Berbagai
bentuk mikroorganisme penyebab infeksi dapat menimbulkan penyakit, yang bila
dibiarkan berkembang biak, bahkan dapat membunuh pejamu. Respons imun yang
dibutuhkan sangat bervariasi. Letak infeksi serta tipe patogen akan menentukan
respons imun mana yang efektif. Di antara patogen terdapat yang dapat
mengadakan invasi ke dalam sel pejamu.
Manifestasi penyakit infeksi
bukan hanya merupakan akibat langsung ulah patogen mikrobial, namun juga
interaksinya dengan sistem imun pejamu. Macam respons imun dan penyebab infeksi
akan menentukan apakah penyakit menjadi akut atau berkepanjangan. Respons imun
pada anak terkait dengan usia, manifestasi serta outcome infeksi tertentu
tergantung pada status perkembangan anak. Status imun bayi dapat dimodifikasi
oleh faktor-faktor maternal yang ditransfer selama kehidupan intrauterine
melalui placenta dan selama masa bayi melalui kelenjar susu.2
Respons imun terhadap patogen
ekstraselular dan intraseluler berbeda. Sistem imun pada patogen ekstraselular
ditujukan untuk menghancurkan patogen serta menetralisir produknya, pada
patogen intraseluler sel T dapat menghancurkan sel yang terinfeksi, dalam kata
lain sitotoksik, atau dapat mengaktivasi sel untuk menghadapi patogen.
Pada infeksi bakteri antibiotik
digunakan secara luas sebagai obat-obat bakteriostatik atau bakteriosidik,
namun infeksi bakteri intraseluler belum dapat tertangani dengan mantap. Hal
ini ini sebagian berasal dari ketidak-mampuan obat untuk mencapai organisme
penyebab dan/atau bekerja secara efektif dalam lingkungan intraseluler.
Dalam usaha menyikapi infeksi
bakteri intraseluler dan memilih antibiotik, perlu pemahaman tentang respons
pejamu terhadap infeksi, pertimbangan usia, penyakit dasar,
farmakodinamik/farmakokinetik antimikroba yang diseleksi, distribusi dalam
jaringan, interaksi obat, lokasi patogen dalam kompartemen subseluler, sitokin
serta keterkaitannya dengan antibiotik, demi tercapainya efikasi obat tersebut.
Memahami respons pejamu merupakan juga cikal bakal imunisasi bila terjadi
resistensi antibiotik.
BAKTERI INTRASELULERSecara umum bakteri yang dapat masuk dan tetap
hidup dalam sel eukariositik terlindung dari antibodi humoral dan hanya dapat
dieliminasi oleh respons imun seluler. Bakteri ini harus memiliki mekanisme
khusus untuk memproteksi dirinya dari dampak ensim-ensim lisosomal dalam sel.
Terdapat 3 kelompok bakteri
dipandang dari sisi kemampuan invasi ke dalam sel eukariositik yaitu bakteri
intraseluler fakultatif, bakteri intraseluler obligat, dan bakteri
ekstraseluler. Termasuk dalam kelompok intraseluler fakultatif adalah
Salmonella spp, Shigella spp, Legionella pneumophili, Invasive Escherichia
coli, Neisseria spp, Mycobacterium spp, Listeria monocytogenes, Bordetella
pertussis. Dalam kelompok intraseluler obligat termasuk Rickettsia spp,
Coxiella burnetti, Chlamydia spp. Sebagai contoh bakteri ekstraseluler adalah
Mycoplasma spp, Pseudomonas aeruginosa, Enterotoxigenic Escherichia coli,
Vibrio cholerae, Staphylococcus aureus, Streptococcus pyogenes, Haemophylus
influenzae, Bacillus anthracis.
RESPONS PEJAMU TERHADAP INFEKSI
Pertahanan tubuh terhadap infeksi
dengan mikroorganisme patogen terjadi dengan berbagai cara. Pertama, pertahanan
non-spesifik (innate) dengan mengeluarkan agen infeksi atau membunuhnya pada
kontak pertama. Bilamana patogen menimbulkan infeksi, berbagai respons
non-adaptif dini penting untuk mengendalikan infeksi dan mempertahankan
pengawasan terhadapnya, sampai terbentuk respons imun adaptif. Respons imun
adaptif memerlukan waktu beberapa hari, mengingat limfosit T dan B harus
menemukan antigen spesifik untuk mengadakan proliferasi, dan berdiferensiasi
menjadi sel efektor. Respons sel B yang tergantung pada sel T (T-cell dependent
B-cell responses) tidak akan dapat dimulai sebelum sel mempunyai kesempatan
untuk mengadakan proliferasi dan diferensiasi.
Terdapat perbedaan mendasar
antara respons imun terhadap patogen ekstraselular dan intraseluler. Bagi
patogen ekstraselular sistem imun ditujukan untuk menghancurkan pathogen-nya
sendiri serta menetralisir produknya. Dalam merespons patogen intraseluler
terdapat 2 pilihan, sel T dapat bersifat sitotoksik menghancurkan sel yang
terinfeksi, atau dapat mengaktivasi sel untuk menghadapi patogen tersebut.
Sebagai contoh, adalah sel penolong T (helper T cells) melepas sitokin yang
akan mengaktivasi makrofag untuk menghancurkan organisme yang telah mengalami
endositosis.
Banyak patogen memiliki fase
infeksi intraseluler dan ekstraselular, dan mekanisme respons imun yang efektif
akan berbeda dari waktu ke waktu.
Berikut akan dibicarakan sekilas
tentang respons imun secara umum.
Imunitas Non-Spesifik (Innate Immune Response)
Respons ini terjadi segera tanpa
memerlukan kontak dengan mikroba sebelumnya; dengan kata lain merupakan
pertahanan pertama bagi tubuh.
Respons innate tidak spesifik,
dan berlaku bagi setiap patogen. Respons terhadap bakteri yang mengadakan
invasi disertai proses inflamasi pada tempat infeksi dimana cairan, sel,
bahan-bahan yang terlarut merembes keluar dari darah menuju jaringan. Kejadian
ini disertai kemerahan setempat, pembengkakan, serta demam. Inflamasi bertujuan
memusatkan agen pertahanan tubuh ke lokasi yang membutuhkan. Selama inflamasi
sel-sel fagosit seperti neutrofil dan makrofag, meninggalkan aliran darah dan
bermigrasi menuju tempat infeksi sebagai respons tehadap kemikal
(chemoattractants) yang dilepaskan di tempat tersebut.
Sesampainya pada tempat tersebut,
sel-sel fagosit mengenali, menelan (engulf), serta menghancurkan patogen. Darah
juga mengandung rangkaian protein terlarut yang dinamakan komplemen, yang dapat
melubangi membran plasma sel bakteri, dengan akibat lisis dan kematian sel.
Respons imun innate terutama efektif terhadap bakteri tertentu, yang pada
dinding selnya terdapat polisakharida unik sehingga segera dikenali sel pejamu
sebagai asing.
Pada respons innate terhadap
patogen intraseluler, seperti virus, sasaran utama adalah sel-sel yang sudah
terinfeksi. Sel terinfeksi virus tertentu dikenali oleh limfosit non-spesifik,
disebut sel natural killer (NK). Sesuai dengan namanya, sel NK mengakibatkan
kematian sel yang terinfeksi dengan menginduksi sel terinfeksi menuju
apoptosis. Sel NK juga membunuh sel kanker tertentu (in vitro) dan melengkapi
dengan mekanisme menghancurkan sel sebelum sel berkembang menjadi tumor. Sel
normal (tidak terinfeksi dan tidak ganas) mengandung molekul permukaan yang
melindungi terhadap serangan sel NK.7
Respons antivirus lain dimulai
dalam sel yang terinfeksi sendiri. Sel terinfeksi virus ini memproduksi
interferon-α (IFN-α) yang disekresi ke dalam ruang ekstraseluler, dimana akan
terikat pada permukaan sel yang tidak terinfeksi sehingga kebal terhadap
infeksi berikutnya. Cara kerja interferon ini adalah dengan cara mengaktivasi
suatu sinyal transduction pathway dengan akibat phosphorilasi yang diikuti translasi
faktor elF2. Sel yang mengalami respons ini tidak dapat mensintesa protein
virus yang diperlukan untuk replikasi virus.7
Respons Imun Adaptif
Respons imun adaptif memerlukan
waktu agar dapat mempersiapkan sistem imun untuk menghadapi agen asing. Respons
ini sangat spesifik, dan hanya ditujukan untuk molekul-molekul yang spesifik
pada bahan-bahan asing. Sebagai contoh, darah seseorang yang baru sembuh dari
sakit campak mengandung antibodi yang mengadakan reaksi dengan virus campak.
Berbeda dengan imunitas innate terhadap mikroba dan parasit yang dimiliki oleh
semua binatang, hanya vertebrata yang dapat membentuk imunitas adaptif.
Respons imun didapat dibagi dalam
2 kategori yaitu imunitas humoral, yang dilaksanakan oleh antibodi (protein
dalam darah yang tergolong dalam superfamili imunoglobulin), dan imunitas
dimediasi sel, yang dilaksanakan oleh sel.
Kedua tipe imunitas didapat ini
dimediasi oleh limfosit, yaitu leukosit berinti, yang beredar di antara darah
dan organ limfoid. Imunitas humoral dimediasi oleh sel-B (limfosit-B), yang
setelah diaktivasi mengsekresi antibodi. Antibodi ditujukan terutama pada pada
bahan asing di luar sel pejamu. Termasuk disini komponen protein dan
polisakharida dinding sel bakteri, toksin bakteri, dan protein sampul virus.
Dalam beberapa kasus antibodi dapat terikat pada toksin bakteri atau partikel
virus, sekaligus mencegah nya umtuk masuk ke dalam sel pejamu. Selain itu
antibodi dapat berfungsi sebagai molecular tags yang terikat pada patogen yang
masuk dan menandainya untuk dimusnahkan. Sel bakteri yang dilapisi molekul
antibodi cepat dicerna oleh makrofag yang berkeliling (wandering) atau
dihancurkan molekul komplemen yang diangkut dalam darah. Antibodi tidak efektif
untuk patogen intraseluler, sehingga diperlukan sistem senjata tipe ke dua.
Imunitas dimediasi sel
dilaksanakan oleh limfosit T (sel-T), yang bila teraktivasi dapat secara
spesifik mengenal serta membunuh sel terinfeksi (atau asing).Sel Penolong T 1
(T Helper 1) / Sel Penolong T 2 (T Helper 2)
Berikut akan dibahas sekilas
tentang sel-sel T yang berperan sebagai penghantar imunitas yang dimediasi sel
dalam respons imun adaptif yang digunakan untuk mengontrol patogen intraseluler
serta meregulasi respons sel B. Dalam proses ini termasuk aktivasi sel imun lainnya
dengan pelepasan sitokin.
Terdapat 2 subset utama limfosit,
yang dibedakan dengan keberadaan molekul (petanda) permukaan CD4 dan CD8.
Limfosit T yang mengekspresikan CD4 juga dikenal sebagai sel T penolong,
penghasil sitokin terbanyak. Subset ini dibagi lagi menjadi Th1 dan Th2, dan
sitokin yang dihasilkan disebut sebagai sitokin tipe Th1 dan sitokin tipe Th2.
Sitokin tipe Th1 cenderung menghasilkan respons proinflamatori yang bertanggung
jawab terhadap killing parasit intraseluler dan mengabadikan respons autoimun.
Termasuk dalam sitokin tipe Th1 ini terutama interferon gamma, selain
interleukin-2, serta limfotoksin-α yang merangsang imunitas tipe 1, ditandai
aktivitas fagositik yang kuat. Respons proinflamatori yang berlebihan akan
mengakibatkan kerusakan jaringan yang tidak terkontrol. Tubuh mempunyai suatu
mekanisme untuk menetralkan aksi mikrobisidal berlebih yang dimediasi Th1 ini,
yaitu dengan respons Th2. Sitokin yang termasuk dalam mekanisme Th2 ini adalah
interleukin 4, 5, 9, dan 13, yang disertai IgE dan respons eosinofilik dalam
atopi, dan juga interleukin-10, dengan respons yang lebih bersifat
anti-inflamatori. Imunitas tipe 2 yang distimulasi Th2 ditandai dengan kadar
antibodi tinggi.
Bagi kebanyakan infeksi, imunitas
tipe 1 bersifat protektif, sedang respons tipe 2 membantu resolusi inflamasi
yang dimediasi sel. Stres sistemik yang berat, imunosupresi, atau inokulasi
mikrobial yang berlebihan (overwhelming) mengakibatkan sistem imun meningkatkan
respons tipe 2 terhadap infeksi yang seyogyanya dikendalikan oleh imunitas tipe
Apakah prekursor sel-T penolong
akan menjadi sel tipe 1 atau tipe 2 tergantung pada beberapa faktor, yaitu yang
dipandang dari sudut patogen seperti sifat dan kuantitas patogen, route
infeksi, pengaruh komponen imunomodulator serta infeksi bersamaan, serta faktor
pejamu termasuk predisposisi genetik, jumlah sel-T yang merespon, kompleks
histokompatiliti mayor haplotype individu, sifat sel yang mempresentasikan
antigen, serta lingkungan sitokin sel-T selama dan pasca aktivasi.
Cytokine-Signaling pada Respons Imun
Sitokin diproduksi selama
aktivasi imunitas innate dan didapat (adaptif), dan merupakan alat komunikasi
antar sel yang prinsipiil tentang adanya invasi bakteri. Sitokin yang memulai
repons inflamatori dan menentukan besaran serta sifat respons imun yang
didapat. Pada penderita sakit berat respons terhadap injuri / patogen yang
mengadakan invasi sebagian besar tergantung pada pola sitokin yang diproduksi.
Respons imun bervariasi dari respons proinflamatori yang hebat, ditandai dengan
meningkatnya produksi TNF-α, interleukin-1, interferon-γ, dan, IL-12, sampai
keadaan anergi, ditandai peningkatan produksi sitokin Th2, seperti IL-10 dan
IL-4.
Regulasi cytokine signaling pada
respons imun dapat diringkas sebagai berikut:
Respons imun spesifik
diklasifikasikan berdasar komponen sistem imun yang memediasi: imunitas humoral
dimediasi limfosit B, dan imunitas dimediasi sel terutama dimediasi limfosit T.
Selanjutnya sel T efektor dibagi menjadi sel T sitotoksik (CD8+) atau sel T
helper (CD4+). Sel CD8+ melakukan killing terhadap sel sasaran (target) yang
terinfeksi dengan cara melepas lytic granula (perforin, granzymes) atau dengan
cara induksi produksi (FasL) atau TNF-α, yang melalui ikatan dengan reseptornya
memulai suatu kaskade bunuh diri sel menuju apoptosis sel sasaran. Sel-sel CD4+
dapat berdiferensiasi menjadi 2 tipe sel efektor: Th1 dan Th2, tergantung pada
pola pelepasan sitokin. Sel Th2 mengsekresi IL-4, IL-5, dan IL-10, kesemuanya
mengaktivasi proliferasi sel B serta memacu respons imun humoral. Di sisi lain
sel Th1 mengsekresi IFN-γ, yang merupakan sitokin macrophage-activating primer.
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Bagaimana pejamu merespons
terhadap patogen intraseluler antara lain tergantung pada lokasi bermukimnya patogen
tersebut. Setelah terjadi fagositosis oleh makrofag, bakteri berada dalam
fagosom, namun kejadian selanjutnya tergantung pada strategi untuk
mempertahankan hidup bagi bakteri masing-masing. Penyesuaian aktivasi sel
pejamu yang diinduksi oleh efek mikrobisidal dapat berakibat bakteri
intraseluler bertahan hidup atau mati. Berbagai imunomodulator, yaitu sitokin,
dapat meningkatkan kemampuan antimikrobial fagosit, sehingga pembersihan
bakteri intraseluler tejadi secara efisien dan cepat. Dalam hal bakteri tidak
mempunyai mekanisme survival, fagosom yang mengandung bakteri akan mengadakan
fusi dengan kompartemen lisosom, dan bakteri dicerna dalam waktu 15-30 menit.
Berbagai bakteri memiliki strategi yang berbeda-beda untuk memagari diri
terhadap intracellular killing oleh fagosit yang tidak teraktivasi (resting
phagocytes). Patogen dapat mengadakan replikasi dalam sitoplasma (cytosolic
pathogens), termasuk di sini adalah Listeria. Selain itu terdapat patogen yang
berada dalam endosom (endosomal pathogens), seperti Legionella pneumophila,
Mycobacterium tuberculosis, Salmonella typhimurium, Listeria
monocytogenes.14,15
Intracellular Killing
Aktivitas antimikrobial fagosit
dimediasi oleh mediator-mediator yang bervariasi secara luas, dan dapat
dikelompokkan dalam mekanisme oksidatif dan non-oksidatif. Mekanisme oksidatif
dimediasi oleh produksi reactive oxygen intermediates (ROIs) dan reactive
nitrogen intermediates (RNIs). Produksi ROIs dan RNIs membekali fagosit dengan
aktivitas sitostatik atau sitotoksik terhadap virus, bakteri, jamur, cacing,
dan sel tumor. Dalam mekanisme non-oksidatif termasuk asidifikasi fagosomal,
perampasan nutrien (nutritional deprivation ) dan perlakuan polipeptida
mikrobisid (hidrolase lisosomal dan defensin). Jalur oksidatif dan non-oksidatif
ini dapat berjalan sendiri-sendiri atau bersamaan demi terwujudnya suatu
lingkungan yang tidak menunjang bagi kehidupan patogen selanjutnya. Fagosit
harus diaktivasi, sedikitnya oleh sitokin, agar dapat mengekspresikan satu atau
lebih di antara mediator-mediator tersebut untuk mengendalikan infeksi
intraseluler.16
Berbagai sitokin dan
faktor-faktor terlarut yang dimediasi sitokin memegang peran penting dalam
mengendalikan atau membunuh patogen intraseluler oleh fagosit, dalam pertahanan
dini pejamu.
Cara kerja sitokin pada lalu
lintas bakteri intraseluler belum diketahui dengan jelas. Sitokin-sitokin
tertentu dapat menyebabkan Listeria monocytogenes, Mycobacterium avium,
Legionella pneumophila, dan Chlamydia spp tidak dapat lolos dari sasaran dalam
lisosom.17,18 Sebagai contoh, interferon-γ menghalangi L. monocytogenes untuk
melarikan diri ke dalam 7
sitosol dan mengurung bakteri
dalam vakuol fagosom yang asidik,17 sehingga menjadi lebih sensitif terhadap
efek toksik ROIs dan RNIs. Interferon-γ juga mempercepat pematangan sepenuhnya
fagosom yang mengandung M. avium, dan L. pneumophila dan fusinya dengan
lisosom. Ini terjadi melalui asidifikasi fagosom, yang berhubungan dengan
peningkatan proton ATP-ase dalam fagosom, sehingga dapat membunuh bakteri lebih
banyak.
Produk respiratory burst dan
nitric oxide (NO) memegang peran penting dalam proses mikrobisidal oksidatif
dan sitosidal dalam sel-sel fagositik. Jumlah produk oksigen toksik dan NO yang
dibebaskan oleh sel-sel fagositik tergantung pada derajat diferensiasi sel dan
sifat rangsangan yang diberikan. Pada umumnya sitokin Th1 menyesuaikan
respiratory burst dalam monosit, makrofag, dan neutrophil secara positif,
sedang sitokin Th2 sebaliknya.
Interferon-γ (profil Th1)
meningkatkan oxidative burst dan produksi NO oleh sel-sel fagositik, serta
mempunyai peran dalam membunuh patogen intraseluler melalui produksi ROIs dan
RNIs yang toksik. Sebagai contoh, produksi ROIs yang diinduksi oleh
interferon-γ, oleh berbagai makrofag dan jajaran sel makrofag berperan serta
dalam membunuh Listeria monocytogenes,17,19 Leishmania infantum, Penicillium
marneffei, dan Candida albicans. Produksi NO yang diinduksi interferon-γ, oleh
fagosit dan sel fagosit non-profesional bersifat mikrobisidal terhadap Listeria
monocytogenes,17-19 Brucella spp, Pneumocystis carinii, Bordetella pertussis,20
Rickettsia prowazekii, Mycobacterium avium, Pseudomonas aeruginosa, serta
patogen fungi.
Sitokin lain seperti TNF-α,(19)
IL-12,(10) TNF-β,(21) IL-21, granulocyte colony- stimulating factor dan
granulocyte-macrophage colony- stimulating factor dapat meningkatkan kadar
produk oksigen reaktif dan NO yang dilepaskan oleh sel-sel fagositik.
Di sisi lain, sitokin Th2
memegang peran penting dalam supresi oxidative burst dalam fagosit, sehingga menunjang
pertumbuhan patogen dalam sel serta patogenesis penyakit infeksi. Sebagai
contoh, IL-4 menghambat produksi anion hidrogen peroksida dan superoksida dalam
monosit (yang telah diaktivasi dengan IFN-γ atau TNF-α), dan menekan aktivitas
antifungal lekosit mononuklear terhadap Candida albicans. Interleukin-4 dan
IL-13 meningkatkan fagositosis yang dimediasi reseptor mannose,14 mekanisme
yang dianut patogen untuk menyelamatkan diri dari ancaman intracellular
killing. Interleukin-10 merupakan sitokin lain yang meniadakan aktivasi
makrofag, menghambat pembebasan hidrogen peroksida, mengurangi imunitas
antimycobacterial dan antilisterial, meningkatkan pertumbuhan Legionella
pneumophila dalam fagosit manusia dan membalik efek protektif interferon-γ
terhadap patogen ini. Interleukin-10 juga menekan aktivitas bakterisidal
monosit manusia terhadap Staphylococcus aureus dan C. albicans. Sitokin
penghambat tersebut penting karena mengurangi oxidative burst agar jaringan
normal terlindung dari kerusakan yang disebabkan ROIs serta RNIs yang toksik,
namun dapat pula meningkatkan replikasi bakteri.
Intracellular killing patogen
intraseluler dengan mekanisme perampasan nutrien antara lain adalah cara
pengosongan asam amino esensial dan zat besi, yang diinduksi oleh sitokin. Ini
merupakan cara efisien bagi fagosit untuk mengendalikan serta membunuh patogen.
Dengan demikian sel-sel yang diaktivasi menghambat replikasi Chlamydia
psittaci, Chlamydia pneumoniae (22) dan enterococci dengan cara menginduksi
katabolisme triptofan melalui indolamin-2,3-dioxygenase.
Pengosongan triptofan dalam
makrofag secara aktivasi interferon-γ dan TNF-α juga menghambat pertumbuhan
Streptokokus grup B. Dengan suplementasi triptofan tidak terjadi hambatan
pertumbuhan bakteri. Pembunuhan yang dimediasi interferon-γ terhadap Bordetella
pertussis oleh makrofag alveolar, terjadi sedikitnya sebagian melalui induksi
tryptophan-degrading enzymes dan pengosongan zat besi.20 Makrofag manusia yang
telah diaktivasi interferon membunuh Legionella pneumophila, antara lain dengan
cara meregulasi ke bawah (downregulate) reseptor transferrin, sehingga
menurunkan kemampuan zat besi dalam sel yang dibutuhkan untuk pertumbuhan
Legionella spp. Efek listerisidal juga berkaitan dengan kadar zat besi dalam
makrofag.15
Defensin, protein yang sudah
kodratnya bersifat antimikrobial (natural antimicrobial protein), merupakan
peptida kationik kecil dengan aktivitas anti-bakteri luas. Terdapat 2 kelas, α
dan β, berperan dalam pertahanan tubuh antara lain dengan cara mematahkan struktur
atau fungsi membran sitoplasma mikroba. Biasanya defensin diinduksi oleh
sitokin dalam respons terhadap infeksi atau inflamasi, interleukin-1β,
interferon-γ, dan TNF-α. Defensin mempunyai aktivitas antimikrobial pada
bakteri Escherichia coli, Salmonella typhimurium, Staphylococcus aureus,
Yersinia enterocolitica, Candida albicans, jamur serta virus bersampul.23
Survival Bakteri Intraseluler
Di antara bakteria intraseluler,
obligatori dan fakultatif, banyak yang lambat laun memiliki mekanisme untuk menghindari
atau melawan efek mikrobisidal fagosit, sehingga dapat bertahan hidup di
dalamnya. Mekanisme resistensi bakteri terhadap intracellular killing
bermacam-macam, antara lain dengan mengsekresi eksotoksin yang membunuh fagosit
dan membantu melawan atau mencegah fagositosis.24,25 Bakteria tertentu dapat
memodifikasi intracellular endocytic traffic yang mentargetkan bakteri pada
destruksi fagolisosomal, untuk selanjutnya bermukim dalam fagosit profesional.
Patogen yang memiliki pore-forming cytolysins dapat melarikan diri dari
fagosom, dan terdapat patogen yang mengadakan replikasi dalam fagosom yang
tidak diasamkan (nonacidified), serta terlindung dari fusi dengan lisosom pada
fagosit tidak teraktivasi (non-activated phagocytes). Bakteria fagolisosomal
tertentu menyesuaikan untuk melawan aktivitas antimikrobial hydrolase serta 9
keasaman (pH) yang rendah dalam
lisosom.16 Bakteri tertentu mampu menekan produksi metabolit sitotoksik sel
fagosit, sedang bakteri lain dilengkapi dengan protein antioksidan sehingga
dapat melawan efek ROIs dan RNIs , selanjutnya mengganjal fungsi antimikrobial
fagosit. Mekanisme lain dengan menghambat produksi sitokin inflamatori yang
terkait dengan pembersihan patogen, atau menginduksi produksi sitokin
imunoregulatori seperti interleukin-10 sehingga terjadi deaktivasi fagosit.26
Bakteri dapat pula meningkatkan survival dengan mengubah ekspresi gen.16
Atas dasar fakta-fakta tersebut,
dalam keadaan tertentu pejamu tidak mampu mengendalikan atau mengeradikasi agen
infeksi, meskipun terdapat respons imun yang efisien. Diperlukan antibiotik,
terutama yang dapat bekerjasama dengan imunitas adaptif maupun non-adaptif.
PEMILIHAN ANTIMIKROBA PADA
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
Pengobatan infeksi bakteri
intraseluler merupakan tantangan dipandang dari segi medis dan ekonomi. Patogen
yang berkembang dan mempertahankan diri dalam sel, sedikit banyak terlindung
dari pertahanan tubuh humoral dan seluler, bahkan demikian pula halnya terhadap
antibiotik. Kesemuanya ini dapat menerangkan mengapa bakteri intraseluler tidak
hanya merugikan bagi sel pejamu, namun juga merupakan reservoir bagi
terulangnya infeksi dan terjadinya re-infeksi. Oleh karena dampak antibiotik
pada bakteri intraseluler tidak dapat dicapai secara maksimal, hal ini akan
menunjang terjadinya mutan yang resisten. Pertimbangan-pertimbangan ini
menekankan betapa pentingnya memahami apakah antibiotik dapat bekerja dan
seberapa jauh efek tersebut pada bakteri intraseluler, parameter farmakokinetik
serta farmakodinamik mana yang diperlukan untuk menunjang kerja antibiotik,
serta atas dasar kesemuanya bagaimana pemberian kemoterapi yang lebih baik.28
Perlu diingat pula bahwa pada anak variasi yang luas dalam hal usia dan tingkat
perkembangan berhubungan erat dengan farmakokinetik serta farmakodinamik
antibiotik.29 Hanya kadar antibiotik bebas dalam jaringan pada daerah target,
biasanya lebih rendah dari kadar plasma total, yang menentukan outcome klinik
terapi anti-infeksi.30
Mekanisme Kerja Antimikroba
Antibiotika yang termasuk dalam
masing-masing pengelompokan menurut mekanisme kerja ini adalah sebagai berikut:
sebagai inhibitor terhadap sintesis dinding sel adalah penisilin dan
sefalosporin, yang mempunyai struktur sama. Yang tidak sama strukturnya adalah
kelompok cycloserin, vancomycin, bacitracin, antifungus azole (miconazole,
ketoconazole, clotrimazole). Antibiotika yang langsung bekerja pada membran sel
mikroba, cenderung mempengaruhi permeabilitas serta mengakibatkan kebocoran isi
sel adalah detergen, polymyxin, antifungus polyene yaitu nystatin dan
amphotericin B, yang 10
mengikat sterol dinding sel.
Dalam kelompok yang mempengaruhi sintesis ribonukleat dibagi menjadi dua, yaitu
yang mempengaruhi fungsi subunit ribosome 30 S atau 50 S dengan akibat hambatan
pada sinesis protein yang reversibel (kloramfenikol, tetrasiklin, eritromisin,
dan klindamisin, pristinamycin), serta yang mengikat subunit ribosome 30 S dan
merubah sintesis protein, bahkan dapat berakibat kematian sel (aminoglikosida).
Antibiotik yang mempengaruhi metabolisme asam nukleat adalah rifamycin
(misalnya rifampin), yang menghambat RNA polymerase, dan quinolone, yang
menghambat topoisomerase. Kelompok antimetabolit adalah trimethoprim dan
sulfonamid, yang memblokir ensim esensial bagi metabolisme folat. Dalam
kelompok antivirus termasuk analog asam nukleat adalah acyclovir dan
ganciclovir, yang selektif menghambat DNA polymerase virus, zidovudin atau
lamivudine, yang menghambat reverse transcriptase, serta nonnucleoside reverse
transcriptase inhibitors, seperti nevirapine atau efavirenz, dan inhibitor
ensim virus lain misalnya inhibitor HIV protease atau influenza
neuraminidase.31
Pengamatan bahwa antibiotik
tertentu mempunyai efek bakterisidal tinggi dalam sistem aseluler, namun bila
diterapkan pada bakteri intraseluler kemampuan membunuhnya sangat rendah,
membuat para peneliti bertanya-tanya apakah mediator respons imun dapat bekerja
sama dengan antibiotik demi tercapainya pembersihan infeksi intraseluler secara
cepat. Dalam konsep ini, sitokin dapat memperbaiki efek bakterisidal intrinsik
antibiotik.
Aktivitas Intrafagositik Antibiotik
Antibiotik harus bisa mencapai
dan berikatan dengan organ target, agar dapat melakukan aktivitas kemoterapi;
kontak antara bakteri dan antibiotik merupakan prasyarat. Dari sisi aktivitas terhadap
patogen intraseluler, antibiotik tergantung pada kemampuannya untuk masuk dan
berakumulasi dalam sel fagositik mencapai kadar yang cukup tinggi (melebihi
kadar hambat minimal -minimal inhibitory concentration-). Dari hasil studi
farmakokinetik seluler antibiotik berbeda dalam cara pengambilan oleh sel
(cellular uptake), kadar dalam sel, dan distribusi subseluler. Selain itu,
dalam pemilihan penggunaan antibiotik intraseluler perlu diperhatikan pula
faktor influx dan efflux, respons bakterial, serta kerjasama dengan pertahanan
tubuh.
Antibiotik β-lactam dan
aminoglikosida mempunyai efek bakterisidal yang kuat terhadap bakteria
ekstraseluler yang sensitif, tetapi efek bakterisidal intraseluler rendah. Hal
ini erat hubungannya dengan cellular uptake yang lemah dan lambat. Antibiotik
β-lactam tidak berakumulasi dalam fagosit, mungkin disebabkan oleh sifatnya
yang asam.33 Sebaliknya, makrolide seperti azithromycin dan clarithromycin
terasingkan (sequestered) dalam leukosit, sehingga terdapat pada tempat infeksi
dalam kadar yang tinggi, melebihi kadar dalam serum. Makrolide mempertahankan
kadar terapeutik pasca pemberhentian pengobatan. Obat-obat ini secara efisien
membunuh patogen berbeda-beda seperti Salmonella, Legionella, dan Listeria.
Fluoroquinolon seperti ofloxacin, ciprofloxacin, sparfloxacin dan levofloxacin
terpusat dalam sel fagositik dan secara efisien membunuh bakteria intraseluler
yang tinggal di kompartemen subseluler tertentu.17,34 Seiring dengan efek
bakterisidal, antibiotik dapat pula mengatur fungsi fagositik. Meskipun
antibiotik tertentu (misalnya aminoglikosida) dapat bersifat toksik bagi sel
pada kadar yang tinggi, antibiotik yang lain (misalnya makrolide) dapat
mengatur ke bawah (downregulate) respons anti-inflamatori, sehingga pada pejamu
terjadi mekanisme pertahanan terhadap injuri.35 Oleh karena itu digunakan
strategi yang berbeda, keduanya untuk meningkatkan efek antimikrobial
antibiotik serta mengurangi efek sitotoksiknya. Jadi, dengan menyelimuti
(encapsulate) antibiotik seperti ampisilin di dalam liposom yang sensitif
terhadap keasaman (pH-sensitive) akan meningkatkan pengambilan ke dalam sel
(cellular uptake) serta efek bakterisidalnya di dalam sel. Pendekatan ini juga
digunakan untuk mentargetkan gentamisin ke dalam sitosol , sebagai pilihan
terhadap lisosom, untuk mengurangi efek toksik dan meningkatkan aktivitas
bakterisidal, terutama ditujukan untuk patogen sitosolik.
Minat untuk mendalami pengobatan
infeksi intraseluler lebih dipusatkan pada kerjasama antara sitokin dan antibiotik.
Bentuk pengobatan seperti ini diharapkan dapat memperpendek lama pemberian
antibiotik dan mencegah timbulnya resistensi obat.
Pemilihan antibiotik intraseluler
pada anak harus selalu memperhatikan faktor umur serta perkembangan anak,
disamping farmakokinetik dan farmakodinamiknya yang merupakan kunci untuk
menentukan efikasi antimikroba yang diseleksi. Antibiotik intraseluler yang
dapat diberikan kepada anak adalah penisilin, aminopenisilin (ampisilin,
amoksisilin), ampisilin-sulbaktam, amoksisilin-clavulanate, sefalosporin
generasi ke tiga (seftriakson, sefotaksim, seftazidim), dan sefalosporin
generasi ke empat (sefepim) yang kesemuanya termasuk kelompok β-lactam. Selain
itu macrolide (eritromisin, azithromisin, clarithromisin), dan aminoglikosida juga
bermanfaat pada infeksi bakteri intraseluler.28,29 Meskipun fluoroquinolone
terbukti mempunyai aktivitas antibiotik intraseluler kuat, namun penggunaan
pada anak masih terbatas terutama pada penderita dengan cystic fibrosis.29
Peneliti lain mengamati pemberian gatifloksasin untuk pengobatan otitis media
akuta pada kelompok anak usia 6 bulan-7 tahun dan 6 bulan-4 tahun. Meskipun
hasil yang dicapai cukup menggembirakan belum terdapat persetujuan Food and
Drug Administration mengenai penggunaan fluoroquinolon pada anak.37
Dipandang dari sudut
farmakodinamik seluler antibiotik β-lactam mempunyai cara kerja lambat dan
tidak tergantung pada kadar obat, namun menjadi efektif bila terjadi kontak
lama. Lokalisasi antibiotik subseluler terutama dalam sitosol. Sebaliknya
fluoro-quinolone intraseluler bekerja cepat dengan cara tergantung pada kadar
obat. Fluoroquinolone juga terdapat dalam sitosol. Aminoglikosida mempunyai
uptake lambat,sehingga memerlukan waktu pengobatan lama. Di samping kadar obat,
waktu merupakan parameter penting. Efek bakterisidal tergantung kadar puncak
yang adekuat. Efek aminoglikosida dapat menurun karena suasana asam di dalam
fagolisosom. Berbeda dengan antibiotik β-lactam, hampir dalam setiap sel
terjadi akumulasi makrolide. Makrolide mempunyai uptake dan efflux cepat,
kecuali azithromisin, yang terikat pada struktur sel, terutama phospholipid.
Lokalisasi antibiotik makrolide subseluler dua per tiganya terdapat dalam
lisosom, sepertiganya dalam sitosol.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar