Skenario 3 Part 1 Blok 11
Author : Yulia Rachmi W
Berhubung skenario kali ini
menggunakan video, jadi materi yang dijelaskan merupakan materi berasarkan
skenario tahun lalu.
1.
DEFINISI
Hemostasis
adalah suatu proses yang terjadi untuk mencegah kehilangan darah berlebih dalam
tubuh kita. Tugasnya adalah :
·
mempertahankan darah tetap dalam
keadaan cair di dalam pembuluh darah.
·
mencegah hilangnya darah berlebih
akibat luka dengan pembentukan sumbatan untuk menghentikan perdarahan.
·
menstabilkan kembali aliran darah
selama proses penyembuhan luka.
2.
FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HEMOSTASIS
a.
Pembuluh darah
Saat luka
terjadi pembuluh darah akan melakukan vasokonstriksi yang tujuannya supaya
darah yang keluar tidak banyak.
b.
Trombosit
Fungsinya
melindungi pembuluh darah dari kerusakan endotel dengan membuat sumbat
trombosit dengan cara adhesi dan agregasi.
c.
Faktor koagulasi
Tugasnya
adalah membuat fibrin yang fungsinya memperkuat sumbat trombosit tadi supaya
menjadi hemostatik plug.
d.
Faktor fibrinolisi
Faktor ini
akan berperan memecah / melisiskan fibrin yang sudah terbentuk agar tidak
terjadi trombosis karena penumpukan fibrin. Regulasi ini berlangsung apabila terjadi
hiperaktivasi dari koagulasi.
e.
Inhibitor
Menghambat
aktivasi koagulan yang berlebihan.
Kelima faktor tersebut harus
seimbang antara satu sama lain.
3. MEKANISME HEMOSTASIS
a.
Hemostasis Primer
Jika ada luka kecil, yang trrlibat adalah pembuluh darah dan
trombosit saja. Pembuluh darah akan vasokonstriksi dengan tujuan mempersempit
area luka supaya darag tidak banyak keluar, kemudian trombosit akan membentuk
suatu sumbat trombosit supaya perdarahannya tidak berlebihan. Mekanisme
hemostasis primer ini berlangsung sangat cepat.
b.
Hemostasis Sekunder
Jika lukanya besar tidak bisa hanya diatasi dengan hemostasis
primer, maka akan melibatkan faktor koagulasi dalam plasma. Aktivasi faktor
koagulan akan membuat fibrin memperkuat sumbat trombosit yang dibuat pada
hemostasis primer, sehingga akan membentuk hemostasis plug yang lebih kuat.
Respon hemostasis sekunder lebih lambat.
c.
Hemostasis Tersier
Kalau sudah terjadi sumbatan, kemudian pembuluh darah akan
recovery. Aktivasi koagulasi tidak bisa dibiarkan terlalu lama karena akan
terjadi jendalan-jendalan trombosis yang banyak. Maka dari itu akan terjadi
hemostasis tersier dengan cara melisiskan fibrin, yang berperan adalah plasmin.
Sehingga faktor fibrinolisis akan teraktivasi.
4. PATOFISIOLOGI DEFISIENSI KOAGULAN
(HEMOFILIA)
Proses
hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan pembuluh darah.
Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah, adesi trombosit,
agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi bekuan darah,
pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan
pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh
darah.
Cedera
pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan
terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor von Willebrand (vWF)
akan teraktifasi dan diikuti adesi trombosit. Setelah proses ini, adenosine
diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain trombosit dilepaskan granul yang
berada di dalam trombosit dan menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan
trombosit lebih lanjut. Cedera pada pembuluh darah juga melepaskan tissue
factor dan mengubah permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade
pembekuan darah dan menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan
trombosit ini akan distabilkan oleh faktor XIII.
Pada
penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka pembentukan
bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia
tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan
dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan terhenti akibat
efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade tidak ada,
perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak kuat dan
perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma
ringan.
Defisit F
VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8 terletak di
bagian lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9 terletak di
regio Xq27. Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun
inversi 22 dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu
sekitar 50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini
diturunkan secara x-linked resesif
sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu yang menderita kelainan
ini. Pada sepertiga kasus mutasi spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai
adanya riwayat keluarga penderita hemofilia pada kasus demikian.
Wanita
pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan walaupun
biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5 di antara 55
orang penderita hemofilia ringan adalah wanita.
5. Pemeriksaan
defisiensi faktor pembekuan
Pemeriksaan
APTT umumnya digunakan untuk menjaring kasus dengan kelainan pada lintasan
intrinsik seperti defisiensi faktor kontak, hemofila A (defisiensi faktor VIII),
hemofilia B (defisiensi faktor IX) dan hemofilia C (defisiensi faktor XI ).
Kadar APTT akan memberikan gambaran abnormal (memanjang) bilamana defisiensi
faktor berada pada level <0,3 – 0,4 U/ml. Kemampuan untuk mem- pertahankan
fungsi hemostasis minimal dari faktor VIII, IX, XI adalah pada nilai 30% dengan
demikian APTT merupakan tes skrining hemostatik yang sensitif terhadap
defisiensi faktor. Meskipun demikian prosedur APTT akan mempunyai kemungkinan
gagal mendeteksi kasus hemofilia ringan atau borderline
dengan nilai 25 – 30% dari kadar normal, pada kasus demikian
pemeriksaan faktor pembekuan spesifik perlu dilakukan bilamana dicurigai suatu
hemofilia ringan.
·
Pemeriksaan terhadap inhibitor
Pemeriksaan APTT merupakan pemeriksaan skrining yang penting untuk
mengetahui adanya inhibitor terhadap koagulasi seperti lupus antikoagulan,
demikian juga dengan efek inhibisi dari fibrin
degradation product dan juga efek dari heparin akan
memperpanjang APTT.
·
Protrombin Time (PT)
Pemeriksaan PT merupakan pemeriksaan skrining terhadap kelainan
dalam lintasan ekstrinsik yaitu terhadap faktor VII, X, V dan II. Pemeriksaan
ini juga untuk mendeteksi kadar fibrinogen yang rendah yaitu bila kadar
fibrinogen <100 mg/dl; terutama digunakan untuk monitoring terapi
antikoagulan atau skrining terhadap defisiensi vitamin K. Pemeriksaan PT kurang
sesitif terhadap inhibisi oleh FDP dan heparin dibandingkan dengan pemeriksaan
PTT atau thrombin time.
·
Thrombin Clotting Time (TCT)
Pemeriksaan TCT merupakan suatu pemeriksaan dengan menambahkan
trombin dalam plasma untuk mengetahui keadaan jumlah dan kualitas fibrinogen
atau kecepatan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Nilai TCT yang memanjang
menggambarkan adanya defisiensi fibrinogen (<100 mg/dl); misalnya pada
keadaan congenital hipofibrinogemia atau afibrinogemia, kadar
yang abnormal terjadi pada reaksi inflamasi, kualitas yang abnormal dari
fibrinogen (hereditary dysfibrinogemia, sirosis,
karsinoma hepatoselular, neonatus). Selain itu
bahan-bahan yang mengganggu kerja trombin dalam mengubah fibrinogen menjadi
fibrin seperti heparin, anti thrombin antibody, produk
proteolitik dari fibrinogen dan fibrin (FDP) akan menyebabkan TCT memanjang.
·
Pemeriksaan Faktor Koagulasi
Pemeriksaan Faktor Koagulasi terdiri atas 2 jenis
yaitu : (1) qualitative coagulation factor activity assay dan (2) quantitative
coagulation factor activity. Kualitatif
terdiri dari atas 2 tipe yaitu : (1) clotting time assays dan (2) chromogenic
assays. Clotting time assays dilakukan dengan mengukur aktivitas faktor
dengan menggunakan plasma depleted factor congenital atau
dengan menggunakan factor depleted plasma artificial.
Kuantitatif, ditujukan untuk mengukur jumlah protein pembekuan
(prokoagulan, antikoagulan, komponen fibrinolitik, peptida aktif ). Teknik
pemeriksaan yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan agglutination
of antibody-coated beads, imunoelektro-poresis, radio
immuno assays dan enzyme
linked immunoabsorbent assay (ELISA). Pemeriksaan kuantitatif
tidak akan mengukur fungsi dari protein faktor koagulasi. Diagnosis
banding hemofilia adalah penyakit von Willebrand, defisiensi faktor koagulasi
lain seperti FV, FVII, FX, FXI, atau fibrinogen, atau kelainan trombosit
seperti Glanzmann trombastenia.
6. Penatalaksanaan
Tatalaksana
penderita hemofilia harus dilakukan secara komprehensif meliputi pemberian
faktor pengganti yaitu F VIII untuk hemofilia A dan F IX untuk hemofilia B,
perawatan dan rehabilitasi terutama bila ada sendi, edukasi dan dukungan
psikososial bagi penderita dan keluarganya. Bila terjadi perdarahan akut
terutama daerah sendi, maka tindakan RICE (rest, ice,
compression, elevation) segera dilakukan. Sendi yang
mengalami perdarahan diistirahatkan dan diimobilisasi. Kompres dengan es atau
handuk basah yang dingin, kemudian dilakukan penekanan atau pembebatan dan
meninggikan daerah perdarahan. Penderita sebaiknya diberikan faktor pengganti
dalam 2 jam setelah perdarahan.
Untuk
hemofilia A diberikan konsentrat F VIII dengan dosis 0.5 x BB (kg) x kadar yang
diinginkan (%). F VIII diberikan tiap 12 jam sedangkan F IX diberikan tiap 24
jam untuk hemofilia. Kadar F VIII atau IX yang diinginkan tergantung pada
lokasi perdarahan dimana untuk perdarahan sendi, otot, mukosa mulut dan hidung
kadar 30-50% diperlukan. Perdarahan saluran cerna, saluran kemih, daerah
retroperitoneal dan susunan saraf pusat maupun trauma dan tindakan operasi
dianjurkan kadar 60- 100%. Lama pemberian tergantung pada
beratnya perdarahan atau jenis tindakan. Untuk pencabutan gigi atau epistaksis,
diberikan selama 2-5 hari, sedangkan operasi atau laserasi luas diberikan 7-14
hari. Untuk rehabilitasi seperti pada hemarthrosis dapat diberikan lebih lama
lagi.
Kriopresipitat
juga dapat diberikan untuk hemofilia A dimana satu kantung kriopresipitat
mengandung sekitar 80 U F VIII. Demikian juga dengan obat antifibrinolitik
seperti asam epsilon amino-kaproat atau asam traneksamat. Aspirin dan obat
antiinflamasi non steroid harus dihindari karena dapat mengganggu hemostasis. Profilaksis
F VIII atau IX dapat diberikan secara kepada penderita hemofilia berat dengan
tujuan mengurangi kejadian hemartrosis dan kecacatan sendi. WHO dan WFH
merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia 1- 2 tahun dan dilanjutkan
seumur hidup. Profilaksis diberikan berdasarkan Protokol Malmö yang pertama kali dikembangkan di Swedia yaitu
pemberian F VIII 20-40 U/kg selang sehari minimal 3 hari per minggu atau F IX
20-40 U/kg dua kali per minggu.
Untuk
penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin (1-deamino-8-arginine
vasopressin, DDAVP) suatu anolog vasopressin dapat digunakan untuk meningkatkan
kadar F VIII endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan untuk hemofilia
berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum jelas, diduga obat ini
merangsang pengeluaran vWF dari tempat simpanannya (Weibel-Palade
bodies) sehingga menstabilkan F VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan
secara intravena, subkutan atau intranasal.
Penderita
hemofilia dianjurkan untuk berolah raga rutin, memakai peralatan pelindung yang
sesuai untuk olahraga, menghindari olahraga berat atau kontak fisik. Berat
badan harus dijaga terutama bila ada kelainan sendi karena berat badan yang
berlebih memperberat arthritis. Kebersihan mulut dan gigi juga harus
diperhatikan. Vaksinasi diberikan sebagaimana anak normal terutama terhadap
hepatitis A dan B. Vaksin diberikan melalui jalur subkutan, bukan
intramuskular. Pihak sekolah sebaiknya diberitahu bila seorang anak menderita
hemofilia supaya dapat membantu penderita bila diperlukan.
Upaya
mengetahui status pembawa sifat hemofilia dan konseling genetik merupakan hal
yang terpadu dalam tatalaksana hemofilia. Konseling genetik perlu diberikan
kepada penderita dan keluarga. Konseling meliputi penyakit hemofilia itu
sendiri, terapi dan prognosis, pola keturunan, deteksi pembawa sifat dan
implikasinya terhadap masa depan penderita dan pembawa sifat. Deteksi hemofilia
pada janin dapat dilakukan terutama bila jenis mutasi gen sudah diketahui.
Sampel dapat diperoleh melalui tindakan sampling villus khorionik atau
amnionsintesis.
Referensi :
·
http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-7s.pdf
Tidak ada komentar:
Posting Komentar