya
kernikterus atau ensefalopati bilirubin bila kadar bilirubin yang tidak
dikendalikan.
Atau bisa juga Ikterus
adalah akumulasi abnormal pigmen bilirubin dalarn darah yang menyebabkan air
seni berwarna gelap, warna tinja menjadi pucat dan perubahan warna kulit
menjadi kekuningan. Icterus merupakan kondisi berubahnya jaringan menjadi
berwarna kuning akibat deposisi bilirubin. Ikterus paling mudah
dilihat pada, sklera mata karena elastin pada sklera mengikat bilirubin.
Ikterus harus dibedakan dengan karotenemia yaitu
warna kulit kekuningan yang disebabkan asupan berlebihan buah-buahan berwarna kuning
yang mengandung pigmen lipokrom, misalnya wortel, pepaya dan jeruk. Pada
karotemia warna kuning terutama tampak pada telapak tangan dan kaki disamping
kulit lainnya. Sklere pada karotemia tidak kuning. Istilah ikterus dapat
dikacaukan dengan kolestasis yang umumnya disertai ikterus. Definisi kolestasis
adalah hambatan aliran empedu normal normal untuk mencapai duodenum.
Kolestatasis ini dulu sering dinamakan jaundice obstruktif.
Normalnya, bilirubin total <1>
Ikterus yang ringan dapat dilihat paling awal pada sklera
mata, dan kalau ini terjadi kadar bilirubin sudah berkisar antara 2-2,5 mg/dL
(34 sampai 43 uniol/L). Jika ikterus sudah jelas dapat dilihat dengan nyata
maka bilirubin mungkin sebenamya sudah mencapai angka 7 mg%.
Ikterus (jaundice) didefinisikan sebagai menguningnya warna
kulit dan sklera akibat akumulasi pigmen bilirubin dalam darah dan jaringan.
Kadar bilirubin harus mencapai 35-40 mmol/l sebelum ikterus menimbulkan
manifestasi klinik. (3)
Jaundice (berasal dari bahasa Perancis ‘jaune’ artinya
kuning) atau ikterus (bahasa Latin untuk jaundice) adalah pewarnaan kuning pada
kulit, sklera, dan membran mukosa oleh deposit bilirubin (pigmen empedu
kuning-oranye) pada jaringan tersebut.
Etiologi ikterus
Ikterus merupakan suatu keadaan dimana terjadi penimbunan
pigmen empedu pada tubuh menyebabkan perubahan warna jaringan menjadi kuning,
terutama pada jaringan tubuh yang banyak mengandung serabut elastin sperti
aorta dan sklera (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan McGavin 1995).
Warna kuning ini disebabkan adanya akumulasi bilirubin pada proses
(hiperbilirubinemia). Adanya ikterus yang mengenai hampir seluruh organ tubuh
menunjukkan terjadinya gangguan sekresi bilirubin. Berdasarkan penyebabnya,
ikterus dapat dibedakan menjadi 3, yaitu:
1. Ikterus pre-hepatik
Ikterus jenis ini terjadi karena adanya kerusakan RBC atau
intravaskular hemolisis, misalnya pada kasus anemia hemolitik menyebabkan
terjadinya pembentukan bilirubin yang berlebih. Hemolisis dapat disebabkan oleh
parasit darah, contoh: Babesia sp., dan Anaplasma sp. Menurut
Price dan Wilson (2002), bilirubin yang tidak terkonjugasi bersifat tidak larut
dalam air sehingga tidak diekskresikan dalam urin dan tidak terjadi
bilirubinuria tetapi terjadi peningkatan urobilinogen. Hal ini menyebabkan
warna urin dan feses menjadi gelap. Ikterus yang disebabkan oleh
hiperbilirubinemia tak terkonjugasi bersifat ringan dan berwarna kuning pucat.
Contoh kasus pada anjing adalah kejadian Leptospirosis oleh infeksi Leptospira
grippotyphosa.
2. Ikterus hepatik
Ikterus jenis ini terjadi di dalam hati karena penurunan
pengambilan dan konjugasi oleh hepatosit sehingga gagal membentuk bilirubin
terkonjugasi. Kegagalan tersebut disebabkan rusaknya sel-sel hepatosit,
hepatitis akut atau kronis dan pemakaian obat yang berpengaruh terhadap
pengambilan bilirubin oleh sel hati. Gangguan konjugasi bilirubin dapat
disebabkan karena defisiensi enzim glukoronil transferase sebagai katalisator
(Price dan Wilson 2002). Ikterus
3. Ikterus Post-Hepatik
Mekanisme terjadinya ikterus post hepatik adalah terjadinya
penurunan sekresi bilirubin terkonjugasi sehinga mengakibatkan
hiperbilirubinemia terkonjugasi. Bilirubin terkonjugasi bersifat larut di dalam
air, sehingga diekskresikan ke dalam urin (bilirubinuria) melalui ginjal,
tetapi urobilinogen menjadi berkurang sehingga warna feses terlihat pucat.
Faktor penyebab gangguan sekresi bilirubin dapat berupa faktor fungsional
maupun obstruksi duktus choledocus yang disebabkan oleh cholelithiasis,
infestasi parasit, tumor hati, dan inflamasi yang mengakibatkan fibrosis.
Migrasi larva cacing melewati hati umum terjadi pada hewan
domestik. Larva nematoda yang melewati hati dapat menyebabkan inflamasi dan hepatocellular
necrosis (nekrosa sel hati). Bekas infeksi ini kemudian diganti dengan
jaringan ikat fibrosa (jaringan parut) yang sering terjadi pada kapsula hati.
Cacing yang telah dewasa berpindah pada duktus empedu dan menyebabkan
cholangitis atau cholangiohepatitis yang akan berdampak pada
penyumbatan/obstruksi duktus empedu. Contoh nematoda yang menyerang hati anjing
adalah Capillaria hepatica. Cacing cestoda yang berhabitat
pada sistem hepatobiliary anjing antara lain Taenia hydatigena dan Echinococcus
granulosus. Cacing trematoda yang berhabitat di duktus empedu anjing
meliputi Dicrocoelium dendriticum, Ophisthorcis tenuicollis,
Pseudamphistomum truncatum, Methorcis conjunctus, M. albidus, Parametorchis
complexus, dan lain-lain (Maclachlan dan Cullen di dalam Carlton dan
McGavin 1995).
Ada beberapa keadaan ikterus yang
cenderung menjadi patologik:
- Ikterus
klinis terjadi pada 24 jam pertama kehidupan
- Peningkatan
kadar bilirubin serum sebanyak 5mg/dL atau lebih setiap 24 jam
- Ikterus
yang disertai proses hemolisis (inkompatabilitas darah, defisiensi G6PD,
atau sepsis)
- Ikterus
yang disertai oleh:
- Berat
lahir <2000 gram
- Masa
gestasi 36 minggu
- Asfiksia,
hipoksia, sindrom gawat napas pada neonates (SGNN)
- Infeksi
- Trauma
lahir pada kepala
- Hipoglikemia,
hiperkarbia
- Hiperosmolaritas
darah
- Ikterus
klinis yang menetap setelah bayi berusia >8 hari (pada NCB) atau >14
hari (pada NKB)
A.Macam – Macam Ikterus
1. Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2. Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Menurut IKA, 2002 penyebab ikterus terbagi atas :
1. Ikterus pra hepatic : Terjadi akibat produksi bilirubin yang mengikat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.
2. Ikterus pasca hepatik (obstruktif) : Adanya bendungan dalam saluran empedu (kolistasis) yang mengakibatkan peninggian konjugasi bilirubin yang larut dalam air yang terbagi menjadi :
a. Intrahepatik : bila penyumbatan terjadi antara hati dengan ductus koleductus.
b. Ekstrahepatik : bila penyumbatan terjadi pada ductus koleductus.
3. Ikterus hepatoseluler (hepatik) : Kerusakan sel hati yang menyebabkan konjugasi blirubin terganggu.
4. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab :
• Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
• Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
• Kadang oleh defisiensi G-6-PO
5. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir dengan penyebab:
• Biasanya ikteruk fisiologis
• Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam
• Polisitemia
• Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan hepar sub kapsuler dan lain-lain)
• Dehidrasis asidosis
• Defisiensi enzim eritrosis lainnya
6. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama dengan penyebab
• Biasanya karena infeksi (sepsis)
• Dehidrasi asidosis
• Defisiensi enzim G-6-PD
• Pengaruh obat
• Sindrom gilber
7. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya dengan penyebab :
• biasanya karena obstruksi
• hipotiroidime
• hipo breast milk jaundice
• infeksi
• neonatal hepatitis
• galaktosemia
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
(Ngastiyah, 1997)(Suriadi,2001)
1. Ikterus Fisiologis
a. Timbul pada hari ke dua dan ketiga.
b Kadar bilirubin indirek tidak melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan dan 12,5 mg% untuk neonatus lebih bulan.
c. Kecepatan peningkatan kadar bilirubin tidak melebihi 5 mg% perhari.
d. Ikterus menghilang pada 10 hari pertama.
e. Tidak terbukti mempunyai hubungan dengan keadaan patologik.
2. Ikterus Patologik
a. Ikterus terjadi dalam 24 jam pertama.
b. Kadar bilirubin melebihi 10 mg% pada neonatus cukup bulan atau melebihi 12,5 mg% pada neonatus kurang bulan.
c. Peningkatan bilirubin lebih dari 5 mg% perhari.
d. Ikterus menetap sesudah 2 minggu pertama.
e. Kadar bilirubin direk melebihi 1 mg%.
f. Mempunyai hubungan dengan proses hemolitik.
Menurut IKA, 2002 penyebab ikterus terbagi atas :
1. Ikterus pra hepatic : Terjadi akibat produksi bilirubin yang mengikat yang terjadi pada hemolisis sel darah merah.
2. Ikterus pasca hepatik (obstruktif) : Adanya bendungan dalam saluran empedu (kolistasis) yang mengakibatkan peninggian konjugasi bilirubin yang larut dalam air yang terbagi menjadi :
a. Intrahepatik : bila penyumbatan terjadi antara hati dengan ductus koleductus.
b. Ekstrahepatik : bila penyumbatan terjadi pada ductus koleductus.
3. Ikterus hepatoseluler (hepatik) : Kerusakan sel hati yang menyebabkan konjugasi blirubin terganggu.
4. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama dengan penyebab :
• Inkomtabilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
• Infeksi intra uterin (oleh virus, toksoplasma, lues dan kadang bakteri)
• Kadang oleh defisiensi G-6-PO
5. Ikterus yang timbul 24 – 72 jam setelah lahir dengan penyebab:
• Biasanya ikteruk fisiologis
• Masih ada kemungkinan inkompatibitas darah ABO atau Rh atau golongan lain. Hal ini diduga kalau peningkatan kadar bilirubin cepat, misalnya melebihi 5 mg%/24 jam
• Polisitemia
• Hemolisis perdarahan tertutup (perdarahan sub oiponeurosis, perdarahan hepar sub kapsuler dan lain-lain)
• Dehidrasis asidosis
• Defisiensi enzim eritrosis lainnya
6. Ikterus yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai minggu pertama dengan penyebab
• Biasanya karena infeksi (sepsis)
• Dehidrasi asidosis
• Defisiensi enzim G-6-PD
• Pengaruh obat
• Sindrom gilber
7. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya dengan penyebab :
• biasanya karena obstruksi
• hipotiroidime
• hipo breast milk jaundice
• infeksi
• neonatal hepatitis
• galaktosemia
1. Terjadi kernikterus, yaitu kerusakan pada otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak terutama pada korpus striatum, thalamus, nucleus subtalamus hipokampus, nucleus merah didasar ventrikel IV.
2. Kernikterus; kerusakan neurologis, cerebral palsy, RM, hyperaktif, bicara lambat, tidak ada koordinasi otot, dan tangisan yang melengking.
(Ngastiyah, 1997)(Suriadi,2001)
Jenis-jenis Ikterus Menurut Waktu
Terjadinya
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
• Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama sebagian besar disebabkan oleh :
• Inkompatibilitas darah Rh,ABO, atau golongan lain
• Infeksiintra uterine
• Kadang-kadang karena defisiensi enzim G-6-PD
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
• Biasanya ikterus fisiologis
• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
• Defisiensi enzim G-6-PD atau enzim eritrosit lain juga masih mungkin.
• Policitemia
• Hemolisis perdarahan tertutup *(perdarahan subaponerosis,perdarahan hepar, sub capsula dll)
3. Iktersua yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
• Sepsis
• Dehidrasi dan asidosis Defisiensi G-6-PD
• Pegaruh obat-obatan
• Sindroma Criggler-Najjar , sindroma Gilbert
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
• Ikterus obtruktive
• Hipotiroidisme
• Breast milk jaundice
• Infeksi
• Hepatitis neonatal
• Galaktosemia
B. PATOFISIOLOGI
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.1
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
1. Ikterus yang timbul pada 24 jam pertama
• Ikterus yang terjadi pada 24 jam pertama sebagian besar disebabkan oleh :
• Inkompatibilitas darah Rh,ABO, atau golongan lain
• Infeksiintra uterine
• Kadang-kadang karena defisiensi enzim G-6-PD
2. Ikterus yang timbul 24-72 jam sesudah lahir
• Biasanya ikterus fisiologis
• Masih ada kemungkinan inkompatibilitas darah Rh, ABO atau golongan lain
• Defisiensi enzim G-6-PD atau enzim eritrosit lain juga masih mungkin.
• Policitemia
• Hemolisis perdarahan tertutup *(perdarahan subaponerosis,perdarahan hepar, sub capsula dll)
3. Iktersua yang timbul sesudah 72 jam pertama sampai akhir minggu pertama
• Sepsis
• Dehidrasi dan asidosis Defisiensi G-6-PD
• Pegaruh obat-obatan
• Sindroma Criggler-Najjar , sindroma Gilbert
4. Ikterus yang timbul pada akhir minggu pertama dan selanjutnya
• Ikterus obtruktive
• Hipotiroidisme
• Breast milk jaundice
• Infeksi
• Hepatitis neonatal
• Galaktosemia
B. PATOFISIOLOGI
Bilirubin pada neonatus meningkat akibat terjadinya pemecahan eritrosit. Bilirubin mulai meningkat secara normal setelah 24 jam, dan puncaknya pada hari ke 3-5. Setelah itu perlahan-lahan akan menurun mendekati nilai normal dalam beberapa minggu.
1. Ikterus fisiologis
Secara umum, setiap neonatus mengalami peningkatan konsentrasi bilirubin serum, namun kurang 12 mg/dL pada hari ketiga hidupnya dipertimbangkan sebagai ikterus fisiologis. Pola ikterus fisiologis pada bayi baru lahir sebagai berikut: kadar bilirubin serum total biasanya mencapai puncak pada hari ke 3-5 kehidupan dengan kadar 5-6 mg/dL, kemudian menurun kembali dalam minggu pertama setelah lahir. Kadang dapat muncul peningkatan kadar bilirubin sampai 12 mg/dL dengan bilirubin terkonyugasi < 2 mg/dL.1
Pola ikterus fisiologis ini bervariasi sesuai prematuritas, ras, dan faktor-faktor lain. Sebagai contoh, bayi prematur akan memiliki puncak bilirubin maksimum yang lebih tinggi pada hari ke-6 kehidupan dan berlangsung lebih lama, kadang sampai beberapa minggu. Bayi ras Cina cenderung untuk memiliki kadar puncak bilirubin maksimum pada hari ke-4 dan 5 setelah lahir. Faktor yang berperan pada munculnya ikterus fisiologis pada bayi baru lahir meliputi peningkatan bilirubin karena polisitemia relatif, pemendekan masa hidup eritrosit (pada bayi 80 hari dibandingkan dewasa 120 hari), proses ambilan dan konyugasi di hepar yang belum matur dan peningkatan sirkulasi enterohepatik.
Penelitian di RSCM Jakarta
menunjukkan bahwa dianggap hiperbilirubinemia bila:
1. Ikterus terjadi pada 24
jam pertama
2. Peningkatan konsentrasi
bilirubin darah lebih dari 5 mg% atau lebih setiap 24 jam
3. Konsentrasi bilirubin
darah 10 mg% pada neonatus (bayi baru lahir) kurang bulan, dan 12,5 mg% pada
neonatus cukup bulan
4. Ikterus yang disertai
proses hemolisis (pemecahan darah yang berlebihan) pada inkompatibilitas darah
(darah ibu berlawanan rhesus dengan bayinya), kekurangan enzim G-6-PD, dan
sepsis)
5. Ikterus yang disertai
dengan keadaan-keadaan sebagai berikut:
§ Berat lahir kurang dari 2
kg
§ Masa kehamilan kurang dari
36 minggu
§ Asfiksia, hipoksia
(kekurangan oksigen), sindrom gangguan pernafasan
§ Infeksi
§ Trauma lahir pada kepala
§ Hipoglikemi (kadar gula
terlalu rendah), hipercarbia (kelebihan carbondioksida)
Yang sangat berbahaya pada
ikterus ini adalah keadaan yang disebut “Kernikterus”. Kernikterus adalah
suatu kerusakan otak akibat perlengketan bilirubin indirek pada otak. Gejalanyaantara
lain: mata yang berputar, kesadaran menurun, tak mau minum atau menghisap,
ketegangan otot, leher kaku, dan akhirnya kejang, Pada umur yang lebih lanjut,
bila bayi ini bertahan hidup dapat terjadi spasme (kekakuan) otot, kejang,
tuli, gangguan bicara dan keterbelakangan mental.
Gejala dan tanda klinis
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi
* Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
2. Pucat
* Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
3. Trauma lahir
* Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah)
* Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit)
* Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
* Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
* Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
1. Dehidrasi
* Asupan kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
2. Pucat
* Sering berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
3. Trauma lahir
* Bruising, sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
4. Pletorik (penumpukan darah)
* Polisitemia, yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
5. Letargik dan gejala sepsis lainnya
6. Petekiae (bintik merah di kulit)
* Sering dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
7. Mikrosefali (ukuran kepala lebih kecil dari normal)
* Sering berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
8. Hepatosplenomegali (pembesaran hati dan limpa)
9. Omfalitis (peradangan umbilikus)
10. Hipotiroidisme (defisiensi aktivitas tiroid)
11. Massa abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
12. Feses dempul disertai urin warna coklat
* Pikirkan ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian hepatologi.
Gejala utamanya adalah kuning di kulit, konjungtiva dan
mukosa. Disamping itu dapat pula disertai dengan gejala-gejala:
- Dehidrasi
- Asupan
kalori tidak adekuat (misalnya: kurang minum, muntah-muntah)
- Pucat
- Sering
berkaitan dengan anemia hemolitik (mis. Ketidakcocokan golongan darah
ABO, rhesus, defisiensi G6PD) atau kehilangan darah ekstravaskular.
- Trauma
lahir
- Bruising,
sefalhematom (peradarahn kepala), perdarahan tertutup lainnya.
- Pletorik
(penumpukan darah)
- Polisitemia,
yang dapat disebabkan oleh keterlambatan memotong tali pusat, bayi KMK
- Letargik
dan gejala sepsis lainnya
- Petekiae
(bintik merah di kulit)
- Sering
dikaitkan dengan infeksi congenital, sepsis atau eritroblastosis
- Mikrosefali
(ukuran kepala lebih kecil dari normal)
- Sering
berkaitan dengan anemia hemolitik, infeksi kongenital, penyakit hati
- Hepatosplenomegali
(pembesaran hati dan limpa)
- Omfalitis
(peradangan umbilikus)
- Hipotiroidisme
(defisiensi aktivitas tiroid)
- Massa
abdominal kanan (sering berkaitan dengan duktus koledokus)
- Feses
dempul disertai urin warna coklat
- Pikirkan
ke arah ikterus obstruktif, selanjutnya konsultasikan ke bagian
hepatologi.
Manifestasi ikterus
Jaundice merupakan manifestasi yang sering pada gangguan
traktus biliaris, dan evaluasi serta manajemen pasien jaundice merupakan permasalahan
yang sering dihadapi oleh ahli bedah. Serum bilirubin normal berkisar antara
0,5 – 1,3 mg/dL; ketika levelnya meluas menjadi 2,0 mg/dL, pewarnaan jaringan
bilirubin menjadi terlihat secara klinis sebagai jaundice. Sebagai tambahan,
adanya bilirubin terkonjugasi pada urin merupakan satu dari perubahan awal yang
terlihat pada tubuh pasien. (2)
Bilirubin merupakan produk pemecahan hemoglobin normal yang
dihasilkan dari sel darah merah tua oleh sistem retikuloendotelial. Bilirubin
tak terkonjugasi yang tidak larut ditransportasikan ke hati terikat dengan
albumin. Bilirubin ditransportasikan melewati membran sinusoid hepatosit
kedalam sitoplasma. Enzim uridine diphosphate–glucuronyl transferase mengkonjugasikan
bilirubin tak-terkonjugasi yang tidak larut dengan asam glukoronat untuk
membentuk bentuk terkonjugasi yang larut-air, bilirubin monoglucuronide dan
bilirubin diglucuronide. Bilirubin terkonjugasi kemudian secara aktif
disekresikan kedalam kanalikulus empedu. Pada ileum terminal dan kolon, bilirubin
dirubah menjadi urobilinogen, 10-20% direabsorbsi kedalam sirkulasi portal.
Urobilinogen ini diekskresikan kembali kedalam empedu atau diekskresikan oleh
ginjal didalam urin.
ANATOMI SISTEM HEPATOBILIER
Pengetahuan yang akurat akan anatomi hati dan traktus
biliaris, dan hubungannya dengan pembuluh darah penting untuk kinerja
pembedahan hepatobilier karena biasanya terdapat variasi anatomi yang luas.
Deskripsi anatomi klasik pada traktus biliaris hanya muncul pada 58% populasi. (4)
Hepar, kandung empedu, dan percabangan bilier muncul dari
tunas ventral (divertikulum hepatikum) dari bagian paling kaudal foregut diawal
minggu keempat kehidupan. Bagian ini terbagi menjadi dua bagian sebagaimana
bagian tersebut tumbuh diantara lapisan mesenterik ventral: bagian kranial
lebih besar (pars hepatika) merupakan asal mula hati/hepar, dan bagian kaudal
yang lebih kecil (pars sistika) meluas membentuk kandung empedu, tangkainya
menjadi duktus sistikus. Hubungan awal antara divertikulum hepatikum dan
penyempitan foregut, nantinya membentuk duktus biliaris. Sebagai
akibat perubahan posisi duodenum, jalan masuk duktus biliaris berada disekitar
aspek dorsal duodenum. (4)
Sistem biliaris secara luas dibagi menjadi dua komponen,
jalur intra-hepatik dan ekstra-hepatik. Unit sekresi hati (hepatosit dan sel
epitel bilier, termasuk kelenjar peribilier), kanalikuli empedu, duktulus empedu
(kanal Hearing), dan duktus biliaris intrahepatik membentuk saluran
intrahepatik dimana duktus biliaris ekstrahepatik (kanan dan kiri), duktus
hepatikus komunis, duktus sistikus, kandung empedu, dan duktus biliaris komunis
merupakan komponen ekstrahepatik percabangan biliaris. (4)
Duktus sistikus dan hepatikus komunis bergabung membentuk
duktus biliaris. Duktus biliaris komunis kira-kira panjangnya 8-10 cm dan
diameter 0,4-0,8 cm. Duktus biliaris dapat dibagi menjadi tiga segmen anatomi:
supraduodenal, retroduodenal, dan intrapankreatik. Duktus biliaris komunis
kemudian memasuki dinding medial duodenum, mengalir secara tangensial melalui
lapisan submukosa 1-2 cm, dan memotong papila mayor pada bagian kedua duodenum.
Bagian distal duktus dikelilingi oleh otot polos yang membentuk sfingter Oddi.
Duktus biliaris komunis dapat masuk ke duodenum secara langsung (25%) atau
bergabung bersama duktus pankreatikus (75%) untuk membentuk kanal biasa, yang
disebut ampula Vater. (4)
Traktus biliaris dialiri vaskular kompleks pembuluh darah
disebut pleksus vaskular peribilier. Pembuluh aferen pleksus ini berasal dari
cabang arteri hepatika, dan pleksus ini mengalir kedalam sistem vena porta atau
langsung kedalam sinusoid hepatikum. (4)
METABOLISME NORMAL BILIRUBIN
Bilirubin berasal dari hasil pemecahan hemoglobin oleh sel
retikuloendotelial, cincin heme setelah dibebaskan dari besi dan globin diubah
menjadi biliverdin yang berwarna hijau. Biliverdin berubah menjadi bilirubin
yang berwarna kuning. Bilirubin ini dikombinasikan dengan albumin membentuk
kompleks protein-pigmen dan ditransportasikan ke dalam sel hati. Bentuk
bilirubin ini sebagai bilirubin yang belum dikonjugasi atau bilirubin indirek
berdasar reaksi diazo dari Van den Berg, tidak larut dalam air dan tidak dikeluarkan
melalui urin. Didalam sel inti hati albumin dipisahkan, bilirubin
dikonjugasikan dengan asam glukoronik yang larut dalam air dan dikeluarkan ke
saluran empedu. Pada reaksi diazo Van den Berg memberikan reaksi langsung
sehingga disebut bilirubin direk. (5)
Bilirubin indirek yang berlebihan akibat pemecahan sel darah
merah yang terlalu banyak, kekurangmampuan sel hati untuk melakukan konjugasi
akibat penyakit hati, terjadinya refluks bilirubin direk dari saluran empedu ke
dalam darah karena adanya hambatan aliran empedu menyebabkan tingginya kadar
bilirubin didalam darah. Keadaan ini disebut hiperbilirubinemia dengan
manifestasi klinis berupa ikterus.
KLASIFIKASI
Gambar 3 berisi daftar skema bagi klasifikasi umum jaundice:
pre-hepatik, hepatik dan post-hepatik. Jaundice obstruktif selalu ditunjuk
sebagai post-hepatik sejak defeknya terletak pada jalur metabolisme bilirubin
melewati hepatosit. Bentuk lain jaundice ditunjuk sebagai jaundice
non-obstruktif. Bentuk ini akibat defek hepatosit (jaundice hepatik) atau
sebuah kondisi pre-hepatik.
Gejala kuning pada yang dikenal sebagai ikterus dibagi 3
golongan berdasarkan penyebab kuningnya tersebut. (1) Ikterus hemolitik,
ikterus yang timbul karena meningkatnya penghancuran sel darah merah. Misal
pada keadaan infeksi (sepsis), ketidak cocokan gol darah ibu dengan golongan
darah bayi, bayi yang baru lahir (ikterus fisiologik) dsb. (2) Ikterus
parenkimatosa, ikterus yang terjadi akibat kerusakan atau peradangan
jaringan hati, misal pada penyakit hepatitis. (3) Ikterus obstruktif,
ikterus yang timbul akibat adanya bendungan yang mengganggu aliran empedu.
Misal pada tumor, kelainan bawaan (atresia bilier), batu pada kandung empedu
dsb.
Hiperbilirubinemia sendiri dikelompokkan dalam dua bentuk
berdasarkan penyebabnya yaitu hiperbilirubinemia retensi yang
disebabkan oleh produksi yang berlebih (bilirubin indirek meningkat) dan hiperbilirubinemia
regurgitasi yang disebabkan refluks bilirubin kedalam darah
karena adanya obstruksi bilier (bilirubin direknya juga meningkat dan produksi
sterkobilinogen menurun).
Hiperbilirubinemia retensi dapat terjadi pada
kasus-kasus haemolisis berat dan gangguan konjugasi. Hati mempunyai kapasitas
mengkonjugasikan dan mengekskresikan lebih dari 3000 mg bilirubin perharinya
sedangkan produksi normal bilirubin hanya 300 mg perhari. Hal ini menunjukkan
kapasitas hati yang sangat besar dimana bila pemecahan heme meningkat, hati
masih akan mampu meningkatkan konjugasi dan ekskresi bilirubin larut. Akan
tetapi lisisnya eritrosit secara massive misalnya anemia hemolitik pada
kasus sickle cell anemia ataupun malaria akan menyebabkan produksi bilirubin
lebih cepat dari kemampuan hati mengkonjugasinya sehingga akan terdapat
peningkatan bilirubin tak larut didalam darah (indirek). Peninggian kadar
bilirubin tak larut dalam darah tidak terdeteksi didalam urine sehingga disebut
juga dengan ikterus acholuria. Pada neonatus terutama yang lahir
premature peningkatan bilirubin tak larut terjadi biasanya fisiologis dan
sementara, dikarenakan haemolisis cepat dalam proses penggantian hemoglobin
fetal ke hemoglobin dewasa dan juga oleh karena hepar belum matur, dimana
aktivitas glukoronosiltransferase masih rendah. Jika ada dugaan ikterus
hemolitik perlu dipastikan dengan pemeriksaan kadar bilirubin total, bilirubin
indirek, darah rutin, serologi virus hepatitis.
Apabila peningkatan bilirubin tak larut ini melampaui
kemampuan albumin mengikat kuat, bilirubin akan berdiffusi ke basal ganglia
pada otak dan menyebabkan ensephalopaty toksik yang disebut sebagai kern
ikterus (ikterus neonatorum pathologis yang ditandai peningkatan
bilirubin direk dan pemecahan eritrosit). Beberapa kelainan penyebab
hiperbilirubinemia retensi diantaranya seperti Syndroma Crigler Najjar I
yang merupakan gangguan konjugasi karena glukoronil transferase tidak aktif,
diturunkan secara autosomal resesif, merupakan kasus yang jarang, dimana
didapati konsentrasi bilirubin mencapai lebih dari 20 mg/dl. Syndroma Crigler
Najjar II, merupakan kasus yang lebih ringan dari tipe I, karena kerusakan pada
isoform glukoronil transferase II, didapati bilirubin monoglukoronida terdapat
dalam getah empedu. Syndroma Gilbert, terjadi karena haemolisis
bersama dengan penurunan uptake bilirubin oleh hepatosit dan penurunan
aktivitas enzym konjugasi dan diturunkan secara autosomal dominan.
Hiperbilirubinemia regurgitasi paling sering
terjadi karena terdapatnya obstruksi saluran empedu, misalnya
karena tumor caput pankreas (ditandai Couvisier’s Law), batu, proses peradangan
dan sikatrik. Sumbatan pada duktus hepatikus dan duktus koledokus akan
menghalangi masuknya bilirubin keusus dan peninggian konsentrasinya pada hati
menyebabkan refluks bilirubin larut ke vena hepatika dan pembuluh limfe.
Bentuknya yang larut menyebabkan bilirubin ini dapat terdeteksi dalam urine dan
disebut sebagai ikterus choluria. Karena terjadinya akibat sumbatan
pada saluran empedu disebut juga sebagai ikterus kolestatik. Pada
kasus ini didapatkan peningkatan bilirubin direk, bilirubin indirek, zat yang
larut dalam empedu serta batu empedu. Jadi pada ikterus obstruktif ini perlu
dibuktikan dengan pemeriksaan kadar bilirubin serum, bilirubin urin, urobilin
urin, USG, alkali fosfatase.
Beberapa kelainan lain yang menyebabkan hiperbilirubinemia
regurgitasi adalah Syndroma Dubin Johnson, diturunkan secara
autosomal resesif, terjadi karena adanya defek pada sekresi bilirubin
terkonjugasi dan estrogen ke sistem empedu yang penyebab pastinya belum
diketahui. Syndroma Rotor, terjadi karena adanya defek pada
transport anion an organik termasuk bilirubin, dengan gambaran histologi hati
normal, penyebab pastinya juga belum dapat diketahui.
Hiperbilirubinemia toksik adalah gangguan fungsi
hati karena toksin seperti chloroform, arsfenamin, asetaminofen, carbon
tetrachlorida, virus, jamur dan juga akibat cirhosis. Kelainan ini sering
terjadi bersama dengan terdapatnya obstruksi. Gangguan konjugasi muncul besama
dengan gangguan ekskresi bilirubin dan menyebabkan peningkatan kedua jenis
bilirubin baik yang larut maupun yang tidak larut. Terapi phenobarbital dapat
menginduksi proses konjugasi dan ekskresi bilirubin dan menjadi preparat yang
menolong pada kasus ikterik neonatus tapi tidak pada sindroma Crigler najjar.
E. Penegakan Diagnosis
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
1. Visual
Metode visual memiliki angka kesalahan yang tinggi, namun masih dapat digunakan apabila tidak ada alat. Pemeriksaan ini sulit diterapkan pada neonatus kulit berwarna, karena besarnya bias penilaian. Secara evidence pemeriksaan metode visual tidak direkomendasikan, namun apabila terdapat keterbatasan alat masih boleh digunakan untuk tujuan skrining dan bayi dengan skrining positif segera dirujuk untuk diagnostik dan tata laksana lebih lanjut.
WHO dalam panduannya menerangkan cara menentukan ikterus secara visual, sebagai berikut:
- Pemeriksaan
dilakukan dengan pencahayaan yang cukup (di siang hari dengan cahaya
matahari) karena ikterus bisa terlihat lebih parah bila dilihat dengan
pencahayaan buatan dan bisa tidak terlihat pada pencahayaan yang kurang.
- Tekan
kulit bayi dengan lembut dengan jari untuk mengetahui warna di bawah kulit
dan jaringan subkutan.
- Tentukan
keparahan ikterus berdasarkan umur bayi dan bagian tubuh yang tampak
kuning. (tabel 1)
2. Bilirubin Serum
Pemeriksaan bilirubin serum merupakan baku emas penegakan diagnosis ikterus neonatorum serta untuk menentukan perlunya intervensi lebih lanjut. Beberapa hal yang perlu dipertimbangkan dalam pelaksanaan pemeriksaan serum bilirubin adalah tindakan ini merupakan tindakan invasif yang dianggap dapat meningkatkan morbiditas neonatus. Umumnya yang diperiksa adalah bilirubin total. Sampel serum harus dilindungi dari cahaya (dengan aluminium foil)
Beberapa senter menyarankan pemeriksaan bilirubin direk, bila kadar bilirubin total > 20 mg/dL atau usia bayi > 2 minggu.
3. Bilirubinometer Transkutan
Bilirubinometer adalah instrumen spektrofotometrik yang bekerja dengan prinsip memanfaatkan bilirubin yang menyerap cahaya dengan panjang gelombang 450 nm. Cahaya yang dipantulkan merupakan representasi warna kulit neonatus yang sedang diperiksa.
Pemeriksaan bilirubin transkutan (TcB) dahulu menggunakan alat yang amat dipengaruhi pigmen kulit. Saat ini, alat yang dipakai menggunakan multiwavelength spectral reflectance yang tidak terpengaruh pigmen. Pemeriksaan bilirubin transkutan dilakukan untuk tujuan skrining, bukan untuk diagnosis.
Briscoe dkk. (2002) melakukan sebuah studi observasional prospektif untuk mengetahui akurasi pemeriksaan bilirubin transkutan (JM 102) dibandingkan dengan pemeriksaan bilirubin serum (metode standar diazo). Penelitian ini dilakukan di Inggris, melibatkan 303 bayi baru lahir dengan usia gestasi >34 minggu. Pada penelitian ini hiperbilirubinemia dibatasi pada konsentrasi bilirubin serum >14.4 mg/dL (249 umol/l). Dari penelitian ini didapatkan bahwa pemeriksaan TcB dan Total Serum Bilirubin (TSB) memiliki korelasi yang bermakna (n=303, r=0.76, p<0.0001), namun interval prediksi cukup besar, sehingga TcB tidak dapat digunakan untuk mengukur TSB. Namun disebutkan pula bahwa hasil pemeriksaan TcB dapat digunakan untuk menentukan perlu tidaknya dilakukan pemeriksaan TSB.
Umumnya pemeriksaan TcB dilakukan sebelum bayi pulang untuk tujuan skrining. Hasil analisis biaya yang dilakukan oleh Suresh dkk. (2004) menyatakan bahwa pemeriksaan bilirubin serum ataupun transkutan secara rutin sebagai tindakan skrining sebelum bayi dipulangkan tidak efektif dari segi biaya dalam mencegah terjadinya ensefalopati hiperbilirubin.
4. Pemeriksaan bilirubin bebas dan CO
Bilirubin bebas secara difusi dapat melewati sawar darah otak. Hal ini menerangkan mengapa ensefalopati bilirubin dapat terjadi pada konsentrasi bilirubin serum yang rendah.
Beberapa metode digunakan untuk mencoba mengukur kadar bilirubin bebas. Salah satunya dengan metode oksidase-peroksidase. Prinsip cara ini berdasarkan kecepatan reaksi oksidasi peroksidasi terhadap bilirubin. Bilirubin menjadi substansi tidak berwarna. Dengan pendekatan bilirubin bebas, tata laksana ikterus neonatorum akan lebih terarah.
Seperti telah diketahui bahwa pada pemecahan heme dihasilkan bilirubin dan gas CO dalam jumlah yang ekuivalen. Berdasarkan hal ini, maka pengukuran konsentrasi CO yang dikeluarkan melalui pernapasan dapat digunakan sebagai indeks produksi bilirubin.
Tabel 1. Perkiraan Klinis Tingkat Keparahan Ikterus
Usia
|
Kuning terlihat pada
|
Tingkat keparahan ikterus
|
Hari 1
Hari 2
Hari 3
|
Bagian tubuh manapun
Tengan dan tungkai *
Tangan dan kaki
|
Berat
|
* Bila kuning terlihat pada bagian tubuh manapun pada hari
pertama dan terlihat pada lengan, tungkai, tangan dan kaki pada hari kedua,
maka digolongkan sebagai ikterus sangat berat dan memerlukan terapi sinar
secepatnya. Tidak perlu menunggu hasil pemeriksaan kadar bilirubin serum untuk
memulai terapi sinar.
DIAGNOSIS
Langkah pertama pendekatan diagnosis pasien dengan ikterus
ialah melalui anamnesis, pemeriksaan fisik yang teliti serta pemeriksaan faal
hati. (5)
Anamnesis ditujukan pada riwayat timbulnya ikterus, warna
urin dan feses, rasa gatal, keluhan saluran cerna, nyeri perut, nafsu makan
berkurang, pekerjaan, adanya kontak dengan pasien ikterus lain, alkoholisme,
riwayat transfusi, obat-obatan, suntikan atau tindakan pembedahan. (5)
Diagnosa banding jaundice sejalan dengan metabolisme
bilirubin (Tabel 1). Penyakit yang menyebabkan jaundice dapat dibagi menjadi
penyakit yang menyebabkan jaundice ‘medis’ seperti peningkatan produksi,
menurunnya transpor atau konjugasi hepatosit, atau kegagalan ekskresi
bilirubin; dan ada penyakit yang menyebabkan jaundice ‘surgical’ melalui
kegagalan transpor bilirubin kedalam usus. Penyebab umum meningkatnya produksi
bilirubin termasuk anemia hemolitik, penyebab dapatan hemolisis termasuk
sepsis, luka bakar, dan reaksi transfusi. Ambilan dan konjugasi bilirubin dapat
dipengaruhi oleh obat-obatan, sepsis dan akibat hepatitis virus. Kegagalan
ekskresi bilirubin menyebabkan kolestasis intrahepatik dan hiperbilirubinemia terkonjugasi.
Penyebab umum kegagalan ekskresi termasuk hepatitis viral atau alkoholik,
sirosis, kolestasis induksi-obat. Obstruksi bilier ekstrahepatik dapat
disebabkan oleh beragam gangguan termasuk koledokolitiasis, striktur bilier
benigna, kanker periampular, kolangiokarsinoma, atau kolangitis sklerosing
primer. (2) Ketika mendiagnosa jaundice, dokter harus
mampu membedakan antara kerusakan pada ambilan bilirubin, konjugasi, atau
ekskresi yang biasanya diatur secara medis dari obstruksi bilier ekstrahepatik,
yang biasanya ditangani oleh ahli bedah, ahli radiologi intervensional, atau
ahli endoskopi. Pada kebanyakan kasus, anamnesis menyeluruh, pemeriksaan fisik,
tes laboratorium rutin dan pencitraan radiologis non-invasif membedakan
obstruksi bilier ekstrahepatik dari penyebab jaundice lainnya. Kolelitiasis
selalu berhubungan dengan nyeri kuadran atas kanan dan gangguan pencernaan.
Jaundice dari batu duktus biliaris umum
biasanya sementara dan berhubungan dengan nyeri dan demam
(kolangitis). Serangan jaundice tak-nyeri bertingkat sehubungan dengan
hilangnya berat badan diduga sebuah keganasan/malignansi. Jika jaundice terjadi
setelah kolesistektomi, batu kandung empedu menetap atau cedera kandung empedu
harus diperkirakan. (2)
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan fisik meliputi perabaan hati, kandung empedu,
limpa, mencari tanda-tanda stigmata sirosis hepatis, seperti spider naevi,
eritema palmaris, bekas garukan di kulit karena pruritus, tanda-tanda asites.
Anemi dan limpa yang membesar dapat dijumpai pada pasien dengan anemia hemolitik.
Kandung empedu yang membesar menunjukkan adanya sumbatan pada saluran empedu
bagian distal yang lebih sering disebabkan oleh tumor (dikenal hukum
Courvoisier). (5)
Hukum Courvoisier
“Kandung empedu yang teraba pada ikterus tidak mungkin
disebabkan oleh batu kandung empedu”. Hal ini biasanya menunjukkan adanya
striktur neoplastik tumor (tumor pankreas, ampula, duodenum, CBD), striktur
pankreatitis kronis, atau limfadenopati portal. (3)
Pemeriksaan Laboratorium
Tes laboratorium harus dilakukan pada semua pasien jaundice
termasuk serum bilirubin direk dan indirek, alkali fosfatase, transaminase,
amilase, dan hitung sel darah lengkap. Hiperbilirubinemia (indirek) tak
terkonjugasi terjadi ketika ada peningkatan produksi bilirubin atau menurunnya
ambilan dan konjugasi hepatosit. Kegagalan pada ekskresi bilirubin (kolestasis
intrahepatik) atau obstruksi bilier ekstrahepatik menyebabkan
hiperbilirubinemia (direk) terkonjugasi mendominasi. Elevasi tertinggi pada
bilirubin serum biasanya ditemukan pada pasien dengan obstruksi maligna, pada
mereka yang levelnya meluas sampai 15 mg/dL yang diamati. Batu kandung empedu
umumnya biasanya berhubungan dengan peningkatan lebih menengah pada bilirubin
serum (4 – 8 mg/dL). Alkali fosfatase merupakan penanda yang lebih sensitif
pada obstruksi bilier dan mungkin meningkat terlebih dahulu pada pasien dengan
obstruksi bilier parsial. (2)
Pemeriksaan faal hati dapat menentukan apakah ikterus yang
timbul disebabkan oleh gangguan pada sel-sell hati atau disebabkan adanya
hambatan pada saluran empedu. Bilirubin direk meningkat lebih tinggi dari
bilirubin indirek lebih mungkin disebabkan oleh sumbatan saluran empedu
dibanding bila bilirubin indirek yang jelas meningkat. Pada keadaan normal bilirubin
tidak dijumpai di dalam urin. Bilirubin indirek tidak dapat diekskresikan
melalui ginjal sedangkan bilirubin yang telah dikonjugasikan dapat keluar
melalui urin. Karena itu adanya bilirubin lebih mungkin disebabkan akibat
hambatan aliran empedu daripada kerusakan sel-sel hati. Pemeriksaan feses yang
menunjukkan adanya perubahan warna feses menjadi akolis menunjukkan
terhambatnya aliran empedu masuk ke dalam lumen usus (pigmen tidak dapat
mencapai usus). (2)
Pemeriksaan Penunjang
USG
Pemeriksaan pencitraan pada masa kini dengan sonografi
sangat membantu dalam menegakkan diagnosis dan dianjurkan merupakan pemeriksaan
penunjang pencitraan yang pertama dilakukan sebelum pemeriksaan pencitraan
lainnya. Dengan sonografi dapat ditentukan kelainan parenkim hati, duktus yang
melebar, adanya batu atau massa tumor. Ketepatan diagnosis pemeriksaan
sonografi pada sistem hepatobilier untuk deteksi batu empedu, pembesaran
kandung empedu, pelebaran saluran empedu dan massa tumor tinggi sekali. Tidak
ditemukannya tanda-tanda pelebaran saluran empedu dapat diperkirakan penyebab
ikterus bukan oleh sumbatan saluran empedu, sedangkan pelebaran saluran empedu
memperkuat diagnosis ikterus obstruktif.(2)
Keuntungan lain yang diperoleh pada penggunaan sonografi
ialah sekaligus kita dapat menilai kelainan organ yang berdekatan dengan sistem
hepatobilier antara lain pankreas dan ginjal. Aman dan tidak invasif merupakan
keuntungan lain dari sonografi. (2)
Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan foto polos abdomen kurang memberi manfaat karena
sebagian besar batu empedu radiolusen. Kolesistografi tidak dapat digunakan
pada pasien ikterus karena zat kontras tidak diekskresikan oleh sel hati yang
sakit. (5)
Pemeriksaan endoskopi yang banyak manfaat diagnostiknya saat
ini adalah pemeriksaan ERCP (Endoscopic Retrograde Cholangio Pancre
atography). Dengan bantuan endoskopi melalui muara papila Vater kontras
dimasukkan kedalam saluran empedu dan saluran pankreas. Keuntungan lain pada
pemeriksaan ini ialah sekaligus dapat menilai apakah ada kelainan pada muara
papila Vater, tumor misalnya atau adanya penyempitan. Keterbatasan yang mungkin
timbul pada pemeriksaan ini ialah bila muara papila tidak dapat dimasuki kanul. (5)
Adanya sumbatan di saluran empedu bagian distal, gambaran
saluran proksimalnya dapat divisualisasikan dengan pemeriksaan Percutaneus
Transhepatic Cholangiography (PTC). Pemeriksaan ini dilakukan dengan
penyuntikan kontras melalui jarum yang ditusukkan ke arah hilus hati dan sisi
kanan pasien. Kontras disuntikkan bila ujung jarum sudah diyakini berada di
dalam saluran empedu. Computed Tomography (CT) adalah pemeriksaan radiologi
yang dapat memperlihatkan serial irisan-irisan hati. Adanya kelainan hati dapat
diperlihatkan lokasinya dengan tepat. (5)
Untuk diagnosis kelainan primer dari hati dan kepastian
adanya keganasan dilakukan biopsi jarum untuk pemeriksaan histopatologi. Biopsi
jarum tidak dianjurkan bila ada tanda-tanda obstruksi saluran empedu karena
dapat menimbulkan penyulit kebocoran saluran empedu.
PENATALAKSANAAN
1. Pencegahan
Hiperbilirubin dapat dicegah dan dihentikan peningkatannta dengan cara :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfa furazole, oksitosin, dsb.
c. Pencegahan pengobatan hipoksin dapa janin dan neonatus
d . Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
e. Pemberian makanan yang dini
f. Pencegahan infeksi
2. Penanganan
a. Foto terapi
Fototerapi; dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis yang berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Cahaya menyebabkan reaksi foto kimia dalam kulit yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi kedalam fotobilirubin, yang dieksresikan dalam hati kemudian ke empedu. Produk akhir adalah reversibel dan dieksresikan ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi.
• Mekanisme : menimbulkan dekomposisi bilirubin, kadar bilirubin dipecah sehingga mudah larut dalam air dan tidak toksik, yang dikeluarkan melalui urine (urobilinogen) dan feses (sterkobilin).
• Terdiri dari 8-10 buah lampu yang tersusun pararel 160-200 watt, menggunakan cahaya Fluorescent (biru atau putih), lama penyinaran tidak lebih dari 100 jam.
• Jarak bayi dan lampu antara 40–50cm, posisi berbaring tanpa pakaian, daerah mata dan alat kelamin ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya (contoh : karbon), dan posisi bayi diubah setiap 1-6 jam.
• Dapat dilakukan pada sebelum atau sesudah transfusi tukar.
b. Fenobarbital
Fenobarbital : dapat mengeksresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil tranferase yang meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin.
c. Transfusi Tukar
• Tujuan : menurunkan kadar bilirubun dan mengganti darah yang terhemolisis.
• Indikasi : pada keadaan kadar bilirubin indirek ³ 20 mg/dL atau bila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi, kenaikan biirubin yang cepat yaitu 0,3 -1 mgz/jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, atau bayi dengan kadar Hb tali pusat 14 mgz dan uji coombs direk positif.
d. Antibiotik : diberikan bila terkait dengan adanya infeksi
1. Pencegahan
Hiperbilirubin dapat dicegah dan dihentikan peningkatannta dengan cara :
a. Pengawasan antenatal yang baik
b. Menghindari obat-obatan yang dapat meningkatkan ikterus pada masa kehamilan dan kelahiran, misalnya sulfa furazole, oksitosin, dsb.
c. Pencegahan pengobatan hipoksin dapa janin dan neonatus
d . Penggunaan fenobarbital pada ibu 1-2 hari sebelum partus
e. Pemberian makanan yang dini
f. Pencegahan infeksi
2. Penanganan
a. Foto terapi
Fototerapi; dilakukan apabila telah ditegakkan hiperbilirubin patologis yang berfungsi untuk menurunkan bilirubin dalam kulit melalui tinja dan urine dengan oksidasi foto pada bilirubin dari biliverdin. Cahaya menyebabkan reaksi foto kimia dalam kulit yang mengubah bilirubin tak terkonjugasi kedalam fotobilirubin, yang dieksresikan dalam hati kemudian ke empedu. Produk akhir adalah reversibel dan dieksresikan ke dalam empedu tanpa perlu konjugasi.
• Mekanisme : menimbulkan dekomposisi bilirubin, kadar bilirubin dipecah sehingga mudah larut dalam air dan tidak toksik, yang dikeluarkan melalui urine (urobilinogen) dan feses (sterkobilin).
• Terdiri dari 8-10 buah lampu yang tersusun pararel 160-200 watt, menggunakan cahaya Fluorescent (biru atau putih), lama penyinaran tidak lebih dari 100 jam.
• Jarak bayi dan lampu antara 40–50cm, posisi berbaring tanpa pakaian, daerah mata dan alat kelamin ditutup dengan bahan yang dapat memantulkan cahaya (contoh : karbon), dan posisi bayi diubah setiap 1-6 jam.
• Dapat dilakukan pada sebelum atau sesudah transfusi tukar.
b. Fenobarbital
Fenobarbital : dapat mengeksresi bilirubin dalam hati dan memperbesar konjugasi. Meningkatkan sintesis hepatik glukoronil tranferase yang meningkatkan bilirubin konjugasi dan clearance hepatik pada pigmen empedu, sintesis protein dimana dapat meningkatkan albumin untuk mengikat bilirubin.
c. Transfusi Tukar
• Tujuan : menurunkan kadar bilirubun dan mengganti darah yang terhemolisis.
• Indikasi : pada keadaan kadar bilirubin indirek ³ 20 mg/dL atau bila sudah tidak dapat ditangani dengan fototerapi, kenaikan biirubin yang cepat yaitu 0,3 -1 mgz/jam, anemia berat pada neonatus dengan gejala gagal jantung, atau bayi dengan kadar Hb tali pusat 14 mgz dan uji coombs direk positif.
d. Antibiotik : diberikan bila terkait dengan adanya infeksi
Pencegahan
- Segera menurunkan kadar bilirubin indirek.
- Penanganan bayi ikterus; fototerapi, kemoterapi,
transfusi tukar.
Bayi dengan kadar bilirubin tinggi diobati dengan
menggunakan fototerapi, bahkan dengan transfusi tukar. Kini terdapat obat baru
yaitu Stanate yang dalam ujicoba terbukti dapat memblokade
produksi bilirubin sehingga dapat mencegah kern ikterus, hingga sekarang obat
ini masih terus dikembangkan4.
Tanpa memandang etiologi, tujuan terapi adalah mencegah
kadar yang memungkinkan terjadinya neurotoksikosis, dianjurkan agar fototerapi,
dan jika tidak berhasil, transfusi tukar dilakukan untuk mempertahankan kadar
maksimum bilirubin total dalam serum di bawah kadar yang ditunjukkan pada tabel
1 (untuk preterm) dan tabel 2 (untuk bayi cukup bulan). Pada setiap bayi, resiko jejas bilirubin
terhadap sistem saraf pusat harus dipertimbangkan dengan resiko yang
ditimbulkan oleh pengobatan. Belum ada persetujuan yang umum mengenai kriteria
untuk memulai fototerapi. Karena fototerapi mungkin memerlukan 6-12 jam untuk
mempunyai pengaruh yang dapat diukur, maka fototerapi ini harus dimulai saat kadar
bilirubun masih berada di bawah kadar yang diindikasi untuk transfusi darah.
Bila teridentifikasi, penyebab dasar dasar ikterus harus diobati, misalnya
antibiotik untuk septikemia. Faktor-faktor fisiologis yag menambah resiko
cedera neurologis harus diobati juga (misalnya koreksi terhadap asidosis)2.
Fototerapi
biasanya dimulai pada 50-70 % dari kadar maksimum bilirubin indirek. Jika nilai
sangat melebihi kadar ini, jika fototerapi tidak berhasil mengurangi kadar
bilirubin maksimum, atau jika ada tanda-tanda kern ikterus, transfusi tukar
merupakan indikasi. Jadi jika ada tanda-tanda kern ikterus selama evaluasi atau
pengobatan, pada kadar bilirubin berapapun, maka transfusi tukar darurat harus
dilakukan2.
- Melakukan pemeriksaan kadar bilirubin pada semua bayi
baru lahir sebelum meninggalkan Rumah Sakit.
- Kontrol bayi baru lahir ke dokter dalam jangka waktu
24-48 jam setelah meninggalkan Rumah Sakit.
- Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang ikterus5.
Tabel 1.
Kadar
bilirubin serum indirek maksimum yang disarankan pada bayi preterm.
Berat
Badan Lahir (gram)
|
Tidak Ada
Komplikasi
(g/dL)
|
Ada
Komplikasi*
(g/dL)
|
<>
1000-1250
1251-1499
1500-1999
2000-2500
|
12-13
12-14
14-16
16-20
20-22
|
10-12
10-12
12-14
15-17
18-20
|
*Komplikasi
meliputi asfiksia perinatal, asidosis, hipoksia, hipotermia, hipoalbuminemia,
meningitis, PIV, hemolisis, hipoglikemia, atau tanda-tanda kern ikterus.
Tabel 2.
Srategi
pengobatan terhadap hiperbilirubinemia indirek pada bayi cukup bulan yang sehat
tanpa hemolisis.
Umur
(Jam)
|
Fototerapi
(g/dL)
|
Fototerapi
& Persiapan Transfusi Tukar*
(g/dL)
|
Transfusi
Tukar Jika Fototerapi Gagal
(g/dL)
|
<>
24-48
49-72
> 72
> 2
minggu
|
**
15-18
18-20
20
***
|
**
25
30
30
***
|
**
20
25
25
***
|
* Jika bilirubin awal yang terpresentasi tinggi, fototerapi
yang intensif harus dimulai dan persiapan untuk transfusi tukar dilakukan. Jika
fototerapi gagal mengurangi kadar bilirubuin sampai ke kadar yang tercatat pada
kolom sebelah kanan, mulailah transfusi tukar.
** Ikterus pada umur 24 jam tidak tampak pada bayi sehat.
*** Ikterus mendadak muncul pada umur 2 minggu atau
berlanjut sesudah umur 2 minggu dengan kadar hiperbilirubinemia yang berarti;
untuk membenarkan pemberian terapi maka harus diamati secara rinci, karena
ikterus ini paling mungkin disebabkan etiologi yang sudah ada seperti atresia
biliaris, galaktosemia, hipotyiroidisme, atau hepatitis neonatus.
- ReferensiAbdurachman
Sukadi, Ali Usman, Syarief Hidayat Efendi. 2002. Ikterus Neonatorum.
Perinatologi. Bandung. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS. 64-84.
- Behrman,
Kliegman, Jenson. 2004. Kernicteru. Textbook of Pediatrics.
New Yorkl. 17th edition. Saunders. 596-598.
- Garna
Herry, dkk. 2000. Ikterus Neonatorum. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu
Kesehatan Anak. Edisi kedua. Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.
97-103
Carlton
WW dan MD. McGavin. 1995. Thomson’s Special Veterinary Pathology.
Ed. 2. Mosby-Year Book, Inc.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar