Senin, 30 Desember 2013

ENGLISH SCENARIO BLOK 9



Apa yang dimaksud dengan nyeri epigastrium?
Nyeri epigastrium berhubungan dengan nyeri yang tajam dan terlokalisasi yang dirasakan oleh seseorang pada daerah tengah atas perut yang berada tepat di bawah tulang iga. Nyeri bisa dipicu oleh beberapa hal, misalnya nyeri yang berasal dari organ penyebab nyeri langsung ataupun sekunder dari organ lain.
Salah satu contoh nyeri epigastrium dan diduga terjadi pada skenario adalah rasa nyeri pada ulu hati dikarenakan oleh dispepsia. Pengertian dispepsia adalah sesuatu yang menggambarkan keluhan atau kumpulan gejala yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di epigastrium, mual, muntah, kembung, cepat kenyang, rasa perut penuh, sendawa, regurgitasi dan rasa panas yang menjalar di dada.
Penyebab nyeri epigastrium yang paling umum antara lain makan secara berlebihan, minum alkohol, atau mengkonsumsi makanan-makanan yang berminyak atau pedas. Nyeri epigastrium juga dapat disebabkan oleh penyakit saluran pencernaan seperti refluks asam lambung atau intoleransi laktosa. Hal ini dapat diakibatkan oleh isi lambung yang bergerak ke atas masuk ke bagian belakang tenggorokan, menyebabkan peradangan dan nyeri dengan sensasi terbakar.

Patofisiologi
Proses patofisiologis yang paling banyak dibicarakan dan potensial berhubungan dengan dispepsia fungsional adalah:
1.        hipersekresi asam lambung
2.        infeksi Helicobacter pylori
Helicobacter pylori adalah sejenis kuman yang terdapat dalam lambung dan berkaitan dengan keganasan lambung. Hal penting dari Helicobacter pylori adalah sifatnya menetap seumur hidup, selalu aktif dan dapat menular bila tidak dieradikasi. Helicobacter ini diyakini merusak mekanisme pertahanan penjamu (keadaan manusia yang sedemikian rupa sehingga menjadi faktor resiko untuk terjadinya penyakit) dan merusak jaringan. Helicobacter pylori dapat merangsang kelenjar mukosa lambung untuk lebih aktif menghasilkan gastrin sehingga terjadi hipergastrinemia.
3.             dismotilitas gastrointestinal (perlambatan pengosongan lambung dan adanya hopomotilitas antrum) --> Yaitu perlambatan dari masa pengosongan lambung dan gangguan motilitas lain. Pada berbagai studi dilaporkan dispepsia fungsional terjadi perlambatan pengosongan lambung dan hipomotilitas antrum hingga 50% kasus
4.          hipersensivitas viseral.
5.          penyakit lain juga dapat menyebabkan manifestasi dalam bentuk dispepsia, misalnya gangguan kardiak, penyakit tiroid, obat-obatan, dan sebagainya.1

Ulkus peptikum
Ulkus peptikum atau tukak peptikum adalah keadaan di mana terjadi defek pada mukosa ataupun submukosa yang berbatas tegas dapat menembus muskularis mukosa sampai lapisan serosa sehingga dapat terjadi perforasi.

Etiologi dan Patogenesis
Faktor yang paling sering menimbulkan gangguan ini adalah Helicobacter pylori, OAINS, asam lambung, pepsin dan faktor-faktor lingkungan serta kelainan pada faktor defensif.

-  Helicobacter pylori, adalah bakteri gram negatif yang hidup dalam suasana asam dalam lambung dan duodenum. Bakteri ini ditularkan secara feko-oral atau oral-oral. Pada bagian lambung bakteri ini banyak terdapat pada bagian antrum dan dapat masuk menembus celah antara dinding sel-sel epitel. Bakteri terlebih dahulu melekat di dinding lambung dengan bantuan adhesin sehingga dapat lebih efektif merusak mukosa dengan melepaskan zat yang sehingga terjadi gastritis akut yang dapat berlanjut menjadi gastritis kronik aktif atau duodenitis kronik aktif. Kelainan yang lebih berat yang dapat terjadi adalah tukak pada lambung dan duodenum. Keadaan ini ditentukan dari faktor virulensi bakteri dan host sendiri maupun fisiologis organ lambung/duodenum.
Apabila terjadi infeksi tubuh akan merespon dengan mengeluarkan sel-sel PMN maupun limfosit yang menginfiltrasi sel mukosa secara intensif dengan mengeluarkan bermacam-macam mediator atau sitokin, misalnya interleukin 8, gamma interferon alfa, TNF, dll. Proses ini juga melibatkan sistem imun yang akan menimbulkan kerusakan sel-sel epitel gastroduodenal yang lebih parah namun tidak berhasil mengeliminasi bakteri dan infeksi menjadi kronik. H. pylori juga mengeluarkan bermacam-macam enzim seperti urease, protease, lipase, dan fosfolipase. Vacuolating cytotoxin menyebabkan vakuolisasi sel-sel epitel, cytotoxin associated gen A merupakan petanda virulensi bakteri ini dan hampir selalu ditemukan pada tukak peptik.

Urease memecahkan urea dalam lambung menjadi amonia yang toksik terhadap sel-sel epitel. Protease dan fosfolipase A2 menekan sekresi mukus akibatnya daya tahan mukus menurun, dan merusak lapisan lipid pada apikal sel epitel. Asam lambung terus menerus berdifusi balik sehingga terjadi pengikisan yang juga terus terjadi di duodenum sehingga terbentuk tukak peptik.

H. pylori paling banyak terkumpul pada bagian antrum lambung sehingga merusak sel D yang menghasilkan hormon gastrin. Akibatnya terjadi pengeluaran berlebihan dari gastrin akibat somatostasin dari sel D yang rusak. Gastrin yang banyak ini akan merangsang sel parietal mengeluarkan asam lambung berlebihan dan masuk ke duodenum. Hal ini dapat menyebabkan duodenitis yang dapat berlanjut menjadi tukak duodenum. Asam lambung yang tinggi pada duodenum dapat mengalami metaplasia gastrik dan H. pylori juga dapat hidup di duodenum. Dengan seperti itu H. pylori dapat menyebabkan keasaman yang lebih lagi terjadi pada duodenum karena penekanan produksi mukus dan bikarbonat.

- Obat antiinflamasi non-steroid (OAINS) dan asam asetil salisilat (ASA) merupakan obat yang sering digunakan dalam berbagai mekanisme seperti anti piretik, anti inflamasi, analgetik, anti trombotik dan kemoprevensi kanker kolorektal.
Patogenesis terjadinya kerusakan mukosa terutama gastroduodenal pada penggunaan OAINS/ASA adalah akibat efek toksik atau iritasi langsung pada mukosa yang memerangkap OAINS/ASA yang bersifat asam sehingga terjadi kerusakan epitel. Kerja dari kedua obat ini adalah menghambat kerja enzim siklooksigenase (COX) pada asam arakidonat sehingga menekan produksi prostaglandin/prostasiklin.

Kerusakan mukosa akibat hambatan produksi prostaglandin melalui empat tahap, yaitu: menurunnya sekresi mukus dan bikarbonat, terganggunya sekresi asam dan proliferasi sel-sel mukosa, berkurangnya aliran darah mukosa dan kerusakan mikrovaskuler yang diperberat oleh kerja sama platelet dan mekanisme koagulasi.
Endotel vaskular akan terus menghasilkan vasodilator prostaglandin E dan I, yang apabila terjadi gangguan atau hambatan (COX-1) akan timbul vasokontriksi sehingga aliran darah menurun yang menyebabkan nekrosis epitel. Hambatan COX-2 menyebabkan peningkatan perlekatan leukosit PMN pada endotel vaskular gastroduodenal dan mesenterik, dimulai dengan pelepasan protease, radikal bebas oksigen sehingga memperberat kerusakan epitel dan endotel. Dan hal terakhir akan terjadi statis aliran mikrovaskular, iskemia, dan berakhir dengan kerusakan mukosa/tukak peptik.

Beberapa faktor risiko yang memudahkan terjadinya tukak peptik pada pemakaian OAINS adalah
·         Umur tua (> 60 tahun)
·         Riwayat tukak peptik sebelumnya
·         Dispepsia kronik
·         Intoleransi terhadap OAINS
·         Jenis, dosis dan lama penggunaan OAINS
·         Penggunaan bersamaan dengan kortikosteroid, antikoagulan, dan penggunaan 2 jenis OAINS bersamaan
·         Penyakit lain yang diderita orang pemakai OAINS

Faktor Lain
- Merokok, dapat menurunkan faktor pertahanan dan menciptakan miliu yang sesuai untuk H. pylori.
- Faktor stres, malnutrisi, makanan tinggi garam, defisiensi vitamin.
- Penyakit lain seperti sindrom Zollinger Elison, mastositosis sistemik, penyakit Chron dan hiperparatiroidisme.
- Faktor genetik.

PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK
1. Endoskopi (gastroskopi) dengan biopsi dan sitologi
2. Pemeriksaan dengan barium
3. Pemeriksaan radiologi pada abdomen
4. Analisis lambung
5. Pemeriksaan laboratorium kadar Hb, Ht, dan pepsinogen


Komplikasi
Komplikasi yang dapat timbul akibat ulkus peptikum ini adalah:
1. Perdarahan: hematemesis/melena dengan tanda syok apabila perdarahan masive dan      perdarahan tersembunyi yang kronik menyebabkan anemia defisiensi Fe.
2. Perforasi: nyeri perut menyeluruh sebagai tanda peritonitis.
3. Penetrasi tukak yang mengenai pankreas: timbul nyeri tiba-tiba tembus ke belakang.
4. Obstruksi outlet bila ditemukan gejala mual & muntah, perut kembung dan adanya        suara deburan sebagai tanda retensi cairan dan udara, dan berat badan menurun.
5. Keganasan dalam gaster dan duodenum (walaupun jarang terjadi).

PENATALAKSANAAN
1. Secara Medikamentosa
· Hindari rokok dan makanan yang menyebabkan nyeri
· Antasida untuk terapi simtomatik
· Bloker H2 (ranitidin, cimetidine)
· PPI (omeprazole)
· Bismuth koloidal
· Ampisilin atau tetrasiklin + metronidazole
(efektif melawan Helicobacter pylori)
· Re-endoskopi pasien dengan ulkus gaster setelah 6 minggu karena terdapat risiko keganasan.
2. Pembedahan
· Hanya diindikasikan untuk kegagalan terapi medikamentosa dan komplikasi.



Merupakan pemeriksaan non invasive gold standard untuk deteksi infeksi Helicobacter pylori. Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan sampel nafas dan didasarkan pada kemampuan Helicobacter pylori dalam mengeluarkan enzim urease yang dapat mengubah urea menjadi karbondioksida (CO2) dan amonia. Pemberian tablet urea dengan C pada pasien dengan infeksi Helicobacter pylori akan menghasilkan CO2 yang tinggi pada nafas yang dapat dideteksi dengan spektrofotometer inframerah UBiT-IR300 dengan cara mengukur rasio CO2 tersebut dibandingkan dengan baseline (sebelum diberikan tablet urea).

Pemeriksaan UBT dapat dilakukan pada orang dewasa maupun anak-anak, dengan tata cara pemeriksaan yang sama.
Persiapan yang harus dilakukan sebelum melakukan pemeriksaan UBT adalah sebagai berikut :
1. Berpuasa selama minimal 3 jam
2. Tidak boleh melakukan pemeriksaan dengan barium
3. Tidak boleh minum antibiotik dan sediaan bismuth atau sodium ecabet , sukralfat atau protom pump inhibitor 30 hari sebelum pemeriksaan.

Pemeriksaan diawali dengan pengumpulan udara pernafasan normal (baseline) ke dalam sebuah kantong, kemudian pasien diminta untuk meminum C-urea (urea berlabel). Setelah itu pasien diminta berbaring ke sisi kiri selama 5 menit sebelum melakukan pengambilan sampel nafas yang kedua. Perbedaan konsentrasi CO2 pada kedua sampel nafas tersebut diukur.

Kegunaan UBT :
1. Diferensial diagnostik penyakit ulkus peptik dan gastritis kronik yang aktif
2. Monitoring terapi dan dokumentasi kesembuhan pada pasien dengan infeksi H.pylori
3. Pemeriksaan hanya ditujukan bagi pasien yang memang akan diterapi
Sensitivitas pemeriksaan UBT untuk diagnosis 95% dan untuk eradikasi 96%, sementara spesifitasnya untuk diagnosis 95% dan untuk eradikasi 96%.


author: fitri


Kamis, 26 Desember 2013

Skenario 5 Part 2 Blok 9

1. Apa yang terjadi pada pasien ini dan bagaimana dapat terjadi?

2. Bagaimana penegakan diagnosis apendisitis?

3. Bagaimana Terapi pasien dengan apendisitis?

4. Komplikasi dari penyakit pasien?

5. Komplikasi dari appendektomi?

Jawaban :

1. Apa yang terjadi pada pasien ini dan bagaimana dapat terjadi?

Apendisitis : peradangan pada apendiks vermiformis atau peradangan infeksi pada usus buntu (apendiks) yang terletak di perut kuadran kanan bawah (smelzer, 2002)

Berbagai hal berperan sebagai faktor pencetusnya. Sumbatan lumen apendiks merupakan faktor yang diajukan sebagai faktor pencetus disamping hiperplasia jaringan limfe, fekalit, tumor apendiks, dan cacing askaris dapat pula menyebabkan sumbatan. Penyebab lain yang diduga dapat menimbulkan apendisitis adalah erosi mukosa apendiks karena parasit seperti E. histolytica (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Penelitian epidemiologi menunjukkan peran kebiasaan makan makanan rendah serat dan pengaruh konstipasi terhadap timbulnya apendisitis. Konstipasi akan menaikkan tekanan intrasekal, yang berakibat timbulnya sumbatan fungsional apendiks dan meningkatnya pertumbuhan kuman flora kolon biasa. Semuanya ini akan mempermudah timbulnya apendisitis akut (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Apendisitis dimulai oleh obstruksi dari lumen. Pada stadium awal dari apendisitis, terlebih dahulu terjadi inflamasi mukosa. Inflamasi ini kemudian berlanjut ke submukosa dan melibatkan lapisan muskular dan serosa (peritoneal). Cairan eksudat fibrinopurulenta terbentuk pada permukaan serosa dan berlanjut ke beberapa permukaan peritoneal yang bersebelahan, seperti usus atau dinding abdomen, menyebabkan peritonitis lokal (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

Dalam stadium ini mukosa glandular yang nekrosis terkelupas ke dalam lumen, yang menjadi distensi dengan pus. Akhirnya, arteri yang menyuplai apendiks menjadi bertrombosit dan apendiks yang kurang suplai darah menjadi nekrosis atau gangren. Perforasi akan segera terjadi dan menyebar ke rongga peritoneal. Jika perforasi yang terjadi dibungkus oleh omentum, abses lokal akan terjadi (Burkitt, Quick, Reed, 2007).

2. Bagaimana penegakan diagnosis apendisitis?

1. Pemeriksaan Fisik

Diagnosis apendisitis dapat ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan lab dan pemeriksaan penunjang bila diperlukan untuk menyingkirkan diagnosis lain.

Saat melakukan inspeksi, pasien terlihat sakit ringan dan biasanya suhu dan pulse mengalami peningkatan. Pada abdomen biasanya tidak ditemukan gambaran spesifik. Bila sudah terjadi komplikasi massa atau abses periapendikular maka perut kanan bawah akan terlihat menonjol (Pieter, 2005).

Tanda kunci diagnosis apendisitis yaitu bila terdapat nyeri tekan kuadran kanan bawah atau pada titik Mc.Burney. Saat melakukan penekanan yang perlahan dan dalam pada titk Mc. Burney kemudian secara tiba – tiba dilepaskan, akan dirasakan nyeri yang hebat di abdomen kanan bawah, disebut dengan Rebound tenderness (nyeri lepas tekan) (+) (Lindseth,2005).

Rovsing sign (+) apabila dilakukan penekanan abdomen kiri bawah dan nyeri dirasakan pada abdomen kanan bawah. Hal ini terjadi karena tekanan marangsang peristaltik dan udara usus, sehingga menggerakkan peritoneum sekitar apendiks yang meradang (somatic pain) (Jaffe & Berger, 2005).

Defans muscular (+) merupakan nyeri tekan seluruh lapangan abdomen yang menunjukkan adanya rangsangan peritoneum parietale. Psoas sign dapat (+) terjadi karena adanya rangsangan muskulus psoas oleh peradangan yang terjadi pada apendiks (Jarrel,1991).Pada pemeriksaan perkusi di bagian abdomen didapatkan nyeri ketok (+). Auskultasi memperlihatkan peristaltik yang normal, peristaltik (-) pada ileus paralitik karena peritonitis generalisata akibat apendisitis perforata.

Auskultasi tidak banyak membantu dalam menegakkan diagnosis apendisitis, tetapi kalau sudah terjadi peritonitis maka tidak terdengar bunyi peristaltik. Rectal toucher colok dubur, nyeri tekan pada jam 9-12 (Bedah UGM, 2009).

2. Pemeriksaan laboratorium

Pemeriksaan laboratorium masih merupakan bagian penting untuk menilai awal keluhan nyeri kuadran kanan bawah dalam menegakkan diagnosis apendisitis akut. Penyakit infeksi pada pelvis terutama pada wanita akan memberikan gambaran laboratorium yang terkadang sulit dibedakan dengan apendisitis akut. Pemeriksaan laboratorium merupakan alat bantu diagnosis. Pada pasien dengan apendisitis akut, 70-90% hasil laboratorium nilai leukosit dan neutrofil akan meningkat, walaupun hal ini bukan hasil yang karakteristik.

a. Hitung Leukosit

Hitung leukosit adalah menghitung jumlah leukosit per milimeterkubik atau mikroliter darah. Leukosit merupakan bagian penting dari sistem pertahanan tubuh, terhadap benda asing, mikroorganisme atau jaringan asing, sehingga hitung jumlah leukosit merupakan indikator yang baik untuk mengetahui respon tubuh terhadap infeksi.

Dewasa/anak-anak > 2 tahun

5000 – 10.000 /mm3

Anak-anak <2 tahun

6200 – 17.000/mm3

Bayi baru lahir

9000 – 30.000/mm3

Tabel. Jumlah leukosit (kathleen, 1998)

Pada penderita dengan keluhan dan pemeriksaan fisik yang karakteristik apendisitis akut, akan ditemukan pada pemeriksaan darah adanya leukositosis 11.000-14.000/mm3, dengan pemeriksaan hitung jenis menunjukkan pergeseran ke kiri hampir 75%. Jika jumlah lekosit lebih dari 18.000/mm3 maka umumnya sudah terjadi perforasi dan peritonitis

(Raffensperger, 1990). Kombinasi antara kenaikan angka leukosit dan granulosit adalah yang dipakai untuk pedoman menentukan diagnosa appendisitis akut (Doraiswamy,1979).

Tes laboratorium untuk appendisitis bersifat kurang spesifik., sehingga hasilnya juga kurang dapat dipakai sebagai konfirmasi penegakan diagnosa. Jumlah lekosit untuk

appendisitis akut adalah >10.000/mm, sehingga gambaran leukositosis dengan peningkatan granulosit dipakai sebagai pedoman untuk appendisitis akut. Kontroversinya adalah beberapa penderita dengan appendisitis akut, memiliki jumlah leukosit dan granulosit tetap normal (Bolton et al, 1975).

3. Ultrasonografi

Ultrasonografi telah banyak digunakan untuk diagnosis apendisitis akut maupun apendisitis dengan abses. Apendiks yang normal jarang tampak dengan pemeriksaan ini. Apendiks yang meradang tampak sebagai lumen tubuler, diameter lebih dari 6 mm, tidak ada peristaltik pada penampakan longitudinal, dan gambaran target pada

penampakan transversal. Keadaan awal apendisitis akut ditandai dengan perbedaan densitas pada lapisan apendiks, lumen yang utuh, dan diameter 9 – 11 mm. Keadaan apendiks supurasi atau gangren ditandai dengan distensi lumen oleh cairan, penebalan dinding apendiks dengan atau tanpa apendikolit. Keadaan apendiks perforasi ditandai dengan tebal dinding apendiks yang asimetris, cairan bebas intraperitonial, dan abses tunggal atau multiple (Bedah UGM, 2009)

Ultrasound dapat mengidentifikasi appendik yang membesar atau abses. Walaupun begitu, appendik hanya dapat dilihat pada 50% pasien selama terjadinya appendisitis. Oleh karena itu, dengan tidak terlihatnya apendiks selama ultrasound tidak menyingkirkan adanya appendisitis. Hasil USG dapat dikategorikan menjadi normal, non spesifik, kemungkinan penyakit kelainan lain, atau kemungkinan appendik. Hasil USG yang tidak spesifik meliputi adanya dilatasi usus, udara bebas, atau ileus (Bedah UGM, 2009).

4. Computed Tomography Scanning (CT-Scan)

Pada keadaan normal apendiks, jarang tervisualisasi dengan pemeriksaan skening ini. Gambaran penebalan diding apendiks dengan jaringan lunak sekitar yang melekat,

mendukung keadaan apendiks yang meradang. CT-Scan sangat baik untuk mendeteksi apendiks dengan abses atau flegmon

 

USG

CT-Scan

Sensitivitas

85%

90-100%

Spesifitas

92%

95-97%

Akurasi

90-94%

94-100%

Keuntungan

AMan

Lebih akurat

 

Relatif tidak mahal

Mengidentifikasi abses dan flegmon lebih baik

 

Dapat mendiagnosis kelainan lain pada wanita

Mengidentifikasi apendiks normal lebih baik

 

Baik untuk anak-anak

 

kerugian

Tergantung operator

Mahal

 

Sulit secara teknik

Radiasi Ion

 

Nyeri

Kontras

 

Sulit di RS daerah

Sulit di RS Daerah

Tabel 2. Perbandingan pemeriksaan penunjang apendisitis akut (Erik K, 2003).

Pada pasien yang tidak hamil, CT-scan pada daerah appendik sangat berguna untuk mendiagnosis appendisitis dan abses periappendikular sekaligus menyingkirkan adanya penyakit lain dalam rongga perut dan pelvis yang menyerupai appendicitis (Bedah UGM, 2009).

5. Laparoskopi (Laparoscopy)

Dibidang bedah, laparoskopi dapat berfungsi sebagai alat diagnostik dan terapi. Disamping dapat mendiagnosis apendisitis secara langsung, laparoskopi juga dapat digunakan untuk melihat keadaan organ intraabdomen lainnya. Hal ini sangat bermanfaat terutama pada pasien wanita. Pada apendisitis akut laparoskopi diagnostik biasanya dilanjutkan dengan apendektomi laparoskopi (Smink & Soybel, 2005).

Sistem skor alvarado yang termodifikasi

Kemungkinan apendisitis dapat diyakinkan dengan menggunakan skor Alvarado. Sistem skor dibuat untuk meningkatkan cara mendiagnosis apendisitis.

The Modified Alvarado Score

Skor

Gejala

Perpindahan nyeri dari ulu hati ke perut kanan bawah

1

 

Mual-Muntah

1

 

Anoreksia

1

Tanda

Nyeri di perut kanan bawah

2

 

Nyeri lepas

1

 

Demam diatas 37,5 ° C

1

Pemeriksaan Lab

Leukositosis

2

 

Hitung jenis leukosit shift to the left

1

 

Total

10

Interpretasi dari Modified Alvarado Score:

     1-4     : sangat mungkin bukan apendisitis akut

     5-7     : sangat mungkin apendisitis akut

     8-10   : pasti apendisitis akut

Brunicardi FC, Andersen DK, Billiar TR, et al. Shwartz’s Principles of Surgery. 9th Ed. USA: McGrawHill Companies. 2010.

3. Bagaimana Terapi pasien dengan apendisitis?

Pengobatan tunggal yang terbaik untuk usus buntu yang sudah meradang/apendisitis akut adalah dengan jalan membuang penyebabnya (operasi appendektomi). Pasien biasanya telah dipersiapkan dengan puasa antara 4 sampai 6 jam sebelum operasi dan dilakukan pemasangan cairan infus agar tidak terjadi dehidrasi. Pembiusan akan dilakukan oleh dokter ahli anastesi dengan pembiusan umum atau spinal/lumbal. Pada umumnya, teknik konvensional operasi pengangkatan usus buntu dengan cara irisan pada kulit perut kanan bawah di atas daerah apendiks (Sanyoto, 2007).Perbaikan keadaan umum dengan infus, pemberian antibiotik untuk kuman gram negatif dan positif serta kuman anaerob, dan pemasangan pipa nasogastrik perlu dilakukan sebelum pembedahan (Sjamsuhidajat, De Jong, 2004).

Alternatif lain operasi pengangkatan usus buntu yaitu dengan cara bedah laparoskopi. Operasi ini dilakukan dengan bantuan video camera yang dimasukkan ke dalam rongga perut sehingga jelas dapat melihat dan melakukan appendektomi dan juga dapat memeriksa organ-organ di dalam perut lebih lengkap selain apendiks. Keuntungan bedah laparoskopi ini selain yang disebut diatas, yaitu luka operasi lebih kecil, biasanya antara satu dan setengah sentimeter

sehingga secara kosmetik lebih baik (Sanyoto, 2007).

4. Komplikasi dari penyakit pasien?

Komplikasi terjadi akibat keterlambatan penanganan apendisitis. Factor keterlambatan dapat berasal dari penderita dan tenaga medis. Kondisi ini menyebabkan peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.komplikasi paling sering pada anak dan orang tua. Adapun jenis komplikasi diantaranya (Bedah UGM,2009):

1. Abses merupakan peradangan appendiks yang berisi pus. Teraba massa lunak di kuadran kanan bawah atau daerah pelvis. Massa ini mula-mula berupa flegmon dan berkembang menjadi rongga yang mengandung pus. Hal ini terjadi bila apendisitis gangrenatau mikroperforasi ditutupi oleh omentum

2. Perforasi adalah pecahnya apendiks yang berisi pus sehingga bakteri menyebar ke rongga perut. Perforasi jarang terjadi dalam 12 jam pertama sejak awal sakit, tetapi meningkat tajam sesudah 24 jam. Perforasi dapa berlanjut ke peritonitis.

3. Peritonitis merupakan komplikasi yang berbahaya yang dapat terjadi dalam bentuk akut maupun kronik. Bila infeksi tersebar luas pada permukaan peritoneum menyebabkan peritonitis umum. Gejala-gejalanya: peristaltic usus (-), dehidrasi, syok, gangguan sirkulasi.

5. Komplikasi dari appendektomi?

terdapat komplikasi akibat tidakan operatif. Kebanyakan komplikasi yang mengikuti apendisektomi adalah komplikasi prosedur intraabdomen dan ditemukan di tempat-tempat yang sesuai, seperti: infeksi luka, abses residual, sumbatan usus akut, ileus paralitik, fistula tinja eksternal, fistula tinja internal, dan perdarahan dari mesenterium apendiks (Bailey, 1992)

 

Author : yoga

Senin, 23 Desember 2013

SKENARIO 5 – SCENARIO ENGLISH

SKENARIO 5 – SCENARIO ENGLISH
Author: Amina, Shiddiq, Venty

            A 30-year-old man comes to a clinic. He has a fever, headache, and epigastric pain. He has been very busy with his work these days, therefore he cannot have his lunch timely. Doctor gives him two kinds of medicines. He has to take one of them before his meal and the other one after his meal.

CLARIFYING UNFAMILIAR TERM
·      Fever    : an abnormally high body temperature, usually accompanied by shivering, headache, and in severe instances, delirium. A high body temperature or a state of nervous excitement in someone.
·         Headache    : a continuous pain in the head.
·         Epigastric Pain    : epigastric pain is a pain that localized to the region of the upper abdomen immediately below the ribs.

PROBLEM DEFINITION
1.      What is an epigastric pain?
2.      What is the connection between not having a lunch timely with epigastric pain?
3.      What is the function of the medicines that he takes before and after his meal?
4.      What is fever?
5.      What is the mechanism of fever and headache?
6.      What is the home care that should takes when a person get fever?

ANALYZING
1.      What is an epigastric pain?
first sources
Epigastric pain is pain that localized to the region of the upper abdomen immediately below the ribs. Epigastric pain may occur with conditions that cause inflammation of the digestive organs, such as gastritis and pancreatitis. Epigastric pain is not a serious symptom on its own. However, if it occurs with other life-threatening symptoms, it may be a sign of a condition that should receive immediate medical treatment. Most commonly, epigastric pain is the result of overeating, drinking alcohol while eating, or consuming greasy or spicy foods. Other causes of epigastric pain is acid reflux or peptic ulcer. Epigastric pain may be dull or burning. It may spread upward to the chest or to the back. There may be other symptoms such as belching, bloating, cramps, or hunger pains. There may be weight loss or poor appetite, nausea or vomiting. We can reduce the epigastric pain by consume antacids (Mylanta or Maalox) to help neutralize stomach acid, avoid foods that irritate the stomach, and avoid alcohol, caffeine and tobacco.
second sources
Epigastric pain can be a sign of disease in the upper abdomen. Common causes include:

·         Acid reflux (stomach acid flowing up into the esophagus)
·         Gastritis (irritation of the stomach lining)
·         Peptic Ulcer Disease
·         Inflammation of the pancreas
·         Gallstone
·         Infection in the gall bladder
Pain may be dull or burning. It may spread upward to the chest or to the back. There may be other symptoms such as belching, bloating, cramps or hunger pains. There may be weight loss or poor appetite, nausea or vomiting.
Since the diagnosis of your pain is not certain yet, further tests will be needed. Sometimes the doctor will treat you for the most likely condition to see if there is improvement before doing further tests


2.      What is the relation between not having a lunch timely with epigastric pain?
One of the causes of epigastic pain is peptic ulcer. If peptic ulcer is happen in stomach, it’s called as gastric ulcer. Your stomach normally produces acid to help with the digestion of food and to kill bacteria. This acid is corrosive, so some cells on the inside lining of the stomach and duodenum produce a natural mucus barrier which protects the lining of the stomach and duodenum. There is normally a balance between the amount of acid that you make and the mucus defense barrier. An ulcer may develop if there is an alteration in this balance, allowing the acid to damage the lining of the stomach or duodenum. Causes of this include the following:
Infection with Helicobacter pylori
Infection by Helicobacter pylori (commonly just called H. pylori) is the cause in about 8 in 10 cases of stomach ulcer. More than a quarter of people in the UK become infected with H. pylori at some stage in their life. Once you are infected, unless treated, the infection usually stays for the rest of your life. In many people it causes no problems and a number of these bacteria just live harmlessly in the lining of the stomach and duodenum. However, in some people this bacterium causes an inflammation in the lining of the stomach or duodenum. This causes the defence mucus barrier to be disrupted (and in some cases the amount of acid to be increased) which allows the acid to cause inflammation and ulcers.

Anti-inflammatory drugs - including aspirin
Anti-inflammatory drugs are sometimes called non-steroidal anti inflammatory drugs (NSAIDs). There are various types and brands. For example: aspirin, ibuprofen, diclofenac, etc. Many people take an anti-inflammatory drug for arthritis, muscular pains, etc. Aspirin is also used by many people to protect against blood clots forming. However, these drugs sometimes affect the mucus barrier of the stomach and allow acid to cause an ulcer. About 2 in 10 stomach ulcers are caused by anti-inflammatory drugs.
Other Causes and Factors
Other causes are rare. For example, some viral infections can cause a stomach ulcer. Crohn's disease may cause a stomach ulcer in addition to other problems of the gut. Stomach cancer may at first look similar to an ulcer. Stomach cancer is uncommon, but may need to be 'ruled out' if you are found to have a stomach ulcer.
When we are hungry or when our gaster is empty, gaster will automatically produce digestive enzyme. This digestive enzyme is acidic, and with this acid the function of gaster will work. This acid will broke down the food into another simplified substance. But from this gaster acid the pain in stomach come. This acid if meet with gater mucus that already irritated will cause epigastric pain. Wrong diet for example irregular eating patterns (often late meal) will cause gastric fluid has been available to digest food even irritate the gastric mucosa itself. If the irritation is occurring continuously the over time will cause damage to the gastric mucosa to the onset of heartburn symptoms. Gastric mucosa has been damaged would be more sensitive to the presence of gastric acid. The increase stomach acid levels will be a little trigger heartburn because stomach acid would stimulate pain especially in the mucosal lining of the stomach that has been damaged. That is why the factors of gastric acid plays an important role in heartburn. Excessive stomach acid is often associated with the onset of heartburn symptoms.

3.      What is the function of the medicines that he takes before and after his meal?
Usually to relieve or cure the patient should take the drug if necessary. But the ulcer can be prevented, that is by eating regularly, eating, wash hands before eating and do not snack at random.
Medicines for heartburn is generally eaten two hours before a meal and two hours after meals. As for the purpose of drug consumed two hours before the meal is to neutralize stomach acid, because at the time the accumulation is very much gastric acid in the stomach and the patient must have been minor injuries when exposed to acids which will feel sore. Then the drug is taken two hours after meals aims to protect the stomach wall from acid continues to be produced. Finally, two hours after eating, the acid in the stomach will be used to digest the food that has been neutralized and will not injure the walls of the stomach.
The drugs are usually used:
1. Antacids (Neutralize stomach acid and relieve pain)
2. Pankreatin (Helps digestion of fats, carbohydrates, proteins and overcome pain digestive disorders such as flatulence, nausea, and often out of gas)
3. Ranitidine (Treating stomach ulcers)

Because when the stomach is empty, increased gastric acid production, and guard against substances in the foods we eat, which has the potential to stimulate the production of stomach acid.
Generally diabrospri drug in the small intestine because the surface is very extensive , and only a small fraction of drug absorbed in the stomach .
Fast or slow the absorption process , heavily influenced by various factors , one of which is a factor of food . The existence of these foods , can cause drug interactions . As a result of these interactions , can occur where there are drugs that absorption is impaired by the presence of food , there are actually helped with the food , and there are not affected by the presence / absence of food . Circumstances like these are the reason why the drug should be taken before meals or even drink after a meal .
There are several considerations , reasons and on the basis of the most appropriate time to take medicine , especially medicinal properties as well as medicinal purposes .
• Take medication before eating
In general, and in essence , a drug taken before a meal ( on an empty stomach ) , because the presence of food can interfere with the process experienced by the drug before the drug is absorbed into the blood and provide benefits . Drugs taken before meals if the drug is not irritate the stomach . Magh certain drugs taken to control stomach acid is also taken before meals . But the basic principle is not applicable and a current of certain drugs ( such as will be described in the next bullet point).
• Take medication after meals
Drugs taken after meals for several reasons . One of them is if the drug is taken to be irritating to the stomach and digestive tract , so that use of the drug after meals to minimize this .
• Take medications at meal times
Some specific drugs become damaged and do not function when in contact with stomach acid . There is also a drug used for the purpose of helping the process of digestion of food and absorption of nutrients from food . Or there are also certain medications which farmakokinetika process better by the presence of food in the digestive tract . Well , with medications such as the nature and purpose of use is given at meals or with food
• Take medications in the morning , at night before bed , and the other time
Diuretics ( which cause frequent urination ) should be taken in the morning . Why not night? Because you do not want it you have disturbed sleep because of the need to go to the bathroom every hour of his ? In addition there are other medications that also have a special time to drink it .
4.       What is Fever?
Fever is the temporary increase in the body's temperature in response to some disease or illness.
A child has a fever when the temperature is at or above one of these levels:
·         100.4 °F (38 °C) measured in the bottom (rectally)
·         99.5 °F(37.5 °C) measured in the mouth (orally)
·         99 °F (37.2 °C) measured under the arm (axillary)
An adult probably has a fever when the temperature is above 99 - 99.5 °F (37.2 - 37.5 °C), depending on the time of day.
Consideration
Normal body temperature may change during any given day. It is usually highest in the evening. Other factors that may affect body temperature are:
·         In the second part of a woman's menstrual cycle, her temperature may go up by 1 degree or more.
·         Physical activity, strong emotion, eating, heavy clothing, medications, high room temperature, and high humidity can all increase your body temperature.
Fever is an important part of the body's defense against infection. Most bacteria and viruses that cause infections in people thrive best at 98.6 °F. Many infants and children develop high fevers with minor viral illnesses. Although a fever signals that a battle might be going on in the body, the fever is fighting for the person, not against.
Brain damage from a fever generally will not occur unless the fever is over 107.6 °F (42 °C). Untreated fevers caused by infection will seldom go over 105 °F unless the child is overdressed or trapped in a hot place.
Febrile seizures do occur in some children. However, most febrile seizures are over quickly, do not mean your child has epilepsy, and do not cause any permanent harm..
Unexplained fevers that continue for days or weeks are called fevers of undetermined origin (FUO).

5.      What is the mechanism of fever and headache?
Mechanism of Fever
The term fever refers to an elevation in body temperature as a result of infection or inflammation. In response to microbial invasion, certain phagocytic cells (macrophages) release chemicals that act as an endogenous pyrogen, which, among its many infection-fi ghting eff ects, acts on the hypothalamic thermoregulatory center to raise the thermostat setting ( Scheme below). Th e hypothalamus now maintains the temperature at the new set level instead of maintaining normal body temperature. If, for example, endogenous pyrogen raises the set point to 102°F (38.9°C), the hypothalamus senses that the normal prefever temperature is too cold, so it initiates the cold-response mechanisms to raise the temperature to 102°F. Specifi cally, it initiates shivering to rapidly increase heat production, and promotes skin vasoconstriction to rapidly reduce heat loss, both of which drive the temperature upward. Th ese events account for the sudden cold chills oft en experienced at the onset of a fever. Feeling cold, the person may voluntarily put on more blankets to help raise body temperature by conserving body heat. Once the new temperature is achieved, body temperature is regulated as normal in response to cold and heat but at a higher setting. Th us, fever production in response to an infection is a deliberate outcome and is not caused by a breakdown of thermoregulation. Although the physiologic signifi cance of a fever is still unclear, many medical experts believe that a rise in body temperature has a benefi cial role infi ghting infection. A fever augments the infl ammatory response and may interfere with bacterial multiplication. During fever production, endogenous pyrogen raises the set point of the hypothalamic thermostat by triggering the local release of prostaglandins, which are local chemical mediators that act directly on the hypothalamus. Aspirin reduces a fever by inhibiting the synthesis of prostaglandins. Aspirin does not lower the temperature in a nonfebrile person, because in the absence of endogenous pyrogen, prostaglandins are not presentin the hypothalamus in appreciable quantities.

Infection or inflammation ® + Macrophages ® + Endogenous pyrogen ® the increase of Prostaglandins ® ↑Hypothalamic set point ® Initiation of “cold response” ® ↑Heat production; ↓heat loss ® Body temperature to new set point = Fever
 Scheme (Photo: L. J. Le Beau/ Biological Photo Service.)
Th e exact molecular cause of a fever “breaking” naturally is unknown, although it presumably results from reduced pyrogen release or decreased prostaglandin synthesis. When the hypothalamic set point is restored to normal, the temperature at 102°F (in this example) is too high. Th e heat-response mechanisms are instituted to cool down the body. Skin vasodilation occurs, and sweating commences. Th e person feels hot and throws off extra covers. The gearing up of these heat-loss mechanisms by the hypothalamus reduces the temperature to normal.

Causes of fever
Fever is a symptom not a disease. Fever is a response normal body against infection. Infection is the inclusion of state microorganisms into the body. Microorganisms can be a virus, bacteria, parasites, and fungi. Most fevers are caused by infections virus. Fever can also be caused by exposure to excessive heat (overhating), dehydration, allergies or due immune system disorders (Lopez, 2009)
Almost any infection can cause a fever. Some common infections are:

·         Infections such as pneumonia, bone infections (osteomyelitis), appendicitis, tuberculosis, skin infections or cellulitis, and meningitis
·         Respiratory infections such as colds or flu -like illnesses, sore throats, ear infections, sinus infections, infectious mononucleosis, and bronchitis
·         Urinary tract infections
·         Viral gastroenteritis and bacterial gastroenteritis
Children may have a low-grade fever for 1 or 2 days after some immunizations.
Teething may cause a slight increase in a child's temperature, but not higher than 100 °F.
Autoimmune or inflammatory disorders may also cause fevers. Some examples are:
·         Arthritis or connective tissue illnesses such as rheumatoid arthritis and systemic lupus erythematosus
·         Ulcerative colitis and Crohn's disease
·         Vasculitis or periarteritis nodosa
The first symptom of a cancer may be a fever. This is especially true of Hodgkin's disease, non-Hodgkin's lymphoma, and leukemia.
Other possible causes of fever include:
·         Blood clots or thrombophlebitis
·         Medications, such as some antibiotics, antihistamines, and seizure medicines

Cause of headaches
 Skipping lunch à Empty stomach because no time to eat lunch at some people often cause headaches. In addition to dizziness, empty stomach also makes the blood sugar down, consequently the body felt weak. Immediately lunch with balanced nutrition. Avoid eating sweet foods, such as chocolate to fill an empty stomach. Sugar from sugary foods will make your blood sugar to soar then fall even lower.

6.       What is the home care that should takes when a person get fever?
A simple cold or other viral infection can sometimes cause a high fever (102 - 104 °F, or 38.9 - 40 °C). This does not usually mean you or your child have a serious problem. Some serious infections may cause no fever or even a very low body temperature, especially in infants.
If the fever is mild and you have no other problems, you do not need treatment. Drink fluids and rest.
The illness is probably not serious if your child:
·         Is still interested in playing
·         Is eating and drinking well
·         Is alert and smiling at you
·         Has a normal skin color
·         Looks well when their temperature comes down
Take steps to lower a fever if you or your child is uncomfortable, vomiting, dried out (dehydrated), or not sleeping well. Remember, the goal is to lower, not eliminate, the fever.
When trying to lower a fever:
·         Do NOT bundle up someone who has the chills.
·         Remove excess clothing or blankets. The room should be comfortable, not too hot or cool. Try one layer of lightweight clothing, and one lightweight blanket for sleep. If the room is hot or stuffy, a fan may help.
·         A lukewarm bath or sponge bath may help cool someone with a fever. This is especially effective after medication is given -- otherwise the temperature might bounce right back up.
·         Do NOT use cold baths, ice, or alcohol rubs. These cool the skin, but often make the situation worse by causing shivering, which raises the core body temperature.
Here are some guidelines for taking medicine to lower a fever:

·         Acetaminophen (Tylenol) and ibuprofen (Advil, Motrin) help reduce fever in children and adults. Sometimes doctors advise you to use both types of medicine.
·         Take acetaminophen every 4 - 6 hours. It works by turning down the brain's thermostat.
·         Take ibuprofen every 6 - 8 hours. DO NOT use ibuprofen in children younger than 6 months old.
·         Aspirin is very effective for treating fever in adults. DO NOT give aspirin to a child unless your child's doctor tells you to.
·         Know how much you or your child weighs, and then always check the instructions on the package.
·         In children under age 3 months, call your doctor first before giving medicines.
Eating and drinking with a fever:
·         Everyone, especially children, should drink plenty of fluids. Water, popsicles, soup, and gelatin are all good choices.
·         Do not give too much fruit or apple juice and avoid sports drinks in younger children.
·         Although eating foods with a fever is fine, do not force foods.
References
·         Sherwood L. Human physiology 7th ed. from cell to cell Canada : Brooks/Cole Cengage Learning; 2007.
sub sources
·         Mick NW. Pediatric fever. In: Marx JA, ed. Rosen's Emergency Medicine: Concepts and Clinical Practice. 7th ed. Philadelphia, Pa: Mosby Elsevier;2009:chap 165.
·         Legget J. Approach to fever or suspected infection in the normal host. Goldman L, Ausiello D, eds. Cecil Medicine, 23rd ed. Philadelphia, Pa: Saunders Elsevier; 2007: chap 302.

Author: Amina, Shiddiq, Venty