Skenario 2 Part 2
Blok 11
Author : Lilyana Ulfa
1.
Apa saja Jenis Parasite / cacing agen
Filariasis? (yuk kenalan dulu)
Seperti
yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis cacing filariae
yang dapat menyebabakan filariasis. Tapi yang sering kejadian di Indonesia Cuma
3 jenis Wucheria bancrofti,
Brugia Malayi, dan Brugia Timori. FYI ada juga loh yg
lain, cacing-cacing
itu antara lain :
a.
Wucheria
bancrofti
Menurut
Felix Partono, cacing ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di
seluruh dunia termasuk di Indonesia. Mempunyai ukuran bervariasi, yang betina
berukuran 65-100 mm × 0,1 mm dan yang jantan 40 mm × 0.1 mm. Cacing betina
dapat mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250 – 300 mikron ×
7-8 mikron. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Pada
umumnya, microfilaria W.brancrofti bersifat periodisitas nokturna,artinya
mikrofilaria hanya terdapat di dalam aliran darah tepi pada waktu malam. Pada
siang hari microfilaria hanya terdapat di kapiler alat dalam.
Cacing ini mengalami 5 stadium pertumbuhan untuk menjadi dewasa. Mula-mula mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung,kemudian bersarang di otot toraks.
Cacing ini mengalami 5 stadium pertumbuhan untuk menjadi dewasa. Mula-mula mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung,kemudian bersarang di otot toraks.
Pada
stadium I, larva cacing ini memendek. Dalam waktu kurang dari seminggu,larva
ini kemudian berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut
larva stadium II. Larva berganti kulit sekali lagi pada hari kesepuluh menjadi
larva stadium III. Kemudian, jika larva ini pindah ke tubuh manusia, larva ini
dapat mengalami dua kali pergantian kulit,tumbuh menjadi larva stadium IV dan
menjadi dewasa atau stadium V. Umur cacing dewasa mencapai 5-10 tahun.
b.
Brugia
Malayi
Menurut
Tomio Yamaguchi, Brugia malayi adalah jenis cacing filariae yang dapat
ditemukan dari Asia Tenggara sampai Pasifik Barat Daya. Juga pernah ditemukan
di Korea Selatan. Cacing dewasa B.malayi lebih kecil daripada W.brancofti. Yang
jantan panjangnya 22 – 23 mm dan lebarnya 0,88 mikron, dan yang betina
mempunyai panjang 55×0,16 mm. Berbeda dengan W.bancrofti yang ekornya tak
memiliki nuklei (titik inti) di ekornya,sementara B.malayi memiliki nuklei di
ekornya.
Daur hidup
dari B.malayi hampir sama dengan W.bancrofti, kecuali di daerah tertentu,di
mana vektornya berbeda dari W.bancrofti. Yang termasuk vektor B.malayi adalah Mansonnia,
Anopheles, dan Aedes.
c.
Brugia
Timori
Menurut
Markell, Voge dan John, mikrofilaria dari jenis ini pertama kali ditemukan pada
tahun 1964 di kepulauan Timor. Kemudian, penyakit ini menyebar ke pulau-pulau
di Dangkalan Sunda.
Mikrofilaria
B.timori dapat dengan jelas dibedakan dari mikrofilaria B.malayi. Mikrofilaria
dari B.timori lebih panjang dari B.malayi,dengan rata-rata 310 mikron. Jarak
cephalic (bagian dari mikrofilaria anterior ke nuclei tubuh) mempunyai
perbandingan panjang dan lebar 2:1 di B.malayi, sedangkan di B.timori 3:1.
Sarung B.malayi mengandung Giemsa stain, sedangkan hal itu tidak ditemui pada
B.timori.
d.
Cacing
dari genus Mansonella
Filaria
ini adalah satu-satunya filaria yang ditemukan di benua Amerika. Mansonella
ozzardi tidak memiliki nuklei di ujung ekornya sementara Mansonella
streptocercamemilki nuklei yang memanjang sampai ke ujung ekor. Mikrofilaria
dari jenis ini dapat ditemukan dengan biopsi kulit.
e.
Loa
loa
Parasit
ini hanya ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loiasis atau Calabar
Swelling. Loiasis terutama terdapat di daerah Afrika Barat, Afrika tengah dan
Sudan. Parasit ini juga terdapat pada daerah khatulistiwa yang mempunyai hutan
hujan. Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan, yang betina berukuran 50-70
mm × 0,35-0,43 mm. Cacing betina mengeluakan mikrofilarianya yang beredar dalam
darah pada siang hari (diurnal). Pada malam hari, mikrofilaria berada dalam
pembulah darah paru-paru. Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250 – 300
mikron × 6-8,5 mikron. Dapat ditemukan dalam urin, dahak dan kadang-kadang
dapat ditemukan pada cairan sumsum tulang belakang. Cacing dewasa dapat tumbuh
1 samapi 4 tahun kemudian berkopulasi dan caing betina mengeluarkan
mikrofilaria.
2. Kenapa Terdapat warna urin putih keruh dan Protein
(++) dalam urin?
Karena adanya Chyluria (urin yang mengandung cairan limfe). Disebabkan
terjadinya rupture pembuluh limfe di bagian atas organ genitalia dan
kemungkinan bocor sehingga cairan limfe masuk ke urin melalui pembuluh darah –
pembuluh darah kapiler (ulah mikrofilaria) ataupun pembuluh limfe (ulah
makrofilaria) yang juga rupture di area genitalia. Cairan limfe sendiri berwana
putih karena mengandung antibody dan nutrient-nutrient (kaya protein) sebagai
system pertahanan tubuh. Sehingga ketika cairan limfe masuk ke urin maka ia
menimbulkan warna putih keruh pada urin dan terdapat proteinuria karena cairan
limfe mengandung protein.
3. Risk Factor, Hospes, dan Vektor infeksi
parasite filariasis?
Manusia yang mengandung parasit selalu mendapat
menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang
baru ke daerah endemic (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis
dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih
banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat
infeksi (exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata laki-laki, karena
pekerjaan fisik yang lebih berat.
Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan
merupakan sumber infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung
infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain
mungkin juga terkena infeksi (Sutanto dkk, 2009).
Pada dasarnya setiap orang dapat
tertular filariasis apabila ditusuk oleh nyamuk infektif (mengandung larva
stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap
dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan
gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi
filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis.
Seseorang yang terinfeksi filariasis
tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi
perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya (Notoatmodjo,S,1997).
Penduduk pendatang pada suatu daerah
endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding
penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya
transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung
mikrofilaria, tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat (Depkes
RI,2006).
Hewan Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai
vector filariasia, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang
terdapat di daerah perkotaan (urba) ditularkan oleh Cx.quinque fasciatus yang
yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah
pedesaan (rural) dapat ditukar oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian jaya
W.bancrofti ditularkan terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas
jejak kaki binatang (footprint) untuk tempat perindukannya. Selain itu
ditemukan juga sebagai vector An.subpictus, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan
Ae.kochi. W.bancoftidi daerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti
An.subpictusdi daerah pantai di NTT. Selain nyamuk Culex, Aedes pernah juga ditemukan
sebagai vector (Sutanto dkk, 2009).
B.malayi yang hidup pada manusia dan
hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Ma.uniformis,
Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang biak di daerah rawa di
Sumatra, Kalimatan, Maluku dan lain-lain. Sedangkan B.malayi yang periodik
ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tampat perindukannya,
seperti di daerah Sulawesi.
B.timori, spesies ditemukan di
Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan diaerah NTT dan Timor
Timur, ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah,
baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Beberapa jenis hewan dapat
berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua
spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi
tipe sub periodic nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung
(Presbytiscristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus.).
Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu
juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia (Sutanto dkk,
2009).
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan
di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air.
Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak
± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik,
8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk
jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan cairan tumbuhan yang ada
disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin sekali dalam hidupnya. Perkawinan
biasanya terjadi setelah 24-48 jam setelah keluar dari kepompong.
Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya
(Depkes RI, 2007)
Beberapa aspek penting dari nyamuk
adalah :
1)
Perilaku Nyamuk
a.
Tempat hinggap
atau istirahat
i.
Eksofilik : yaitu
nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah.
ii.
Endofilik : yaitu
nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di dalam rumah.
2)
Tempat menggigit
a.
Eksofagik : yaitu
nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah.
b.
Endofagik : yaitu
nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah.
3)
Obyek yang
digigit
a.
Antropofilik : yaitu
nyamuk lebih suka menggigit manusia.
b.
Zoofilik : yaitu
nyamuk lebih suka menggigit hewan.
c.
Indiscriminate
biters/indiscriminate feeders : yaitu nyamuktanpa kesukaan tertentu terhadap
hospes.
4)
Frekuensi
Menggigit Manusia Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya
dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus gonotrofik.
Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96 jam.
5)
Siklus Gonotrofik
yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur. Waktu ini juga merupakan
interval menggigit nyamuk.
6)
Faktor Lain yang penting
:
a.
Umur nyamuk
(longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk
menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya
dan dipengaruhi oleh lingkungan.
b.
Kemampuan nyamuk
vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung
mikrofilaria juga sangat terbatas, Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu
banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit
dapat memperkecil jumlah microfilaria stadium larva-3 yang akan ditularkan.
c.
Periodisitas
microfilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap
risiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor dan umur nyamuk vektor
sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai
parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor.
Cacing filaria
(Nematoda:Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas
yang sama sebagai berikut:
-
Dalam
reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan
mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk).
-
Mikrofilaria mempunyai
periodisitas tertentu, Artinya mikrofilaria berada di darah tepipada
waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti bersifat periodik
nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam
hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti
jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nokturnal maupun
diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas
mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filarial (Depkes RI, 2009)
-
Daerah endemis
filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan,
pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan.
-
Secara umum,
filariasis W. bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa
Tenggara, Maluku dan Papua.
-
W. bancrofti tipe
pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan W.
bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Bekasi, Tangerang,
Pekalongan dan Lebak.
-
B. malayi
tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku.
-
B. timori
terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor danSumba, umumnya endemik di
daerah persawahan (Ahmad WP, 2000)
4. Pathofisiology dan Pathology Filariasis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan
Republik Indonesia, gejala penyakit kaki gajah (filariasis) yang biasanya
muncul adalah demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Terjadi pembengkakan
kelenjar getah bening tanpa luka di daerah lipatan paha, ketiak, dan tampak
kemerahan. Kelenjar getah bening dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta
darah. Sasaran penyakit ini juga dapat terjadi pada pembebasaran tungkai,
lengan, Glandula Mamae, dan Scrotum.
Gejala penyakit ini cukup sulit untuk dideteksi karena perjalanan
penyakit yang tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya. Tetapi,
Liliana Kurniawan,seorang peneliti penyakit menular dari Departemen
Kesehatan RI, menjelaskan gejala penyakit kaki gajah dapat dibagi menjadi empat
fase apabila diurut dari masa inkubasi.
Masa inkubasi tersebut yaitu:
a.
Masa prepaten : Masa antara masuknya larva
infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 3-7 bulan. Pada masa
ini gejala-gejala klinis yang ditimbulkan belum terdeteksi.
b.
Masa inkubasi : Masa antara masuknya larva
infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8-16 bulan.
Pathology dari filariasis pada lymph adalah hasil dari kerusakan
inflamasi pada lymph yang dirusak oleh cacing dewasa (macrofilaria) bukan
microfilaria. Empat factor pathogenesis nya adalah kehidupan dari cacing
dewasa, respon inflamasi karena tubuh cacing dewasa yang mati, microfilaria,
dan infeksi sekunder.
Pembengkakan pada pembuluh limfe ini karena menjadi tempat tinggal
para cacing dewasa yaitu di limfe afferent dan sinus-nya. Pembuluh limfe akan
mengalami kerusakan dan katup katup nya menjadi kurang kuat karena infiltrasi
sel plasma, eosinphil, dan macrofag disertai terjadi respon inflamasi di
sekitarnya, bersamaan dengan proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang.
Cacing yang dewasa ini melepaskan toxic yang menyebabkan lymphangiectasia.
Dilatasi dari pembuluh ini membuat dysfunction dan pada keadaan
kronis dapat menyebabkan lymphatic filariasis, lymphoedema, dan hydrocele.
Pada saat cacing cacing dewasa mati, membuat radang akut pada
pembuluh limfe ini, dan terjadi penyumbatan setelah mereka mati dan menyebabkan
infeksi sekunder. Dan dipercaya juga menyebabkan granulomatosa dan fibrosis
jadilah elephantiasis.
5.
Prognosis
& Komplikasi
Gejala klinis Akut merupakan
limfadenitis dan limfangitis (peradangan kelenjar getah bening) disertai panas
dan malaise. Kelanjar yang terkena biasanya unilateral.
Filariasis brancofti Pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis, dan orchitis. Umumnya sembuh dalam 3-15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brancofti Pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis, dan orchitis. Umumnya sembuh dalam 3-15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brugia Pembuluh
limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan
kaki dan kaki. Serangan dapat terjadi 1-2 kali per tahun sampai beberapa kali
per bulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk
ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu-3 bulan.
Gejala Menahun terjadi
10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Gejala yang ditimbulkan biasanya
elephantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya).
Elephantiasis biasanya menyerang bagian bawah tubuh, namun hal ini juga
tergantung pada species filaria. W. bancrofti dapat menyerang kaki, tangan,
vulva, dada, sedangkan Brugia timori jarang menyerang bagian kelamin. Infeksi
oleh Onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae lewat kornea adalah salah
satu penyebab kebutaan (Onchocerciasis). Gejala menahun ini dapat menyebabkan
terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani
keluarganya.
Menurut
Rita Marleta, seorang peneliti penyakit menular dari Badan Litbang Kesehatan,
seseorang dinyatakan menderita kaki gajah jika dalam darah ditemukan
mikrofilaria. Mengingat gejala yang ditimbulkan cukup sulit dideteksi dan
mikrofilaria kaki gajah terdapat dalam darah, maka deteksi penyakit ini harus
dilakukan di laboratorium melalui pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah
dilakukan pada malam hari sebab sifat filariasis pergerakan dalam tubuh hanya
pada malam hari.
Berdasarkan
dari teori-teori beberapa pakar, gejala yang ditimbulkan oleh filariasis
bertahap dan menahun. Gejala yang ditimbulkan disesuaikan dengan masa inkubasi
mikrofilaria. Untuk mengetahui seseorang menderita penyakit filiriasis
atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan darah. Jika pemeriksaan darah
menunjukkan terdapat mikrofilaria di dalam darah maka penderita dapat
dipastikan menderita penyakit kaki gajah (elephantiasis).
Sumber :
·
MISC 2012
·
Kuliah dr Tri Wulandari
·
Medscape
Tidak ada komentar:
Posting Komentar