Skenario 4 Blok 12
Author : Lilyana Ulfa
INFEKSI HERPES PADA
PASIEN IMUNOKOMPETEN
PENDAHULUAN
Herpes simpleks adalah infeksi
yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, meliputi herpes
orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling sering terjadi melalui
kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari individu yang
terinfeksi.
Di
antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu
infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena sifat penyakitnya
yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari pasien
asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan dan pasien
imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan timbulnya resistensi
virus.
BIOLOGI VIRUS HERPES
A. Klasifikasi
Herpes simplex virus (HSV)
tergolong anggota virus herpes yang primer menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1)
dan HSV-2 termasuk sub family alphaherpesvirinae
dengan ciri-ciri spektrum sel pejamu bervariasi, siklus replikasi yang
relatif cepat, mudahnya infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan
sel yang cepat, dan kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada ganglion
sensorik.
B. Struktur,
Komposisi, dan Sifat
Virus herpes berukuran besar
dibandingkan dengan virus lain. Struktur virus herpes dari dalam ke luar
terdiri dari genom DNA untai ganda liniar berbentuk toroid, kapsid, lapisan
tegumen, dan selubung. Dari selubung keluar tonjolan- tonjolan (spike),
tersusun atas glikoprotein. Terdapat 10 glikoprotein untuk HSV-1 yaitu
glikoprotein (g)B, gC, gD, gE, gH, gI, gK, gL, dan M. Glikoprotein D dan
glikoprotein B merupakan bagian penting untuk infektivitas virus. Glikoprotein
G HSV-1 berbeda dengan HSV-2 sehingga antibodi terhadapnya dapat dipakai untuk
membedakan kedua spesies tersebut.
Virus herpes humanus
relatif tidak stabil pada suhu kamar dan dapat dirusakkan dengan perebusan, alkohol,
dan pelarut lipid seperti eter atau kloroform.
C. Replikasi virus
Virus masuk ke dalam sel melalui fusi
antara glikoprotein selubung virus dengan reseptornya yang terdapat di membran
plasma. Selanjutnya nukleokapsid pindah dari sitoplasma ke inti sel. Setelah
kapsid rusak, genom virus dilepas di dalam inti sel, berubah dari liniar
menjadi sirkular. Sebagian gen langsung ditranskripsikan dan produk RNA-nya
dipindahkan ke sitoplasma. Pada tahap akhir, dengan bantuan protein beta,
terjadi transkripsi dan translasi late genes menjadi protein gamma.
Transkripsi DNA virus terjadi
sepanjang siklus replikasi di dalam sel dengan bantuan enzim RNA polimerase sel
pejamu dan protein virus lain. Transkrip dalam bentuk DNA virus selanjutnya
dirakit menjadi virion pada membran inti sel. Virion selanjutnya dilepaskan ke
luar inti sel melalui proses eksositosis. Satu kali siklus replikasi
berlangsung sekitar 18 jam untuk herpes simpleks.
Replikasi HSV di dalam
sel akan menghambat sintesis DNA dan protein selular sejak fase dini replikasi.
Virus baru yang terbentuk akan
dilepaskan dari sel dan menginfeksi sel lain.
D. Infeksi Laten
Infeksi laten oleh sel
virus merupakan infeksi yang tidak disertai pembentukan virion. Infeksi dimulai
pada epitel orolabial atau genital, selanjutnya infeksi menyebar ke akson
terminal syaraf sensorik dan terjadi translokasi retrograd virus ke akson. Pada
sel neuron, infeksi dapat bersifat produktif maupun laten. Latensi tersering
terjadi pada ganglion trigeminus. Jika ada stimulus, infeksi laten pada neuron
berubah menjadi infeksi produksi terbatas dan selanjutnya menyebar ke jaringan
yang dipersyarafinya.
PATOGENESIS
Infeksi terjadi melalui inokulasi
virus pada permukaan mukosa yang rentan. Virus akan melekat pada sel epitel
kemudian masuk dengan cara meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam
sel, terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan
kematian sel. Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian
ditransportasi ke inti sel neuron di ganglia sensorik. Virion dalam neuron yang
terinfeksi akan bereplikasi menghasilkan progeni atau virus akan memasuki
keadaan laten tak bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus
progeni ke lokasi kulit tempat dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi
sel epitel yang berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran
virus dan jejas sel.Infeksi oleh HSV-1 dan HSV-2 akan menginduksi glikoprotein
yang berhubungan pada permukaan sel- sel yang terinfeksi. Setelah terjadi
infeksi, sistem imunitas humoral dan selular akan terangsang oleh glikoprotein
antigenik untuk menghasilkan respon imun. Respon imun dapat membatasi replikasi
virus sehingga infeksi akut dapat membaik. Respon ini tidak dapat mengeliminasi
infeksi laten yang menetap dalam ganglia seumur hidup pejamu. Latensi semata
tidak menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami reaktivasi
sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat
menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens atau
pelepasan virus asimtomatik. Reaktivasi HSV-1 sering terjadi dari ganglion
trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion sakralis.
Faktor pemicu
terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar ultra violet, trauma
mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan seksual, stres emosional,
dan keadaan imunokompromais.
Penularan
lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung dengan lesi
atau saliva yang mengandung virus. Penularan lesi genital dimulai bila sel
epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan virus yang terdapat
dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi. Walaupun herpes
orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan herpes genitalis terutama
disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2 dapat mengakibatkan lesi-lesi oral,
demikian pula HSV-1 dapat menyebabkan lesi genital. Hal ini dikaitkan dengan
aktivitas seksual secara orogenital.
Semua individu
seropositif HSV-2 secara intermiten akan mereaktivasi HSV di saluran genitourin
selama hidupnya, baik sebagai infeksi simtomatik, infeksi simtomatik namun
tidak dikenal sebagai herpes, atau sebagai infeksi subklinis.
MANIFESTASI KLINIS
HERPES OROFASIAL
1. Infeksi primer
Infeksi primer dapat bersifat
subklinis, tetapi pada beberapa keadaan menimbulkan manifestasi berat di daerah
oral disebut gingivostomatitis herpetika primer.
Gingivostomatitis herpetika adalah
manifestasi infeksi HSV-1 orofasial primer yang tersering, ditandai lesi khas
vesikoulseratif oral dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5
tahun. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, nausea, dan
muntah-muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut. Satu sampai dua hari setelah
gejala prodromal, timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil berkelompok di
mukosa mulut, berdinding tipis dikelilingi oleh peradangan. Vesikel cepat pecah
meninggalkan ulkus dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga mulut. Lesi
dapat mengenai seluruh bagian mukosa mulut. Selama perlangsungan penyakit,
vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang lebih besar dengan tepi tidak teratur.
Gambaran khas adalah ginggivitis marginalis akut, generalisata, edema, dan
eritema ginggiva, kadang-kadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. Pada
pemeriksaan, faring posterior akan tampak kemerahan dengan pembesaran kelenjar
getah bening submandibular dan servikal.
Gejala
ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit di sekitar sirkum
oral. Setelah beberapa hari lesi akan ditutupi krusta kekuningan. Stomatitis
herpetika akut pada anak-anak yang sehat bersifat swasirna. Demam biasanya akan
hilang dalam 3-4 hari dan lesi akan sembuh dalam 10 hari, walaupun dalam waktu
1 bulan masih dapat ditemukan virus dalam saliva.
2. Infeksi rekuren
Herpes simpleks labialis (cold
sore/fever blisters) adalah bentuk herpes orofasial rekuren yang paling
sering terjadi, berupa vesikel-vesikel pada batas luar vermilion dan
kulit sekitarnya. Gejala dimulai dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya
vesikel berkelompok dalam 24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian
akan ditutupi krusta. Nyeri dan rasa tidak nyaman terjadi pada beberapa hari
pertama; lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2 minggu tanpa jaringan parut.
Pelepasan virus terus berlansung 3–5 hari setelah lesi sembuh. Herpes labialis
rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu yang terkena infeksi HSV di
mulut, terjadi tiga kali lebih sering pada pasien dengan demam dibandingkan
pasien tanpa demam.
Herpes intra oral rekuren
merupakan bentuk rekuren berupa lesi pada intra oral khususnya daerah mukosa
yang berkeratin. Predileksi pada palatum durum regio premolar dan molar, dapat
juga timbul pada bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak
unilateral, tidak melewati garis tengah.
HERPES GENITALIS
1. Herpes genitalis
primer episode pertama
Episode pertama akan tampak secara
klinis dalam waktu 2-21 hari setelah inokulasi. Bila seseorang belum pernah
terpajan HSV sebelumnya (seronegatif) maka akan disebut sebagai infeksi primer.
Episode pertama seringkali disertai gejala-gejala sistemik, lesi dan pelepasan
virus yang berlangsung lama, mengenai banyak tempat di genital maupun di luar
genital. Pasien dengan infeksi primer (infeksi pertama kali dengan HSV-2 maupun
HSV-1) umumnya mengalami penyakit yang lebih parah dibandingkan pasien yang
telah mengalami infeksi HSV-1 sebelumnya.
Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1
genital ditandai dengan gejala sitemik dan lokal yang lama. Gejala sistemik
muncul dini berupa demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal
utama berupa nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau
uretra serta pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal.
Lesi kulit berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem di labia minora,
introitus, meatus uretra, serviks pada wanita; batang dan glans penis pada pria
atau perineum, paha, dan bokong pada pria dan wanita. Vesikel ini mudah pecah
dan menimbulkan erosi multipel. Masa pelepasan virus berlangsung kurang lebih
12 hari. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi secara bertahap dalam
waktu kurang lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder
penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.
2. Herpes genitalis
non-primer episode pertama
Sebagian besar populasi pernah
terpajan oleh HSV-1 maupun HSV-2 sebelumnya. Individu demikian telah
seropositif pada saat episode pertama, sehingga disebut non-primer. Diagnosis
klinis episode pertama non-primer sukar dibedakan dengan episode rekuren.
Secara umum, episode pertama non- primer menyerupai rekurensi yaitu lebih
ringan daripada infeksi primer, dengan masa tunas yang lebih panjang.
3. Herpes genitalis
rekuren
Tingkat rekurensi bervariasi
diantara individu. Rekurensi cenderung lebih sering terjadi pada bulan pertama
atau tahun pertama setelah infeksi awal.
Lesi rekuren biasanya
terbatas pada satu sisi dan gejala klinis yang ringan. Lamanya pelepasan virus
berlangsung kurang dari 5 hari, penyembuhan juga lebih cepat.
4. Herpes genitalis
atipikal
Manifestasi herpes
genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura, furunkel, ekskoriasi, dan
eritema vulva nonspesifik disetai rasa nyeri dan gatal pada wanita. Pada pasien
pria berupa fisura linier pada preputium, dan bercak merah pada glans penis.
Lesi ekstragenital umumnya mengenai bokong, sela paha, dan paha.
5. Reaktivasi
subklinis/asimtomatik HSV
Pelepasan virus (viral shedding)
subklinis menjadi masalah serius pada herpes genitalis karena berpotensi tinggi
dalam transmisi virus. Lokasi viral shedding pada keadaan asimtomatik
umumnya di kulit penis, uretra, perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks,
serta perineum pada wanita.
DIAGNOSIS
A. Diagnosis klinis
Tipe awitan, gejala konstitusional
yang klasik, distribusi dan gambaran lesi yang khas berupa ulserasi oral
superfisial, bentuk bulat, multipel, bersifat akut dan adanya gingivitis
marginal generalisata pada pemeriksaan fisis, ditunjang oleh tidak adanya
riwayat episode herpes sebelumnya, serta adanya riwayat terpajan HSV-1 membantu
menegakkan diagnosis gingivostomatitis herpetika primer. Herpes orofasial tipe
ini perlu dibedakan dengan hand-foot-mouth disease, herpangina, eritema
multiformis, pemfigus vulgaris, acute necrotizing ulcerative gingivitis.
Herpes intraoral didiagnosis
banding dengan stomatitis aftosa rekuren dan herpes zoster intraoral.
Infeksi HSV genital perlu
didiagnosis banding dengan penyebab ulkus genital lain baik berupa infeksi
maupun bukan infeksi. Bila terdapat kelompokan vesikel multipel atau bila
terdapat riwayat lesi sebelumnya yang berukuran sama, lama timbulnya dan
sifatnya sama maka kemungkinan besar penyebabnya adalah HSV. Diagnosis banding
HSV genital adalah ulkus pada sifilis, chancroid, limfogranuloma
venerum, donovanosis, non infeksi penyakit Crohn, ulserasi mukosa yang
dihubungkan dengan sindrom Behcet.
B. Diagnosis
laboratorium
1. Tes
Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel raksasa
berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifisik.
2. Kultur
virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat saat lesi menyembuh.
3.
Deteksi DNA HSV dengan Polymerase
chain reaction (PCR), lebih sensitif dibandingkan kultur virus.11
4. Tes
serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi setelah 4–7 hari
infeksi, mencapai puncak setelah 2–4 minggu, dan menetap selama 2–3 bulan,
bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan, IgG baru dapat dideteksi setelah 2–3 minggu infeksi,
mencapai puncak setelah 4–6 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat seumur
hidup.
Antibodi IgM dan IgG
hanya memberi gambaran keadaan infeksi akut atau kronik dari penyakit herpes
genitalis.
Tidak ditemukannya
antibodi HSV pada sampel serum akut dan ditemukannya IgM spesifik HSV atau
peningkatan 4 kali antibodi IgG selama fase penyembuhan menunjukkan diagnosis
HSV primer. Ditemukannya IgG antiHSV pada serum akut, IgM spesifik HSV dan
peningkatan IgG anti-HSV selama fase penyembuhan merupakan diagnostik infeksi
HSV rekuren.
KONSELING DAN PENCEGAHAN
Diagnosis herpes
(herpes genitalis) dapat berdampak psikologis yang berat. Umumnya pasien akan
merasa depresi, terisolasi, dan takut.
Mengingat dampak
psikologis yang mungkin terjadi, maka diperlukan konseling sebagai bagian
integral keberhasilan manajemen herpes genitalis dengan harapan tercapainya
beberapa tujuan (goals) yang jelas. Pada dasarnya konseling IMS
bertujuan:
1. Pasien patuh minum obat/mengobati
sesuai ketentuan
2. Kembali untuk follow up teratur
sesuai jadwal
3. Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra
seksual dan turut berusaha agar mitra tersebut bersedia diperiksa dan diobati
bila perlu
4. Mengurangi risiko penularan dengan:
a) Abstinensia
dari semua hubungan seks hingga pemeriksaan terakhir selesai
b) Abstinensia
dari semua hubungan seks bila timbul simtom atau gejala kambuh
c) Menggunakan
kondom bila meragukan adanya risiko
5. Tanggap dan memberikan respons cepat
terhadap infeksi atau hal yang mencurigakan setelah hubungan seks.
Hasil utama yang dikehendaki dari seluruh rangkaian konseling herpes adalah pasien dapat menerima bahwa infeksi herpes yang dideritanya bukanlah suatu punishmenti, tetapi relatif merupakan suatu kondisi medis yang biasa dan banyak ditemukan pada orang lain, serta dapat dikelola dengan berhasil untuk meminimalkan dampak negatif pada pasien dalam hidupnya.
Hasil yang diharapkan secara spesifik ialah :
· Menjalin
hubungan baik dengan pasien agar timbul kepercayaan pada dokter yang
merawatnya.
· Memberikan
informasi dan edukasi tentang herpes
· Meminimalkan
akibat psikologis yang biasanya timbul akibat kondisi penyakit kronis tersebut
· Membantu
proses untuk memberikan informasi pada pasangan seksual pasien (partner
notification)
Pedoman dasar konseling pasien herpes genitalis:
· Lingkungan
yang mendukung
· Sikap
yang benar
· Memberikan
informasi yang benar
Beberapa tambahan tuntunan (guidelines) dalam konseling pasien herpes genitalis:
· Memberi
jaminan bagi pasien untuk kerahasiaan absolut tentang konsultasi dan hubungan
bersifat pribadi
· Selalu
menunjukkan perhatian dan kesungguhan terhadap masalah yang dihadapi oleh
pasien dan menyampaikan pertanyaan yang terbuka hingga klien menjadi lebih
berani berbicara
· Dengarkan
dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh pasien, seolah-olah hanya kita
yang dapat berdiskusi tentang infeksi tersebut
·
Gunakan bahasa dan terminologi
sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien
· Hindari
kata-kata dan istilah menakutkan ␣ Merangsang klien untuk mau bertanya dan menanyakan sesuatu
yang belum
· dimengerti
pada kunjungan berikutnya
· Melengkapi
pasien dengan semua informasi yang dibutuhkan tentang penyakit, prosedur
pengobatan hingga pasien dapat memberikan putusan yang tepat
·
Simpulkan dalam catatan yang singkat
dan jelas.
Sumber :
Adolf H.
Mitaart
Bagian/SMF Ilmu
Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. Dr. R. D.
Kandou Manado
Tidak ada komentar:
Posting Komentar