Senin, 30 Maret 2015

SKENARIO 3 PART 1 BLOK 11


Skenario 3 Part 1 Blok 11
Author : Yulia Rachmi W

Berhubung skenario kali ini menggunakan video, jadi materi yang dijelaskan merupakan materi berasarkan skenario tahun lalu.

1.     DEFINISI
Hemostasis adalah suatu proses yang terjadi untuk mencegah kehilangan darah berlebih dalam tubuh kita. Tugasnya adalah :
·         mempertahankan darah tetap dalam keadaan cair di dalam pembuluh darah.
·         mencegah hilangnya darah berlebih akibat luka dengan pembentukan sumbatan untuk menghentikan perdarahan.
·         menstabilkan kembali aliran darah selama proses penyembuhan luka.

2.     FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HEMOSTASIS
a.       Pembuluh darah
Saat luka terjadi pembuluh darah akan melakukan vasokonstriksi yang tujuannya supaya darah yang keluar tidak banyak.
b.      Trombosit
Fungsinya melindungi pembuluh darah dari kerusakan endotel dengan membuat sumbat trombosit dengan cara adhesi dan agregasi.
c.       Faktor koagulasi
Tugasnya adalah membuat fibrin yang fungsinya memperkuat sumbat trombosit tadi supaya menjadi hemostatik plug.
d.      Faktor fibrinolisi
Faktor ini akan berperan memecah / melisiskan fibrin yang sudah terbentuk agar tidak terjadi trombosis karena penumpukan fibrin. Regulasi ini berlangsung apabila terjadi hiperaktivasi dari koagulasi.
e.      Inhibitor
Menghambat aktivasi koagulan yang berlebihan.
Kelima faktor tersebut harus seimbang antara satu sama lain.

3.  MEKANISME HEMOSTASIS
a.       Hemostasis Primer
Jika ada luka kecil, yang trrlibat adalah pembuluh darah dan trombosit saja. Pembuluh darah akan vasokonstriksi dengan tujuan mempersempit area luka supaya darag tidak banyak keluar, kemudian trombosit akan membentuk suatu sumbat trombosit supaya perdarahannya tidak berlebihan. Mekanisme hemostasis primer ini berlangsung sangat cepat.
b.      Hemostasis Sekunder
Jika lukanya besar tidak bisa hanya diatasi dengan hemostasis primer, maka akan melibatkan faktor koagulasi dalam plasma. Aktivasi faktor koagulan akan membuat fibrin memperkuat sumbat trombosit yang dibuat pada hemostasis primer, sehingga akan membentuk hemostasis plug yang lebih kuat. Respon hemostasis sekunder lebih lambat.
c.       Hemostasis Tersier
Kalau sudah terjadi sumbatan, kemudian pembuluh darah akan recovery. Aktivasi koagulasi tidak bisa dibiarkan terlalu lama karena akan terjadi jendalan-jendalan trombosis yang banyak. Maka dari itu akan terjadi hemostasis tersier dengan cara melisiskan fibrin, yang berperan adalah plasmin. Sehingga faktor fibrinolisis akan teraktivasi.

4.  PATOFISIOLOGI DEFISIENSI KOAGULAN (HEMOFILIA)
Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah, adesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah.
Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor von Willebrand (vWF) akan teraktifasi dan diikuti adesi trombosit. Setelah proses ini, adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain trombosit dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut. Cedera pada pembuluh darah juga melepaskan tissue factor dan mengubah permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh faktor XIII.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan terhenti akibat efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma ringan.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8 terletak di bagian lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9 terletak di regio Xq27. Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun inversi 22 dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar 50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini diturunkan secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu yang menderita kelainan ini. Pada sepertiga kasus mutasi spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat keluarga penderita hemofilia pada kasus demikian.
Wanita pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan walaupun biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5 di antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah wanita.

5.  Pemeriksaan defisiensi faktor pembekuan
Pemeriksaan APTT umumnya digunakan untuk menjaring kasus dengan kelainan pada lintasan intrinsik seperti defisiensi faktor kontak, hemofila A (defisiensi faktor VIII), hemofilia B (defisiensi faktor IX) dan hemofilia C (defisiensi faktor XI ). Kadar APTT akan memberikan gambaran abnormal (memanjang) bilamana defisiensi faktor berada pada level <0,3 – 0,4 U/ml. Kemampuan untuk mem- pertahankan fungsi hemostasis minimal dari faktor VIII, IX, XI adalah pada nilai 30% dengan demikian APTT merupakan tes skrining hemostatik yang sensitif terhadap defisiensi faktor. Meskipun demikian prosedur APTT akan mempunyai kemungkinan gagal mendeteksi kasus hemofilia ringan atau borderline dengan nilai 25 – 30% dari kadar normal, pada kasus demikian pemeriksaan faktor pembekuan spesifik perlu dilakukan bilamana dicurigai suatu hemofilia ringan.
·         Pemeriksaan terhadap inhibitor
Pemeriksaan APTT merupakan pemeriksaan skrining yang penting untuk mengetahui adanya inhibitor terhadap koagulasi seperti lupus antikoagulan, demikian juga dengan efek inhibisi dari fibrin degradation product dan juga efek dari heparin akan memperpanjang APTT.
·         Protrombin Time (PT)
Pemeriksaan PT merupakan pemeriksaan skrining terhadap kelainan dalam lintasan ekstrinsik yaitu terhadap faktor VII, X, V dan II. Pemeriksaan ini juga untuk mendeteksi kadar fibrinogen yang rendah yaitu bila kadar fibrinogen <100 mg/dl; terutama digunakan untuk monitoring terapi antikoagulan atau skrining terhadap defisiensi vitamin K. Pemeriksaan PT kurang sesitif terhadap inhibisi oleh FDP dan heparin dibandingkan dengan pemeriksaan PTT atau thrombin time.
·         Thrombin Clotting Time (TCT)
Pemeriksaan TCT merupakan suatu pemeriksaan dengan menambahkan trombin dalam plasma untuk mengetahui keadaan jumlah dan kualitas fibrinogen atau kecepatan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Nilai TCT yang memanjang menggambarkan adanya defisiensi fibrinogen (<100 mg/dl); misalnya pada keadaan congenital hipofibrinogemia atau afibrinogemia, kadar yang abnormal terjadi pada reaksi inflamasi, kualitas yang abnormal dari fibrinogen (hereditary dysfibrinogemia, sirosis, karsinoma hepatoselular, neonatus). Selain itu bahan-bahan yang mengganggu kerja trombin dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin seperti heparin, anti thrombin antibody, produk proteolitik dari fibrinogen dan fibrin (FDP) akan menyebabkan TCT memanjang.
·         Pemeriksaan Faktor Koagulasi
Pemeriksaan Faktor Koagulasi terdiri atas 2 jenis yaitu : (1) qualitative coagulation factor activity assay dan (2) quantitative coagulation factor activity. Kualitatif terdiri dari atas 2 tipe yaitu : (1) clotting time assays dan (2) chromogenic assays. Clotting time assays dilakukan dengan mengukur aktivitas faktor dengan menggunakan plasma depleted factor congenital atau dengan menggunakan factor depleted plasma artificial. Kuantitatif, ditujukan untuk mengukur jumlah protein pembekuan (prokoagulan, antikoagulan, komponen fibrinolitik, peptida aktif ). Teknik pemeriksaan yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan agglutination of antibody-coated beads, imunoelektro-poresis, radio immuno assays dan enzyme linked immunoabsorbent assay (ELISA). Pemeriksaan kuantitatif tidak akan mengukur fungsi dari protein faktor koagulasi. Diagnosis banding hemofilia adalah penyakit von Willebrand, defisiensi faktor koagulasi lain seperti FV, FVII, FX, FXI, atau fibrinogen, atau kelainan trombosit seperti Glanzmann trombastenia.

6.   Penatalaksanaan
Tatalaksana penderita hemofilia harus dilakukan secara komprehensif meliputi pemberian faktor pengganti yaitu F VIII untuk hemofilia A dan F IX untuk hemofilia B, perawatan dan rehabilitasi terutama bila ada sendi, edukasi dan dukungan psikososial bagi penderita dan keluarganya. Bila terjadi perdarahan akut terutama daerah sendi, maka tindakan RICE (rest, ice, compression, elevation) segera dilakukan. Sendi yang mengalami perdarahan diistirahatkan dan diimobilisasi. Kompres dengan es atau handuk basah yang dingin, kemudian dilakukan penekanan atau pembebatan dan meninggikan daerah perdarahan. Penderita sebaiknya diberikan faktor pengganti dalam 2 jam setelah perdarahan.
Untuk hemofilia A diberikan konsentrat F VIII dengan dosis 0.5 x BB (kg) x kadar yang diinginkan (%). F VIII diberikan tiap 12 jam sedangkan F IX diberikan tiap 24 jam untuk hemofilia. Kadar F VIII atau IX yang diinginkan tergantung pada lokasi perdarahan dimana untuk perdarahan sendi, otot, mukosa mulut dan hidung kadar 30-50% diperlukan. Perdarahan saluran cerna, saluran kemih, daerah retroperitoneal dan susunan saraf pusat maupun trauma dan tindakan operasi dianjurkan kadar 60- 100%. Lama pemberian tergantung pada beratnya perdarahan atau jenis tindakan. Untuk pencabutan gigi atau epistaksis, diberikan selama 2-5 hari, sedangkan operasi atau laserasi luas diberikan 7-14 hari. Untuk rehabilitasi seperti pada hemarthrosis dapat diberikan lebih lama lagi.
Kriopresipitat juga dapat diberikan untuk hemofilia A dimana satu kantung kriopresipitat mengandung sekitar 80 U F VIII. Demikian juga dengan obat antifibrinolitik seperti asam epsilon amino-kaproat atau asam traneksamat. Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid harus dihindari karena dapat mengganggu hemostasis. Profilaksis F VIII atau IX dapat diberikan secara kepada penderita hemofilia berat dengan tujuan mengurangi kejadian hemartrosis dan kecacatan sendi. WHO dan WFH merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia 1- 2 tahun dan dilanjutkan seumur hidup. Profilaksis diberikan berdasarkan Protokol Malmö yang pertama kali dikembangkan di Swedia yaitu pemberian F VIII 20-40 U/kg selang sehari minimal 3 hari per minggu atau F IX 20-40 U/kg dua kali per minggu.
Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin (1-deamino-8-arginine vasopressin, DDAVP) suatu anolog vasopressin dapat digunakan untuk meningkatkan kadar F VIII endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan untuk hemofilia berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum jelas, diduga obat ini merangsang pengeluaran vWF dari tempat simpanannya (Weibel-Palade bodies) sehingga menstabilkan F VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan secara intravena, subkutan atau intranasal.
Penderita hemofilia dianjurkan untuk berolah raga rutin, memakai peralatan pelindung yang sesuai untuk olahraga, menghindari olahraga berat atau kontak fisik. Berat badan harus dijaga terutama bila ada kelainan sendi karena berat badan yang berlebih memperberat arthritis. Kebersihan mulut dan gigi juga harus diperhatikan. Vaksinasi diberikan sebagaimana anak normal terutama terhadap hepatitis A dan B. Vaksin diberikan melalui jalur subkutan, bukan intramuskular. Pihak sekolah sebaiknya diberitahu bila seorang anak menderita hemofilia supaya dapat membantu penderita bila diperlukan.
Upaya mengetahui status pembawa sifat hemofilia dan konseling genetik merupakan hal yang terpadu dalam tatalaksana hemofilia. Konseling genetik perlu diberikan kepada penderita dan keluarga. Konseling meliputi penyakit hemofilia itu sendiri, terapi dan prognosis, pola keturunan, deteksi pembawa sifat dan implikasinya terhadap masa depan penderita dan pembawa sifat. Deteksi hemofilia pada janin dapat dilakukan terutama bila jenis mutasi gen sudah diketahui. Sampel dapat diperoleh melalui tindakan sampling villus khorionik atau amnionsintesis.

Referensi :
·         http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-7s.pdf

Kamis, 26 Maret 2015

SKENARIO 2 PART 2 BLOK 11


Skenario 2 Part 2 Blok 11
Author : Lilyana Ulfa

1.       Apa saja Jenis Parasite / cacing agen Filariasis? (yuk kenalan dulu)
Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis cacing filariae yang dapat menyebabakan filariasis. Tapi yang sering kejadian di Indonesia Cuma 3 jenis Wucheria bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. FYI ada juga loh yg lain, cacing-cacing itu antara lain :
a.       Wucheria bancrofti               
Menurut Felix Partono, cacing ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Mempunyai ukuran bervariasi, yang betina berukuran 65-100 mm × 0,1 mm dan yang jantan 40 mm × 0.1 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250 – 300 mikron × 7-8 mikron. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Pada umumnya, microfilaria W.brancrofti bersifat periodisitas nokturna,artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam aliran darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari microfilaria hanya terdapat di kapiler alat dalam.
Cacing ini mengalami 5 stadium pertumbuhan untuk menjadi dewasa. Mula-mula mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung,kemudian bersarang di otot toraks.
        Pada stadium I, larva cacing ini memendek. Dalam waktu kurang dari seminggu,larva ini kemudian berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II. Larva berganti kulit sekali lagi pada hari kesepuluh menjadi larva stadium III. Kemudian, jika larva ini pindah ke tubuh manusia, larva ini dapat mengalami dua kali pergantian kulit,tumbuh menjadi larva stadium IV dan menjadi dewasa atau stadium V. Umur cacing dewasa mencapai 5-10 tahun.
b.      Brugia Malayi
        Menurut Tomio Yamaguchi, Brugia malayi adalah jenis cacing filariae yang dapat ditemukan dari Asia Tenggara sampai Pasifik Barat Daya. Juga pernah ditemukan di Korea Selatan. Cacing dewasa B.malayi lebih kecil daripada W.brancofti. Yang jantan panjangnya 22 – 23 mm dan lebarnya 0,88 mikron, dan yang betina mempunyai panjang 55×0,16 mm. Berbeda dengan W.bancrofti yang ekornya tak memiliki nuklei (titik inti) di ekornya,sementara B.malayi memiliki nuklei di ekornya.
Daur hidup dari B.malayi hampir sama dengan W.bancrofti, kecuali di daerah tertentu,di mana vektornya berbeda dari W.bancrofti. Yang termasuk vektor B.malayi adalah Mansonnia, Anopheles, dan Aedes.
c.       Brugia Timori
        Menurut Markell, Voge dan John, mikrofilaria dari jenis ini pertama kali ditemukan pada tahun 1964 di kepulauan Timor. Kemudian, penyakit ini menyebar ke pulau-pulau di Dangkalan Sunda.
Mikrofilaria B.timori dapat dengan jelas dibedakan dari mikrofilaria B.malayi. Mikrofilaria dari B.timori lebih panjang dari B.malayi,dengan rata-rata 310 mikron. Jarak cephalic (bagian dari mikrofilaria anterior ke nuclei tubuh) mempunyai perbandingan panjang dan lebar 2:1 di B.malayi, sedangkan di B.timori 3:1. Sarung B.malayi mengandung Giemsa stain, sedangkan hal itu tidak ditemui pada B.timori.
d.      Cacing dari genus Mansonella
Filaria ini adalah satu-satunya filaria yang ditemukan di benua Amerika. Mansonella ozzardi tidak memiliki nuklei di ujung ekornya sementara Mansonella streptocercamemilki nuklei yang memanjang sampai ke ujung ekor. Mikrofilaria dari jenis ini dapat ditemukan dengan biopsi kulit.
e.      Loa loa
Parasit ini hanya ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loiasis atau Calabar Swelling. Loiasis terutama terdapat di daerah Afrika Barat, Afrika tengah dan Sudan. Parasit ini juga terdapat pada daerah khatulistiwa yang mempunyai hutan hujan. Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan, yang betina berukuran 50-70 mm × 0,35-0,43 mm. Cacing betina mengeluakan mikrofilarianya yang beredar dalam darah pada siang hari (diurnal). Pada malam hari, mikrofilaria berada dalam pembulah darah paru-paru. Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250 – 300 mikron × 6-8,5 mikron. Dapat ditemukan dalam urin, dahak dan kadang-kadang dapat ditemukan pada cairan sumsum tulang belakang. Cacing dewasa dapat tumbuh 1 samapi 4 tahun kemudian berkopulasi dan caing betina mengeluarkan mikrofilaria.

2.       Kenapa Terdapat warna urin putih keruh dan Protein (++) dalam urin?
Karena adanya Chyluria (urin yang mengandung cairan limfe). Disebabkan terjadinya rupture pembuluh limfe di bagian atas organ genitalia dan kemungkinan bocor sehingga cairan limfe masuk ke urin melalui pembuluh darah – pembuluh darah kapiler (ulah mikrofilaria) ataupun pembuluh limfe (ulah makrofilaria) yang juga rupture di area genitalia. Cairan limfe sendiri berwana putih karena mengandung antibody dan nutrient-nutrient (kaya protein) sebagai system pertahanan tubuh. Sehingga ketika cairan limfe masuk ke urin maka ia menimbulkan warna putih keruh pada urin dan terdapat proteinuria karena cairan limfe mengandung protein.

3.       Risk Factor, Hospes, dan Vektor infeksi parasite filariasis?
Manusia yang mengandung parasit selalu mendapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemic (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.
                Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi (Sutanto dkk, 2009).
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila ditusuk oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis.
Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya (Notoatmodjo,S,1997).
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat (Depkes RI,2006).
Hewan Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vector filariasia, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan (urba) ditularkan oleh Cx.quinque fasciatus yang yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah pedesaan (rural) dapat ditukar oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian jaya W.bancrofti ditularkan terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang (footprint) untuk tempat perindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vector An.subpictus, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.kochi. W.bancoftidi daerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti An.subpictusdi daerah pantai di NTT. Selain nyamuk Culex, Aedes pernah juga ditemukan sebagai vector (Sutanto dkk, 2009).
B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimatan, Maluku dan lain-lain. Sedangkan B.malayi yang periodik ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tampat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi.
B.timori, spesies ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan diaerah NTT dan Timor Timur, ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodic nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytiscristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus.). Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia (Sutanto dkk, 2009).
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air.
Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam setelah keluar dari kepompong. Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya (Depkes RI, 2007)

Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah :
1)      Perilaku Nyamuk
a.       Tempat hinggap atau istirahat
                                                      i.      Eksofilik : yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah.
                                                    ii.      Endofilik : yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di dalam rumah.

2)      Tempat menggigit
a.       Eksofagik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah.
b.      Endofagik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah.

3)      Obyek yang digigit
a.       Antropofilik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit manusia.
b.      Zoofilik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit hewan.
c.       Indiscriminate biters/indiscriminate feeders : yaitu nyamuktanpa kesukaan tertentu terhadap hospes.

4)      Frekuensi Menggigit Manusia Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96 jam.

5)      Siklus Gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk.

6)      Faktor Lain yang penting :
a.       Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan.
b.      Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah microfilaria stadium larva-3 yang akan ditularkan.
c.       Periodisitas microfilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap risiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor dan umur nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor.

Cacing filaria (Nematoda:Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut:
-          Dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk).
-          Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, Artinya mikrofilaria berada di darah tepipada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti bersifat periodik nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filarial (Depkes RI, 2009)
-          Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan.
-          Secara umum, filariasis W. bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
-          W. bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan W. bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Lebak.
-          B. malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku.
-          B. timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor danSumba, umumnya endemik di daerah persawahan (Ahmad WP, 2000)

4.       Pathofisiology dan Pathology Filariasis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, gejala penyakit kaki gajah (filariasis) yang biasanya muncul adalah demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening tanpa luka di daerah lipatan paha, ketiak, dan tampak kemerahan. Kelenjar getah bening dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah. Sasaran penyakit ini juga dapat terjadi pada pembebasaran tungkai, lengan, Glandula Mamae, dan Scrotum.
Gejala penyakit ini cukup sulit untuk dideteksi karena perjalanan penyakit yang tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya. Tetapi, Liliana Kurniawan,seorang peneliti penyakit menular dari Departemen Kesehatan RI, menjelaskan gejala penyakit kaki gajah dapat dibagi menjadi empat fase apabila diurut dari masa inkubasi.
Masa inkubasi tersebut yaitu:
a.       Masa prepaten : Masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 3-7 bulan. Pada masa ini gejala-gejala klinis yang ditimbulkan belum terdeteksi.
b.      Masa inkubasi : Masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8-16 bulan.
Pathology dari filariasis pada lymph adalah hasil dari kerusakan inflamasi pada lymph yang dirusak oleh cacing dewasa (macrofilaria) bukan microfilaria. Empat factor pathogenesis nya adalah kehidupan dari cacing dewasa, respon inflamasi karena tubuh cacing dewasa yang mati, microfilaria, dan infeksi sekunder.
Pembengkakan pada pembuluh limfe ini karena menjadi tempat tinggal para cacing dewasa yaitu di limfe afferent dan sinus-nya. Pembuluh limfe akan mengalami kerusakan dan katup katup nya menjadi kurang kuat karena infiltrasi sel plasma, eosinphil, dan macrofag disertai terjadi respon inflamasi di sekitarnya, bersamaan dengan proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang. Cacing yang dewasa ini melepaskan toxic yang menyebabkan lymphangiectasia. Dilatasi dari pembuluh ini membuat dysfunction dan pada keadaan kronis dapat menyebabkan lymphatic filariasis, lymphoedema, dan hydrocele.
Pada saat cacing cacing dewasa mati, membuat radang akut pada pembuluh limfe ini, dan terjadi penyumbatan setelah mereka mati dan menyebabkan infeksi sekunder. Dan dipercaya juga menyebabkan granulomatosa dan fibrosis jadilah elephantiasis.

5.       Prognosis & Komplikasi
Gejala klinis Akut merupakan limfadenitis dan limfangitis (peradangan kelenjar getah bening) disertai panas dan malaise. Kelanjar yang terkena biasanya unilateral.
        Filariasis brancofti Pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis, dan orchitis. Umumnya sembuh dalam 3-15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brugia Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Serangan dapat terjadi 1-2 kali per tahun sampai beberapa kali per bulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu-3 bulan.
Gejala Menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Gejala yang ditimbulkan biasanya elephantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya). Elephantiasis biasanya menyerang bagian bawah tubuh, namun hal ini juga tergantung pada species filaria. W. bancrofti dapat menyerang kaki, tangan, vulva, dada, sedangkan Brugia timori jarang menyerang bagian kelamin. Infeksi oleh Onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae lewat kornea adalah salah satu penyebab kebutaan (Onchocerciasis). Gejala menahun ini dapat menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Menurut Rita Marleta, seorang peneliti penyakit menular dari Badan Litbang Kesehatan, seseorang dinyatakan menderita kaki gajah jika dalam darah ditemukan mikrofilaria. Mengingat gejala yang ditimbulkan cukup sulit dideteksi dan mikrofilaria kaki gajah terdapat dalam darah, maka deteksi penyakit ini harus dilakukan di laboratorium melalui pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah dilakukan pada malam hari sebab sifat filariasis pergerakan dalam tubuh hanya pada malam hari.
Berdasarkan dari teori-teori beberapa pakar, gejala yang ditimbulkan oleh filariasis bertahap dan menahun. Gejala yang ditimbulkan disesuaikan dengan masa inkubasi mikrofilaria. Untuk mengetahui seseorang menderita penyakit filiriasis atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan darah. Jika pemeriksaan darah menunjukkan terdapat mikrofilaria di dalam darah maka penderita dapat dipastikan menderita penyakit kaki gajah (elephantiasis).

Sumber :
·         MISC 2012
·         Kuliah dr Tri Wulandari
·         Medscape
·         CDC