Senin, 19 Mei 2014

Skenario 2 Part 2
Author : Cece

LIMFONODI
Limfonodi, yaitu kelenjar yang berfungsi sebagai pertahanan kekebalan tubuh (sistem imun).  Kelenjar ini mengandung zat-zat yang berguna untuk tubuh, diantaranya adalah protein, lemak, limfosit, sel darah putih, fibrinogen, albumin, sel-sel pembentuk pertahanan tubuh, dsb. kelenjar ini dapat membesar oleh karena penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KGB itu sendiri, seperti limfosit, sel plasma, monosit dan tristiosit.  Penyebab lainnya yaitu karena proses peradangan (neutrofil), yang artinya kelenjar itu sedang dalam proses melawan bakteri yang masuk, infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari penyakit metabolit lemak.  Jika dalam proses peradangan, bakteri dapat tereliminasi maka kelenjar tersebut akan mengalami regresi kembali.  Namun proses peradangan tersebut pada beberapa individu dapat menjadi berlebihan, sehingga pembesarannya menjadi relatif lebih besar dan lebih sensitif, terutama pada individu dengan riwayat alergi dan asma.  Akibatnya terjadi pembengkakan yang terasa nyeri jika ditekan dan terasa berfluktuasi.  Kulit yang diatasnya sering berwarna merah, penetrasi infeksi ke permukaan kulit, dan menimbulkan sinus yang mengalirkan cairan.(Robbins and Cotran,2008)
Proses pembesaran kelenjar limfe
Proses pembesaran kelenjar limfe oleh karena infeksi berbeda dengan metastasis karsinoma (kanker). Pada pembesaran kelenjar limfe yang disebabkan oleh infeksi dapat dijelaskan sebagai berikut.
Infeksi yang dimulai dengan masuknya kuman patogen ke dalam tubuh, direspons oleh sistem kekebalan yang berlapis. Di lapis depan berjajar komponen normal tubuh seperti kulit, selaput lendir, batuk, flora normal dan berbagai sel. Di pusat pertahanan, terdapat kelenjar limfe yang menyimpan dua mesin perang yaitu limfosit T dan limfosit B. Kelenjar limfe tersusun secara regional menjaga kawasan tertentu. Karena itu mereka disebut juga sentinel node (sentinal adalah penjaga dan node adalah kelenjar limfe). Sentinel node kepala dan muka, terdapat di leher; payudara dan tangan, ketiak; kaki, lipat paha dan sebagainya [12].
Dalam peperangan itu salah satu tugas lapis pertama adalah membawa sampel kuman ke limfosit untuk identifikasi dan pemrograman penghancurannya. Kemudian limfe atau cairan getah bening akan membawa sel T dan sel B, ke daerah konflik. Dalam usahanya kelenjar limfe regional akan meningkatkan aktivitasnya hingga membesar. Ciri-ciri pembesaran kelenjar limfe dalam mengatasi infeksi adalah sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional dengan nyeri dan disertai tanda-tanda infeksi di daerah itu, pencarian dan pengobatan pusat infeksi menjadi prioritas [12].
Berbeda dengan infeksi, kelenjar limfe regional akan kewalahan menghadapi kanker. Mereka melakukan penetrasi secara bertahap dalam waktu tahunan. Lama-lama kelenjar limfe regional akan membesar tanpa rasa sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional tidak sakit, pencarian kanker primer menjadi prioritas [12].
Bakteri ekstraseluler dan intraseluler
1.    Infeksi Bakteri Ekstraseluler
a.        Strategi pertahanan bakteri
Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi di luar sel, di dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di berbagai jaringan. Berbagai jenis bakteri yang termasuk golongan bakteri ekstraseluler telah disebutkan pada bab sebelumnya. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit, yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi yang tidak baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi bakteri berkapsul Streptococcus pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu, kapsul tersebut melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat dikenali oleh reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan deposisi C3b pada dinding sel bakteri dapat dihambat. Beberapa organisme lain mengeluarkan eksotoksin yang meracuni leukosit. Strategi lainnya adalah dengan pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit sehingga memperoleh perlindungan dari fungsi fagosit .
Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang melindungi dari kerusakan oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang menyebabkan pemecahan C3 konvertase. Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator tersebut, sehingga akan mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui stabilisasi C3b3b konvertase pada permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul bakteri akan menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.
Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen melalui aksi produk mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator aktivasi komplemen. Bahkan beberapa spesies dapat menghindari lisis dengan cara mengalihkan lokasi aktivasi komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy protein) atau posisi permukaan bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa organisme Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat insersi komplek serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri .
Bakteri enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi fagosom-lisosom dan mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik juga dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan, variasi enzim yang terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan variasi antigenik pili. Keadaan sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri ekstraseluler sulit dihancurkan adalah gangguan pada mekanisme fagositik karena defisiensi sel fagositik (neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang (penyakit granulomatosa kronik).




 Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.
b.      Mekanisme pertahanan tubuh
Respons imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya antibodi. Hasil aktivasi ini adalah C3b yang mempunyai efek opsonisasi, lisis bakteri melalui serangan kompleks membran dan respons inflamasi akibat pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1, IL-6 dan IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga merangsang demam dan sintesis protein fase akut.
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan menstimulasi makrofag. Stimulasi yang berlebihan terhadap makrofag akan menghasilkan sejumlah sitokin seperti IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu terjadinya reaksi peradangan yang menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah sitokin dalam sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua, melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin bertambah.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang berfungsi untuk memudahkan fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak tergantung antibodi dan yang ditingkatkan oleh antibodi.
Pada opsonisasi yang tidak tergantung antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada manose terminal pada permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS) merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap proses fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi oleh antibodi.
Dalam opsonisasi terdapat sinergisme antara antibodi dan komplemen yang diperantarai oleh reseptor yang mempunyai afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga meningkatkan pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG yang dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan ke makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak terikat secara spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui pengikatan komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke dalam lapisan peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap  neutrofil untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi infeksi lebih cepat dari sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang dikeluarkan oleh bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik selanjutnya akan melakukan adesi pada dinding sel bakteri, endotel maupun jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN pada permukaan sel bakteri akan bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada proses adesi ini akan merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang telah menginfeksi. 
Proses penelanan bakteri oleh fagosit diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan terperangkap di dalamnya, selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim ini dapat melalui proses oksidasi maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase berdasarkan ikatan H2O2 dengan superoksida dan radikal hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi berlangsung dengan perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b, laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena protein yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai mekanisme pertahanan spesifik antigen dan nonspesifik. Mekanisme nonspesifik terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi oleh neutrofil, makrofag dan epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui disrupsi pada permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori dan IgM, dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus besar. Antibodi IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus dan bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi terhadap neutrofil dan makrofag dalam proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil melewati barier IgA, maka lini pertahanan berikutnya adalah IgE. Adanya kontak antigen dengan IgE akan menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen respons imun dan menghasilkan reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG dan komplemen, sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil akan menarik sel efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang telah dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-komplemen pada makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat permeabilitas vaskular dan proses kemotaktik .
Apabila organisme yang diopsonisasi terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit dapat mengatasi organisme tersebut melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-Dependent Cellular Cytotoxicity (ADCC).

2.    INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
a.       Strategi pertahanan bakteri
Bakteri intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena bakteri tidak dapat dijangkau oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri intraseluler juga berbeda dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa jenis bakteri seperti basil tuberkel dan leprosi, dan organisme Listeria dan Brucella menghindari perlawanan sistem imun dengan cara hidup intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit mononuklear, karena sel tersebut mempunyai mobilitas tinggi dalam tubuh. Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan fagosit setelah bakteri mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag, bakteri tersebut melakukan perubahan mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan mempertahankan diri melalui tiga mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid mikobakterial seperti lipoarabinomanan menghalangi pembentukan ROI (reactive oxygen intermediate) seperti anion superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan terjadinya respiratory burst, 3) menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga tetap hidup bebas dalam sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan selanjutnya (Gambar 13-4).


 






  


b.      Mekanisme pertahanan tubuh
Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated Immunity, CMI) sangat penting dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC II pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T helper (Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag dan membunuh organisme intraseluler, terutama melalui pembentukan oksigen reaktif intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya makrofag tersebut akan mengeluarkan lebih banyak substansi yang berperan dalam reaksi inflamasi kronik. Selain itu juga terjadi  lisis sel yang diperantarai oleh sel T CD8.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal makrofag yang terkativasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme untuk mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan jaringan terutama disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi bakteri intraseluler.

Nodul Eritem
 

Eritema nodosum (EN) adalah suatu kondisi berupa benjolan-benjolan merah bulat (nodul) yang terbentuk tepat di bawah permukaan kulit. Kondisi ini terjadi oleh peradangan di lapisan lemak di bawah kulit.
Gejala
EN biasanya timbul di tulang kering, tetapi juga bisa terjadi di daerah lain seperti pantat, betis, pergelangan kaki, paha, dan lengan. Lesi dimulai sebagai benjolan-benjolan selebar 2-6 cm yang datar, keras, panas, kemerahan, dan menyakitkan. Garis tepi nodul tidak terdefinisikan dengan baik.
Dalam beberapa hari benjolan-benjolan itu menjadi lunak dan berwarna kebiruan atau merah muda, kemudian memudar dalam beberapa minggu. Bekas benjolan kemudian tampak seperti memar kecoklatan atau kekuningan sebelum hilang sepenuhnya.
Gejala lain mungkin termasuk:
·         Demam
·         Kurang enak badan (malaise)
·         Nyeri sendi
·         Pembengkakan kaki atau daerah lain yang terkena dampak
Gejala lain yang menyertai tergantung pada sebab yang mendasari. Misalnya, EN karena penyakit inflamasi usus mungkin disertai sakit perut dan diare. Bila penyebabnya adalah TB mungkin disertai batuk dan sesak nafas (lihat uraian di bawah mengenai penyebab).
Penyebab
Pada lebih dari setengah penderita, EN timbul tanpa sebab yang jelas (idiopatik). Namun, kadang-kadang EN dapat menjadi tanda awal  suatu masalah kesehatan yang perlu segera didiagnosis dan diobati. Kondisi yang dapat memicu timbulnya EN antara lain:
·            Infeksi streptokokus: pemicu yang paling umum pada anak-anak. Infeksi ini menyebabkan radang tenggorokan.
·            Sarkoidosis: kondisi di mana peradangan menyebabkan benjolan-benjolan kecil (granuloma) di berbagai organ tubuh, yang paling umum di paru-paru dan kelenjar getah bening. Sarkoidosis adalah pemicu umum EN pada orang dewasa.
·            Tuberkulosis (TB): infeksi oleh bakteri TB yang biasanya menyerang paru-paru.
·            Infeksi lainnya: Clamidia, Mycoplasma pneumoniae, Salmonella spp dan Campylobacter spp .
·            Reaksi terhadap obat-obatan tertentu seperti antibiotik dan pil KB kombinasi.
·            Penyakit radang usus: ulcerative colitis dan penyakit Crohn.
·            Kehamilan, paling sering selama trimester kedua.
·            Kanker jenis limfoma dan leukemia.
Pustulasi
pustulasi : lesi kulit yang terisi dengan pus dibagian epidermis

Patofisiologi
terjadi karena infeksi bakteri menyebabkan penumpukan eksudat purulen yang terdiri dari pus, leukosit dan debris. Pustule

Infeksi
yaitu invasi dan pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis tidak tampak atau timbul cedera selular lokal akibat kompetisi metabolisme, toksin, replikasi intrasel, atau respon antigen-antibodi. (Dorland, 2002)
Radang atau inflamasi
merupakan respon protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurunng (sekuester) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu. (Dorland, 2002)
Infeksi
Infeksi menembus permukaan kulit atau berasal dari dalam tubuh. Gambaran klinisnya tergantung pada:
1.      Letaknya di dalam kulit
2.      Sifat alami organisme
3.      Sifat respon tubuh terhadap organisme
Sebagian besar infeksi melalui jalan eksternal dengan menembus barier kulit yang dapat menyebabkan lesi kulit saat organisme menginfeksi tubuh lainnya dan menimbulkan bercak-bercak kulit. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme, seperti fungi, virus, bakteri, protozoa dan virus metazoa. Banyak organisme yang hidup atau bahkan tumbuh di dalam kulit tetapi tidak menimbulkan kerugian terhadap inang yang disebut komensal, atau apabila organisme ini mengkonsumsi bahan-bahan yang mati maka mereka disebut saprofit.(Underwood, 1999)
Mekanisme kerusakan jaringan yang diakibatkan organisme infeksius beraneka ragam, karena produk atau sekresi yang berbahaya dari bakteri-bakteri. Jadi, sel hospes menerima rangsangan bahan kimia yang mungkin bersifat toksik terhadap metabolisme atau terhadap keutuhan membran sel. Sebagai tambahan, sering timbul respon peradangan dari hospes yang dapat menyebabkan kerusakan kimiawi terhadap sel. Agen intraseluler misalnya virus sering menyebabkan ruptura sel yang terinfeksi. Selanjutnya terjadi kerusakan jaringan lokal. (Underwood, 1999)
Radang
Peradangan ditandai oleh:
1.      Vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah setempat yang berlebihan
2.      Peningkatan permeabilitas kapiler, memungkinkan kebocoran banyak sekali cairan ke dalam ruang intersisiel
3.      Seringkali terjadi pembekuan cairan di dalam ruang intersisiel yang disebabkan oleh fibrinogen dan protein yang lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah besar
4.      Migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan
5.      Pembengkakan sel jaringan
(Guyton, 2007)
Biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya, antara lain:
1.          Radang akut
Yaitu reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak lama
2.          Radang kronis
Yaitu reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama mengikuti respon awal
Penyebab utama radang akut adalah:
·         Infeksi mikrobial
Merupakan penyebab yang paling sering ditemukan. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan endotoksin yang spesifik atau melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Di samping itu, beberapa macam organisme, melalui reaksi hipersensitivitas, dapat menyebabkan radang yang diperantarai imunologi.
·         Reaksi hipersensitivitas
Terjadi bila perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
·         Agen fisik
Kerusakan jaringan yang terrjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik, ultraviolet atau radiasi ion, terbakar atau dingin yang berlebihan (fostbite).
·         Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak jaringan, yang kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Di samping itu, agen penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi, dan langsung mengakibatkan radang.
·         Jaringan nekrosis
Aliran darah yang tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dan makanan pada daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya kematian jaringan. Kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respon radang akut.(Underwood, 1999)
Proses peradangan
Salah satu efek pertama dari peradangan adalah pembatasan (wall of) area yang cedera dari sisa jaringan yang tidak mengalami radang. Ruang jaringan dan cairan limfatik di daerah yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga untuk sementara waktu hampir tidak ada cairan yang melintasi ruangan. Proses pembatasan akan menunda penyebaran bakteri atau produk toksik.
Dalam waktu beberapa menit setelah peradangan dimulai, makrofag telah ada di dalam jaringan dan segera memulai kerja fagositiknya. Bila diaktifkan oleh produk infeksi dan peradangan, efek yang mula-mula terjadi adalah pembengkakan setiap sel-sel ini dengan cepat. Selanjutnya, banyak makrofag yang sebelumnya terikat kemudian lepas dari perlekatannya dan menjauh mobil, membentuk lini pertama pertahanan tubuh terhadap infeksi selama beberapa jam pertama.
Dalam beberapa jam setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi daerah yang meradang. Hal ini disebabkan oleh produk yang berasal dari jaringan yang meradang akan memicu reaksi berikut:
1.      Produk tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan netrofil melekat pada dinding kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut marginasi.
2.      Produk ini menyebabkan longgarnya perlekatan interseluler antara sel endotel kapiler dan sel endotel vanula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari darah ke dalam ruang jaringan.
3.      Produk peradangan lainnya akan menyebabkan kemotaksis netrofil menuju jaringan yang cedera.
Jadi, dalam waktu beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat tersebut akan diisi oleh netrofil. Karena netrofil darah telah berbentuk sel matur, maka sel-sel tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh bakteri dan menyingkirkan bahan-bahan asing.
Dalam waktu beberapa jam sesudah dimulainya radang akkut yang berat, jumlah netrofil di dalam darah kadang-kadang menigkat sebanyak 4-5 kali lipat menjadi 15.000-25.000 netrofil per mikroliter. Keadaan ini disebut netrofilia. Netrofilia disebabkan oleh produk peradangan yang memasuki aliran darah, kemudian diangkut ke sumsum tulang, dan disitu bekerja pada netrofil yang tersimpan dalam semsum untuk menggerakkan netrofil-netrofil ini ke sirkulasi darah. Hal ini membuat lebih banyak lagi netrofil yang tersedia di area jaringan yanng meradang.
Bersama dengan invasi netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang meradang dan membesar menjadi makrofag. Setelah menginvasi jaringan yang meradang, monosit masih merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau lebih untuk membengkak ke ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom dalam jumlah yang sangat banyak, barulah kemudian mencapai kapasitas penuh sebagai makrofag jaringan untuk proses fagositosis. Ternyata setelah beberapa hari hingga minggu, makrofag akhirnya datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area yang meradang, karena produksi monosit baru yang sangat meningkat dalam sumsum tulang.
Pertahanan tubuh yang keempat adalah peningkatan hebat produksi granulosit dan monosit oleh sumsum tulang. Hal ini disebabkan oleh perangsangan sel-sel progenitor granulositik dan monositik di sumsum. Namun hal tersebut memerlukan waktu 3-4 hari sebelum granulosit dan monosit yang baru terbentuk ini mencapai tahap meninggalkan sumsum tulang. (Guyton, 2007)

Pembentukan pus
Bila netrofil dan makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan nekrotik, pada dasarnya semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati. Sesudah beberapa hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cairan jaringan. Campuran seperti ini biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi dapat ditekan, sel-sel mati dan jaringan nekrotik yang terdapat dalam pus secara bertahap akan mengalami autokatalisis dalam waktu beberapa hari, dan kemudian produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam jaringan sekitar dan cairan limfe hingga sebagian besar tanda kerusakan jaringan telah hilang.
(Guyton, 2007)

Efek radang akut
Cairan dan eksudat seluler, keduanya dapat mempunyai efek yang berguna. Manfaat cairan eksudat adalah sebagai berikut:
·         Mengencerkan toksin
Pengenceran toksin yang diproduksi oleh bakteria akan memungkinkan pembuangannya melalui saluran limfatik
·         Masuknya antibodi
Akibat naiknya permeabilitas vaskuler, memugkinkan antibodi masuk ke dalam rongga ekstravaskuler. Antibodi dapat mengakibatkan lisisnya mikro-organisme dengan mengikutsertakan komplemen, atau mengakibat-kan   fagositosis melalui opsonisasi. Antibodi juga penting untuk menetralisir toksin.
·         Transpor obat
Seperti antibiotik ke tempat bakteri berkembang biak.
·         Pembentukan fibrin
Dari eksudat fibrinogen dapat menghalangi gerakan mikro-organsme, menangkapnya dan memberikan fasilitas terjadinya fagositosis.
·         Mengirim nutrisi dan oksigen
Yang sangat penting untuk sel seperti neutrofil yang mempunyai aktivitas metabolisme yang tinggi, yang dibantu dengan menaikkan aliran cairan melalui daerah tersebut
·         Merangsang respon imun
Dengan cara menyalurkan cairan eksudat ke dalam saluran limfatik yang memungkinkan partikel dari larutan antigen mencapai limfonodus regionalnya, dimana partikel dapat merangsang respon imun.
Pembebasan enzim-enzim lisosom oleh sel radang dapat pula mempunyai efek yang merugikan, yaitu:
·         Mencerna jaringan normal
Enzim-enzim seperti kolagenase, protease dapat mencerna jaringan normal, yang menyebabkan kerusakan. Kondisi ini mungkin terutama sebagai hasil kerusakan vaskuler, misalnya pada reaksi hipersensitivitas tipe III.
·         Pembengkakan
Pembengkakan jaringan yang mengalami radang akut dapat merugikan. Pembengkakan karena radang akan berbahaya apabila terjadi di dalam ruang yang tertutup seperti rongga kepala.
·         Respon radang yang tidak sesuai
Kadang-kadang respon radang akut tampak tidak sesuai, seperti yang terjadi pada reaksi hipersensitivitas tipe I, dimana antigen di sekitarnya berkemampuan menyebabkan reaksi yang tidak mengancam dan merugikan individu. Pada respon radang karena alergi mungkin dapat mengancam hidupnya, misalnya asma ekstrinsik

Ciri ciri inflamasi
Warna kemerahan (rubor)
Diakibatkan oleh adanya dilatasi pembuluh darah kecil dalam daerah yang mengalami kerusakan.
Panas (kalor)
Peningkatan suhu hanya tampak pada bagian perifer tubuh (kulit). Peningkatan suhu ini diakibatkan karena meningkatnya aliran darah sehingga sistem vaskuler dilatasi dan mengalirkan darah yang hangat pada daerah tersebut.
Bengkak (tumor)
Pembengkakan sebagai hasil adanya edema dan kelompok sel radang dalam jumlah sedikit yang masuk ke dalam daerah tersebut.
Nyeri (dolor)
Rasa nyeri diakibatkan oleh regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan terutama karena tekanan pus di dalam rongga abses.
Demam
Demam merupakan manifestasi sistemik yang paling sering terjadi pada respon radang dan merupakan gejala utama penyakit infeksi
-          Endotoksin bakteri gram negatif
-          Sitokin yang dilepaskan dari sel-sel limfoid

Mekanisme demam antara lain:
Aktivator (mikroba, toksin, kompleks antigen-antibodi, proses radang; dll) → menginduksi fagosit MN dan sel lain → melepaskan interleukin-1 → pusat pengatur suhu (hipotalamus) melalui darah → respon fisiologik → demam
Penanganan luka
Prinsipnya adalah pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka kotor maka perlu diberikan antibiotik. Tindakan penanganan luka harus dilakukan sesuai teknik aseptik (steril).
1.      Bersihkan tepi luka menggunakan alkohol
2.      Lanjutkan dengan pemakaian desinfektan seperti betadine pada luka
3.      Balut luka agar tidak terjadi infeksi lebih lanjut





Tidak ada komentar:

Posting Komentar