Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label artikel. Tampilkan semua postingan

Kamis, 10 April 2014

Artikel tentang obesitas pada remaja
Author : Cece
Dewasa ini banyak sekali kita temukan orang-orang dengan berat badan yang berlebihan sehingga kelihatan tidak proporsional dengan tinggi badan mereka. Saat ini di masyarakat, banyak orang yang kurang peduli dengan masalah berat badan, padahal berat badan berlebih bisa mengakibatkan banyak hal yang justru merugikan diri mereka sendiri, termasuk dalam hal kesehatan. Masalah berat badan ini juga sangat mungkin diderita oleh remaja! Salah satu masalah berat badan adalah obesitas.
Obesitas bisa terjadi karena berat badan yang tidak seimbang dengan tinggi badan. Tetapi sebelumnya harus diketahui bahwa tidak semua ketidakseimbangan tersebut langsung kita vonis sebagai obesitas. Oleh karena itu, yuk kita kenal lebih jauh apa yang dimaksud dengan obesitas, terutama pada remaja. Obesitas menurut kamus kedokteran memiliki arti penumpukan atau akumulasi berlebihan lemak pada tubuh, sehingga terjadi peningkatan berat badan yang tidak sesuai dengan usia, tinggi badan dan struktur tulang. Salah satu standar obesitas yang umum digunakan adalah Indeks Massa Tubuh (IMT) > 30 kg/m².
 Faktor-faktor yang diketahui dapat mempengaruhi terjadinya obesitas adalah sebagai berikut: Pola makan. Banyaknya asupan kalori, gula dan lemak yang dimakan oleh remaja seperti makanan siap saji dan gula-gula menjadi salah satu faktor yang berpengaruh pada kenaikan berat badan. Kurangnya olah raga. Kenaikan berat badan juga dipicu dengan kurangnya olah raga karena tidak ada aktivitas yang membakar lemak. Riwayat keluarga. Jika remaja tersebut lahir dari keluarga yang memiliki masalah kelebihan berat badan, kebanyakan remaja tersebut juga memiliki masalah yang sama.
Hal ini diperberat dengan ketersediaan makanan kalori tinggi dan aktivitas fisik yang kurang yang biasanya adalah contoh dari keseharian keluarga. Faktor psikologis. Remaja dengan stres tinggi atau masalah yang berkaitan dengan emosi cenderung mendorong mereka untuk makan lebih banyak. Faktor keluarga. Kebiasaan dalam keluarga yang cenderung mengkonsumsi makanan kalori tinggi dan banyak gula cenderung memiliki anak dengan masalah berat badan. Jika obesitas ini dibiarkan maka akan timbul akibat-akibat negatif yang akan diderita oleh remaja tersebut. Akibat-akibat tersebut di antaranya bahwa obesitas berkaitan dengan faktor risiko terjadinya penyakit jantung dan pembuluh darah, seperti kolesterol tinggi dan tekanan darah tinggi. Remaja obesitas memiliki kondisi prediabetes, kondisi kadar gula darah berada pada level risiko tinggi untuk menjadi diabetes. Obesitas juga menyebabkan masalah pada tulang dan sendi. Remaja yang obesitas cenderung akan tetap obesitas saat dewasa, sehingga risiko yang ditimbulkan tetap terbawa sampai dewasa. Selain itu, masalah psikologis seperti diolok-olok oleh teman di lingkungan yang sama juga sering diderita oleh remaja dengan obesitas. Pencegahan untuk masalah kesehatan ini tentu saja dapat kita lakukan. Dengan mengetahui faktor risiko yang berkaitan dengan obesitas, kita dapat memodifikasi faktor risiko tersebut. Kita dapat menerapakan pola hidup sehat termasuk diantaranya membiasakan untuk makan makanan yang sehat.
Makanan sehat bukan hanya berarti bersih dan aman dikonsumsi tetapi perhatikan pula kalori dan gula yang terkandung dalam makanan tersebut. Perlu diingat, makanan segar tetap lebih baik dibanding makanan beku ataupun makanan cepat saji, karena cenderung memiliki kadar lemak yang lebih rendah. Selain menerapkan pola makan yang sehat, jangan lupa untuk membiasakan diri melakukan aktivitas fisik. Kebiasaan sehat pada remaja ini tidak lepas dari peran banyak pihak termasuk diantaranya peran serta keluarga, komunitas di sekolah, industri minuman dan makanan, media hiburan, bahkan peran serta pemerintah dan penyedia layanan kesehatan yang penting untuk mencegah hal ini.
Obesitas kini sudah menjadi ancaman baru bagi dunia,terutama pada kalangan remaja. prevalensi obesitas meningkat sangat tajam di seluruh dunia yang mencapai tingkatan yang membahayakan. Menurut laporan WHO 2003, 300 juta orang dewasa menderita obesitas. Di Indonesia sendiri sekitar 1,5-5% menderita obesitas. Hampir 10 dari setiap 100 orang penduduk kota besar, seperti Jakarta, menderita obesitas. Saat ini diperkirakan lebih dari 6 juta wanita Indonesia menderita obesitas (Depkes, 2004).
Meningkatnya prevalensi penderita obesitas tidak dipungkiri karena telah berubahnya pola makan,dan semakin majunya teknologi yang menyebabkan perubahan gaya hidup masyarakat.Perubahan pola makan remaja Indonesia yang kini lebih memilih makanan siap saji (fast food) daripada makanan traditional.Semakin banyaknya iklan di televisi tentang makanan cepat saji juga menyebabkan keinginan para remaja untuk mencoba makanan ini.Junk food mengandung tinggi kalori, kaya lemak trans, tinggi natrium dan rendah serat yang merupakan penyebab dari hipertensi,diabetes tipe 2,serta penyakit jantung koroner.Tidak hanya merugikan kesehatan,obesitas juga menurunkan kepercayaan pada diri remaja. Remaja putri dengan obesitas yang memiliki harga diri rendah akan mengalami kecemasan dan perasaan tidak nyaman terhadap penampilan fisiknya.
Semakin majunya teknologi semakin rendah pula aktifitas yang dilakukan oleh para remaja . Remaja lebih memilih bermain playstation,komputer atau menonton televisi dari pada berolahraga .Sehingga energi dari asupan setiap hari berlebih nantinya akan ditimbun menjadi lemak,terutama pada bagian perut.Semakin banyaknya lemak yang tertimbun didalam tubuh meningkatkan pula resistensi insulin sehingga meningkatkan resiko diabetes tipe 2 yang kini banyak menyerang para remaja Indonesia.
 Bukan perkara mudah memang untuk merubah kebiasaan buruk tersebut,terutama pada remaja yang masih mudah terpengaruh sama lingkungan sekitar.Yang terpenting adalah niat untuk merubah semua kebiasaan buruk tersebut dan dukungan keluarga . Makan makanan traditional rasanya lebih enak dan bernutrisi dari pada makanan siap saji.Melakukan aktifitas positif seperti berolahraga lebih bermanfaat untuk kesehatan dan pikiran daripada hanya duduk diam menonton televisi dan bermain playstation di rumah bukan ?
Obesitas yang dalam bahasa awam sering disebut kegemukan merupakan kelebihan berat badan sebagai akibat dari penimbunan lemak tubuh yang berlebihan. Obesitas dapat menurunkan rasa percaya diri seseorang dan menyebabkan gangguan psikologis yang serius. Belum lagi kemungkinan diskriminasi dari lingkungan sekitar. Dapat dibayangkan jika obesitas terjadi pada remaja, maka remaja tersebut akan tumbuh menjadi remaja yang kurang percaya diri.
Obesitas terjadi jika seseorang mengkonsumsi kalori melebihi jumlah kalori yang dibakar. Pada hakikatnya, tubuh memerlukan asupan kalori untuk kelangsungan hidup dan aktivitas fisik. Namun untuk menjaga berat badan, perlu adanya keseimbangan antara energi yang masuk dengan energi yang keluar. Ketidakseimbangan energi yang terjadi dapat mengarah pada kelebihan berat badan dan obesitas. Ketidakseimbangan energi yang masuk dan keluar ini berbeda pada tiap individu. Beberapa faktor yang mempengaruhi diantaranya genetik dan lingkungan.
Derajat obesitas biasanya diukur dengan menghitung Body Mass Index (BMI) atau Indeks Massa Tubuh (IMT). Nilai BMI diperoleh dari membagi berat badan dalam kilogram (kg) dengan kuadrat tinggi dalam meter (m2). Nilai 25-29,9 dikategorikan sebagai berat badan lebih (overweight), sedangkan nilai 30 atau lebih dikatakan sebagai obesitas.
Tabel Klasifikasi BMI
Klasifikasi
BMI (kg/m2)

Underweight
<18.50

Berat
<16.00

Menengah
16.00 - 16.99

Ringan
17.00 - 18.49

Batas Normal
18.50 - 24.99
Overweight
≥25.00

Pre-obesitas
25.00 - 29.99

Obesitas
≥30.00

Obesitas I
30.00 - 34-99

Obesitas II
35.00 - 39.99
Obesitas III
≥40.00

Sumber: Diadaptasi dari WHO
Obesitas, Masalah Sensitif bagi Remaja
Obesitas merupakan pembahasan yang sensitif bagi remaja. Remaja yang mengalami kelebihan berat badan mungkin memperhatikan perubahan fisiknya tersebut. Di samping risiko kesehatan jangka panjang seperti peningkatan tekanan darah dan diabetes, masalah sosial dan emosional sebagai akibat kelebihan berat badan dapat menyebabkan remaja putus asa. Belum lagi jika usaha menurunkan berat badan tidak memberikan hasil terbaik.
Remaja perlu diingatkan bahwa tidak ada gambaran tubuh yang sempurna yang dapat dicapai. Berat yang sesuai untuk seseorang belum tentu tepat untuk orang lain. Remaja harus didorong untuk mencapai berat badan yang sehat.
Menurunkan berat badan dan tetap mempertahankannya merupakan komitmen jangka panjang. Diperlukan perubahan gaya hidup yang teratur dan konsisten agar upaya yang telah dilakukan tidak sia-sia. Diet yang berlebihan akan mengurangi asupan nutrisi yang diperlukan untuk perkembangan remaja. Sementara pil penurun berat badan instan hanyalah solusi sementara yang tidak menyelesaikan akar permasalahan.
Aktivitas fisik juga diperlukan untuk membantu penurunan berat badan dan membakar kalori. Ikut serta dalam tim olahraga di sekolah, bersepeda atau mungkin berjalan kaki ke sekolah merupakan diantara cara untuk membuat remaja tetap aktif. Mencuci mobil atau melakukan pekerjaan rumah tangga juga dapat dihitung sebagai aktivitas fisik.
Biasakan remaja untuk sarapan sebelum memulai aktivitas. Walaupun kadang dianggap sepele, namun sesungguhnya sarapan merupakan hal yang penting. Sarapan yang bergizi akan memberi energi untuk menghadapi aktivitas sepanjang hari. Selain itu, sarapan dapat mencegah remaja makan berlebihan pada siang dan malam harinya. Bekali juga remaja dengan cemilan sehat seperti buah-buahan.
Mengukur porsi makanan juga penting. Makanlah hanya saat lapar dan berhenti sebelum benar-benar merasa kenyang. Hal yang sering dilupakan oleh remaja adalah konsumsi minuman yang mengandung gula dan kalori berlebih seperti soda. Padahal, kelebihan kalori akan berakibat pada obesitas.
Kebiasaan sehat harus ditularkan ke seluruh anggota keluarga. Makanan sehat dan aktivitas fisik tentunya baik untuk semua orang. Remaja yang sedang dalam proses penurunan berat badan memerlukan dukungan dari keluarga dan lingkungan sekitarnya.
Cara Penurunan Berat Badan yang Sehat
Tujuan dari terapi obesitas tak lain untuk mencapai dan menjaga berat badan yang sehat. Jumlah kilogram berat badan yang harus diturunkan ini terkadang lebih sedikit daripada yang dirasakan oleh mereka yang menjalani terapi obesitas.
Padahal, penurunan berat badan sekitar 5-10% saja sudah dapat memberikan dampak positif bagi kesehatan. Namun jangan pernah berhenti saat mencapai hasil ini. Penurunan berat badan 0,5-1 kg per minggu secara perlahan dan konstan merupakan cara yang aman untuk menjaga berat badan.
Upaya untuk mencapai berat badan yang sehat dapat dilakukan melalui perubahan pola makan (diet), peningkatan aktivitas fisik, dan modifikasi perilaku. Dokter dapat meresepkan obat antiobesitas atau merekomendasikan tindakan bedah untuk membantu menurunkan berat badan. Namun semua itu tergantung kepada kondisi tiap individu.
  • Perubahan Pola Makan (Diet)
    Inti dari perubahan pola makan ini adalah mengurangi asupan kalori total. Caranya dengan lebih banyak mengkonsumsi buah dan sayur, serta membatasi gula dan lemak. Bicarakan dengan dokter atau ahli gizi untuk mengetahui kebutuhan kalori anda.
    Diet ekstrim tidak disarankan karena dapat mengurangi nutrisi yang seharusnya diperlukan dalam masa pertumbuhan remaja, misalnya dengan terjadinya defisiensi vitamin. Puasa terus-menerus juga bukanlah suatu jawaban karena penurunan berat badan kebanyakan berasal dari kehilangan air dari dalam tubuh, sehingga tubuh akan terasa lemas.
  • Peningkatan Aktivitas Fisik
Tujuan aktivitas fisik dalam penurunan berat badan adalah membakar lebih banyak kalori. Banyaknya kalori yang dibakar tergantung dari frekuensi, durasi, dan intensitas latihan yang dilakukan. Salah satu cara untuk menghilangkan lemak tubuh adalah dengan aerobik atau berjalan kaki selama 30 menit setiap harinya. Dapat pula dilakukan modifikasi yang dapat meningkatkan aktivitas fisik sehari-hari. Misalnya dengan lebih memilih menggunakan tangga untuk naik atau turun beberapa lantai dibanding menggunakan elevator.
  • Modifikasi Perilaku
Modifikasi perilaku digunakan untuk mangatur/memodifikasi pola makan dan aktivitas fisik pada mereka yang menjalani terapi obesitas. Melalui modifikasi perilaku ini dapat diketahui faktor atau situasi apa yang dapat membuat berat badan menjadi berlebih sehingga diharapkan dapat membantu mengatasi ketidakpatuhan dalam terapi obesitas.
  • Obat Antiobesitas
Dokter dapat mempertimbangkan memberikan obat antiobesitas jika:
    • Metode penurunan berat badan lainnya tidak berhasil.
    • Nilai BMI lebih dari 27 dan ada komplikasi medis dari obesitas, seperti diabetes, peningkatan tekanan darah, dan sleep apnea.
    • Nilai BMI lebih dari 30.
Ada dua jenis obat yang telah disetujui oleh Food and Drug Administration (FDA) untuk penurunan berat badan, yakni:
    • Sibutramin
      Sibutramin bekerja untuk menekan nafsu makan dengan cara menghambat ambilan ulang neurotransmiter norepinefrin dan serotonin. Sibutramine mengubah kimiawi otak sehingga anda akan merasa lebih cepat kenyang.
      Walaupun secara umum sibutramin dapat lebih menurunkan berat badan dibanding diet dan olahraga, namun itu bukanlah segalanya. Penelitian menunjukkan bahwa setelah satu tahun, pengguna sibutramin mengalami penurunan berat badan hanya sekitar 5 kg dibanding mereka yang menjalani diet rendah kalori dan menggunakan plasebo.
      Efek samping penggunaan sibutramin yakni peningkatan tekanan darah, sakit kepala, mulut kering, konstipasi, dan insomnia.
    • Orlistat
      Orlistat merupakan suatu penghambat lipase, bekerja dengan membatasi absorpsi lemak diet dari dalam tubuh. Orlistat mencegah penyerapan/absorpsi lemak di usus. Lemak yang tidak diserap akan keluar bersama kotoran.
      Rata-rata penurunan berat dengan menggunakan orlistat adalah sekitar 3 kg setelah satu tahun. Penggunaan orlistat harus disertai dengan diet untuk memperoleh hasil terbaik.
      Efek samping orlistat diantaranya kotoran yang berminyak dan pergerakan usus yang lebih sering. Karena orlistat menghalangi penyerapan beberapa nutrien, dokter juga akan menyarankan penggunaan multivitamin.
  • Tindakan Pembedahan
Jika semua tindakan di atas tidak mampu menurunkan berat badan, maka pembedahan dapat menjadi pilihan. Operasi gastric bypass dapat dilakukan dengan cara merubah anatomi sistem pencernaan untuk membatasi jumlah makanan yang dimakan dan dicerna.
Pembedahan untuk menurunkan berat badan dapat dipertimbangkan jika:
    • Nilai BMI 40 atau lebih.
    • Nilai BMI antara 35-39,9 dan terdapat risiko kesehatan serius terkait obesitas, seperti diabetes atau peningkatan tekanan darah.


Kamis, 23 Mei 2013

Artikel dan Jurnal Skenario 3 Tutorial Blok 12

Jurnal Download dibawah ini:
Pengaruh Riwayat Atopik terhadap Timbulnya Dermatitis Kontak Iritan ,
DERMATITIS KONTAK PADA PEKERJA BANGUNAN,
DERMATITIS KONTAK AKIBAT KERJA PADA PETANI



Practical Management Strategies for Diaper Dermatitis
The continuous use of diapers is at the root of IDD. Maximizing "diaper-free" time is a widely recommended preventative strategy, but is not very practical. Frequent diaper changes are essential for maintaining dryness and keeping urine and feces separated. Diapers should be changed as soon as they are wet or soiled, at least every 3–4 hours and more frequently in the neonate due to increased skin fragility. Parents should forego tight-fitting diapers and consider a diaper slightly larger than the infant to minimize the contact between skin and urine or feces. Common IDD should resolve when children become toilet trained.
The advent of disposable diapers and the ongoing development of new diaper technology has radically changed the face of IDD.Early cellulose-core containing disposable diapers were dramatically improved by the addition of cross-linked sodium polyacrylate polymers to the diaper core. These polymers, also called absorbent gelling materials, bind water in a gel matrix when hydrated. This gel effectively traps moisture away from the skin surface. It controls pH through its buffering capacity, and by separating urine from feces. These diapers are referred to as super absorbent diapers. In a study of 1,614 infants, super absorbent diapers were associated with reduced skin wetness, superior pH control, and less diaper dermatitis compared with cellulose-core disposable and cloth diapers. Originally, these diapers were developed with an impenetrable backsheet (outer cover) to prevent leaks, but this led to increased humidity and skin maceration. A "breathable" diaper was subsequently developed with a backsheet that is permeable to air and vapor but still impenetrable to leaks. This backsheet is readily identified by its cloth-like, rather than plastic, texture. The "breathable" superabsorbent diaper has been shown to reduce the prevalence of severe IDD by up to 50%. Nearly all commercially available disposable diapers in North America now use polyacrylate gel-core technology, and many use the breathable backsheet (e.g., Pampers®, Procter & Gamble; Huggies®, Kimberly-Clark). A novel diaper has recently been developed that transfers a petrolatum and zinc oxide-based formula to the child's skin. In a double-blinded, randomized trial, infants using this diaper had consistently less skin erythema and diaper rash compared with those using a superabsorbent diaper alone over a 4-week period of use.
Cloth diapers are not recommended for patients with IDD. They increase skin wetness, promote mixing of urine and feces, and are associated with Jacquet erosive diaper dermatitis.
Application of a suitable barrier preparation is the cornerstone of prevention and treatment of IDD. There is a notable absence of controlled trials to support and guide the use of barrier preparations for IDD. Anecdotal evidence is abundant and suggests a barrier preparation should be applied to the diaper area after every diaper change and bath. A suitable barrier preparation should minimize transepidermal water loss (TEWL) and decrease permeability to irritants. The barrier corrects these deficits by forming a lipid barrier over the skin surface, or by penetrating the stratum corneum and assuming the role of endogenous intercellular lipids. The barrier also minimizes cutaneous friction. The barrier must be lipid-rich, long-lasting and adherent to the macerated and eroded diapered skin.
Pastes are the most hardy and desirable barriers, followedbyointments.Ointments are superior to creams and lotions, which are poorly adherent, minimally occlusive, and contain preservatives. Diaper pastes are tenacious semisolid compounds containing a high proportion (usually >10%) of a fine powder such as zinc oxide, titanium dioxide, and starch or talc. Pastes should be applied thickly,like "icingonacake",andcan be covered by petroleum jelly to avoid sticking to the diaper. Products containing fragrance, preservatives, and other ingredients with irritant or allergic potential should be avoided. Products containing boric acid, camphor, phenol, and salicylates should be avoided due to potential systemic toxicity. The local ostomy nurse may also be a valuable resource in identifying suitable barrier preparations in severe IDD.
Children predisposed to IDD should be bathed daily in a lukewarm bath using an irritant-free and fragrance-free soap or cleanser followed by liberal application of a barrier preparation to the diaper area. The diaper area should be cleaned gently and dried by patting with a towel to avoid any undue friction. Aggressive wiping at diaper changes should be avoided. Residual adherent barrier paste does not need to be wiped off along with the urine and stool at each diaper change. Mineral oil can help facilitate paste removal, if required.
It is a commonly held belief that baby wipes contribute to IDD; however an investigator-blinded, parallel-comparison study of 102 infants found no difference between skin cleaned with an alcohol-free, nonwoven disposable wipe, and skin cleaned with water and a cleanser. Moreover, skin cleaned with wipes had statistically better rash scores in the intertriginous areas, suggesting that wipes may help parents access hard-to-reach areas. These wipes were found to be safe and well tolerated in infants with atopic dermatitis. Baby wipes can cause an allergic contact hand dermatitis in caregivers, in a "grip-like" distribution. It is prudent to choose wipes without fragrance and preservatives to avoid allergic sensitization( Table 2 ).
Candida infection is often associated with moderate-severe cases of IDD. C. albicans is present in the mouth, inguinal and perianal skin more frequently in patients with IDD. The azoles, nystatin, and ciclopirox are all appropriate topical anticandidal agents, but few well-designed comparative trials are available to guide clinical practice. Twice-daily application is recommended until resolution. In a National Ambulatory Medical Care Survey (NAMCS), more than 200,000 visits for diaper dermatitis in the US were reviewed; nystatin and clotrimazole were the most commonly prescribed topical antifungals (27% and 16% respectively). A prospective, randomized study compared topical nystatin with mupirocin in the treatment of IDD complicated by C. albicans infection. Treatment with both agents resulted in mycological cure; however, resolution of IDD was observed in all patients treated with mupirocin compared with only 30% treated with nystatin. Application of miconazole nitrate 0.25% in a zinc oxide and petrolatum base has demonstrated efficacy and safety in vehicle-controlled, randomized, double-blinded trials. In an open trial, ciclopirox 0.77% topical suspension demonstrated significant improvement in rash severity and superior mycological cure by 7 days in patients with IDD and C. albicans infection. There is little evidence to support the addition of an oral antifungal to topical therapy in IDD. Patients with concomitant oral thrush, however, may benefit from a course of systemic antifungal therapy.
A short course of a mild topical corticosteroid is frequently necessary in moderate-to-severe IDD. Hydrocortisone 1% ointment can be applied to affected areas twice daily for a limited duration. Mid-to-high potency corticosteroids should never be used in the diaper area. The NAMCS documented a surprisingly high rate of moderate-to-high potency halogenated topical corticosteroid use in IDD. Triamcinolone acetonide or betamethasone dipropionate use, either alone or in combination with antifungals, was documented in a staggering 24.3% of visits for diaper dermatitis. Atrophy, systemic absorption, candidiasis, and granuloma gluteale infantum are all associated with mid-to-high potency corticosteroid use in the diaper area. The topical calcineurin inhibitors, tacrolimus and pimecrolimus, have not been studied for the treatment of IDD. These agents have been studied for efficacy and safety as a steroid-sparing treatment for atopic dermatitis in infants <2 years old. Although they are not approved for use in this age group, they may be a useful off-label alternative for IDD in the appropriate clinical setting.
A number of other agents have been reported to be efficacious in the treatment of IDD. A recent pilot study found clinical and mycological benefits using a 1:1:1 mixture of honey: olive oil: beeswax to treat IDD. Eosin, an orange-red dye derived from coal tar, is a common agent used for IDD in Europe. It was found to have a greater rate of clearance of IDD within 5 days compared with zinc oxide and a moderate-potency topical corticosteroid ointment. In a randomized, vehicle-controlled study, topical vitamin A cream did not improve the outcome of IDD.
Source : http://www.medscape.com/viewarticle/545552_5
 

Kamis, 16 Mei 2013

Glaukoma vs. Katarak

Artikel : by : Kintan, Jurnal : by : Ardicho

     Apa itu Glaukoma? Penyakit ini tidak begitu akrab dikenal oleh masyarakat. Beda dengan Katarak, penyakit ini lebih populer. Keduanya adalah sama – sama penyakit mata. Glaukoma jauh lebih membahayakan dibandingkan Katarak. Seorang pasien yang menderita Glaukoma bisa mengalami kebutaan dan sulit disembuhkan…
    Berbeda dengan Katarak, penyakit ini bisa diatasi dan dipulihkan dengan operasi mata. Bagaimana dengan Glaukoma?
     Glaukoma terjadi ketika produksi cairan bola mata meningkat atau cairan bola mata tidak mengalir dengan sempurna sehingga mengakibatkan tekanan pada bola mata menjadi tinggi. Karena tekanan yang tinggi ini berakibat pada serabut – serabut saraf di dalam saraf mata menjadi terjepit dan mengalami kematian. Akibatnya kontak mata dengan otak menjadi sangat terganggu dan terjadi kebutaan.
     Pada umumnya seseorang baru menyadari adanya titik buta pada waktu kerusakan serabut saraf optik mulai parah. Bila seluruh serabut saraf rusak maka terjadi kebutaan total. Sering kali orang mulai memperhatikan kesehatan matanya begitu merasakan adanya gangguan pada penglihatannya. Bila sudah demikian, tindakan yang bisa dilakukan sudah pasti kurang maksimal dan memuaskan.
     Bila mengidap Glaukoma kita tidak bisa berharap dengan operasi mata maka segala permasalahan Glaukoma bisa teratasi. Ini salah besar. Jika kita mau memahami dari total penyembuhan Glaukoma dengan operasi mata hanya 40% nya saja selebihnya semua masalah tidak bisa teratasi. Butuh waktu yang lama untuk memulihkan pasca operasi mata. Karena kemungkinan hasil operasi saluran serabut mata yang sudah dibenarkan bisa rusak kembali.
     Karena itu deteksi sedini mungkin kesehatan mata anda. Karena ini langkah paling efektif dan terbaik untuk mencegah penyakit mata ini. Jangan melakukan diagnosa sendiri akan apa yang terjadi pada kedua mata anda. Terlebih lagi penggunaan obat – obatan yang tidak sesuai bisa mempercepat dan memperparah keadaan penglihatan anda.
     Jangan ragu – ragu untuk mengkonsultasikan jika anda mengalami keluhan pada penglihatan anda. Sayangilah mata anda karena penglihatan anda adalah jendela dunia satu – satunya yang kita miliki.

Senin, 01 April 2013

Artikel dan Jurnal IDA dan Anemia in Pregnancy

Author artikel dibawah itu Kintan
The Basics on Iron-Deficiency Anemia
The most common form of anemia is caused by low levels of iron in your body and bone marrow.
Medically reviewed by Lindsey Marcellin, MD, MPH
Iron-deficiency anemia is the most common form of anemia in the world. People with low levels of iron in their bodies are unable to produce hemoglobin, an iron-rich protein that is an essential component of healthy red blood cells. Without enough hemoglobin, the body can’t deliver oxygen from the lungs to other tissues and organs.
People with this anemia experience growing fatigue and may have periodic shortness of breath following even minor exertion. If left untreated, iron-deficiency anemia can cause serious damage to the heart and other major organs. Pregnant women with iron-deficiency anemia run the risk of having a premature delivery or a baby with low birth weight. Kids with iron-deficiency anemia have been shown to have stunted growth and behavioral and learning problems.
About 20 percent of all women and 50 percent of pregnant women lack sufficient iron in their bodies. In the United States, about 7 percent of toddlers and 9 to 16 percent of menstruating women are iron deficient. Estimates show that 30 to 70 percent of people in the poorest countries in the world have iron-deficiency anemia.
Causes of Iron-Deficiency Anemia
People can have low iron levels in their bodies for several reasons:
·         Blood loss. Losing blood also means losing the iron contained in those blood cells. If you don't have enough iron stored in your body and bone marrow, you can develop iron-deficiency anemia. Women with heavy menstrual periods may experience low iron levels. Internal bleeding in the digestive tract due to chronic aspirin use, ulcers, polyps, or cancer, also can cause anemia. Other causes include bleeding due to injury or trauma.
·         Poor diet. Food is an important source of iron, but the body absorbs only about 1 milligram (mg) of iron for every 10 to 20 mg ingested through food. People who don't eat iron-rich foodsregularly — or who eat too many foods that interfere with iron absorption — can develop iron-deficiency anemia.
·         Body changes. An adolescent growth spurt or a pregnancy can cause increased red blood cell production, which can deplete the person's iron stores.
·         Difficulty absorbing iron. Conditions such as celiac disease or Crohn's disease can make it tough for the body to absorb enough iron. Gastric bypass surgery can also interfere with iron absorption, as can overuse of antacids.
The above causes of iron deficiency put the following groups at the highest risk of this type of anemia:
·         Children who are experiencing a growth spurt
·         People who don't ingest enough iron because of a poor diet
·         Pregnant or breastfeeding women
·         Women with heavy menstrual periods
·         People who have ulcers or gastrointestinal problems
Treatment for Iron-Deficiency Anemia
Iron-deficiency anemia is easily treated once it is caught. You will likely feel tired and lethargic for some time as your body's iron levels build up again, which can take months.
Treatment depends on the cause:
·         Blood loss. If you are experience internal bleeding, your doctor will need to find the source of the bleeding and treat it. This could involve medicine to treat ulcers or surgery to treat bleeding polyps or cancerous tumors. Women with heavy menstrual flows might be put on birth control to reduce the severity of their periods.
·         Diet. You can easily get more iron by ingesting more iron-rich foods like red meat, chicken, turkey, pork, fish, and shellfish. You also can get iron from non-meat sources like spinach, peanuts, and dried fruits, although the body tends to absorb iron from meat more easily. You can take an iron supplement — but you should only take it under your doctor's supervision as too much iron can be toxic. You also should increase your intake of vitamin C, because it helps the body more easily absorb iron. If you're low in iron, you should limit your intake of tea and soybeans, which may interfere with the body’s absorption of iron.
Iron-fortified foods may help, too. A recent study found that milk fortified with iron increased iron stores in toddlers who were not anemic. In the same study, non-anemic children who increased their consumption of red meat kept their iron levels from decreasing.
Pregnant women and children going through growth spurts should be sure to eat a diet rich in iron to prevent iron-deficiency anemia.