Rabu, 07 Mei 2014

Skenario 1 part 1
Author: Nesya

KASUS 1

Seorang bayi berusia 2 bulan dibawa oleh ibunya ke puskesmas karena demam sejak 1 hari yang lalu. Bayi ini baru saja mendapat imunisasi Polio 2 dan DPT 1 sehari sebelumnya. Pada usia beberapa hari setelah lahir bayi tersebut pernah mendapatkan imunisasi BCG, Hepatitis B1 dan Polio 1 dan tidak mengalami demam setelahnya.
Pada pemeriksaan vital sign didapatkan suhu badannya 38 derajat Celcius dan frekuensi nadi 108 kali per menit. Pemeriksaan fisik lainnya dalam batas normal. Setelah memberikan obat penurun panas, dokter menyarankan bila tidak ada keluhan yang lainnya agar bayi tersebut dibawa kembali 2 bulan kemudian untuk imunisasi lanjutan. Ibu bayi tersebut keberatan karena menganggap imunisasi kurang bermanfaat dan justru menyebabkan efek samping terhadap bayinya.

Problem Definition:
1. Apakah yang disebut imunisasi?
2. Jelaskan tentang imunisasi Polio, DPT, BCG dan Hepatitis B1
3.  Mengapa bayi demam setelah menjalani imunisasi?
4. Pada kondisi apakah imunisasi dapat ditunda/tidak dilakukan?
5. Macam-macam imunisasi

Pembahasan:
1.   Imunisasi
Imunisasi adalah upaya pencegahan dengan sengaja memberikan kekebalan atau imunitas pada anak, sehingga anak itu walaupun mendapatkan infeksi tidak akan meninggal atau menderita cacat (sequelae). Umumnya anak yang telah imun itu bereaksi terhadap infeksi sebagai berikut:
1. Tidak sakit sama sekali.
2. Sakit namun ringan sekali, sehingga tidak menimbulkan/ mengakibatkan cacat dan tidak meninggal.
Cacat inilah yang mengakibatkan kekhawatiran, kesedihan dan kesulitan dikemudian hari tidak hanya pada para orang tua, namun yang paling berat pengaruhnya tentunya pada anak tersebut. Anak yang cacat tidak saja kesulitan dalam bergaul, namun juga tidak mampu mandiri sehingga dia akan selalu merepotkan orang tuanya dan masyrakat disekelilingnya.
Upaya pencegahan agar tidak timbul kecacatan pada anak merupakan upaya yang bersifat luas yang tidak akan berhasil bila orang-orang dan alam sekitar anak itu tidak diikut sertakan.
Tujuan imunisasi adalah agar memdapatkan imunitas atau kekebalan anak secara individu dan eradikasi atau pembasmian sesuatu penyakit dari penduduk sesuatu daerah atau negeri. Sedikitnya 70% dari penduduk suatu daerah atau negeri harus mendapatkan imunisasi. Yang tidak kalah pentingnya adalah imunisasi ulang (booster) yang perlu dilaksanakan dalam waktu-waktu tertentu untuk meningkatkan kembali imunitas/kekebalan penduduk.

2.   Imunisasi Polio, DPT, BCG dan Hepatitis B1
a.    IMUNISASI BCG
Ketahanan terhadap penyakit TB (Tuberkulosis) berkaitan dengan keberadaan virus tubercle bacili yang hidup di dalam darah. Itulah mengapa, agar memiliki kekebalan aktif, dimasukkanlah jenis basil tak berbahaya ini ke dalam tubuh, alias vaksinasi BCG (Bacillus Calmette-Guerin).
Seperti diketahui, Indonesia termasuk negara endemis TB (penyakit TB terus-menerus ada sepanjang tahun) dan merupakan salah satu negara dengan penderita TB tertinggi di dunia. TB disebabkan kuman Mycrobacterium tuberculosis, dan mudah sekali menular melalui droplet, yaitu butiran air di udara yang terbawa keluar saat penderita batuk, bernapas ataupun bersin. Gejalanya antara lain: berat badan anak susah bertambah, sulit makan, mudah sakit, batuk berulang, demam dan berkeringat di malam hari, juga diare persisten. Masa inkubasi TB rata-rata berlangsung antara 8-12 minggu.
Untuk mendiagnosis anak terkena TB atau tidak, perlu dilakukan tes rontgen untuk mengetahui adanya vlek, tes Mantoux untuk mendeteksi peningkatan kadar sel darah putih, dan tes darah untuk mengetahui ada-tidak gangguan laju endap darah. Bahkan, dokter pun perlu melakukan wawancara untuk mengetahui, apakah si kecil pernah atau tidak, berkontak dengan penderita TB.
Jika anak positif terkena TB, dokter akan memberikan obat antibiotik khusus TB yang harus diminum dalam jangka panjang, minimal 6 bulan. Lama pengobatan tak bisa diperpendek karena bakteri TB tergolong sulit mati dan sebagian ada yang “tidur”. Karenanya, mencegah lebih baik daripada mengobati. Selain menghindari anak berkontak dengan penderita TB, juga meningkatkan daya tahan tubuhnya yang salah satunya melalui pemberian imunisasi BCG.
* Jumlah Pemberian:
Cukup 1 kali saja, tak perlu diulang (booster). Sebab, vaksin BCG berisi kuman hidup sehingga antibodi yang dihasilkannya tinggi terus. Berbeda dengan vaksin berisi kuman mati, hingga memerlukan pengulangan.
* Usia Pemberian:
Di bawah 2 bulan. Jika baru diberikan setelah usia 2 bulan, disarankan tes Mantoux (tuberkulin) dahulu untuk mengetahui apakah si bayi sudah kemasukan kuman Mycobacterium tuberculosis atau belum. Vaksinasi dilakukan bila hasil tesnya negatif. Jika ada penderita TB yang tinggal serumah atau sering bertandang ke rumah, segera setelah lahir si kecil diimunisasi BCG
* Lokasi Penyuntikan:
Lengan kanan atas, sesuai anjuran WHO. Meski ada juga petugas medis yang melakukan penyuntikan di paha.
* Efek Samping:
Umumnya tidak ada. Namun pada beberapa anak timbul pembengkakan kelenjar getah bening di ketiak atau leher bagian bawah (atau di selangkangan bila penyuntikan dilakukan di paha). Biasanya akan sembuh sendiri.
* Tanda Keberhasilan:
Muncul bisul kecil dan bernanah di daerah bekas suntikan setelah 4-6 minggu. Tidak menimbulkan nyeri dan tak diiringi panas. Bisul akan sembuh sendiri dan meninggalkan luka parut.
Jikapun bisul tak muncul, tak usah cemas. Bisa saja dikarenakan cara penyuntikan yang salah, mengingat cara menyuntikkannya perlu keahlian khusus karena vaksin harus masuk ke dalam kulit. Apalagi bila dilakukan di paha, proses menyuntikkannya lebih sulit karena lapisan lemak di bawah kulit paha umumnya lebih tebal.
Jadi, meski bisul tak muncul, antibodi tetap terbentuk, hanya saja dalam kadar rendah. Imunisasi pun tak perlu diulang, karena di daerah endemis TB, infeksi alamiah akan selalu ada. Dengan kata lain, anak akan mendapat vaksinasi alamiah.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang berpenyakit TB atau menunjukkan Mantoux positif.

b.    Imunisasi Hepatitis B
Lebih dari 100 negara memasukkan vaksinasi ini dalam program nasionalnya. Apalagi Indonesia yang termasuk negara endemis tinggi penyakit hepatitis. Jika menyerang anak, penyakit yang disebabkan virus ini sulit disembuhkan. Bila sejak lahir telah terinfeksi virus hepatitis B (VHB), dapat menyebabkan kelainan-kelainan yang dibawanya terus hingga dewasa. Sangat mungkin terjadi sirosis atau pengerutan hati (kerusakan sel hati yang berat). Bahkan yang lebih buruk bisa mengakibatkan kanker hati.
Banyak jalan masuknya VHB ke tubuh si kecil. Yang potensial melalui jalan lahir. Bisa sejak dalam kandungan sudah tertular dari ibu yang mengidap hepatitis B atau saat proses kelahiran. Cara lain melalui kontak dengan darah penderita, semisal transfusi darah.
Bisa juga melalui alat-alat medis yang sebelumnya telah terkontaminasi darah dari penderita hepatitis B, seperti jarum suntik yang tidak steril atau peralatan yang ada di klinik gigi. Bahkan juga lewat sikat gigi atau sisir rambut yang digunakan antaranggota keluarga.
Malangnya, tak ada gejala khas yang tampak secara kasat mata. Bahkan oleh dokter sekalipun. Fungsi hati kadang tak terganggu meski sudah mengalami sirosis.
Tidak cuma itu. Anak juga terlihat sehat, nafsu makannya baik, berat tubuhnya pun naik dengan bagus pula. Penyakitnya baru ketahuan setelah dilakukan pemeriksaan darah. Gejala baru tampak begitu hati si penderita tak mampu lagi mempertahankan metabolisme tubuhnya.
Upaya pencegahan adalah langkah terbaik. Jika ada salah satu anggota keluarga dicurigai kena VHB, biasanya dilakukan screening terhadap anak-anaknya untuk mengetahui apakah membawa virus atau tidak. Pemeriksaan harus dilakukan kendati anak tak menunjukkan gejala sakit apa pun. Selain itu, imunisasi merupakan langkah efektif untuk mencegah masuknya VHB.
* Jumlah Pemberian:
Sebanyak 3 kali, dengan interval 1 bulan antara suntikan pertama dan kedua, kemudian 5 bulan antara suntikan kedua dan ketiga.
* Usia Pemberian:
Sekurang-kurangnya 12 jam setelah lahir. Dengan syarat, kondisi bayi stabil, tak ada gangguan pada paru-paru dan jantung. Dilanjutkan pada usia 1 bulan, dan usia antara 3-6 bulan. Khusus bayi yang lahir dari ibu pengidap VHB, selain imunisasi yang dilakukan kurang dari 12 jam setelah lahir, juga diberikan imunisasi tambahan dengan imunoglobulin antihepatitis B dalam waktu sebelum berusia 24 jam.
* Lokasi Penyuntikan:
Pada anak di lengan dengan cara intramuskuler. Sedangkan pada bayi di paha lewat anterolateral (antero = otot-otot di bagian depan; lateral = otot bagian luar). Penyuntikan di bokong tak dianjurkan karena bisa mengurangi efektivitas vaksin.
* Efek Samping:
Umumnya tak terjadi. Jikapun ada (kasusnya sangat jarang), berupa keluhan nyeri pada bekas suntikan, yang disusul demam ringan dan pembengkakan. Namun reaksi ini akan menghilang dalam waktu dua hari.
* Tanda Keberhasilan:
Tak ada tanda klinis yang dapat dijadikan patokan. Namun dapat dilakukan pengukuran keberhasilan melalui pemeriksaan darah dengan mengecek kadar hepatitis B-nya setelah anak berusia setahun. Bila kadarnya di atas 1000, berarti daya tahannya 8 tahun; di atas 500, tahan 5 tahun; di atas 200, tahan 3 tahun. Tetapi kalau angkanya cuma 100, maka dalam setahun akan hilang. Sementara bila angkanya nol berarti si bayi harus disuntik ulang 3 kali lagi.
* Tingkat Kekebalan:
Cukup tinggi, antara 94-96%. Umumnya, setelah 3 kali suntikan, lebih dari 95% bayi mengalami respons imun yang cukup.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita sakit berat.

c.    Imunisasi Polio
Belum ada pengobatan efektif untuk membasmi polio. Penyakit yang dapat menyebabkan kelumpuhan ini, disebabkan virus poliomyelitis yang sangat menular. Penularannya bisa lewat makanan/minuman yang tercemar virus polio.
Bisa juga lewat percikan ludah/air liur penderita polio yang masuk ke mulut orang sehat.Virus polio berkembang biak dalam tenggorokan dan saluran pencernaan atau usus, lalu masuk ke aliran darah dan akhirnya ke sumsum tulang belakang hingga bisa menyebabkan kelumpuhan otot tangan dan kaki. Bila mengenai otot pernapasan, penderita akan kesulitan bernapas dan bisa meninggal.
Masa inkubasi virus antara 6-10 hari. Setelah demam 2-5 hari, umumnya akan mengalami kelumpuhan mendadak pada salah satu anggota gerak. Namun tak semua orang yang terkena virus polio akan mengalami kelumpuhan, tergantung keganasan virus polio yang menyerang dan daya tahan tubuh si anak. Nah, imunisasi polio akan memberikan kekebalan terhadap serangan virus polio.
* Jumlah Pemberian:
Bisa lebih dari jadwal yang telah ditentukan, mengingat adanya imunisasi polio massal. Namun jumlah yang berlebihan ini tak akan berdampak buruk. Ingat, tak ada istilah overdosis dalam imunisasi!
* Usia Pemberian:
Saat lahir (0 bulan), dan berikutnya di usia 2, 4, 6 bulan. Dilanjutkan pada usia 18 bulan dan 5 tahun. Kecuali saat lahir, pemberian vaksin polio selalu dibarengi dengan vaksin DTP.
* Cara Pemberian:
Bisa lewat suntikan (Inactivated Poliomyelitis Vaccine/IPV), atau lewat mulut (Oral Poliomyelitis Vaccine/OPV). Di tanah air, yang digunakan adalah OPV.
* Efek Samping:
Hampir tak ada. Hanya sebagian kecil saja yang mengalami pusing, diare ringan, dan sakit otot. Kasusnya pun sangat jarang.
* Tingkat Kekebalan:
Dapat mencekal hingga 90%.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan pada anak yang menderita penyakit akut atau demam tinggi (di atas 380C); muntah atau diare; penyakit kanker atau keganasan; HIV/AIDS; sedang menjalani pengobatan steroid dan pengobatan radiasi umum; serta anak dengan mekanisme kekebalan terganggu.

d.    Imunisasi DTP
Dengan pemberian imunisasi DTP, diharapkan penyakit difteri, tetanus, dan pertusis, menyingkir jauh dari tubuh si kecil. Kekebalan segera muncul seusai diimunisasi.
* Usia & Jumlah Pemberian:
Sebanyak 5 kali; 3 kali di usia bayi (2, 4, 6 bulan), 1 kali di usia 18 bulan, dan 1 kali di usia 5 tahun. Selanjutnya di usia 12 tahun, diberikan imunisasi TT
* Efek Samping:
Umumnya muncul demam yang dapat diatasi dengan obat penurun panas. Jika demamnya tinggi dan tak kunjung reda setelah 2 hari, segera bawa si kecil ke dokter. Namun jika demam tak muncul, bukan berarti imunisasinya gagal, bisa saja karena kualitas vaksinnya jelek, misal.
Untuk anak yang memiliki riwayat kejang demam, imunisasi DTP tetap aman. Kejang demam tak membahayakan, karena si kecil mengalami kejang hanya ketika demam dan tak akan mengalami kejang lagi setelah demamnya hilang. Jikapun orangtua tetap khawatir, si kecil dapat diberikan vaksin DTP asesular yang tak menimbulkan demam. Kalaupun terjadi demam, umumnya sangat ringan, hanya sekadar sumeng.
* Indikasi Kontra:
Tak dapat diberikan kepada mereka yang kejangnya disebabkan suatu penyakit seperti epilepsi, menderita kelainan saraf yang betul-betul berat atau habis dirawat karena infeksi otak, dan yang alergi terhadap DTP. Mereka hanya boleh menerima vaksin DT tanpa P karena antigen P inilah yang menyebabkan panas.
Penyakit DTP yang BERBAHAYA
1. Difteri
Penyakit yang disebabkan kuman Corynebacterium diphtheriae ini, gejalanya mirip radang tenggorokan, yaitu batuk, suara serak, dan tenggorokan sakit. Namun, difteri tak disertai panas sebagaimana yang terjadi pada radang tenggorokan. Gejala lain difteri adalah kesulitan bernapas (leher seperti tercekik dan napas berbunyi), sehingga wajah dan tubuh membiru, serta adanya lapisan putih pada lidah dan bibir.
Bakteri penyebab difteri ditularkan saat batuk, bersin, atau kala berbicara. Masa inkubasinya 1-6 hari. Penderita harus mendapatkan perawatan di rumah sakit dalam waktu cukup lama, sekitar 2-3 minggu, dan baru boleh pulang setelah penyakitnya benar-benar hilang 100%. Soalnya, difteri bisa kambuh lagi kalau belum betul-betul sembuh.
2. Tetanus
Disebabkan oleh bakteri Clostridium Tetani, penyakit ini berisiko menyebabkan kematian. Infeksi tetanus bisa terjadi karena luka, sekecil apa pun luka itu. Tetanus rawan menyerang bayi baru lahir, biasanya karena tindakan atau perawatan yang tidak steril.
Gejala-gejala yang tampak antara lain kejang otot rahang, rasa sakit dan kaku di leher, bahu atau punggung. Kejang-kejang secara cepat merambat ke otot perut, lengan atas dan paha. Pengobatan dilakukan dengan pemberian antibiotik untuk mematikan kuman, antikejang untuk merilekskan otot-otot, dan antitetanus untuk menetralisir toksinnya.
3. Pertusis
Disebut juga kinghoest, batuk rejan, atau batuk 100 hari lantaran batuknya memang berlangsung lama, bisa sampai 3 bulan. Penyakit ini mudah sekali menular melalui udara yang mengandung bakteri Bordetella pertussis. Masa inkubasinya 6-20 hari.
Gejala awalnya seperti flu biasa, yaitu demam ringan, batuk, dan pilek, yang berlangsung selama 1-2 minggu. Kemudian, gejala batuknya mulai nyata dan kuat, batuk panjang secara terus-menerus yang berbeda dengan batuk biasa. Tak jarang, karena kuatnya batuk ini, anak bisa sampai menungging-nungging, muntah-muntah, mata merah, berair, dan napasnya susah. Gejalanya sangat berat. Bahkan beberapa penderita bisa mengalami perdarahan. Setelah 2-4 minggu berlalu, batuk mulai berkurang dan kondisi anak mulai pulih.
Penderita akan diberi obat antibiotik untuk mematikan kuman, dan obat untuk mengurangi/menghentikan batuknya. Istirahat yang cukup, banyak minum, dan konsumsi makanan bergizi akan membantu mempercepat kesembuhan.

3.   Mengapa bayi demam setelah menjalani imunisasi?

Menurut  Ketua Satgas Imunisasi Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), Prof. DR. dr. Sri Rezeki Hadinegoro.demam usai vaksin tak seharusnya dikhawatirkan para orang tua.
"Justru yang harus dikhawatirkan akibat jika tidak vaksin. Serangan Haemophillis influenza tipe B (HiB) misalnya, bisa mengakibatkan pneumonia, meningitis, hingga kecacatan," ujar Sri.
Demam usai vaksin, kata Sri, disebabkan oleh reaksi tubuh terhadap toksin kuman yang sudah dilemahkan yang masuk ke dalam tubuh. Sri mencontohkan vaksin DPT yang kerap menyebabkan demam. "Vaksin DPT 40 persen menyebabkan demam. Hal ini dikarenakan adanya toksin dari vaksin pertusis. Orangtua bisa memilih vaksin yang tidak menimbulkan demam," kata Sri.
Lebih jauh Sri menjelaskan, vaksin DPT terdiri atas dua jenis. Vaksin DPT whole cell dengan huruf W kecil di atas huruf P, menandakan vaksin tersebut menyebabkan demam. Hal ini dikarenakan seluruh sel kumam dimasukkan dalam vaksin, termasuk toksinnya.
Jenis vaksin kedua adalah DPT dengan huruf A kecil di atas huruf P. Huruf A merupakan kepanjangan aseluler. Artinya, kandungan toksin sudah tidak ada sehingga anak terbebas dari demam.
Terlepas dari jenis vaksinnya, Sri mengatakan orangtua tidak perlu khawatir. "Yang penting pastikan anak sehat sebelum vaksin. Namun orangtua perlu khawatir bila sebelum vaksin anak sempat kejang," kata Sri.
Untuk menentukan kondisi anak, Sri menyarankan orangtua untuk berkonsultasi terlebih dulu dengan dokter. Sri juga menyarankan orangtua menyediakan penurun demam seperti parasetamol dalam lemari obatnya. Namun bila demam tidak juga turun setelah 2-3 hari, sebaiknya segera dibawa ke dokter.

4.   Pada kondisi apakah imunisasi dapat ditunda/tidak dilakukan?
Indikasi kontra imunisasi.
Pada dasarnya, sedikit sekali kondisi yang menyebabkan imunisasi harus
ditunda. Pilek, batuk, suhu sedikit meningkat, bukan halangan untuk
imunisasi.
Beberapa kondisi di bawah ini BUKAN HALANGAN UNTUK MELAKUKAN IMUNISASI:
- Gangguan saluran napas atas atau gangguan saluran cerna ringan
- Riwayat efek samping imunisasi dalam keluarga.
- Riwayat kejang dalam keluarga.
- Riwayat kejang demam
- Riwayat penyakit infeksi terdahulu
- Kontak dengan penderita suatu penyakit infeksi
- Kelainan saraf menetap seperti palsi serebral, sindrom Down
- Eksim dan kelainan lokal di kulit
- Penyakit kronis (jantung, paru, penyakit metabolik)
- Terapi antibiotika; terapi steroid topikal (terapi lokal, kulit,
mata)
- Riwayat kuning pada masa neonatus atau beberapa hari setelah lahir
- Berat lahir rendah
- Ibu si anak sedang hamil
- Usia anak melebihi usia rekomendasi imunisasi

Kondisi dimana imunisasi tidak dapat diberikan atau imunisasi boleh ditunda:
- Sakit berat dan akut; Demam tinggi;
- Reaksi alergi yang berat atau reaksi anafilaktik;
- Bila anak menderita gangguan sistem imun berat (sedang menjalani
terapi steroid jangka lama, HIV) tidak boleh diberi vaksin hidup
(polio oral,MMR, BCG, cacar air).
- Alergi terhadap telur, hindari imunisasi influenza.

5.   Macam-Macam Imunitas
1. Imunitas Pasif
Imunitas pasif ini ada dua macam yaitu (a) imunitas pasif bawaan yang dibawa oleh bayi baru lahir (neonitas) sampai bayi berumur 5 bulan. Neonatus mendapatkan imunitas dari ibu sewaktu di dalam kandungan, yaitu berupa zat anti (antibodi) yang melalui jalan darah menembus plasenta. (b) imunitas pasif didapat yaitu kekebalan/ zat anti yang didapatkan oleh anak dari luar dan hanya berlangsung pendek, yaitu 2-3 minggu karena zat anti seperti ini akan dikeluarkan lagi dari tubuh anak.

2. Imunitas aktif
Imunitas aktif ini dibagi menjadi dua: 
(a) didapat secara alami (naturally aquared) yaitu kekebalan yang didapatkan setelah seseorang mendapatkan suatu penyakit. Sebagai contoh adalah kekebalan terhadap cacar air setelah terlebih dulu terkena penyakit cacar air. Anak-anak di negara berkembang tanpa imunisasi yang teratur dan menyeluruh akan terkena infeksi berbentuk silent abortive yang menyebabkan sebagian anak menderita sakit yang ringan, kemudian sembuh dengan sendirinya dan imun. Hanya anak dalam keadaan tertentu menjadi sakit berat.
(b) sengaja didapat (artificially induced)
Cara pemberian imunitas ini terdiri dari tiga macam antigen: 
(1) Live attenuated bacteria or virus
Yang dipakai ialah kuman yang masih hidup namun telah dijinakkan (attenuated), sehinggaga tidak dapat menyebabkan penyakit melainkan masih dapat mengakibatkan imunitas, misalnya smallpox (cacar air), bacillus calmette guarin (BCG), polio Sabin, Campak dan pada waktu di luar negeri juga telah ada vaksin meningitis, encephalitis, trakoma dll.
(2) Killed bacteria or virus
Misalnya kolera, tifus abdominalis, paratifus, pertusis, dan polio salk.
(3) Toksoid
Yang dipakai adalah toksin yang telah diolah sedemikian rupa, misalnya dengan formal dan kemudian diabsorbsi dengan alumunium sehingga biasanya dianamakan formol toxoid/alum precipitated. Artinya absorbs dengan alumunium ialah agar dapat merupakan depot berlangsung sedikit demi sedikit dalam jangka waktu lama, oleh karena itu lebih efektif dan dapat menghasilkan kuantitas zat anti yang lebih besar.

Sumber: 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar