Rabu, 19 Oktober 2011

Artikel (Blok 2, 2011 )

Kode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI)



Sejak awal sejarah umat manusia beberapa puluh tahun sebelum kita lahir, sudah dikenal hubungan kepercayaan antara dua insan yaitu manusia penyembuh dan penderita. Dalam zaman modern, hubungan ini disebut transaksi atau kontrak terapetik antara dokter dan pasien. Hubungan ini dilakukan secara konfidensial, dalam suasana saling percaya mempercayai, dan hormat menghormati.
Sejak terwujudnya praktek kedokteran, masyarakat mengetahui dan mengakui adanya beberapa sifat mendasar yang melekat secara mutlak pada diri seorang dokter yang baik dan bijaksana, yaitu kemurnian niat, kesungguhan kerja, kerendahan hati serta integritas ilmiah dan moral yang tidak diragukan.
Imhotep dari Mesir, Hippokrates dari Yunani dan Galenus dari Roma, merupakan beberapa pelopor kedokteran kuno yang telah meletakkan dasar-dasar dan sendi-sendi awal terbinanya suatu tradisi kedokteran yang luhur dan mulia. Tokoh-tokoh organisasi kedokteran Internasional yang tampil kemudian, menyusun dasar-dasar disiplin kedokteran tersebut atas suatu kode etik kedokteran internasional yang disesuaikan dengan perkembangan zaman. Di Indonesia, kode etik kedokteran sewajarnya berlandaskan etik dan norma-norma yang mengatur hubungan antar manusia, yang asas-asasnya terdapat dalam falsafah Pancasila, sebagai landasan idiil dan UUD 1945 sebagai landasan strukturil. Dengan maksud untuk lebih nyata mewujudkan kesungguhan dan keluhuran ilmu kedokteran, maka para dokter balk yang tergabung dalam perhimpunan profesi Ikatan Dokter Indonesia (IDI), maupun secara fungsional terikat dalam organisasi pelayanan, pendidikan dan penelitian telah menerimaKode Etik Kedokteran Indonesia (KODEKI), yang dirumuskan dalam pasal-pasal sebagai berikut :
I. Kewajiban Umum
Pasal 1. Setiap dokter harus menjunjung tinggi, menghayati dan mengamalkan Sumpah Dokter.
Pasal 2. Seorang dokter harus senantiasa melakukan profesinya menurut ukuran yang tertinggi.
Pasal 3. Dalam melakukan pekerjaan kedokterannya, seorang dokter tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi.
Pasal 4. Perbuatan berikut dipandang bertentangan dengan etik :
a. Setiap perbuatan yang bersifat memuji diri sendiri.
b. Secara sendiri atau bersama-sama menerapkan pengetahuannya dan keterampilan kedokteran dalam segala bentuk, tanpa kebebasan profesi.
c. Menerima imbalan selain dari pada yang layak sesuai dengan jasanya, kecuali dengan keikhlasan, sepengetahuan dan atau kehendak penderita.
Pasal 5. Tiap perbuatan atau nasehat yang mungkin melemahkan daya tahan makhluk insani, baik jasmani maupun rohani, hanya diberikan untuk kepentingan penderita.
Pasal 6. Setiap dokter harus senantiasa berhati-hati dalam mengumumkan dan menerapkan setiap penemuan teknik atau pengobatan baru yang belum diuji kebenarannya.
Pasal 7. Seorang dokter hanya memberi keterangan atau pendapat yang dapat dibuktikan kebenarannya.
Pasal 8. Dalam melakukan pekerjaannya, seorang dokter harus mengutamakan/mendahulukan kepentingan masyarakat dan memperhatikan semua aspek pelayanan kesehatan yang menyeluruh (promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif), serta berusaha menjadi pendidik dan pengabdi masyarakat yang sebenarnya.
Pasal 9. Setiap dokter dalam bekerja sama dengan para pejabat di bidang kesehatan dan bidang lainnya serta masyarakat, harus memelihara saling pengertian sebaik-baiknya.
II. Kewajiban Dokter terhadap Penderita
Pasal 10. Setiap dokter harus senantiasa mengingat akan kewajibannya melindungi hidup mahluk insani.
Pasal 11. Setiap dokter wajib bersikap tulus ikhlas dan mempergunakan segala ilmu dan keterampilannya untuk kepentingan penderita. Dalam hal ia tidak mampu melakukan suatu pemeriksaan atau pengobatan, maka ia wajib merujuk penderita kepada dokter lain yang mempunyai keahlian dalam penyakit tersebut.
Pasal 12. Setiap dokter harus memberikan kesempatan kepada penderita agar senantiasa dapat berhubungan dengan keluarga dan penasehatnya dalam beribadat dan atau dalam masalah lainnya.
Pasal 13. Setiap dokter wajib merahasiakan segala sesuatu yang diketahuinya tentang seorang penderita, bahkan juga setelah penderita itu meninggal dunia.
Pasal 14. Setiap dokter wajib melakukan pertolongan darurat sebagai suatu tugas kemanusiaan, kecuali bila ia yakin ada orang lain bersedia dan mampu memberikannya.
III. Kewajiban Dokter terhadap Teman Sejawatnya
Pasal 15. Setiap dokter memperlakukan teman sejawatnya sebagaimana ia sendiri ingin diperlakukan.
Pasal 16. Setiap dokter tidak boleh mengambil alih penderita dari teman sejawatnya tanpa persetujuannya.
IV. Kewajiban Dokter terhadap Diri Sendiri
Pasal 17. Setiap dokter harus memelihara kesehatannya, supaya dapat bekerja dengan balk.
Pasal 18. Setiap dokter hendaknya senantiasa mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan tetap setia kepada cita-citanya yang luhur.
Daftar Pustaka
Etika Kedokteran dan Hukum Kesehatan
(kintan)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar