TUTORIAL BLOK 8
SCENARIO 4
oleh: Ra“danyet” Rizka Faridha Safitri
The mother of an 18 month-old
girls is concerned because the child has not yet started to walk. She cannot
sit independently, even for a brief period. She recently rolled from front to
back but cannot roll to back to front. She reaches for toys with her left hand
with a “batting” motion. She makes vowel sounds and vocalizes mainly in respons
to familial faces. She coughs when drinking and has a small hard stool every
other day. She was born at 26 weeks gestation and had a complicated. Prolonged stay
in neonatal intensive care unit. Intraventricular hemorrhage was identified
with subsequent cystic change in periventricular white matter seen on head
ultrasound. She was discharged 5 months after birth on nasal-canul oxygen and
high calry formula.
LEARNING OUTCOME
1. Discuss
the impact of gestational age on development
2. Identify
neurologic consequences of pematurity
3. Discuss
the nutritional problem experienced by the infant and young children with
cerebral palsy
CEKIDOT !! >.<
Bagaimana
ya perkembangan anak pada skenario? Sesuaikah dengan usianya?
₋
Berlari canggung, duduk di kursi kecil, naik
tangga satu tangan berpegangan
₋
Membangun manara 4 kubus, meniru garis vertikal,
mengambil manik-manik dari botol
₋
Mengeluarkan 10 kata, menyebutkan gambar,
mengenal 1 atau lebih bagian tubuh
₋
Makan sendiri, meminta tolong, mengeluh ngompol
atau defekasi, mencium dengan kecupan
₋
Menopang dengan tangannya, membawa bola tanpa
jatuh, mengelompokkan benda
₋
Meniru pekerjaan rumah tangga dan menolong jika
diperintah dengan perintah sederhana
₋
Menyentuh dan membedakan benda dan
permukaan
₋
Bermain dengan konsentrasi yang baik dan
fantasi
₋
Kata-katanya mudah dimengerti
Tapi pada anak di skenario,
didapatkan perkembangan tidak sesuai dengan anak normal seusianya.
Bagaimana bayi prematur itu?
Bayi lahir
pada umur gestasi 26 minggu. Menurut WHO, bayi yang dilahirkan sebelum mencapai
37 minggu dari hari pertamamenstruasi terakhir disebut prematur.
Bagimana perkembangan yang dimiliki pada bayi kurang
bulan / prematur?
Bayi prematur
jelas memiliki periode perkembangan prenatal yang singkat. Kelahiran prematur
menjadi predisposisi berbagai komplikasi neonatal dan masalah pertumbuhan dan perkembangan. Banyak penelitian telah
mengindikasikan, anak prematur menunjukkan penundaan pada beberapa area
pertumbuhan, perkembangan fisik dan psikologis.
Bagaimana perkembangan neurology pada bayi prematur?
·
Gangguan pekembangan neurologis adalah kegagalan
untuk memiliki kemampuan fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki, yang
disebabkan oleh adanya lesi (defek) dari otak yang terjadi pada
periode awal pertumbuhan otak . Penyebab gangguan ini terjadi pada masa
pranatal, perinatal, ataupun pasca natal.
·
Pertumbuhan dan perkembangan otak dimulai dengan
pembentukan lempeng saraf (neural plate), pada masa embrio yaitu
sekitar harike-16 yang kemudian
menggulung membentuk tabung saraf (neural tube) pada hari ke-22.
·
Pada minggu
ke-5 mulailah terlihat cikal bakal otak besar di ujung tabung saraf.Selanjutnya
terbentuklah batang otak, serebelum, dan bagian-bagian lainnya.
·
Perkembangan otak yang kompleks memerlukan
beberapa proses seri perkembangan yang terdiri atas:pembentukan tabung neural, kemudian neuron (sel saraf) berproliferasi pada regio yang berbeda, terjadi migrasi neuron dari tempat
pembentukannya ke tempat yang permanen, diikuti agregasi sel sehingga membentuk bagian-bagian otak, selanjutnya neuron-neuron imatur berdiferensiasi,
dan terbentuk hubungan antar neuron
(sinaps), tahap berikutnya terjadi kematian sel dan eliminasi selektif, lalu penyempurnaan
mylenisasi (pembentukan myelin)
·
Pada umumnya dapat dipastikan bahwa gangguan
perkembangan neurologik mempunyai basis biologik yaitu basis serebral. Beberapa hal disebutkan dapat mempengaruhi dan
merusak otak pada masa awal dari pertumbuhannya sehingga terdapat lesi/defek pada otak yang menyebabkan
terjadinya gangguan perkembangan
neurologis, dimana terdapat keterlambatan/kegagalan untuk memiliki
kemampuan fungsi-fungsi neurologis yang seharusnya dimiliki.
·
Sebelum anak berusia 2,5 tahun, gangguan
perkembangan lebih sering tampak terlihat karena anak terlambat dalam mencapai milestone (patokan perkembangan)nya. Misalnya:
anak belum bisa duduk, berjalan atau berbicara.
·
Dalam kehidupan sehari-hari terdapat beberapa
bidang dimana gangguan perkembangan menjadi tampak jelas, yaitu: problem dalam
bahasa yang diucapkan, kepribadian / tingkah laku sosial, gerakan motorik halus
dan kasar, dan sebagainya.
·
Faktor-faktor yang berpengaruh:
1.
Faktor
pranatal
₋
faktor genetik àdefek
gen atau defek kromosom. Misal: pada sindroma Down.
Penyimpangan ini sudah ada sejak dini dan dalam
bermacam-macam fase, menyebabkan malformasi serebral, tergantung gen yang
bersangkutan.
₋
Kesehatan ibu selama hamil, keadaan gizi, dan
emosi ikut mempengaruhi keadaan bayi sebelum lahir.
₋
Penyakit menahun pada ibu hamil seperti: TBC,
hipertensi, DM, anemia, penggunaan narkotik, alkohol, serta rokok yang berlebihan.
₋
Usaha untuk menggugurkan kandungan sering pula
berakibat cacatnya bayi yang lahir dan seringkali dapat disertai gangguan
perkembangan neurologis.
₋
Infeksi virus pada ibu hamil, seperti: rubella,
CMV (cytomegalovirus), dan toxoplasmosis dapat mengakibatkan kerusakan otak
yang potensial sehingga otak berkembang secara abnormal.
₋
Anoksia dalam kandungan, terkena radiasi sinar X
dalam kehamilan, abruptio placenta, placenta previa dapat juga mempengaruhi
gangguan perkembangan neurologis.
2.
Faktor
perinatal
₋
Asfiksia.
Bila keadaan ini berat, dapat menyebabkan kematian atau kerusakan permanen pada
otak (Hypoxic-Ischemic Encephalopathy / HIE), sehingga bayi dapat mengalami
gangguan perkembangan neurologis bahkan menderita cacat seumur hidup.
₋
Trauma
lahir. Trauma lahir merupakan salah satu faktor potensial terjadinya
gangguan perkembangan neurologis karena terdapat resiko terjadinya kerusakan
otak terutama akibat perdarahan.
₋
Hipoglikemia.
Dikatakan hipoglikemi bila kadar glukosa darah <45 mg/dL. Keadaan ini bila
tidak ditanggulangi, dapat menyebabkan kerusakan otak berat bahkan kematian.
₋
BBLR.
Prognosis pada tumbuh kembang termasuk perkembangan neurologis pada bayi kecil
masa kehamilan (KMK) lebih kurang baik dari pada bayi premature. Karena pada
KMK telah terjadi retardasi pertumbuhan sejak berada salam kandungan,
lebih-lebih kalau tidak mendapat nutrisi yang baik sejak lahir.
₋
Infeksi.
Infeksi berat dapat memberi dampak gejala sisa neurologis yang jelas seperti:
hidrosedalus, buta, tuli, cara bicara yang tidak jelas, dan RM. Gejala sisa
yang ringan seperti: gangguan penglihatan, kesukaran belajar, dan kelainan
tingkah laku.
₋
Hiperbilirubinemia.
Akan berpengaruh buruk apabila bilirubin indirect telah melewati sawar otak,
sehingga terjadi ensefalopati biliaris (kern ichterus) yang dapat mengakibatkan
gangguan perkembangan neurologis.
3.
Faktor
postnatal
Infeksi
intrakranial, trauma capitis, tumor otak, gangguan pembuluh darah otak,
kelainan tulang tengkorak, kelainan endokrin dan metabolik, keracunan otak, dan
malnutrisi. Otak anak dengan malnutrisi lebih kecil dari otak anak normal
seumurnya, jumlah sel neuron dan jumlah lemak otak juga berkurang.
Bagaimana
patogenesis pendarahan intraventricular?
Pada trauma
kelahiran, perdarahan terjadi oleh kerusakan/
robekan pembuluh- pembuluh darah intrakranial secara langsung. Pada
perdarahan yang bukan karena trauma kelahiran,faktor dasar ialah prematuritas (pada bayi-bayi tersebut,
pembuluh darah otak masih embrional dengan dinding tipis, jaringan penunjang
sangat kurang dan pada beberapa tempat tertentu jalannya berkelok-kelok,
kadang-kadang membentuk huruf U).Sehingga mudah sekali terjadi kerusakan bila
ada faktor- faktor pencetus (hipoksia/iskemia).
Keadaan ini terutama terjadi pada perdarahan
intraventrikuler/periventrikuler.
Perdarahan epidural/ ekstradural
terjadi oleh robekan arteri atau vena
meningika media antara tulang tengkorak dan duramater. Keadaan ini jarang
ditemukan pada neonatus. Tetapi perdarahan subdural merupakan jenis PIN (Perdarahan
intrakranial pada neonatus) yang
banyak dijumpai pada BCB(bayi cukup bulan).
Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada Bayi Cukup Bulan daripada Bayi Kurang Bulan. Sebab pada Bayi Kurang Bulan vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan membentuk hematoma subdural.
Di sini perdarahan terjadi akibat pecahnya vena-vena kortikal yang menghubungkan rongga subdural dengan sinus-sinus pada duramater. Perdarahan subdural lebih sering pada Bayi Cukup Bulan daripada Bayi Kurang Bulan. Sebab pada Bayi Kurang Bulan vena-vena superfisial belum berkembang baik dan mulase tulang tengkorak sangat jarang terjadi. Perdarahan dapat berlangsung perlahan-lahan dan membentuk hematoma subdural.
Apa
yang terjadi dengan perubahan sistik di periventriculer?
Hal ini terkait dengan periventricular leukomalacia. Apa itu? periventricular leukomalaciaadalah
necrosis dari substasia alba sekitar ventrikel akibat dari menurunnya kadar
oksigen dan arus darah pada otak.
Ngapain
aja ya si bayi di NICU (neonatal intensive care unit)?
Staf di NICU adalah adalah yang terlatih pada perawatan bayi baru lahir dan
peralatan di NICU ditujukan untuk
perawatan bayi baru lahir yang memerlukan perawatan khusus.
Bayi yang di kirim ke NICU:
₋
Lahir prematur
₋
Mengalami kesulitan / masalah selama proses
kelahiran
₋
Menunjukkan tanda-tanda gangguan kesehatan dalam
hari-hari pertama hidupnya
Lama perawatan di NICU tergantung
dari berat ringannya gangguan kesehatan yang dialami bayi. Beberapa indikasi
bayi harus dibawa ke NICU: anemia, apnea (henti napas), perdarahan intraventrikuler, patent ductus arteriosus, syndrom gawat napas (respiratory distress syndrom)
(karna isi webnya ga bisa d copy,
mending temen-temen langsung ke web nya aja yaa.. penjelasan lengkap di sana.
Soalnya juga, beberapa indikasi di atas tadi terkait bayi prematur jugaa.. Aku
ambil cuma perdarahan intraventriculer , soalnya yang terkait skenario, ^_^ hihi. Lagian juga, ngetiknya rempong L. Nih aku kasih alamat web nya http://milissehat.web.id/?p=350.
Semangat yuk guys.. ^o^)
Secara umum: Bayi prematur
memerlukan perawatan lebih intensif daripada bayi yang lahir cukup bulan.
Kebutuhan paling mendasar bayi prematur adalah kehangatan yang stabil seperti ketika masih di dalam rahim. Untuk itulah, saat baru lahir, kebanyakan bayi prematur memerlukan perawatan di NICU. Pada NICU, dengan inkubator dan radiant warmer-nya mampu menciptakan lingkungan nyaman bagi pertumbuhan bayi. Jangka waktu kebutuhan bayi prematur berada di ruang NICU tidak bisa disamaratakan seluruhnya. Hal ini perlu observasi mendalam terhadap kondisi bayi yang mungkin berbeda-beda. Selain itu, tentu saja bayi prematur membutuhkan asupan nutrisi sesuai usianya yang lahir belum cukup bulan.
Sebelum bayi prematur diputuskan boleh pulang, diperlukan suatu pendekatan multidisiplin dari para dokter sesuai permasalahan yang ada padanya. Misalnya dengan melihat beberapa patokan dasar berikut:
Kebutuhan paling mendasar bayi prematur adalah kehangatan yang stabil seperti ketika masih di dalam rahim. Untuk itulah, saat baru lahir, kebanyakan bayi prematur memerlukan perawatan di NICU. Pada NICU, dengan inkubator dan radiant warmer-nya mampu menciptakan lingkungan nyaman bagi pertumbuhan bayi. Jangka waktu kebutuhan bayi prematur berada di ruang NICU tidak bisa disamaratakan seluruhnya. Hal ini perlu observasi mendalam terhadap kondisi bayi yang mungkin berbeda-beda. Selain itu, tentu saja bayi prematur membutuhkan asupan nutrisi sesuai usianya yang lahir belum cukup bulan.
Sebelum bayi prematur diputuskan boleh pulang, diperlukan suatu pendekatan multidisiplin dari para dokter sesuai permasalahan yang ada padanya. Misalnya dengan melihat beberapa patokan dasar berikut:
a.
Temperatur tubuh bayi dinyatakan stabil ketika
sudah keluar dari inkubator yang biasanya kemampuan ini dimiliki bayi dengan
usia kandungan 34 minggu atau berat badan sekitar 2.000 gram
b.
Bayi sudah dapat minum atau mengisap dengan baik
untuk mencapai kenaikan BB sekitar 20-30 gram per hari
c.
Bayi sudah tidak lagi mendapat pengobatan secara
intensif dan tidak memerlukan pengawasan di rumah sakit
d.
Bayi tidak mengalami perubahan berarti dalam
pengobatan atau pemberian oksigen tambahan menjelang pulang.
Bila berdasarkan observasi itu
bayi sudah memenuhi syarat, maka ia sudah boleh dibawa pulang.
Seperti
apa ya pemasangan nasal-kanul oxygen itu?
Kanul nasal adalah alat sederhana yang dapat dimasukkan ke lubang
hidungnya untuk memberikan oksigen dan yang memungkinkan klien untuk bernafas
melalui mulut. Kanul nasal tersedia untuk semua kelompok dan adekuat untuk
penggunaan baik jangka panjang dan pendek di rumah sakit atau di rumah.
Merupakan suatu alat sederhana
yang dapat memberikan oksigen kontinyu dengan 6 liter/mnt dengan konsentrasi oksigen sama dengan kateter nasal.
Keuntungan : Pemberian oksigen stabil dengan volume tidal dan
laju pernafasan teratur, pemasangannya mudah dibandingkan kateter nasal, klien
bebas makan, bergerak, berbicara, lebih mudah ditolerir klien dan terasa
nyaman.
Kerugian : Tidak dapat memberikan konsentrasi oksigen lebih
dari 44%, suplai oksigen berkurang bila klien bernafas melalui mulut, mudah
lepas karena kedalaman kanul hanya 1 cm, dapat mengiritasi selaput lendir.
Gambarnya nih teman-teman.. ayok
dipilih mana yang lebih disukaaa.. ^o^ haha
Cerebral
Palsy
DEFINISI
Cerebral palsy adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif oleh karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya. (Bax, dikutip oleh Soetjiningsih, 1998).
Cerebaral palsy adalah gangguan pada otak yang bersifat non progresif. Gangguan ini dapat disebabkan oleh adanya lesi atau gangguan perkembangan pada otak ( Shepered,1995 ).
Cerebral palsy adalah suatu kelainan gerakan dan postur yang tidak progresif oleh karena suatu kerusakan atau gangguan pada sel-sel motorik pada susunan saraf pusat yang sedang tumbuh atau belum selesai pertumbuhannya. (Bax, dikutip oleh Soetjiningsih, 1998).
Cerebaral palsy adalah gangguan pada otak yang bersifat non progresif. Gangguan ini dapat disebabkan oleh adanya lesi atau gangguan perkembangan pada otak ( Shepered,1995 ).
Sedangkan menurut
Bobath (1996),Cerebaral palsy
adalah akibat dari lesi atau gangguan perkembangan otak bersifat non progresif
dan terjadi akibat bayi lahir terlalu dini (prematur). Defisit motorik dapat ditemukan pada pola abnormal dari
postur dan gerakan.
Cerebral palsy atau disingkat dengan CP adalah sekelompok gangguan
gerak atau postur yang disebabkan oleh lesi yang tidak progresif yang menyerang
otak yang sedang berkembang (immatur).
Lesi yang terjadi sifatnya menetap selama hidup, tetapi perubahan gejala bisa
terjadi sebagai akibat proses pertumbuhan dan maturasi otak. Kerusakan jaringan
saraf yang tidak progresif pada saat prenatal dan sampai 2 tahun post natal
termasuk dalam kelompok CP.
Cerebral palsy bukanlah termasuk penyakit secara tersendiri, tetapi istilah yang diberikan untuk sekelompok gejala motorik yang bervariasi akibat lesi otak yang tidak progresif. Gejala motorik merupakan gejala yang menonjol dan memberikan pola gerakan abnormal tertentu. Meskipun diagnosis terutama ditentukan berdasarkan kelainan motorik, gejala lain bisa menyertai penderita CP sesuai dengan daerah kerusakan otak yang terjadi.
Cerebral palsy bukanlah termasuk penyakit secara tersendiri, tetapi istilah yang diberikan untuk sekelompok gejala motorik yang bervariasi akibat lesi otak yang tidak progresif. Gejala motorik merupakan gejala yang menonjol dan memberikan pola gerakan abnormal tertentu. Meskipun diagnosis terutama ditentukan berdasarkan kelainan motorik, gejala lain bisa menyertai penderita CP sesuai dengan daerah kerusakan otak yang terjadi.
Gambar di atas merupakan kondisi
otak pada bayi prematur yang
mengalami CP dan PVL.
A.
Pada CP
(cerebral palsy), terjadi perdarahan
intraventrikuler. Pada keadaan yang lebih ringan terjadi nekrosis didaerah periventrikel substansia alba dan terjadi atrofi yang difus pada substansia
kortek serebri. Kelainan tersebut dapat fokal (menyeluruh) tergantung
tempat yang terkena
B.
PVL (periventricular leukomalacia) adalah
necrosis dari substasia alba sekitar ventrikel akibat dari menurunnya kadar
oksigen dan arus darah pada otak. Terdapat perbesaran
ventrikelotak dan penurunan
myelinisasi pada sel saraf sehingga mempengaruhi perkembangan neurologi
nya.
EPIDEMIOLOGI
Cerebral palsy merupakan penyebab kecatatan tersering pada anak. Prevalensi CP bervariasi, pada umumnya banyak peneliti mendapatkan sekitar 2,0/1000 anak usia sekolah. Didapatkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat peningkatan bayi immatur, berat lahir rendah dan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup. Insiden bervariasi antara 2-2,5/1000 bayi lahir hidup. Di USA perkiraan prevalensi pada yang sedang atau berat antara 1,5-2,5/1000 kelahiran, kurang lebih mengenai 1.000.000 orang.
Kecenderungan peningkatan prevalensi pada kongenital CP dari 1,7 menjadi 2,0/1000 kelahiran hidup pada periode 1975-1991. Peningkatan ini akibat sedikit peningkatan kasus CP pada bayi dengan berat badan normal. Hal ini diduga akibat metode diagnostik yang berbeda dalam kurun waktu tersebut. Peneliti lain mendapatkan prevalensi CP 2,1/1000 neonatus yang bertahan hidup. Prevalensi menurut berat badan antara 1,1 neonatus dengan berat lahir >2500gr sampai 78,1 pada bayi dengan berat lahir <1000gr.
ETIOLOGI
Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal, dan post natal. Sekitar 70-80% terjadi akibat kerusakan otak saat prenatal. Bayi lahir prematur dan gangguan pertumbuhan saat kehamilan baik pada bayi prematur maupun yang cukup bulan sebagai penyebab yang sering didapatkan saat prenatal. Resiko terjadinya CP 25-31 kali lebih tinggi pada bayi berat lahir kurang dari 1500gr dan didapatkan 1/3 bayi dengan gejala CP dengan berat lahir kurang dari 2500gr. Bayi lahir prematur merupakan faktor tersering dan secara konsisten berhubungan dengan CP.
Bayi kecil menurut usia kehamilan (intra uterine growth retardation) yang lahir setelah 32 minggu meningkatkan resiko menderita CP. Data terakhir diduga disebabkan oleh intrauterine undernutrition dan hipoksia kronik, yang dapat dideteksi pada pemeriksaan darah fetal, menunjukkan asidosis atau peningkatan konsentrasi eritropoetin dan adanya redistribusi aliran darah fetal dengan pemeriksaan USG Doppler.
Kehamilan multipel meningkatkan resiko 9/1000 pada bayi kembar dua dan 30/1000 bayi kembar tiga. Kelainan kongenital yang terjadi akibat gejala sisa infeksi cytomegalovirus sekitar 0,03% dari yang lahir hidup, toksoplasmosis kongenital 1/10.000 kelahiran di Inggris. Infeksi bakteri yang terjadi pada ibu hamil bermakna menunjukkan hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP. Infeksi maternal berpotensi menyebabkan persalinan prematur dan adanya resiko tambahan berhubungan dengan terjadinya leukomalasia periventrikuler.
Defisiensi iodium sudah menjadi penyebab yang nyata terjadinya kerusakan otak dalam kehamilan. Adanya malnutrisi kalori dan protein pada intrauterine growth retardation dan kelainan neurologi belum jelas, tetapi pada kalangan sosial ekonomi rendah terdapat hubungan dengan kejadian CP dan pada banyak penelitian menduga perhatian terhadap kecukupan nutrisi ibu hamil bisa bermanfaat. Ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol 40gr/hari meningkatkan terjadinya kelainan neurologi, tetapi tidak jelas pada yang mengkonsumsi dalam jumlah sedang. Kokain menyebabkan kerusakan pada otak, akibat mempunyai efek vasokonstriktor dan infark otak kadang terlihat dengan pemeriksaan USG setelah lahir.
Hipertensi dalam kehamilan berhubungan dengan meningkatnya resiko CP pada bayi lahir lebih 32 minggu, diduga insufisiensi plasenta jangka lama mengakibatkan kerusakan organ pada bayi lahir aterm. Studi terakhir menduga bahwa terapi preeklamsia menggunakan magnesium memberikan hasil yang bermakna dalam menurunkan insiden CP pada bayi lahir sebelum 32 minggu. Ion magnesium berfungsi menutup reseptor NMDA, sehingga dapat mencegah eksitasi neuron dan menghambat efek sitotoksik dari hipoksia akut, merupakan mekanisme biologis yang bisa menjelaskan hubungan tersebut.
Sekitar 10% kasus Cerebral palsy disebabkan asfiksia saat melahirkan. Asfiksia akan menyebabkan proses hipoksik-iskemik-ensefalopati. Meskipun asfiksia telah jelas berhubungan, faktor-faktor abnormal prenatal (intra uterine growth retardation dan congenital malformation) mempunyai kontribusi pada stres perinatal. Bayi mengalami asfiksia bisa diakibatkan adanya partus lama, presentasi kepala abnormal, lilitan umbilikus pada leher dan bayi post matur. Bayi mengalami asfiksia ditandai dengan nilai APGAR skor yang rendah, denyut jantung janin abnormal saat persalinan dan dijumpai adanya asidosis. Pesentasi non vertek termasuk presentasi wajah berhubungan dengan meningkatnya resiko CP. Interprestasi dari fakta tersebut, bahwa presentasi abnormal bukan merupakan penyebab CP, tapi lebih merupakan pertanda akibat kesulitan persalinan yang mungkin timbul.
Pada anak yang lahir sebelum era perawatan intensif neonatal yang modern, didapatkan perbedaan yang bermakna adanya khorionitis pada plasenta pada anak dengan CP dibanding yang bukan CP. Pada saat ini khorionitis berhubungan dengan prematuritas, dan kaitan antara keduanya sekarang dengan meningkatnya bayi yang bertahan hidup dan adanya hubungan antara leukomalasia periventrikuler dan amnionitis (bisa diakibatkan komplikasi khorionitis). Khorionitis baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kontribusi terhadap CP dengan meningkatkan resiko primaturitas.
Meningitis atau ensefalitis pada saat neonatal atau anak dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf berat. Penurunan terjadinya kernikterus sebagai akibat peningkatan panatalaksanaan penyakit rhesus telah berhasil menurunkan terjadinya kelainan neurologis. Bagaimanapun juga,hiperbilirubinemia merupakan penyebab yang bermakna adanya kerusakan otak, pada 219 kasus distonik dan diskinetik, didapatkan 57 kasus akibat hiperbilirubinemia berat. Pada penelitian lain dengan kadar bilirubin 2,3-22,5mg/100ml, tidak didapatkan bukti ada hubungan dengan keterlambatan perkembangan, terbentuknya kista periventrikuler dan CP pada bayi prematur. Di Australia barat kecelakaan lalulintas dan child abuse sebagai penyebab yang bermakna terjadinya gangguan perkembangan saraf.
NEUROPATOLOGI
Gambaran patologi Cerebral palsy bersifat komplek, area yang bisa terkena adalah kortek motorik, regio periventrikuler, ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anak yang menderita cacat berat cenderung mengalami atrofi yang luas, termasuk di area subkortikal, ganglia basalis, hemisferium serebri atau forensefali. Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel (iskemia yang menyeluruh).
Cerebral palsy merupakan penyebab kecatatan tersering pada anak. Prevalensi CP bervariasi, pada umumnya banyak peneliti mendapatkan sekitar 2,0/1000 anak usia sekolah. Didapatkan adanya kecenderungan peningkatan prevalensi pada dua dekade terakhir. Hal ini disebabkan kemajuan penanganan obstetri dan perinatal, sehingga terdapat peningkatan bayi immatur, berat lahir rendah dan bayi prematur dengan komplikasi yang bertahan hidup. Insiden bervariasi antara 2-2,5/1000 bayi lahir hidup. Di USA perkiraan prevalensi pada yang sedang atau berat antara 1,5-2,5/1000 kelahiran, kurang lebih mengenai 1.000.000 orang.
Kecenderungan peningkatan prevalensi pada kongenital CP dari 1,7 menjadi 2,0/1000 kelahiran hidup pada periode 1975-1991. Peningkatan ini akibat sedikit peningkatan kasus CP pada bayi dengan berat badan normal. Hal ini diduga akibat metode diagnostik yang berbeda dalam kurun waktu tersebut. Peneliti lain mendapatkan prevalensi CP 2,1/1000 neonatus yang bertahan hidup. Prevalensi menurut berat badan antara 1,1 neonatus dengan berat lahir >2500gr sampai 78,1 pada bayi dengan berat lahir <1000gr.
ETIOLOGI
Cerebral palsy terjadi akibat kerusakan otak saat periode prenatal, perinatal, dan post natal. Sekitar 70-80% terjadi akibat kerusakan otak saat prenatal. Bayi lahir prematur dan gangguan pertumbuhan saat kehamilan baik pada bayi prematur maupun yang cukup bulan sebagai penyebab yang sering didapatkan saat prenatal. Resiko terjadinya CP 25-31 kali lebih tinggi pada bayi berat lahir kurang dari 1500gr dan didapatkan 1/3 bayi dengan gejala CP dengan berat lahir kurang dari 2500gr. Bayi lahir prematur merupakan faktor tersering dan secara konsisten berhubungan dengan CP.
Bayi kecil menurut usia kehamilan (intra uterine growth retardation) yang lahir setelah 32 minggu meningkatkan resiko menderita CP. Data terakhir diduga disebabkan oleh intrauterine undernutrition dan hipoksia kronik, yang dapat dideteksi pada pemeriksaan darah fetal, menunjukkan asidosis atau peningkatan konsentrasi eritropoetin dan adanya redistribusi aliran darah fetal dengan pemeriksaan USG Doppler.
Kehamilan multipel meningkatkan resiko 9/1000 pada bayi kembar dua dan 30/1000 bayi kembar tiga. Kelainan kongenital yang terjadi akibat gejala sisa infeksi cytomegalovirus sekitar 0,03% dari yang lahir hidup, toksoplasmosis kongenital 1/10.000 kelahiran di Inggris. Infeksi bakteri yang terjadi pada ibu hamil bermakna menunjukkan hubungan dengan peningkatan resiko terjadinya CP. Infeksi maternal berpotensi menyebabkan persalinan prematur dan adanya resiko tambahan berhubungan dengan terjadinya leukomalasia periventrikuler.
Defisiensi iodium sudah menjadi penyebab yang nyata terjadinya kerusakan otak dalam kehamilan. Adanya malnutrisi kalori dan protein pada intrauterine growth retardation dan kelainan neurologi belum jelas, tetapi pada kalangan sosial ekonomi rendah terdapat hubungan dengan kejadian CP dan pada banyak penelitian menduga perhatian terhadap kecukupan nutrisi ibu hamil bisa bermanfaat. Ibu hamil yang mengkonsumsi alkohol 40gr/hari meningkatkan terjadinya kelainan neurologi, tetapi tidak jelas pada yang mengkonsumsi dalam jumlah sedang. Kokain menyebabkan kerusakan pada otak, akibat mempunyai efek vasokonstriktor dan infark otak kadang terlihat dengan pemeriksaan USG setelah lahir.
Hipertensi dalam kehamilan berhubungan dengan meningkatnya resiko CP pada bayi lahir lebih 32 minggu, diduga insufisiensi plasenta jangka lama mengakibatkan kerusakan organ pada bayi lahir aterm. Studi terakhir menduga bahwa terapi preeklamsia menggunakan magnesium memberikan hasil yang bermakna dalam menurunkan insiden CP pada bayi lahir sebelum 32 minggu. Ion magnesium berfungsi menutup reseptor NMDA, sehingga dapat mencegah eksitasi neuron dan menghambat efek sitotoksik dari hipoksia akut, merupakan mekanisme biologis yang bisa menjelaskan hubungan tersebut.
Sekitar 10% kasus Cerebral palsy disebabkan asfiksia saat melahirkan. Asfiksia akan menyebabkan proses hipoksik-iskemik-ensefalopati. Meskipun asfiksia telah jelas berhubungan, faktor-faktor abnormal prenatal (intra uterine growth retardation dan congenital malformation) mempunyai kontribusi pada stres perinatal. Bayi mengalami asfiksia bisa diakibatkan adanya partus lama, presentasi kepala abnormal, lilitan umbilikus pada leher dan bayi post matur. Bayi mengalami asfiksia ditandai dengan nilai APGAR skor yang rendah, denyut jantung janin abnormal saat persalinan dan dijumpai adanya asidosis. Pesentasi non vertek termasuk presentasi wajah berhubungan dengan meningkatnya resiko CP. Interprestasi dari fakta tersebut, bahwa presentasi abnormal bukan merupakan penyebab CP, tapi lebih merupakan pertanda akibat kesulitan persalinan yang mungkin timbul.
Pada anak yang lahir sebelum era perawatan intensif neonatal yang modern, didapatkan perbedaan yang bermakna adanya khorionitis pada plasenta pada anak dengan CP dibanding yang bukan CP. Pada saat ini khorionitis berhubungan dengan prematuritas, dan kaitan antara keduanya sekarang dengan meningkatnya bayi yang bertahan hidup dan adanya hubungan antara leukomalasia periventrikuler dan amnionitis (bisa diakibatkan komplikasi khorionitis). Khorionitis baik secara langsung maupun tidak langsung mempunyai kontribusi terhadap CP dengan meningkatkan resiko primaturitas.
Meningitis atau ensefalitis pada saat neonatal atau anak dapat menyebabkan gangguan fungsi saraf berat. Penurunan terjadinya kernikterus sebagai akibat peningkatan panatalaksanaan penyakit rhesus telah berhasil menurunkan terjadinya kelainan neurologis. Bagaimanapun juga,hiperbilirubinemia merupakan penyebab yang bermakna adanya kerusakan otak, pada 219 kasus distonik dan diskinetik, didapatkan 57 kasus akibat hiperbilirubinemia berat. Pada penelitian lain dengan kadar bilirubin 2,3-22,5mg/100ml, tidak didapatkan bukti ada hubungan dengan keterlambatan perkembangan, terbentuknya kista periventrikuler dan CP pada bayi prematur. Di Australia barat kecelakaan lalulintas dan child abuse sebagai penyebab yang bermakna terjadinya gangguan perkembangan saraf.
NEUROPATOLOGI
Gambaran patologi Cerebral palsy bersifat komplek, area yang bisa terkena adalah kortek motorik, regio periventrikuler, ganglia basalis, batang otak dan serebelum. Anak yang menderita cacat berat cenderung mengalami atrofi yang luas, termasuk di area subkortikal, ganglia basalis, hemisferium serebri atau forensefali. Pada keadaan yang berat tampak ensefalomalasia kistik multipel (iskemia yang menyeluruh).
Pada keadaan yang lebih ringan
terjadi nekrosis didaerah periventrikel substansia alba dan
terjadi atrofi yang difus pada substansia kortek serebri. Kelainan
tersebut dapat fokal (menyeluruh)
tergantung tempat yang terkena. Pada CP yang ringan kadang-kadang jaringan otak
tampak normal tetapi dengan berat otak yang berkurang. Tidak didapatkannya area
yang abnormal membuat dukungan pada dugaan bahwa sebagian CP mengalami
abnormalitas gangguan perkembangan pada tingkatan mikroskopis.
Pada pemeriksaan neuroimaging bisa didapatkan kelainan berupa leukomalasia periventrikuler, malformasi kongenital, atropi kortikal/subkortikal, kista forensefali atau adanya kista yang multipel. Kelainan di ganglia basalis akibat proses hipoksik-iskemik-ensefalopati saat neonatal, pada gambaran mikroskopis didapatkan adanya gambaran pola marbled.
Pada pemeriksaan neuroimaging bisa didapatkan kelainan berupa leukomalasia periventrikuler, malformasi kongenital, atropi kortikal/subkortikal, kista forensefali atau adanya kista yang multipel. Kelainan di ganglia basalis akibat proses hipoksik-iskemik-ensefalopati saat neonatal, pada gambaran mikroskopis didapatkan adanya gambaran pola marbled.
Pada satu laporan kasus pada 111
anak dengan CP tipe hemiplegi spastik, dengan pemeriksaan CT Scan, didapatkan
29% normal, atrofi periventrikel 42%, malformasi kongenital 17%,
kortikal-subkortikal atrofi 12% dan kelainan lain 3%. Kragelohmann dengan pemeriksaan MRI pada tipe kuadriplegi spastik
9% normal, 9% malformasi, 68% kerusakan pada substansia alba dan 14% kerusakan
subkortikal. Hayakawa melakukan
pemeriksaan MRI pada tipe diplegi spastik, 21% normal, 0% malformasi, 70%
kerusakan substansia alba dan 9% kerusakan subkortikal.
PATOFISIOLOGI
·
Kerusakan
otak saat prenatal, perinatal dan postnatal disebabkan oleh insufisiensi vaskuler, infeksi, genetik, trauma maupun metabolik. Berbagai penelitian
menunjukkan adanya defisit neurologi
yang terjadi disebabkan oleh malformasi
serebral akibat murni kelainan
gestasi. Dengan kompleksnya jaringan otak dan kepekaan pada tiap tahap
perkembangan otak, memberikan kelainan yang berbeda. Iskemia serebral sebelum usia kehamilan 20 minggu akan terjadi defisit migrasi neuronal, antara 26-34
minggu terjadi leukomalasia periventrikuler dan antara 34-40 minggu terjadi
kerusakan fokal atau multifokal.
Kerusakan otak akibat insufisiensi vaskuler sebelum aterm terjadi pada daerah periventrikel. Pada kehamilan 26-34 minggu, daerah watersheath zone ini sangat peka dengan adanya proses hipoksik-iskemik-ensefalopati, menyebabkan terjadinya infark yang diikuti terbentuknya daerah kistik, disusul terjadinya dilatasi ventrikel. Dapat juga terjadi perdarahan di matrik germinal maupun pada daerah subependimal ventrikel. Perdarahan terjadi karena meningkatnya sirkulasi didaerah infark yang menyebabkan rupturnya pembuluh darah akibat masih rapuhnya dinding pembuluh darah atau karena rupturnya pembuluh darah dilapisan ependim ventrikel.
Kerusakan otak akibat insufisiensi vaskuler sebelum aterm terjadi pada daerah periventrikel. Pada kehamilan 26-34 minggu, daerah watersheath zone ini sangat peka dengan adanya proses hipoksik-iskemik-ensefalopati, menyebabkan terjadinya infark yang diikuti terbentuknya daerah kistik, disusul terjadinya dilatasi ventrikel. Dapat juga terjadi perdarahan di matrik germinal maupun pada daerah subependimal ventrikel. Perdarahan terjadi karena meningkatnya sirkulasi didaerah infark yang menyebabkan rupturnya pembuluh darah akibat masih rapuhnya dinding pembuluh darah atau karena rupturnya pembuluh darah dilapisan ependim ventrikel.
Pada korona radiata bagian medial merupakan
jaras motorik untuk ekstremitas bawah, oleh karena itu sering terjadi kelainan
tipe diplegi spastik. Patogenesis
dari leukomalasia periventrikuler
sendiri masih belum jelas dan kemungkinan besar bersifat multifaktorial.
Terdapat 4 faktor yang diduga berperan :
1.
Karena tidak adekuatnya perfusi darah dan terjadinya infark
didaerah watersheath zones periventrikel.
2.
Akibat terganggunya autoregulasi dengan pemeriksaan doppler ultra sound, terutama pada
bayi prematur yang pernah mengalami kejadian hipoksik-iskemik.
3.
Akibat pekanya terhadap neurotransmiter eksitatorik seperti glutamat pada saat awal proses terjadinya deferensiasi oligodendroglia. Kepekaan ini mungkin akibat tidak
adekuatnya enzim antioksidan seperti katalase
dan glutathion peroksidase selama
periode tersebut. Teraktifasinya pertukaran antara glutamat-sistein, terjadi penurunan
sistein, mengakibatkan terhambatnya
sintesis gluthation.
4.
Citokine mempunyai
peranan penting dalam menginduksi kerusakan substansia alba. Studi retrospektif
menunjukkan, dalam darah neonatus menunjukkan tingginya kadar citokine dan TNF alfa pada anak lahir prematur maupun matur dengan spastik diplegi dibanding kontrol.
Diduga Citokine seperti interferon-γ,
TNF-α, IL-6, IL-8 merusak
substansia alba dengan terjadinya hipotensi
atau induksi iskemia melalui terjadinya
intravaskuler koagulasi.
·
Mekanisme utama kematian sel pada bayi prematur
akibat pekanya sel oligo-dendroglia
deferensiasi awal pada iskemia
terhadap paparan radikal bebas.
Disamping itu juga terjadi akibat pembentukan reaktif oksigen, aktifitas
sitokindanleukosit, ditambah dengan peningkatan
kadar glutamat dan kadar glutathion
yang rendah. Pada penelitian dengan kultur oligodendrosit, didapatkan kerusakan lebih besar terjadi pada
immatur daripada matur oligodendrosit dan pada medium yang mengandung sistein
mengalami kerusakan lebih kecil pada paparan radikal bebas. Sistein diperlukan untuk membentuk glutathion peroksidase yang merupakan antioksidan yang merubah H2O2menjadi H20+O2.
·
Pada penelitian eksperimental diduga bahwa inflamasi-infeksi intrauterin maternal
dan sitokin berhubungan dengan
terjadinya leukomalasia perventrikuler.
Insiden leukomalasia periventrikuler
meningkat pada bayi lahir prematur yang
didapatkan adanya peningkatan insiden infeksi
plasenta maternal, peningkatan IL-6
pada darah palsenta, peningkatan IL-6
dan 1 beta pada cairan amnion,
peningkatan interferon gamma, IL6, IL1 diantara sitokin yang lain pada darah neonatus. Pada penelitian
dengan kultur menunjukkan oligodendrosit yang imatur lebih peka terhadap
toksisitas interferon gama. TNF alfa meningkatkan toksisitas interferon gama.
Adanya iskemia menyebabkan aktifasi mikroglia, sekresi sitokin, migrasi makrofag, dan sel-sel
inflamasi. Infeksi dan sitokin bisa menyebabkan terjadinya iskemia. Sitokin
mempunyai efek vasoaktif (seperti
TNF alfa) akan menyebabkan kaskade inflamasi dan gangguan regulasi serebrovaskuler. Insiden leukomalasia
periventrikuler lebih tinggi pada bayi yang terdapat perdarahan
intraventrikuler. Perdarahan merupakan sumber yang kaya Fe++ untuk terbentuknya radikal hidroxy.
Pada kehamilan aterm, di mana pembuluh darah hampir sama dengan orang dewasa, terjadinya infark pada daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang utama pembuluh darah otak. Sering terjadi pada cabang A. karotis media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik. Hal ini diduga akibat emboli yang didapat dari infark plasenta, sepsis, material dari janin yang mati pada kehamilan kembar. Pada serial kasus 22% terjadi setelah asfiksia perinatal dengan onset pada 3 hari pertama kelahiran.
Selama asfiksia perinatal terjadi 3 efek vaskuler pada fase awal dan 2 efek vaskuler pada kondisi lanjut. Efek awal berupa terjadi peningkatan kardiak output, peningkatan aliran darah regional atau total dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Pada tahap lanjut penurunan kardiak output mengakibatkan hipotensi sistemik dan diikuti penurunan aliran darah otak. Mekanisme peningkatan aliran darah serebral pada tahap awal akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah disebabkan oleh hipoksemia atau hiperkapnia atau akibat peningkatan ion hidrogen perivaskuler.
Pada kehamilan aterm, di mana pembuluh darah hampir sama dengan orang dewasa, terjadinya infark pada daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang utama pembuluh darah otak. Sering terjadi pada cabang A. karotis media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik. Hal ini diduga akibat emboli yang didapat dari infark plasenta, sepsis, material dari janin yang mati pada kehamilan kembar. Pada serial kasus 22% terjadi setelah asfiksia perinatal dengan onset pada 3 hari pertama kelahiran.
Selama asfiksia perinatal terjadi 3 efek vaskuler pada fase awal dan 2 efek vaskuler pada kondisi lanjut. Efek awal berupa terjadi peningkatan kardiak output, peningkatan aliran darah regional atau total dan hilangnya autoregulasi vaskuler. Pada tahap lanjut penurunan kardiak output mengakibatkan hipotensi sistemik dan diikuti penurunan aliran darah otak. Mekanisme peningkatan aliran darah serebral pada tahap awal akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah disebabkan oleh hipoksemia atau hiperkapnia atau akibat peningkatan ion hidrogen perivaskuler.
·
Akibat peningkatan aliran darah otak dapat
terjadi perdarahan pada pembuluh darah yang peka. Terganggunya autoregulasi
sensitif terjadi akibat perubahan kadar gas darah. Penurunan PO2 yang menyebabkan
saturasi O2 sampai
dibawah 50%, dipertimbangkan sebagai ambang hipoksia dalam mengakibatkan gangguan
auotoregulasi. Cepat dan beratnya hipotensi yang terjadi tergantung lama
dan beratnya asfiksia. Penyebab ini terutama diakibatkan penurunan kardiak
output, mungkin diakibatkan efek sekunder dari terganggunya miokardium,
hipoksia menginduksi terjadinya bradikardi
dan kemudian diikuti dengan penurunan
aliran darak ke otak/iskemia.
·
Ensefalopati
akibat hiperbilirubin menyebabkan
kerusakan neuron yang spesifik pada tempat tertentu. Daerah tersebut meliputi
utamanya basal ganglia, bisa juga
mengenai globus palidus, nukleus subtalamikus, hipokampus,
substansia nigra, nukleus vestibularis, kokhlearis dan fasialis dan nukleus
dentatus serebelum. Status marmoratus, merupakan lesi terjarang, terjadi
kerusakan di basal ganglia
(thalamus, nukleus kaudatus, globus palidus dan putamen). Hal ini merupakan
akibat dari proses hipoksik-iskemik-ensefalopati
yang terjadi pada neonatus dan lebih sering mengenai bayi aterm dengan gambaran
seperti marbled akibat pola mielin yang tidak normal.
Alasan mengapa secara selektif terdapat kepekaan pada
ganglia basalis terhadap asfiksia belum sepenuhnya dimengerti. Terdapat dugaan
bahwa daerah ini mempunyai kadar O2
baseline yang tinggi dengan pemeriksaan positron
emission tomograpy (PET). Data eksperimental mendapatkan kepekaan daerah
ini ditentukan oleh pola neurotransmiter. Tujuan observasi efek primer glutamat
pada kerusakan neuron di ganglia basalis, diduga ditentukan oleh perbedaan
fenotipe reseptor glutamat, maturitas neuron dan berat serta lamanya asfiksia.
·
Kista
forensefali adalah kista
intraparenkim besar yang berhubungan dengan ventrikel. Hal ini sering
terjadi akibat infark pada arteri
besar, utamanya A. serebri media,
meskipun juga bisa terjadi akibat sekuele
perdarahan intra ventrikel grade IV yang menyebabkan perluasan ventrikel
kearah daerah hematom yang sudah diabsorbsi. Patogenesis terjadinya perdarahan
intraventrikuler tidak sepenuhnya dimengerti. Pada bayi prematur terdapat
padatnya vaskularisasi pada subependimal matrik germinal, dimana pada bayi
immatur sebagian besar suplai darah serebrum kedaerah tersebut. Disamping itu
kapiler pada bayi prematur mempunyai membran basalis yang tipis. Dan yang terakhir
adanya hipoksia menyebabkan tekanan
arterial berfluktuasi mengenai kapiler
periventrikel yang rapuh.
·
Iskemia,
hipoksia dan trauma yang terjadi pada otak janin pada semeter kedua dan ketiga
dapat menyebabkan malformasi yang
bukan terjadi primer akibat kelainan genetik. Akibat perkembangan otak belum
sempurna, lesi yang terjadi menyebabkan gangguan perkembangan dan dapat
menyebabkan hambatan migrasi neuroblast atau
glioblast sebelum prosesnya lengkap.
Dapat menyebabkan fokal displasia atau
laminasi kortikal dan heterotopia akibat neuron yang berhenti
dalam migrasinya.
·
Pada tahun 1995, postulat volpe membagi hipoksik-iskemik neuropatologi menjadi
5 subtipe dasar:
1. Nekrosis parasagital otak besar,
terjadi pada bayi cukup bulan,
manifestasi jangka panjang berupa kuadriplegi spastik. Parasagital area
merupakan daerah yang mendapat vaskularisasi dari cabang paling perifer dari
ketiga arteri besar serebral. Pada penelitian eksperimental menunjukkan daerah
para sagital kortek merupakan daerah yang paling awal dan paling berat
mengalami kerusakan setelah asfiksia yang berkepanjangan. Kerusakan lebih
maksimal pada regio parieto-oksipital posterior.
2. Leukomalasia periventrikuler, terjadi
pada bayi prematur, lesi kecil
menyebabkan kelainan spastik diplegi dan lesi luas menyebabkan kelinanan tipe
kuadriplegi dengan defisit visual dan kognitif. Lesi lebih tampak nyata
didaerah posterior horn ventrikel lateral, optik radiasi bisa terlibat dan
dapat menyebakan gangguan visual kortikal.
3. Nekrosis otak fokal atau multifokal,
akibat infark pada daerah vaskularisasi pembuluh darah. Dimana sering mengenai
cabang A. serebri media menyebabkan kelainan tipe hemiplegi spastik.
4. Status marmoratus, merupakan lesi
terjarang, terjadi kerusakan di basal ganglia, thalamus, nukleus kaudatus,
globus palidus dan putamen. Hal ini merupakan akibat dari proses
hipoksik-iskemik-ensefalopati yang terjadi pada neonatus dan lebih sering
mengenai bayi aterm.
5. Nekrosis neuronal selektif, merupakan
cedera yang tersering terjadi. Terdapat neuron spesifik yang peka termasuk CA 1
dan subkulum hipokampus, ganglion genikulatum lateral dan thalamus, nukleus
kaudatus, basal ganglia, putamen, nukleus N.V dan VII. Gejala yang timbul
jangka panjang menyebakan retardasi mental dan kejang.
KLASIFIKASI
Klasifikasi klinis digunakan untuk menggambarkan masalah yang spesifik, untuk memperkirakan prognosis dan penanganan yang diberikan. Dibagi menjadi tipe spastik (piramidal), diskinetik (ekstrapiramidal), tipe atonik (hipotonik), tipe ataksik dan campuran.
Klasifikasi klinis digunakan untuk menggambarkan masalah yang spesifik, untuk memperkirakan prognosis dan penanganan yang diberikan. Dibagi menjadi tipe spastik (piramidal), diskinetik (ekstrapiramidal), tipe atonik (hipotonik), tipe ataksik dan campuran.
a.
Tipe
spastik sering didapatkan, mengenai sekitar 75% anak dengan CP, sedang 25%
terbagi pada tipe diskinetik dan campuran. Pada tipe spastik berdasarkan
distribusi topografi kelainan yang terjadi dibagi menjadi monoplegia, diplegia, triplegi, kuadriplegi dan hemiplegi.
Tipe monoplegi dan triplegi sangat jarang ditemukan.
₋
Pada tipe
diplegi sering terjadi pada bayi lahir prematur,
pada bayi aterm penyebabnya lebih komplek, pada 28% kasus tidak dapat
diidentifikasi. Ekstremitas atas mempunyai gangguan yang lebih ringan, gangguan
lebih berat terjadi pada ekstremitas bawah. Gangguan kognitif didapatkan pada
sekitar 30% pada tipe ini. Kelainan mata, 50% berupa strabismus dan gangguan
visus sekitar 63%. Epilepsi terjadi pada 20-25% kasus. Pemeriksaan MRI
didapatkan adanya leukomalasia periventrikuler atau post hemoragik forensefali.
₋
Pada tipe
kuadriplegi spastik kelainan terjadi pada keempat ekstremitas. Pada tipe
ini 50% akibat faktor prenatal, 30% perinatal dan 20% postnatal. Lebih sering
didapatkan kesulitan menelan dan prosentase yang tinggi adanya gangguan
kognitif. Tingginya kejadian kelainan visual dan biasanya dengan derajat yang
lebih berat. Sekitar separuh mengalami epilepsi. Pada MRI anak lahir prematur didapatkan gambaran leukomalasia periventrikuler, anak lahir
aterm didapatkan berupa lesi untuk tipe aterm seperti lesi parasagital. Multi
kistik ensefalomalasia dan malformasi lebih sering didapatkan pada tipe ini.
₋
Tipe
hemiplegi spastik mengenai ektremitas satu sisi tubuh, dengan tangan
biasanya lebih berat dari kaki. Sebesar 70-90% kasus terjadi secara kongenital
dan 10-30% bawaan dapat terjadi akibat vaskuler, inflamasi atau trauma. Bila
terjadi pada bayi prematur akibat adanya asimetri leukomalasia periventrikuler.
Bisa terjadi kelainan nervus kranialis, biasanya N.VII. Kelainan visual terjadi
pada 25% pada tipe ini, termasuk hemianopsia homonim dan strabismus konvergen.
Kelainan kognitif pada 28% kasus, epilepsi relatif lebih sering pada 23% kasus.
b.
Tipe
diskinetik ditandai dengan pola gerakan ekstrapiramidal. Kelainan ini
akibat sekunder dari gangguan regulasi tonus, kontrol postural dan koordinasi.
Tipe ini dibagi lagi menjadi jenis khoreoathetosis, dan distonik. Tipe
khoreoathetosis adanya gerakan involunter yang kelihatan jelas dan umumnya yang
dijumpai adalah athetosis. Khorea terdapat dalam derajat yang bervariasi.
Tremor, mioklonus dan distonia juga mungkin tampak. Kombinasi gerakan
khoreoathetosis menimbulkan pola gerakan diekstremitas bawah yang hipertonus
dan gerakan rotasi yang menggeliat pada anggota badan. Dapat terjadi kesulitan
dalam bicara dengan adanya kecepatan dan volume suara yang meledak-ledak. Tipe
distonik jarang ditemukan, gerakan yang lambat dan lama, pada kepala dan leher
yang tertarik kearah satu sisi. Rangka badan bisa memutar keberbagai posisi
hingga tampak aneh. Pada pemeriksaan MRI didaerah thalamus dan putamen nampak
hiperinten pada T2 pada tipe athetoid. Hiperbilirubinemia menyebabkan kerusakan
pada ganglia basalis dengan manifestasi klinik tipe diskinetik.
c.
Kondisi
CP atonik tidak umum dibandingkan dengan bentuk yang lain . CP atonik
sering bersamaan dengan keterlambatan perkembangan motorik dengan reflek tendon
yang normal atau meningkat. Pada penderita CP sering awalnya hipotonik,
kemudian berubah menjadi hipertoni, pada tipe ini tidak mengalami perubahan
menjadi spastik dengan bertambahnya usia, tetapi tetap hipotonik.
d.
Pada tipe
ataksik gejala yang menonjol berupa ataksia.
Manifestasi awal berupa hipotoni dan mulai timbul gejala ataksia sejak umur 2-3
tahun. Anak berjalan dengan kaki melebar, sering ditemukan adanya nistagmus dan
dismetri hipotoni. Tes romberg positif dengan mata terbuka. Hal ini menunjukkan
tanda adanya keterlibatan fungsi serebelum.
e.
Manifestasi tipe
campuran terdiri dari tipe spastik,
ekstrapiramidal dan sering kali ataksia didapatkan. Pasien dengan
gejala kuadriplegi yang menonjol dapat ditemukan khoreoathetosis derajat
ringan. Sebaliknya pasien khoreoathetosis yang menonjol, menunjukkan
gejala-gejala upper motor neuron. Pola gangguan motorik sebagai akibat dari
sekuele yang luas didaerah otak terutama didaerah ganglia basalis dan kortek.
Spastik ataksik diplegi merupakan bentuk campuran yang sering didapatkan dan
berhubungan dengan hidrosefalus.
Retardasi mental adalah gangguan intelegensi yang disebabkan
gangguan dalam kandungan sampai masa perkembangan dini, usia 5 tahun. Secara
formal ditentukan dengan nilai IQ. Insiden mental retardasi pada penderita CP
antara 30%-50%. Sekitar 1/3 dengan retardasi mental ringan. Sering didapatkan
pada tipe rigid, atonik dan tipe kuadriplegi.
Pada Cerebral palsy, kelainan motorik dan postur merupakan ciri utama, tetapi sering juga disertai dengan gangguan lain yang bukan motorik. Kelainan bukan motorik yang sering dijumpai pada CP:
Pada Cerebral palsy, kelainan motorik dan postur merupakan ciri utama, tetapi sering juga disertai dengan gangguan lain yang bukan motorik. Kelainan bukan motorik yang sering dijumpai pada CP:
₋
Retardasi mental (75%).
₋
Epilepsi (25-50%)
₋
Gangguan visual: Strabismus (75%), Gangguan
refraksi (25-50%), Hemianopsia (<25%), Lain-lain (<25%)
₋
Gangguan pendengaran (75%)
₋
Disartria (<25%)
₋
Defisit sensorik kortikal (25-50%)
₋
Pertumbuhan ekstremitas yang tidak sama
(unequal) (25-50%)
₋
Skoliosis (75%)
₋
Dental dismorfogenesis (25%)
₋
Kontraktur sendi (75%)
DIAGNOSIS
Diagnosis Cerebral palsy berdasarkan diagnosis klinis, berupa riwayat klinis pada ibu maupun bayi dan hasil pemeriksaan neurologi dan pediatrik pada bayi atau anak. Perlu dilakukan evaluasi mengenai riwayat keluarga, kesehatan ibu dan janin saat prenatal, riwayat sakit saat kehamilan dan kesehatan saat bayi baru lahir dan saat post natal.
Diagnosis Cerebral palsy berdasarkan diagnosis klinis, berupa riwayat klinis pada ibu maupun bayi dan hasil pemeriksaan neurologi dan pediatrik pada bayi atau anak. Perlu dilakukan evaluasi mengenai riwayat keluarga, kesehatan ibu dan janin saat prenatal, riwayat sakit saat kehamilan dan kesehatan saat bayi baru lahir dan saat post natal.
Pemeriksaan neurologi dan
pediatrik dengan melihat adanya keterlambatan
pencapaian milestones, tonus otot
yang tidak normal, menetapnya reflek
primitif, keterlambatan reflek
protektif (seperti : neck righting reflex dan parachute reflex), adanya gerakan involunter dan adanya postur yang abnormal. Primitif
reflek umumnya menghilang setelah 6 bulan, neck righting reflex biasanya timbul
pada usia 6 bulan dan parachute reflex biasanya pada usia 1 tahun, gerakan
ekstrapiramidal biasanya terlihat setelah 2 tahun.
Diagnosis Cerebral palsy tergantung atas 2 pedoman yang harus ditemukan.Yang pertama, adanya kejadian kerusakan otak yang tidak progresif yang terjadi pada saat otak sedang berkembang. Yang kedua, adanya tanda klinis yang timbul akibat kerusakan sistem yang mengontrol fungsi motorik tubuh. Gejala klinis pada penderita CP tidak memburuk, tetapi dapat berubah dengan bertambahnya umur anak.
Diagnosis Cerebral palsy tergantung atas 2 pedoman yang harus ditemukan.Yang pertama, adanya kejadian kerusakan otak yang tidak progresif yang terjadi pada saat otak sedang berkembang. Yang kedua, adanya tanda klinis yang timbul akibat kerusakan sistem yang mengontrol fungsi motorik tubuh. Gejala klinis pada penderita CP tidak memburuk, tetapi dapat berubah dengan bertambahnya umur anak.
Hipotoni pada beberapa bulan awal umur bayi, berubah menjadi
spastik dan juga gerakan involunter yang timbul lambat. Juga pada keterlambatan
perkembangan yang terjadi awal, bisa menghilang kemudian (the child catches-up).
Sehingga pada banyak kasus membuat kebimbangan dari dokter untuk membuat
diagnosis CP, menunggu umur bayi mencapai 18-24 bulan. Beberapa diagnosis awal
digunakan seperti keterlambatan perkembangan, disfungsi neuromotor, motor
disability atau disfungsi susunan saraf pusat.
Terdapat kriteria untuk menegakkan diagnosis CP, yaitu dengan membagi kelainan motorik atas 6 katagori:
Terdapat kriteria untuk menegakkan diagnosis CP, yaitu dengan membagi kelainan motorik atas 6 katagori:
₋
Posture and movement pattern.
₋
Oral motor pattern.
₋
Strabismus.
₋
Tone of muscle
₋
Evaluation of postural reactions and landmarks.
₋
Deep tendon, infantile and plantar reflexes.
Menurut Levine disimpulkan bahwa:
₋
Diagnosis CP dapat ditegakkan, jika minimum
terdapat 4 abnormalitas dari 6 katagori di atas.
₋
Dengan kriteria diatas dapat dibedakan apakah
ini CP atau bukan.
₋
Apabila terdapat hanya 1 katagori kelainan
motorik diatas, bukan suatu diagnostik, hanya kecurigaan CP.
PEMERIKSAAN PENUNJANG
·
Pemeriksaan
laboratorium dan neuroimaging
membantu klinisi menentukan prediksi kondisi klinis CP. Untuk mengevaluasi
penyakit metabolik dan genetik, diperlukan pemeriksaan darah dan urin. Pemeriksaan rutin meliputi fungsi tiroid, laktat, piruvat, asam amino dan kromosom. Ph darah berguna untuk mengetahui adanya dan beratnya asfiksia perinatal. Pemeriksaan LCS bisa untuk mengetahui adanya
asfiksia. Kadar protein dalam LCS dapat meningkat dengan adanya peningkatan
rasio laktat-piruvat.
·
Pemeriksaan
USG digunakan untuk skreening
dan follow-up penderita dengan PVH (periventrikuler hemorrhage) atau IVH
(intraventrikuler hemorrhage). Skreening dilakukan pada usia 3-7 hari, sebab
kebanyakan perdarahan sering terjadi sebelum usia tersebut. Pada sekitar usia
bayi 28 hari, untuk mengetahui perdarahan yang timbul lambat atau adanya
leukomalasia periventrikuler. USG sering digunakan pada bayi prematur.
·
Pemeriksaan
CT Scan berguna untuk mengetahui adanya malformasi kongenital, perdarahan
intrakranial dan leukomalasia periventrikuler. Pemeriksaan MRI jarang digunakan
pada bayi prematur dan lebih menguntungkan digunakan setelah umur bayi lebih
dari 2-3 minggu. MRI merupakan pilihan untuk mengetahui gambaran mielin pada T2
dan gambaran sulki otak. PET (Positron Emission Tomography) digunakan untuk
mengetahui gambaran aliran darah otak dan metabolisme glukosa, dimana bisa
terjadi abnormalitas baik pada kondisi akut maupun kronik. SPECT (Single Photon
Emission Computed Tomography) untuk mengetahui gambaran perfusi serebral,
merupakan salah satu teknik terbaru untuk mengevaluasi adanya asfiksia. MR
Spectroscopy juga untuk mengetahui adanya indikasi terjadinya asfiksia.
·
Evoked
potential untuk mengetahui respon otak akan adanya stimulasi eksternal.
Digunakan untuk mengevaluasi jaras anatomik auditori dan visual. EEG digunakan
untuk mengevaluasi beratnya proses hipoksik-iskemik, terdapatnya gambaran
supresi gelombang dengan amplitudo rendah dan gelombang lambat memberikan
prognosis yang buruk.
PENATALAKSANAAN
Penderita Cerebral palsy mempunyai banyak kelainan sesuai dengan lesi yang terjadi di otak, bersama-sama dengan gangguan motorik. Dengan kondisi tersebut penanganan penderita CP memerlukan kerjasama yang baik dan merupakan satu tim yang terdiri atas dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, fisioterapis, okupasional terapis, dokter gigi dan ahli gizi. Tujuan utama terapi adalah meminimalisasi kecacatan dan meningkatkan kemampuan untuk beraktifitas mandiri, fungsi sosial dan intelektual.
Terapi menggunakan obat tergangtung dari gejala yang timbul. Pada spastisitas bisa menggunakan pelemas otot golongan benzodiazepin dan baklofen. Botolinum toxin (Botox) intramuskuler bisa mengurangi spastisitas untuk 3-6 bulan. Hal ini akan meningkatkan luas gerak sendi (ROM), menurunkan deformitas, meningkatkan respon terhadap fisioterapi dan okupasional terapi dan mengurangi tindakan operasi untuk spastisitas. Bila terdapat epilepsi, membutuhkan pemberian obat anti epilepsi. Obat antidepresan dan antiparkinson bisa diberikan, bila terdapat gejala depresi atau gangguan gerakan ekstrapiramidal pada penderita. Dibutuhkan tim untuk penanganan nutrisi pada pasien dengan kesulitan makan dan menelan. Terapi operasi dilakukan ahli orthopedi pada kelainan seperti hip dislokasi, skoliosis dan spastisitas (tenotomy, tendone-lightening procedure). Perlu dikonsulkan pada ahli genetika bila dengan gambaran dismorfik, kelainan organ multipel dan riwayat keluarga dengan kelainan yang serupa. Konsul pulmonologi untuk penangan penyakit paru kronik akibat bronkopulmonari displasia dan seringnya terjadi aspirasi.
Terapi rehabilitasi meliputi fisioterapi, okupasional terapi, terapi wicara, ortotik, nightsplinting dan pemaikaian alat bantu. Fisioterapi meliputi latihan gerak sendi, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot, latihan duduk, berdiri dan jalan. Okupasional terapi meliputi latihan fungsi tangan, aktifitas bimanual, latihan aktifitas hidup sehari-hari, modifikasi tingkah laku dan sosialisasi. Terapi wicara untuk mengembangkan anak dapat berbahasa secara pasif dan aktif. Ortotik dengan penggunaan bracing, bertujuan untuk mengurangi beban aksial, stabilisasi serta untuk pencegahan dan koreksi deformitas. Pemakaian nightsplint mengambil keuntungan dari tonus yang menurun yang terjadi selama tidur untuk menambah regangan otot antagonis yang lemah. Alat Bantu yang dipergunakan berupa kruk ketiak, rollator, walker dan kursi roda manual/listrik.
DERAJAT CEREBRAL PALSY
Klasifikasi yang paling sederhana dalam menentukan derajat Cerebral Palsy dengan pembagian menjadi ringan, sedang dan berat. Derajat ringan tidak ada keterbatasan dalam aktifitas yang umum, yang sedang kesulitan dalam aktifitas sehari-hari dan membutuhkan alat bantu atau bracing, dan yang berat ada keterbatasan sedang sampai berat dalam aktifitas sehari-hari.
Pembagian lain berdasarkan kemampuan fungsional:
Penderita Cerebral palsy mempunyai banyak kelainan sesuai dengan lesi yang terjadi di otak, bersama-sama dengan gangguan motorik. Dengan kondisi tersebut penanganan penderita CP memerlukan kerjasama yang baik dan merupakan satu tim yang terdiri atas dokter anak, neurolog, psikiater, dokter mata, dokter THT, ahli ortopedi, fisioterapis, okupasional terapis, dokter gigi dan ahli gizi. Tujuan utama terapi adalah meminimalisasi kecacatan dan meningkatkan kemampuan untuk beraktifitas mandiri, fungsi sosial dan intelektual.
Terapi menggunakan obat tergangtung dari gejala yang timbul. Pada spastisitas bisa menggunakan pelemas otot golongan benzodiazepin dan baklofen. Botolinum toxin (Botox) intramuskuler bisa mengurangi spastisitas untuk 3-6 bulan. Hal ini akan meningkatkan luas gerak sendi (ROM), menurunkan deformitas, meningkatkan respon terhadap fisioterapi dan okupasional terapi dan mengurangi tindakan operasi untuk spastisitas. Bila terdapat epilepsi, membutuhkan pemberian obat anti epilepsi. Obat antidepresan dan antiparkinson bisa diberikan, bila terdapat gejala depresi atau gangguan gerakan ekstrapiramidal pada penderita. Dibutuhkan tim untuk penanganan nutrisi pada pasien dengan kesulitan makan dan menelan. Terapi operasi dilakukan ahli orthopedi pada kelainan seperti hip dislokasi, skoliosis dan spastisitas (tenotomy, tendone-lightening procedure). Perlu dikonsulkan pada ahli genetika bila dengan gambaran dismorfik, kelainan organ multipel dan riwayat keluarga dengan kelainan yang serupa. Konsul pulmonologi untuk penangan penyakit paru kronik akibat bronkopulmonari displasia dan seringnya terjadi aspirasi.
Terapi rehabilitasi meliputi fisioterapi, okupasional terapi, terapi wicara, ortotik, nightsplinting dan pemaikaian alat bantu. Fisioterapi meliputi latihan gerak sendi, latihan penguatan dan peningkatan daya tahan otot, latihan duduk, berdiri dan jalan. Okupasional terapi meliputi latihan fungsi tangan, aktifitas bimanual, latihan aktifitas hidup sehari-hari, modifikasi tingkah laku dan sosialisasi. Terapi wicara untuk mengembangkan anak dapat berbahasa secara pasif dan aktif. Ortotik dengan penggunaan bracing, bertujuan untuk mengurangi beban aksial, stabilisasi serta untuk pencegahan dan koreksi deformitas. Pemakaian nightsplint mengambil keuntungan dari tonus yang menurun yang terjadi selama tidur untuk menambah regangan otot antagonis yang lemah. Alat Bantu yang dipergunakan berupa kruk ketiak, rollator, walker dan kursi roda manual/listrik.
DERAJAT CEREBRAL PALSY
Klasifikasi yang paling sederhana dalam menentukan derajat Cerebral Palsy dengan pembagian menjadi ringan, sedang dan berat. Derajat ringan tidak ada keterbatasan dalam aktifitas yang umum, yang sedang kesulitan dalam aktifitas sehari-hari dan membutuhkan alat bantu atau bracing, dan yang berat ada keterbatasan sedang sampai berat dalam aktifitas sehari-hari.
Pembagian lain berdasarkan kemampuan fungsional:
a.
Kelompok
ringan. Anak dapat berjalan tanpa alat bantu, fungsi motorik halusnya tidak
terganggu, tingkat kecerdasan >70, dapat berbahasa cukup baik, dan umumnya
tidak tergantung orang lain.
b.
Kelompok
sedang. Anak jika berjalan perlu alat bantu atau merangkak, fungsi motorik
halusnya terbatas, tingkat kecerdasan 50-70, hanya dapat menyebut sepatah kata
yang jelas dan umunya tergantung orang lain.
c.
Kelompok
berat. Penderita tidak dapat berjalan sama sekali, fungsi motorik halusnya
belum mampu/tidak ada, tingkat kecerdasan <50, bicara tidak jelas dan
sepenuhnya tergantung orang lain.
Berdasarkan faktor dapat tidaknya
beraktifitas/ambulation, Gross Motor
Functional Classification System (GMFCS)
secara luas digunakan untuk menentukan derajat fungsional penderita CP. Skala
yang lain, Bimanual Fine Motor Function (BMMF) digunakan untuk menilai fungsi
dari ekstremitas, tetapi tidak secara luas digunakan seperti GMFCS. Berjalan
merupakan salah satu manifestasi fungsi motorik kasar dan dapat digunakan untuk
menilai perkembangan anak CP. GMFCS tidak untuk menilai kualitas dari gerakan
atau memprediksi adanya kemajuan.
Pembagian derajat fungsional CP menurut GMFCS, dibagi menjadi 5 level dan berdasarkan katagori umur dibagi menjadi 4 kelompok, kurang dari 2 tahun, antara 2-3 tahun, antara 4-6 tahun dan antara 6-12 tahun. Berikut ini klasifikasi pada 2 kelompok, 4-6 tahun dan 6-12 tahun:
Pembagian derajat fungsional CP menurut GMFCS, dibagi menjadi 5 level dan berdasarkan katagori umur dibagi menjadi 4 kelompok, kurang dari 2 tahun, antara 2-3 tahun, antara 4-6 tahun dan antara 6-12 tahun. Berikut ini klasifikasi pada 2 kelompok, 4-6 tahun dan 6-12 tahun:
·
Kelompok
4 – 6 tahun
₋
Level 1:
Anak dapat duduk dan bangkit dari duduk pada kursi, tanpa membutuhkan bantuan
tangan. Anak bergerak dari lantai dan dari kursi untuk berdiri tanpa bantuan
obyek. Anak berjalan baik dalam ruangan maupun diluar ruangan, dan dapat naik
tangga. Terdapat kemampuan untuk berlari atau melompat.
₋
Level 2:
Anak duduk di kursi dengan kedua tangan bebas memanipulasi obyek. Anak dapat
bergerak dari lantai untuk berdiri, tetapi seringkali membutuhkan obyek yang
stabil untuk menarik atau mendorong dengan tangannya. Anak berjalan tanpa alat
bantu didalam ruangan dan dengan jarak pendek pada permukaan yang rata diluar
ruangan. Anak dapat berjalan naik tangga dengan berpegangan pada tepi tangga.,
tetapi tidak dapat berlari atau melompat.
₋
Level 3:
Anak dapat duduk pada kursi, tetapi membutuhkan alat bantu untuk pelvis atau
badan untuk memaksimalkan fungsi tangan. Anak dapat duduk dan bangkit dari
duduk menggunakan permukaan yang stabil untuk menarik atau mendorong dengan
tangannya. Anak seringkali dibantu untuk mobilitas pada jarak yang jauh atau
diluar ruangan dan untuk jalan yang tak rata.
₋
Level 4:
Anak duduk di kursi tapi butuh alat bantu untuk kontrol badan untuk
memaksimalkan fungsi tangan. Anak duduk dan bangkit dari duduk membutuhkan
bantuan orang dewasa atau obyek yang stabil untuk dapat menarik atau mendorong
dengan tangannya. Anak dapat berjalan pada jarak pendek dengan bantuan walker
dan dengan pengawasan orang dewasa, tetapi kesulitan untuk jalan berputar dan
menjaga keseimbangan pada permukaan yang rata. Anak dibantu untuk mobilitas
ditempat umum. Anak bisa melakukan mobilitas dengan kursi roda bertenaga listrik.
₋
Level 5:
Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur
tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri
yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan
teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk mobilisasi.
Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi roda
bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi.
·
Kelompok
6 – 12 Tahun
₋
Level 1:
Anak berjalan didalam dan diluar ruangan, naik tangga tanpa keterbatasan. Anak
menunjukkan performa fungsi motorik kasar termasuk lari dan lompat, tetapi
kecepatan, keseimbangan dan koordinasi berkurang.
₋
Level 2:
Anak berjalan didalam dan diluar ruangan dan naik tangga dengan berpegangan di
tepi tangga, tetapi terdapat keterbatasan berjalan pada permukaan yang rata dan
mendaki, dan berjalan ditempat ramai atau tempat yang sempit. Anak dapat
melakukan kemampuan motorik kasar, seperti berlari atau melompat yang minimal.
₋
Level 3:
Anak berjalan didalam dan diluar ruangan pada permukaan yang rata dengan
bantuan alat bantu gerak. Anak masih mungkin dapat naik tangga dengan pegangan
pada tepi tangga. Tergantung fungsi dari tangan, anak menggerakan kursi roda
secara manual atau dibantu bila melakukan aktifitas jarak jauh atau diluar
ruangan pada jalan yang tidak rata.
₋
Level 4:
Anak bisa dengan level fungsi yang sudah menetap dicapai sebelum usia 6 tahun
atau lebih mengandalkan mobilitas menggunakan kursi roda dirumah, disekolah dan
ditempat umum. Anak dapat melakukan mobilitas sendiri dengan kursi roda bertenaga
listrik.
₋
Level 5:
Kelainan fisik membatasi kemampuan kontrol gerakan, gerakan kepala dan postur
tubuh. Semua area fungsi motorik terbatas. Keterbatasan untuk duduk dan berdiri
yang tidak dapat dikompensasi dengan alat bantu, termasuk yang menggunakan
teknologi. Anak tidak dapat melakukan aktifitas mandiri dan dibantu untuk
mobilitas. Sebagian anak dapat melakukan mobilitas sendiri menggunakan kursi
roda bertenaga listrik dengan sangat membutuhkan adaptasi.
PROGNOSIS
Beberapa faktor berpengaruh terhadap prognosis penderita CP seperti tipe klinis, keterlambatan dicapainya milestones, adanya reflek patologik dan adanya defisit intelegensi, sensoris dan gangguan emosional. Anak dengan hemiplegi sebagian besar dapat berjalan sekitar umur 2 tahun, kadang diperlukan short leg brace , yang sifatnya sementara. Didapatkannya tangan dengan ukuran lebih kecil pada bagian yang hemiplegi, bisa disebabkan adanya disfungsi sensoris di parietal dan bisa menyebabkan gangguan motorik halus pada tangan tersebut. Lebih dari 50% anak tipe diplegi belajar berjalan pada usia sekitar 3 tahun, tetapi cara berjalan sering tidak normal dan sebagian anak memerlukan alat bantu. Aktifitas tangan biasanya ikut terganggu, meskipun tidak tampak nyata. Anak dengan tipe kuadriplegi, 25% memerlukan perawatan total, sekitar 33% dapat berjalan, biasanya setelah umur 3 tahun. Gangguan fungsi intelegensi paling sering didapatkan dan menyertai terjadinya keterbatasan dalam aktifitas. Keterlibatan otot-otot bulber, akan menambah gangguan yang terjadi pada tipe ini.
Sebagian besar anak yang dapat duduk pada umur 2 tahun dapat belajar berjalan, sebaliknya anak yang tetap didapatkan reflek moro, asimetri tonic neck reflex, ekstensor thrust dan tidak munculnya reflek parasut biasanya tidak dapat belajar berjalan. Hanya sedikit anak yang tidak dapat duduk pada umur 4 tahun akan belajar berjalan.
Pada penderita CP didapatkan memendeknya harapan hidup. Pada umur 10 tahun angka kematian sekitar 10% dan pada umur 30 tahun angka kematian sekitar 13%. Penelitian didapatkan harapan hidup 30 tahun pada gangguan motorik berat 42%, gangguan kognitif berat 62% dan gangguan penglihatan berat 38%. Hasil tersebut lebih buruk dibanding gangguan yang ringan atau sedang.
Jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penderita CP bervariasi seperti sheltered whorkshops, home based program, pekerjaan tradisional, pekerja pendukung. Hasil penelitian menunjukkan adanya prediktor sukses atau tidak suksesnya bekerja pada penderita CP. Dimana yang dapat bekeja secara kompetitif bila mempunyai IQ>80, dapat melakukan aktifitas dengan atau tanpa alat bantu, berbicara susah sampai normal dan dapat menggunakan tangan secara normal sampai membutuhkan bantuan.
Beberapa faktor berpengaruh terhadap prognosis penderita CP seperti tipe klinis, keterlambatan dicapainya milestones, adanya reflek patologik dan adanya defisit intelegensi, sensoris dan gangguan emosional. Anak dengan hemiplegi sebagian besar dapat berjalan sekitar umur 2 tahun, kadang diperlukan short leg brace , yang sifatnya sementara. Didapatkannya tangan dengan ukuran lebih kecil pada bagian yang hemiplegi, bisa disebabkan adanya disfungsi sensoris di parietal dan bisa menyebabkan gangguan motorik halus pada tangan tersebut. Lebih dari 50% anak tipe diplegi belajar berjalan pada usia sekitar 3 tahun, tetapi cara berjalan sering tidak normal dan sebagian anak memerlukan alat bantu. Aktifitas tangan biasanya ikut terganggu, meskipun tidak tampak nyata. Anak dengan tipe kuadriplegi, 25% memerlukan perawatan total, sekitar 33% dapat berjalan, biasanya setelah umur 3 tahun. Gangguan fungsi intelegensi paling sering didapatkan dan menyertai terjadinya keterbatasan dalam aktifitas. Keterlibatan otot-otot bulber, akan menambah gangguan yang terjadi pada tipe ini.
Sebagian besar anak yang dapat duduk pada umur 2 tahun dapat belajar berjalan, sebaliknya anak yang tetap didapatkan reflek moro, asimetri tonic neck reflex, ekstensor thrust dan tidak munculnya reflek parasut biasanya tidak dapat belajar berjalan. Hanya sedikit anak yang tidak dapat duduk pada umur 4 tahun akan belajar berjalan.
Pada penderita CP didapatkan memendeknya harapan hidup. Pada umur 10 tahun angka kematian sekitar 10% dan pada umur 30 tahun angka kematian sekitar 13%. Penelitian didapatkan harapan hidup 30 tahun pada gangguan motorik berat 42%, gangguan kognitif berat 62% dan gangguan penglihatan berat 38%. Hasil tersebut lebih buruk dibanding gangguan yang ringan atau sedang.
Jenis pekerjaan yang bisa dilakukan oleh penderita CP bervariasi seperti sheltered whorkshops, home based program, pekerjaan tradisional, pekerja pendukung. Hasil penelitian menunjukkan adanya prediktor sukses atau tidak suksesnya bekerja pada penderita CP. Dimana yang dapat bekeja secara kompetitif bila mempunyai IQ>80, dapat melakukan aktifitas dengan atau tanpa alat bantu, berbicara susah sampai normal dan dapat menggunakan tangan secara normal sampai membutuhkan bantuan.
Referensi:
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/23537/5/Chapter%20I.pdf
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/25510/4/Chapter%20II.pdf
eprints.undip.ac.id/29398/3/Bab_2.pdf
kontributor : Ra“danyet” Rizka Faridha Safitri
kontributor : Ra“danyet” Rizka Faridha Safitri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar