Kamis, 18 September 2014

Skenario 2 Part 1 Block 7


Author  : Anita R
Skenario             
                Suami yang berumur 50 tahun dan istri yang berumur 45 tahun memiliki 5 anak. Putra bungsu yang berusia 6 tahun mengalami keterbelakangan mental hipotonik, wajah Mongoloid, lipat epicanthic, simian lines, jarak yang besar antara jari pertama dan kedua dan kulit leher berlebih. Mereka merasa Allah tidak adil denga kondisi anak mereka. Mereka berkonsultasi dengan dokter untuk mengetahui mengapa anak bungsu mereka memiliki hal-hal seperti itu padahal 4 anak mereka yang lain normal. Dokter mengetahui mereka segala sesuatu tentang gangguan anak mereka berdasarkan EBM.
More information
1.     MEKANISME KOPING PADA ORANG TUA YANG MEMILIKI ANAK DOWN SYNDROME (KLIK DISINI)
2.    Hubungan Sindroma Down dengan Umur Ibu, Pendidikan Ibu, Pendapatan Keluarga, dan Faktor Lingkungan (KLIK DISINI)
------
1.    Keterbelakangan Mental : Keterbelakangan mental adalah sebuah kelompok besar gangguan dari masa bayi, masa kanak-kanak, atau remaja ditandai dengan fungsi intelektual yang secara signifikan di bawah rata-rata (IQ 70 atau di bawah), yang terwujud sebelum usia 18 dengan gangguan fungsi adaptif (di bawah kinerja yang diharapkan untuk usia di berbagai bidang seperti sebagai keterampilan hidup sosial atau harian, komunikasi, dan kemandirian).
Berbagai tingkat keparahan yang diakui:
-          tingkat IQ 50/55-70 adalah ringan
-          tingkat IQ 35/40- 50/55 adalah moderat
-          tingkat IQ 20/25-35/40 berat
-          tingkat IQ di bawah 20/25 adalah sangat berat.
Keterbelakangan Mental adalah suatu keadaan dengan intelegensia yang kurang (subnormal) sejak masa perkembangan (sejak lahir atau sejak masa kanak kanak) (Retardasai Mental, 2010. Siti Salmiah, drg.)
2.    Hipotonik (Hipotonia)
Hypotonia adalah suatu kondisi di mana ada is decreased beristirahat otot. Ini adalah gejala dari kondisi-kondisi yang mungkin bawaan (sekarang sejak kelahiran) atau diperoleh (diwujudkan kemudian dalam kehidupan).
Bawaan hypotonia gejala umum
Hypotonia bawaan biasanya bermanifestasi sebagai (1-4):
·       Kelemahan otot yang terlihat pada saat bayi adalah enam bulan
·       Gejala awal adalah lemah menangis dan ketidakmampuan untuk mengisap atau menelan
·       Sedikit atau tidak ada kontrol otot leher yang mengarah ke disket kepala dan kurangnya memegang kepala
·       Perasaan tubuh lemas ketika diadakan
·       Ketidakmampuan untuk menempatkan berat badan pada kaki atau bahu
·       Bayi lengan dan kaki menggantung lurus ke bawah dari sisi, daripada membungkuk di siku, pinggul, dan lutut.
·       Tertunda mencapai tonggak pembangunan motor pertumbuhan seperti duduk, merangkak, berjalan, berbicara atau makan sendiri
·       Sering jatuh dan tergelincir dari kursi tinggi
·       Jika ada parah bawaan myopathies mungkin ada menyertai kerangka atau tulang dan kelainan bersama. Ini termasuk kecenderungan untuk pinggul dislokasi, kelainan bentuk dari tulang belakang dan kaki.
·       Pada pemeriksaan anak hipotonik ada kelemahan otot otot-otot wajah, batang atau kaki dan pergelangan kaki.
Mungkin ada ptosis atau kelopak mata terkulai, sayap seperti tonjolan luar tulang belikat tulang belakang dan tubuh tipis.
Mungkin ada tonjolan perut sampai lemah otot-otot perut yang mampu menahan pada isi perut.
·       Kebanyakan pasien dengan hypotonia mungkin mengembangkan kekurangan pernapasan dan 50% dari pasien antara usia 3 dan 55 tahun memerlukan beberapa bentuk buatan metode untuk membantu mereka bernapas di malam hari.
Bawaan hypotonia gejala yang berhubungan mendasari kondisi
·       Gejala keterbelakangan mental dalam kasus-kasus mendasari kondisi seperti sindrom Down
·       Dalam sindrom Down, fitur tambahan termasuk keterbelakangan mental, dan cacat jantung bawaan. Mungkin ada abnormal fitur wajah seperti hidung datar dan hidung jembatan, leher pendek, satu lipatan melintang atas palm, upwardly miring mata dll.
·       Pada anak-anak dengan Sindrom rapuh x mungkin hypotonia bersama dengan fitur seperti keterbelakangan mental, kepala yang besar (macrocephaly), telinga besar dan besar testis pada pubertas, autism seperti fitur dll.
·       Sindrom Prader Willi dimanifestasikan sebagai hypotonia, kecil alat kelamin, tinggi pendek dan obesitas.
·       Myasthenia gravis-jika bayi berkembang sementara atau pendek istilah myasthenia karena untuk ibu yang terkena di sana mungkin gejala seperti sepsis yang mencakup menangis miskin, miskin suckling, hypotonia dll. Kasus dari bayi yang dipengaruhi terutama dengan myasthenia gravis gejala yang berlebihan. Mungkin ada ptosis atau terkulai kelopak dan kesulitan pernapasan atau bernapas.
Memperoleh hypotonia gejala
Dalam kasus hypotonia diperoleh atau orang dewasa dengan hypotonia manifestasi biasa termasuk (3-4):
·       Kikuk perilaku yang semakin memburuk
·       Sering jatuh
·       Ketidakmampuan atau kesulitan bangun dari berbohong atau posisi duduk
·       Kesulitan dalam meraih atau mengangkat suatu objek
·       Fleksibilitas yang tinggi dari sendi disebut hal bersama. Hal ini mungkin terjadi pada pinggul, siku dan lutut
Hypotonia gejala tertentu
Spesifik gejala dan tanda-tanda hypotonia termasuk (2)-
1.       Hypotonia tengah-ini dilihat dalam 60-80% kasus. Mungkin ada masalah tambahan seperti kejang, ketidakmampuan untuk melacak objek visual, kegagalan untuk meniru gerakan wajah, kelesuan dll.
2.       Hypotonia perifer-dilihat dalam 15-30% dari kasus. Pasien ini terwujud dengan makan kesulitan, kelemahan umum dan tidak adanya otot refleks pada pengujian.

3.    Wajah Mongoloid
Ras Mongoloid adalah istilah yang pernah digunakan untuk menunjuk fenotipe umum dari sebagian besar penghuni Asia Utara, Asia Timur, Asia Tenggara, Madagaskar di lepas pantai timur Afrika, beberapa bagian India Timur Laut, Eropa Utara, Amerika Utara, Amerika Selatan, dan Oseania. Anggota ras Mongoloid dulu juga disebut "berkulit kuning", walau ini tidak selalu benar. Misalnya ada yang mengatakan bahwa orang Indian di Amerika "berkulit merah", sedangkan orang Asia Tenggara sering dikatakan "berkulit coklat" muda sampai coklat gelap. (Wikipedia)

4.    Epicanthic  lipat atau epikantus adalah kelopak mata di daerah kulit yang menutupi sudut dalam pandangan mata. Epicanthic flip yang paling sering terdapat pada ras mongoloid, tetapi memiliki beberapa populasi dunia semua orang. Hal ini terutama di masa lalu dianggap sebagai salah satu dari sedikit apa yang disebut layak. ciri khas berkembang biak.
Lipat Epicanthic istilah merujuk pada properti terlihat secara eksternal, tetapi karakteristik fisiologis yang mendasarinya mungkin sama sekali berbeda untuk orang yang berbeda. Flip mungkin tidak Epicanthic telah dihapus oleh operasi bedah sederhana.
Semua orang mempunyai Epicanthic lipat selama perkembangan janin. Beberapa kali lipat Epicanthic menghilang hanya setelah lahir. Nasal pertumbuhan akar dengan meningkatnya usia untuk mengencangkan kulit dan dapat menghapus anak Epicanthic flip. Ras Mongoloid Juurinen biasanya rendah hidung. pada anak-anak lama kelamaan akan berkurang berkurang seiring dengan bertambahnya usis anak dan jaranf terdapat pada usia sekolah.
Flip Epicanthic manusia memiliki karakteristik yang melekat pada khususnya Asia Timur. Epicanthic flip diyakini diwarisi dari dingin dan pertahanan terhadap cahaya terang.

Epidemiologi
Epikantus sering terlihat pada semua etnis bangsa pada masa kecil dimana pangkal atau jembatan hidung belum naik. Kelainan ini dapat terjadi pada : sidrom down, sindrom fetal alkohol, sindrom turner, fenilketourea, sindrom william, sindrom Nooan, sindrom rubenstein taybi dan sindrom blefarofimosis.

Klasifikasi
Epicanthus terdiri dari 4 tipe :
1. Epicanthus tarsalis jika lipatan lebih menonjol pada kelopak mata bawah
2. Epicanthus inversus jika lipatan lebih menonjol pada kelopak mata atas
3. Epicanthus palpebra jika lipatan sama-sama menonjol pada kelopak mata bawah dan kelopakmata atas
4. Epicanthus supraciliaris jika lipatan muncul dari alis mata menuju ke sakus lakrimalis.
Epicanthus tarsalis paling sering dijumpai pada mata orang asia,sedangkan epicanthus inversus hampir selalu barsamaan dengan blepharophimosis syndrome. Pertumbuhan normal tulang wajah dapat memperbaiki bentuk epicanthus, jika tidak terdapat kelainan pada kelopak mata.pengobatan akan ditunda sampai usia dewasa. Bagaimanapun, epicanthus inversus hanya dapat diperbaiki dengan perubahan wajah. banyak kasus dengan menyingkirkan epikantus memberikan respos pengobatan yang baik untuk memperbaiki garis seperti Z-plasty atau Y-V-plasty. Epikantus tarsalis pada orang asia mungkin dengan menyingkirkan Y-V-palsty dengan atau tanpa construksi lipatan atas kelopak mata.

Pengobatan
Epicantus yang tidak menghilang sesuai dengan bertambahnya usia dapat di lakukan dengan memperbaiki bentuk kelopak mata dengan tindakan pembedahan antara lain :
o  epicanthus Z plasty di lakukan untuk epicanthus yang sedikit.
o  Double Z plasty meliputi kedua kelopak tanpa telecanthus
o  Y-V plasty ,epicanthus dengan lipatan sedang dengan telecanthus pada blepharophimosis syndrom, menutup tendon canthal medial ke transnasal dengan mengikat ataupun memendekkan.
o  Double Z plasty ( mustarde) dengan menandai lipatan epicanthus bersamaan dengan telecanthus terutama jika terdapat enteropion yang disebabkan oleh penarikan dari lipatan tersebut.
o  Medical canthal shortening, telecanthus bersamaan dengan blepharophimosis syndrome ketika pertambahan jarak intercanthal yang utama terjadi dari perpanjangan canthal medial , dan jaringan lunak yang abnormal, dan trauma.
5.    EBM
Menurut Sackett et al. Evidence-based medicine (EBM) adalah suatu pendekatan medik yang didasarkan pada bukti-bukti ilmiah terkini untuk kepentingan pelayanan kesehatan penderita. Dengan demikian, dalam prakteknya, EBM memadukan antara kemampuan dan pengalaman klinik dengan bukti-bukti ilmiah terkini yang paling dapat dipercaya.
Pengertian lain dari evidence based medicine (EBM) adalah proses yang digunakan secara sistematik untuk menemukan, menelaah/me-review, dan memanfaatkan hasil-hasil studi sebagai dasar dari pengambilan keputusan klinik. Jadi secara lebih rincinya lagi, EBM merupakan keterpaduan antara (1) bukti-bukti ilmiah, yang berasal dari studi yang terpercaya (best research evidence); dengan (2) keahlian klinis (clinical expertise) dan (3) nilai-nilai yang ada pada masyarakat (patient values).
Publikasi ilmiah adalah suatu pempublikasian hasil penelitian atau sebuah hasil pemikiran yang telah ditelaaah dan disetujui dengan beberapa petimbangan baik dari acountable aspek metodologi maupun accountable aspek ilmiah yang berupa jurnal, artikel, e-book atau buku yang diakui.
Adapun accountable aspek ilmiah adalah mensurvey secara langsung tentang suatu permasalahan dengan penelitian untuk mendapatkan dasar yang valid dan dapat dipertanggung jawabkan. Maksudnya adalah :
1.    Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang keluhan sejumlah penderita.
2.    Melalui evidence based medicine kita mengadakan survei tentang kelainan fisik sejumlah penderita penyakit tertentu.
Selain mensurvei keluhan dan kelainan fisik penderita, melaui evidence based medicine kita juga dapat mensurvei hasil terapinya. Sedangkan accountable aspek metodologis adalah ilmu yang digunakan untuk memperoleh kebenaran menggunakan tata cara tertentu dalam pengumpulan data hasil penelitian yang telah ditelaah dan diakui kebenarannya.

Penerapan Evidence Based Medicine
                Penerapan evidence based medicine dalam pembelajaran mahasiswa diantaranya adalah
1.    Dalam menyusun dan memformulasikan pertanyaan ilmiah yang berkaitan dengan masalah.
2.    Menelusuri informasi ilmiah yang berkaitan dengan masalah yang dihadapi
3.    Menelaah terhadap bukti-bukti ilmiah yang didapat
4.    Penerapan hasil-hasil penelaah bukti-bukti ilmiah tadi yang sudah dipercaya ke dalam praktek pengambilan keputusan
5.    Kemudian pengevaluasian terhadap efficacy dan effectiveness

Pentingnya Evidence Based Learning
                Beberapa alasan utama mengapa EBM diperlukan :
1.    Bahwa informasi-informasi tradisional (misalnya yang terdapat dalam text-book) sudah sangat tidak akurat pada saat ini. Beberapa justru sering keliru dan menyesatkan (misalnya informasi dari pabrik obat yang disampaikan oleh duta-duta farmasi/cfete//er), tidak efektif (misalnya continuing medical education yang bersifat didaktik), atau bisa saja terlalu banyak sehingga justru sering membingungkan (misalnya jurnal-jurnal biomedik/ kedokteran yang saat ini berjumlah lebih dari 25.000 jenis).
2.    Dalam pendidikannya, dengan bertambahnya pengalaman klinik seseorang maka kemampuan/ketrampilan untuk mendiagnosis dan menetapkan bentuk terapi (clinical judgement) juga meningkat. Namun pada saat yang bersamaan, kemampuan ilmiah (akibat terbatasnya informasi yang dapat diakses) serta kinerja klinik (akibat hanya mengandalkan pengalaman, yang sering tidak dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah) menurun secara signifikan.
3.    Meningkatkan kinerja mahasiswa dalam mencari dan mengidentifikasi literatur klinis terbaik untuk menyelesaikan masalah.

Cara Mencari Publikasi Ilmiah dan Penerpannya
                Publikasi ilmiah dapat kita cari dari perpustakaan di kampus, internet, kuliah pakar, dll. Pelacakan publikasi ilmiah yang baik diantaranya adalah
1.    Pelacakan yang spesifik, akan lebih cepat dan berpeluang untuk menemukan artikel yang diinginkan.
2.    Penggunaan frase yang tepat agar memudahkan dalam pencarian
3.    Pelacak memiliki pengetahuan dan pengalaman sebelumnya
4.    Dengan menggunakan Boolean logic

Penerapan Publikasi Ilmiah
Dalam dunia perkuliahan, contoh penerapan publikasi ilmiah adalah sebagai berikut :
1.   Karya Tulis
2.   Paper
3.   Makalah
4.   Laporan
5.   Skripsi
6.   Tesis
7.   Disertasi
8.   Buku teks/text book
9.   Diktat
10. Jurnal
11. Buletin
12. Referat, dll

Website – Website Yang Digunakan Untuk Mengakses Jurnal
Selain www.pubmed.com dan www,proquest.com, ada beberapa website yang diperuntukkan dalam pencarian jurnal. Diantaranya :
1.   www.ciencedirect.com
2.   www.blackwell.com
3.   www.thieme.com
4.   www.ingenta.com
5.   www.scirus.com
6.   www.sage.com
7.   www.medline.com
8.   www.highwire.com
9.   www.ovid.com
10. www.springerlink.com
11. www.scopus.com
12. www.kluwer.com
13. www.hinari.com
14. www.wileyinterscience.com

Penggunaan Boolean Logic
                Dalam mencari sebuah jurnal atau artikel, biasanya kita menggunakan www.pubmed.com atau www.proquest.com ,dll dengan menggunakan cara boolean logic. Didalam menggunakannya, terdapat kata bantu, yaitu AND, OR, NOT, dan NEAR.
Dari cara penggunaan Boolean logic tersebut jika masih saja gagal didalam pencariannya mungkin terdapat masalah pada program search engine atau mungkin juga karena tidak adanya artikel yang sesuai dengan pencarian dari kata yang dicari. Oleh Karena itu, terdapat tips didalam pencarian artikel dengan menggunakan Boolean logic, yaitu :
1. Jangan terlalu spesifik
2. Cek ejaan
3. Bila ragu-ragu akan ejaan jangan masukkan kata tersebut
4. Gunakan wildcard
DOWN SYNDROME
Sindrom Down merupakan kelainan kromosom dimana ada kesalahan dalam pembelahan sel embrio yang mereplikasi kromosom 21 dan dihasilkan additional chromosome 21 yang disebut trisomi 21 dan nantinya akan menimbulkan berbagai kelainan ketika lahir. Hal ini menyebabkan keterlambatan perkembangan seorang anak baik secara fisik maupun mental (Craig Stellpflug, 2009).
A.   ETIOLOGI
Sindrom down disebabkan oleh adanya kelainan kromosom yaitu adanya additional kromosom 21 yang disebut trisomi 21. Hal ini disebabkan karena adanya non-disjunction kromosom 21 selama proses pembelahan sel aslinya yang menghasilkan additional kromosom 21 sehingga total kromosom menjadi 47 di setiap selnya bukan 46 kromosom. Non-disjunction adalah peristiwa gagalnya pemisahan pasangan kromosom.
Pada sindrom down kromosom 21 memiliki 3 kembaran (copy), berbeda dengan kromosom normal yang hanya memiliki 2 kembaran. Kesalahan penggandaan tersebut berkorelasi erat dengan umur wanita saat mengandung. Semakin tua usia ibu saat mengandung maka semakin besar kemungkinan untuk mendapatkan anak yang menderita sindrom down. Hal ini terjadi karena saat mengandung kadang-kadang sel telur kondisinya kurang baik sehingga saat dibuahi oleh sel sperma laki-laki maka pada sel benih akan terjadi pembelahan yang kurang sempurna, terjadilah kelebihan kromosom 21. Kesalahan penggandaan tersebut menyebabkan munculnya keterlambatan mental (mental retardation) yang merupakan ciri utama penderita sindrom down (Santosa, 2000).
Pada tahun 1990, Epstein mempostulasikan beberapa penyebab kelebihan kromosom 21 non-disjunction ini, yaitu (Eipstein, 1995):
1. Penuaan sel telur wanita (aging of ova), bahwa ada pengaruh intrinsik maupun ekstrinsik (Iingkungan) dalam sel induk, yang menyebabkan pembelahan selama fase meiosis menjadi non-disjunction disebabkan oleh faktor-faktor terputusnya benang-benang spindel atau komponen-komponennya, atau kegagalan dalam pemisahan nukleolus.
2.  Keterlambatan pembuahan (delayed fertilization), bahwa akibat penurunan frekuensi bersenggama pada pasangan tua dan mungkin juga pada ibu-ibu yang sangat muda telah meningkatkan kejadian keterlambatan pembuahan dimana saat itu terjadi penuaan ovum pada meiosis II setelah ovulasi.
3. Penuaan sel spermatosoa laki-laki (aging of sperm), bahwa pematangan sperma dalam alat reproduksi pria yang berhubungan dengan bersenggama infrekuen, berperan dalam efek ekstra kromosom 21 yang berasal dari ayah
 
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEg27eihvvnO6PQmh9mn9jawSC_mYLlxy6g11ijcBRV5coqmiuAR7CEBWmc_vYNM2P5IGNtQZcXOXnxWwzEhrYjoqaVtJ5KNmhCO3_Z1neqwybGrPZaE3Hq6eRhwJGuzihrQwYcJzGfKSX0/s1600/image031.jpg
Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjb-ljqNu4VH_nUjHTVtZutbV9JNLsMo4uoA8yL8yr8RTnxRQK1QkAetTAcSQXT7RZKKNFxCTkoGnbrmnwwZUstS2z2wG-tbaEs0W8Llbm7QSh5yDT4GtZYfANH_mEZPZ0GOcmDlLIiWEg/s1600/triplikasi.jpg
                                                           
Triplikasi Kromosom 21

Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjauajzrhHHi9mIVqLl0KupreM5CfwpRUyKjZqMI_Y2ghC2izpJ0SzgZY814wl1cgjtp2lE50fO-IGtPes5lJvRIWvbD4oSc0BrW3SEeFvy8_p-5XxAQTfDTUPhbODxBIBa5KShFRFo6Do/s1600/127.jpg
                                   
Kurva Maternal Age terhadap Kasus Sindrom Down

B.   PATOFISIOLOGI
Sesuai dengan etiologi diatas bahwa sindrom down disebabkan oleh adanya kesalahan dalam pembelahan sel embrio yang mereplikasi kromosom tambahan 21 yang disebut trisomi 21. Sel tubuh manusia terdiri dari 23 pasang kromosom. Pada saat konsepsi setiap orang tua memasok 23 pasang kromosom setelah fertilisasi sel telur. Satu setengah dari 23 pasang kromosom untuk perkembangan embrio bayi dipasok oleh sperma dari laki-laki dan setengah lainnya oleh sel telur dari perempuan. Kromosom-kromosom dari setiap orang tua menggabungkan dan mengirimkan informasi genetik yang membuat manusia mengembangkan produk unik dari gabungan genetika dari kedua orang tua tersebut. Ketika sebuah sel telur dibuahi berisi sebuah ekstra kromosom 21 hasilnya adalah sindrom down (Craig Stellpflug, 2009).
Adanya ekstra kromosom nomor 21 memberikan pengaruh pada banyak sistem organ, sehingga membentuk spektrum fenotip sindroma down yang luas, antara lain dengan adanya kromosom 21q22.3 menyebabkan keterlambatan mental, gambaran wajah khas (mongolism), anomali jari tangan, dan kelainan jantung bawaan. Selain itu adanya kromosom 21q22.1-q22.2 menyebabkan kelainan susunan saraf pusat (keterlambatan mental) dan kelainan jantung bawaan yang merupakan kandidat untuk keterlibatan dalam proses phatogenesis sindrom down (Darto Saharso, 2006). Misalnya pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa Congenital Heart Disease (CHD). CHD tersebut dapat berupa atrial septal defect dan ventrikuler septal defect. Pada sistem pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esophagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia) (Gordon Atherley, 2011).

C.   TANDA DAN GEJALA
Tanda dan gejala dari sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas. Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relatif pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang mongolia maka sering juga dikenal dengan mongoloid. Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics) (Herry, 2009).
Selain itu anak dengan sindrom down akan mengalami keterlambatan perkembangan mental dan sosialnya. Ciri-cirinya antara lain: keterbatasan intelektual, keterlambatan kemampuan bahasa, lemah dalam mempelajari sesuatu, rentang perhatian pendek, perilaku impulsive, mudah depresi, dan keterbatasan dalam pergaulan (Gordon Atherley, 2011).

D.   TEMUAN SELULER DAN MOLEKULER PADA SINDROM DOWN
1)      Temuan Seluler pada Sindrom Down
Semua penderita sindrom down memiliki jumlah kromosom yang berbeda seperti kromosom pada orang normal. Orang normal mempunyai jumlah kromosom sebanyak 46 sedangkan pada penderita sindrom down ada 47 kromosom. Hal ini karena ada kelebihan kromosom pada kromosom 21 sehingga jumlah kromosom 21 menjadi 3. Alasan tersebutlah yang mengatakan bahwa sindrom down disebut juga sebagai trisomi 21. Adanya kelebihan satu salinan kromosom 21 dalam genom tersebut dapat berupa kromosom bebas (trisomi 21 murni), bagian dari fusi translokasi Robertsonian (fusi kromosom 21 dengan kromosom akrosentrik lain), ataupun dalam jumlah yang sedikit: sebagai bagian dari translokasi resiprokal (timbal balik dengan kromosom lain). Kelebihan kromosom 21 bebas ini dapat dalam bentuk mumi yaitu dalam seluruh metafase atau bentuk mosaik yaitu dalam satu individu terdapat campuran 2 macam sel dengan ekstra kromosom 21 (47 kromosom) dan sel normal dengan 46 kromosom (Peter S. Harper, 2002).
Secara sitogenik terdapat 3 jenis kasus sindrom down atau ada 3 jenis genetik pada sindrom down,   yaitu antara lain (Craig Stellpflug, 2009 & Sultana Farad, 2004) :
a.    Trisomy 21
Jenis ini ditemukan paling banyak yaitu sekitar 95% dari kasus sindrom down. Dalam trisomy 21, yang direplikasi oleh kromosom 21 ada di setiap sel individunya. Jenis ini dimulai baik sperma atau sel telur dengan kehadiran kromosom tambahan sebelum sperma dan sel telur bersatu. Adanya 3 copy dari kromosom 21 inilah sehingga disebut sebagai trysomi 21.
b.    Mosaic trisomy 21
Jenis ini ditemukan sekitar 2-4% dari kasus sindrom down. Dalam mosaic trisomy 21 kromosom 21 tambahan nampak di beberapa tapi tidak dalam semua sel individu. Sel sperma dan telur membawa kromosom dengan jumlah yang benar tetapi ada kesalahan yang terjadi saat pembagian kromosom pada perkembangan embrio. Hanya sel-sel yang terkena dampak 47 kromosom bukan 46 kromosom normal yang akan menunjukkan ciri-ciri sindrom down.
c.     Translocation trisomy 21
Jenis ini terjadi 3-4% kasus sindrom down. Dalam kejadian ini baik sebelum konsepsi atau saat konsepsi, bahan dari satu kromosom 21 menjadi tertranslokasi atau terjebak ke kromosom 21 yang lainnya. Sel-sel dari individu ini akan memiliki 46 kromosom tapi masih membawa ciri-ciri yang berhubungan dengan sindrom down karena adanya bahan tambahan tersebut.
Dari ketiga jenis tersebut dapat berisi "parsial trisomi p atau q" yang berarti bahwa anak hanya memiliki sebagian dari satu atau sebagian lain dari kromosom tambahan. Lengan kromosom “p” menjadi potongan lebih pendek dan lengan "q" menjadi potongan yang lebih panjang pada kromosom
 
2)      Temuan Molekuler pada Sindrom Down
Kromosom 21 merupakan kromosom yang pertama kali DNA nya dapat di sekuens. Pada analisis molekuier, DNA kromosom 21 menunjukan kromosom yang mempunyai sedikit gen-gen, hal ini yang merupakan salah satu alasan mengapa trisomi 21 dapat bertahan hidup. Lokasi gen yang berhubungan dengan gejala klinik sindrom down diduga pada 21q22.3 lebih kurang 5Mb di antara 21S58-52 (Rimoin & Connor, 2002).
Sejak ditemukan lokus gen yang berhubungan dengan sindrom down, di beberapa pusat kesehatan dinegara-negara telah berkembang, untuk deteksi sindrom down pada janin dalam kandungan menggunakan analisis DNA. Karena dengan analisis DNA (PCR/polymerase chain reaction) didapat hasil lebih cepat, tidak memerlukan penanaman sel (kultur) seperti pada analisis kromosom. Pada polyacrylamide gel electrophoresis produk PCR dari lokus gen penderita sindrom down akan ditemukan 3 pita (band), sedang pada individu normal hanya dltemukan 2 pita. Di laboratorium molekuler yang telah maju produk PCR tidak lagi dianalisis dengan gel electrophoresis tetapi fragmen-fragmen DNA dianalisis pada mesin automated sequencer (ABl31 00), sehingga didapat hasil lebih tepat dan akan diperoleh dalam tempo 24 jam berupa grafik dari penderita sindrom down yang menunjukkan puncak grafik yang lebih tinggi bila dibanding individu normal (Sultana Farad, 2004).
Penelitian oleh Arron '' et al.'' menunjukkan bahwa beberapa fenotipe yang terkait dengan sindrom down dapat berhubungan dengan disregulation faktor-faktor transkripsi dan khususnya NFAT. NFAT dikendalikan sebagian oleh dua protein yaitu DSCR1 (Down Syndrome Critical Region 1) dan DYRK1A (dual-specificity tyrosine phosphorylation-regulated kinase 1A) yang terletak di kromosom 21. Pada orang dengan sindrom down, protein ini memiliki konsentrasi 1,5 kali lebih daripada normal. Kenaikan tingkat DSCR1 dan DYRK1A mencegah NFATc untuk mengaktifkan transkripsi gen target dan dengan demikian akan memproduksi protein tertentu. DSCR1 berkaitan dengan otak dan jantung sehingga berpengaruh pada retardasi mental dan kerusakan jantung. Sama halnya dengan DYRK1A berkaitan dengan terjadinya retardasi mental pada kasus sindrom down (Eipstein, 1995).
Kajian molekuler pada kasus sindrom down juga bisa dilihat pada Ibu hamil yang beresiko untuk terjadinya sindrom down pada bayinya. Ada beberapa penelitian yang mengatakan bahwa perubahan metabolism folat dan methyl pada Ibu dapat menjadi faktor resiko sindrom down pada bayi yang dilahirkan. Gen yang terlibat dalam metabolisme folat Ibu hamil telah dihipotesiskan menjadi kandidat gen yang terlibat dalam peningkatan rata-rata kejadian non-disjunction. Hal ini ditunjukkan bahwa 677C-T polymorphism dalam gen Methylenetetrahydrofolate Reductase (MTHFR) meningkatkan resiko bayi lahir dengan sindrom down. MTHFR mengkatalis konversi 5,10-methylenetetrahydrofolate, donor methyl untuk pembentukan kembali methyl homosistein ke metionin. Mutasi gen MTHFR (677CàT) menyebabkan percabangan alanin ke valin dalam protein MTHFR dan mengurangi aktivitas enzim. Aktivitas MTHFR dikurangi menjadi 37% untuk heterozigot genotype C/T dan 70% dengan homozigot genotype T/T untuk normal genotype C/C. Para peneliti berasumsi bahwa dengan status folat rendah baik karena faktor makanan atau genetik, bisa menyebabkan hypomethylation DNA centromeric dan perubahan dalam struktur kromatin yang mempengaruhi interaksi DNA-protein yang diperlukan untuk kohesi centromeric dan segregasi meiosis normal (James, 2004).
Salma Mohammed (2010) menuliskan dalam disertasinya bahwa adanya mutasi pada gen yang dikode oleh inti sel dapat beresiko terjadinya sindrom down. Mekanisme meiosis melibatkan 3 proses yang spesifik yaitu: pasangan dan sinapsis homolog kromosom; rekombinasi meiosis resiprokal (crossover); dan aturan sister chromatid cohesion (SCC). Beberapa mutasi yang mengendalikan proses di atas dapat menyebabkan kesalahan dalam pembagian kromosom dan menghasilkan sel yang aneuploid. Mutasi beberapa gen yang terlibat dalam segregasi kromosom telah diidentifikasi, yang ternyata meningkatkan risiko mitosis non-disjunction dalam sel somatik seperti gen MAD2 dan BUB1.

E.    PENATALAKSANAAN SINDROM DOWN (PENDEKATAN TERAPI GEN)
Sindrom down tidak selalu dilakukan pre skrinning dan pre diagnosis, tetapi ketika saat lahir bayi menunjukkan sebagian atau keseluruhan tanda dari sindrom down maka dperintahkan untuk test pengujian abnormalitas genetik. Untuk mengkonfirmasi adanya anomali trisomi dokter dapat meminta tes darah dari bayi yang menumbuhkan sel-selnya dari darah. Pemeriksaan mikroskopis dari sel-sel kemudian dapat menentukan ada atau tidak adanya replikasi kromosom 21. Pemeriksaan laboratorium yang dapat dilakukan antara lain (Craig Stellpflug, 2009):
           1.   Studi sitogenetik : Karyotyping penderita dan orang tua penderia (untuk konseling  genetik)
           2.   Pemeriksaan lainnya:
a.  Fluorescence In Situ Hybridization (FISH): digunakan untuk mendeteksi Trisomi 21 secara cepat, baik pada masa prenatal maupun masa neonatal.
b.  Thyroid-stimulating hormone (TSH) and Thyroxine (T4): untuk menilai fungsi kelenjar tiroid. Dilakukan segera setelah lahir dan berkala setiap tahun.
Terapi sindrom down hingga saat ini hanya dilakukan terhadap gejala yang telah muncul. Misalnya: stimulasi dini pada bayi yang sindrom down, fisioterapi, terapi wicara, terapi remedial, terapi sensori integrasi, terapi tingkah laku dan terapi alternative lainnya. Terapi konvensional semacam itu tidak akan pernah mengatasi penderitaan pasien sindroma down secara tuntas. Ketidakseimbangan gen dan ekspresinya akibat triplikasi kromosom 21 akan terus berlangsung sepanjang hidup pasien. Ketidakseimbangan tersebut akan menyebabkan kekacauan fungsi produk-produk gen yang sensitif yang kemudian muncul dalam bentuk fenotipik khas sindroma down. Terapi gen merupakan pengobatan atau pencegahan penyakit melalui transfer bahan genetik ke tubuh pasien. Studi klinis terapi gen pertama kali dilakukan pada tahun 1990. Transfer gen ke sel somatik dapat dilakukan melalui dua metode yaitu ex vivo atau in vitro (Jenie Palupi, 2007).
Melalui pendekatan ex vivo, sel diambil dari tubuh pasien, direkayasa secara genetik dan dimasukkan kembali ke tubuh pasien. Kemudian diikuti dengan reinfusi atau reimplementasi dari sel tertransduksi itu ke pasien. Penggunaan sel penderita diperlakukan adalah untuk meyakinkan tidak ada respon imun yang merugikan setelah infuse atau transplantasi. Keunggulan metode ini adalah transfer gen menjadi lebih efisien dan sel terekayasa mampu membelah dengan baik dan menghasilkan produk sasaran. Kelemahannya, yaitu memunculkan immunogenisitas sel pada pasien-pasien yang peka, biaya lebih mahal dan sel terekayasa sulit dikontrol. Sedangkan terapi gen saat ini menggunakan teknik in vivo, yaitu transfer langsung gen target ke tubuh pasien dengan menggunakan pengemban (vektor). Pengemban yang paling sering dipakai untuk mengantarkan gen asing ke tubuh pasien adalah Adenovirus. Selain itu dikembangkan juga pengemban-pengemban lain yaitu Retrovirus, Lentivirus, Adeno-associated virus, DNA telanjang (naked DNA), lipida kationik dan partikel DNA terkondensasi (Smalgik, 2000).

Description: Description: https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEjU-qBBpdcTttUcOIuvSuq4cMniIjpaQuqrMF1nBhzRGM04PUGiHFlZC0SyFEKa-PTo5OHTbLvqAzYkoQJwOkKGd4Mg2ChWP4gfX_9HZu-_jJeWK8sSrXTzbGZYZX0kPFtU-7UFrzR9cv0/s1600/54.jpg

Transfer gen yang memanfaatkan adenovirus untuk dimasukkan dalam sel somatik penderita
F.   PENCEGAHAN
Sebagai seorang tenaga medis baik kedokteran, keperawatan atau bahkan ahli genetika harus memberikan beberapa penyuluhan kepada orang tua atau informasi-informasi terkait untuk mencegah terjadinya sindrom down. Beberapa hal yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya sindrom down antara lain dengan konseling genetik maupun amniosentesis pada kehamilan yang dicurigai sehingga akan sangat membantu mengurangi angka kejadian sindrom down. Saat ini dengan kemajuan Biologi Molekuler, misalnya dengan “gene targeting“ atau yang dikenal juga sebagai “homologous recombination“ sebuah gen dapat dinonaktifkan. Tidak terkecuali suatu saat nanti, gen-gen yang terdapat diujung lengan panjang kromosom 21 yang bertanggung jawab terhadap munculnya fenotipe sindrom down dapat dinonaktifkan (Soetjiningsih, 1995).



Tidak ada komentar:

Posting Komentar