Pembahasan Skenario 2 Blok 2 Part 2 :)
1.
Bagaimana tindakan
dokter menyikapi keadaan dilema etik?
Jawaban : menggunakan asas etika/biomedik. Asas
etika/biomedik ada 4, yaitu :
1)
Otonomi ; “Vouluntus Aegroti Suprema Lex”. Setiap
pasien harus diperlakukan sebagai manusia yang mempunyai hak untuk menentukan
nasibnya sendiri. “the patient has the
right to refuse or choose their treatment”, setiap pasien berhak untuk
menolak atau memilih pengobatan untuknya sendiri.
Kriteria
Autonomy (otonomi) :
(1)
Menghargai hak menentukan
nasib sendiri, menghargai martabat pasien.
(2)
Tidak mengintervensi
pasien dalam membuat keputusan (pada kondisi elektif)
(3)
Berterus terang
(4)
Menghargai privasi.
(5)
Menjaga rahasia pribadi
(6)
Menghargai rasionalitas
pasien.
(7)
Melaksanakan informed
consent
(8)
Membiarkann pasien dewasa
dan kompeten mengambil keputusan sendiri.
(9)
TIdak mengintervensi atau
meghalangi outonomi pasien.
(10)
Mengcegah pihak lain
mengintervensi pasien dan membuat keputusan, termasuk, termasuk keluarga pasien
sendiri.
(11)
Sabar menunggu keputusan
yang akan diambil pasien pada kasus non emergensi.
(12)
Tidak berbohong ke pasien
meskipun demi kebaikan pasien.
(13)
Menjaga hubungan
(kontrak)……………..
2)
“Solus Aegroti supreme Lex”. Ini asas Beneficence atau kemurahan hati. Dokter
harus senantiasa menggunakan agar pasien yang dirawatnya terjaga kesehatannya,
dokter mengobati pasien bukan hanya sekedar memenuhi kewajiban, tapi juga harus
bersikap ramah dan bersikap menolong. “A
practitioner should act in the best interest of the patient”.
Kriteria
Beneficence :
(1) Menolong
(2) Menjamin nilai pokok
harkat dan martabat manusia
(3) Memandang
pasien/keluarga dan sesuatu tak sejauh menguntung dokter
(4) Mengusakan agar
kebaikan/manfaatnya lebih banyak dibandingkan dengan keburukannya.
(5) Paternalisme bertanggung
jawab/ kasih sayang
(6) Menjamin kehidupan baik
minimal manusia
(7) Pembatasan Goal-Based
(8) Maksimalisasi pemuasan
kebahagiaan/preferensi pasein
(9) Minimalisasi akibat
buruk.
(10)
Kewajiban
menolong pasien gawat darurat
(11)
Menghargai
(12)
Tidak menarik
honorarium
(13)
Maksimalisasi
kepuasan tertinggi secara keselurushan
(14)
Mengembangkan
profesi secara terus-menerus.
(15)
Memberikan
obat berkhasiat namun murah
(16)
Menerapkan
Golden Rule Principle
3)
“primum non nocere”, tidak berbuat yang
merugikan pasien, suatu kaidah “Non
Malficence”, yaitu dikenal dengan sepotong kalimat “first do no harm”.. dalam mengobati pasien, dokter harus memilih
cara yang paling kecil resikonya dan paling besar manfaatnya.
Kriteria
Nonmalficence :
(1) Menolong pasien emergensi
(2) Kondisi untuk menggambarkan kriteria ini adalah:
a.Pasien dalam keadaan berbahaya.
b.Dokter sanggup mencegah bahaya atau kehilangan.
c.Tindakan Kedokteran tadi terbukti efektif
d.Manfaat bagi
pasien > kerugian dokter (hanya mengalami risiko minimal).
(3)
Mengobati
pasien yang luka.
(4)
Tidak
membunuh pasien (tidak melakukan euthanasia)
(5)
Tidak
menghina/caci maki.
(6)
Tidak
memandang pasien sebagai objek
(7)
Mengobati
secara tidak proporsional
(8)
Tidak
mencegah pasien secara berbahaya
(9)
Menghindari
misrepresentasi dari pasien
(10)
Tidak
membahayakan kehidupan pasien karena kelalaian
(11)
Tidak
memberikan semangat hidup
(12)
Tidak
melindungi pasien dari serangan
(13)
Tidak
melakukan white collar dalam bidang kesehatan
4)
“justice”, keadilan. Dokter tidak boleh
membedakan kedudukan sosial, tingkat ekonomi, pandangan politik, agama
kepercayaan, kebangsaan status perkawinan maupun jenis kelamin dalam mengobati
pasien. Pertimbangan satu-satunya dalam sikap dokter adalah kesehatan pasien.
Kriteria
Justice :
(1) Memberlakukan segala sesuatu secara universal
(2) Mengambil porsi terakhir dari proses membagi yang
telah ia lakukan.
(3) Memberi kesempatan yang sama terhadap pribadi dalam
posisi yang sama.
(4) Menghargai hak sehat pasien (affordability,
equality,accessibility,availability,quality)
(5) Menghargai hak hukum
pasien.
(6) Menghargai hak orang lain.
(7) Menjaga kelompok yang rentan (yang paling dirugikan)
(8) Tidak melakukan penyalahgunaan.
(9) Bijak dalam makro alokasi.
(10)
Memberikan
kontribusi yang relatif sama dengan kebutuhan pasien
(11)
Meminta
partisipasi pasien seusai dengan kemampuan.
(12)
Kewajiban
mendistribusi keuntungan dan kerugian (biaya, beban ., sanki) secara adil
(13)
Mengembalikan
hak kepada pemiliknya pada saat yang tepat dan kompeten.
(14)
Tidak memberi
beban berat secara tidak merata tanpa alasan sah/tepat.
(15)
Menghormati
hak populasi yang sama-sama rentan penyakit/ggn kesehatan.
(16)
Tidak
membedakan pelayanan pasien atas dasar SARA, status sosial dll.
Urutan
asas
dari yang tertinggi ke yang terendah; pertama justice, dilanjutkan
Nonmalficence dan otonomy (dua2nya saling pro dan kontra) dan yang terakhir
beneficence karena dalam setiap kasus dilema etik, kriteria beneficence kerap
kali muncul.
2.
Landasan apa yang
dilakukan dokter untuk tetap melakukan tindakan medis?
Jawaban : Otonomi dokter ; bukan hanya
pasien yang memiliki otonomi, dokter pun punya, jika dokter tidak mempunyai
otonomi, pasien dapat seenaknya saja untuk mennuntut/menggugat dokter jika
terjadi sesuatu dengan hubungan medis. Yang dimaksud dengan otonomi dokter
adalah dokter memiliki hak untuk mendiagnostik pasien, pasien memilih sendiri
keputusan yang dokter jelaskan (baik dan buruknya), dan pasien wajib memilih
apa yang menurutnya paling baik, setelah itu tanda tangan. Jika pasien
merupakan anak kecil, orang tua yang memutuskan dan memberi tanda tangan.
Informed
consent ; persetujuan yang diberikan pasien kepada dokter setelah
diberi penjelasan. (undang-undang tentang informed consent terdapat pada
Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 585/Menkes/Per/IX/1989 Tentang
Persetujuan Tindakan Medik (informed consent)). Dokter memberi pasien
penjelasan tentang penyakitnya, tetapi tidak memaksa pasien untuk menuruti
saran dokter. Jika pasien informed refuse (penolakan tindakan medis), pasien
menandatangani surat pernyataan. Dokter sudah tidak bertanggung jawab lagi dan
hubungan terapeutik antara dokter dan pasien berakhir. Dokter tidak bisa
dituntut jika suatu hari nanti terjadi sesuatu dengan pasien tersebut.
Dalam
kasus seperti dalam skenario 2, pasien dalam
keadaan tidak sadar (koma), maka otonomi pasien berpindah ketangan keluarganya.
Keluarganyalah yang wajib memberikan persetujuan dan menandatangani surat
persetujuan. Jika dokter tetap memberikan transfusi darah kepada pasien tanpa
persetujuan dari keluarga pasien dan mengabaikan kepercayaan pasien (tentang
donor darah dilarang) atas dasar KODEKI tentang keselamatan pasien, maka dokter
dianggap telah menganiaya pasien (secara etik benar tetapi secara hukum salah)
dan dikenakan sanksi administratif berupa penarikan surat praktik seperti yang
terkandung dalam Peraturan Mentri Kesehatan Republik Indonesia No. 585/Menkes/Per/IX/1989/BAB VI pasal 13 Tentang sanksi yang berbunyi : “terhadap dokter yang melakukan tindakan medik tanpa
adanya persetujuan dari pasien atau keluarganya dapat dikenakan sanksi
administratif berupa pencabutan surat izin praktiknya”.
Jika pasien tidak di transfusi dan
meninggal dunia, secara hukum benar dan secara etis salah. Keluarga pasien
tidak bisa menuntut dokter.
Sebenarnya alternatif lain selain donor darah ada, yaitu infus plasma paling
kuat, serum dan vitamin darah. Namun untuk memenuhi darah yang kurang
alternatif ini membutuhkan waktu yang lama, dan alternatif ini juga membutuhkan
aksi-reaksi dari tubuh pasien, jika pasien dalam keadaan koma atau tidak sadar,
otomatis tubuh pasien tidak dapat merespon baik pemberian plasma, serum maupun
vitamin darah.
REFERENSI
·
Modul of medical ethics and medical
law blok 2 2011
·
Panduan praktis etika profesi
dokter by dr. Heru Budianto, SH, MM
·
Panduan etika medis alih bahasa dr.
Sagiran, M.Kes
·
Power Point dosen
·
Etika kedokteran dan ilmu kesehatan
edisi 4
·
Textbook
Author : Eka dan
Didit
Published with Blogger-droid v1.7.4
Tidak ada komentar:
Posting Komentar