Selasa, 13 Mei 2014

Skenario 2 Part 1 Block 6
Author  : Cindra P
Kasus 2
                Seorang anak perempuan berusia 5 tahun dibawa oleh orang tuanya ke dokter keluarga karena demam dan ada benjolan pada paha yang terjadi sejak 3 hari yang lalu. Benjolan tersebut terasa nyeri . pada pemeriksaan paha kanan terdapat nodul eritem dengan diameter 5cm, nyeri tekan, dengan punctum/ pustulasi dibagian tengahnya. Limfonodi inguinalis teraba membesar dan multiple.
Definisi
-            Nodul eritem                            : Eritema nodosum adalah suatu peradangan yang menyebabkan terbentuknya benjolan merahyang lunak(nodul) Dibawah kulit,paling sering ditemukan diatas tulang kering, tetapi kadangmenyerang lengan dan bagian tubuh lainnya
-            Punctum/pustulasi                                :  terbentuknya pus/nanah
tubuh manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi. Pertahanan pertama adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi permukaan tubuh.1 Kulit termasuk lapisan epidermis, stratum korneum, keratinosit dan lapisan basal bersifat sebagai barier yang penting, mencegah mikroorganisme dan agen perusak potensial lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam.1,2 Misalnya asam laktat dan substansi lain dalam keringat mengatur pH permukaan epidermis dalamsuasana asam yang membantu mencegah kolonisasi oleh bakteri dan organisme lain. Terdapat berbagai infeksi pada anak disertai dengan kelainan (tanda) pada kulit. Pada beberapa kasus kelainan kulit dapat merupakan tanda penting
penyebab infeksi yang merupakan indikator bermakna adanya infeksi yang mendasarinya. Walaupun kebanyakan penyakit eksantema pada anak bersifat ringan, diagnosis banding penting sekali oleh karena beberapa infeksi pada anak yang fatal sering mempunyai kelainan (tanda) pada kulit sebagai manifestasi
awal. Dermis dengan kolagen dan elastin memberikan dukungan dan pencegahan banyak elemen seperti saraf, pembuluh darah, dan lain-lain sedangkan subkutis merupakan insolator panas dan persediaan kalori.
Kekurangan kolagen akan memudahkan terjadinya edema, terutama pada bayi prematur.

Biologi Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan utama
Epidermis
Lapisan epidermis tebalnya relatif, bervariasi dari 75- 150m, kecuali pada telapak tangan dan kaki lebih tebal; terdiri dari stratum korneum dan lapisan Malpighi, terdapat desmosom, melanosit dan lain-lain.
Dermis
Ketebalan dermis bervariasi di berbagai tempat tubuh, biasanya 1-4mm. Dermis merupakan jaringan metabolic aktif, mengandung kolagen, elastin, sel saraf, pembuluh darah dan jaringan limfatik. Juga terdapat kelenjar ekrin, apokrin, sebaseus di samping folikel rambut.
Subkutis
Terletak di bawah dermis, terdiri dari jaringan ikat dan lemak.
Patogenesis Kelainan Kulit karena Infeksi
Patogenesis kelainan kulit yang ditimbulkan infeksi dapat dibagi dalam 3 kategori:
1.    Mikroorganisme patogen dari aliran darah menyebabkan infeksi sekunder pada kulit.
Kelainan kulit pada keadaan ini dapat langsung akibat mikroorganisme patogen itu pada epidermis, dermis, atau endotel kapiler dermis, atau dapat disebabkan respons imun antara organisme dan antibodi atau faktor selular pada kulit.
Sel yang berperan dalam SALT
-       Keratinosit              : Sekresi sitokin
Sekresi IL-1 dan melepaskannya ke daerah yang mengalami kerusakan
Melepaskan mediator
Memproses antigen dan mempresentasikan
-       Sel Langerhans     : Memproses antigen
Mempresentasikan antigen ke sel T helper
Melepaskan mediator
-       Dendrosit kulit      : Memproses dan mempresentasikan antigen
-       Makrofag kulit      : Memproses dan mempresentasikan antigen
Fagositosis
Melepaskan mediator
-       Sel vailed                                 : Transport antigen ke kelenjar limfe
-       Sel T gamma/delta              : Memulai respons imun non-spesifik
Mempresentasikan antigen ke sel T supresor (?)
-       Limfosit                    : Respons imun selular
Mengontrol dan mengatur respons imun dan inflamasi
Sekresi limfokin
Bersifat sitotoksik
-       Leukosit PMN       : Fagositosis
Melepaskan mediator
-       Sel mast                   : Aktivitas anafilaksis
Melepaskan mediator
-       Cairan jaringan      :  Penghantar antibodi
Sel endotel Permeabilitas pembuluh darah
Entrapment limfosit

Tahap pertama pertahanan adalah mekanisme antibakteri yang tidak tergantung dari pengenalan antigen. Kulit dan permukaan epitel mempunyai system non-spesifik atau innate protective system yang membatasi masuknya organisme invasif. Asam lemak yang dihasilkan kulit juga bersifat toksik terhadap banyak organisme. Kulit merupakan barier fisik yang dapat mempertahankan tubuh dari agen patogen. Apabila terdapat kerusakan kulit, maka kulit akan mempertahankan tubuh dengan proses imunologik yang cepat terhadap agen patogen tersebut dan mengeluarkan microorganism tersebut dari epidermis dan dermis. Sistem imun berkembang dengan fungsi yang khusus dan bekerja pada kulit. Sel Langerhans, dendrosit kulit, sel endotel, keratinosit dan sel lainnya semuanya ikut berpartisipasi dalam skin associated lymphoid tissue (SALT) yang mempunyai sistem imun pada kulit. Ketika mikroorganisme menembus barrier kulit akan merangsang respons imun. Kulit seperti halnya organ lain akan merusak mikroorganisme tersebut dan mengeliminasi antigen. Varisela, infeksi enterovirus dan meningococcemia merupakan contoh mikroorganisme sampai ke kulit melalui aliran darah dan menyebabkan kelainan pada kulit tanpa kontribusi faktor imun pejamu. Pada penyakit seperti morbili, rubela dan gonococcemia sukarnya mikroorganisme ditemukan pada kultur menandakan kemungkinan efek langsung atau peranan respons imun (immune-mediated response).
Sitokin yang Dihasilkan Keratinosit
·       Interleukin                                                : IL-1
IL-3
IL-6
IL-7
IL-8
IL-10
IL-12
·       Colony-stimulating factor    : GM CSF
G-CSF
M-CSF
·       Lain-lain                                   : Asetilkolin
TGFa
TGFb
TNFa
IP-10, dll

2.    Penyebaran toksin spesifik yang berasal dari mikroorganisme patogen menyebabkan kelainan pada kulit.
Infeksi mikroorganisme pada daerah lokal, namun toksin yang dibebaskan mencapai kulit melalui aliran darah. Seperti diketahui bakteri mempunyai banyak antigen permukaan yang berbeda dan mengeluarkan bermacam-macam faktor virulen (misalnya toksin) yang dapat merangsang respons imun.
3.    Penyakit sistemik menimbulkan kelainan kulit karena proses imunologik.
Umumnya tidak dapat diidentifikasi baik lokasi antigen ataupun toksin yang dibebaskan. Kelainan kulit yang terpenting pada kategori ini adalah eritema nodosum dan eritema multiforme.

Proses terjadinya respons imun
Antigen terikat pada sel yang dapat mempresentasikan antigen seperti sel Langerhans, makrofag dan dendrosit dermis. Sel tersebut akan memproses antigen dan mempresentasikan fragmen antigen kepada limfosit spesifik.6 Dalam keadaan normal sejumlah kecil limfosit akan melalui dermis di luar pembuluh darah. Limfosit kemudian akan membentuk sel inflamasi perivaskular. Banyak ahli imunologis berpendapat bahwa populasi limfosit di kulit dilengkapi oleh suatu program untuk beraksi dengan antigen yang sebelumnya telah pernah kontak dengan kulit. Sirkulasi limfosit dari kulit ke kelenjar limfe kembali ke kulit disebut homing. Limfosit homing masuk ke dalam kulit yang tidak mengalami inflamasi untuk mencari adanya antigen. Bila ada antigen, limfosit akan mengaktivasi sel endotel gepeng untuk mengumpulkan limfosit lain sebagai bagian dari reaksi inflamasi yang ditimbulkannya. Bila limfosit spesifik yang telah tersentisisasi bereaksi dengan antigen, respons imun dapat timbul.
Kurang lebih 5% dari limfosit di dermis pada reaksi imun yang diperantarai oleh sel adalah limfosit yangsecara spesifik bereaksi terhadap antigen. Limfosit tambahan dapat dikumpulkan ke area tersebut oleh limfokin yang dikeluarkan oleh limfosit spesifik sebagai respons terhadap adanya antigen. Respons imun dapat pula ditimbulkan di epidermis. Sel T masuk ke dalam epidermis dari dermis. Agar hal ini dapat terjadi sel T harus melewati daerah membran basalis dan menembus keratinosit. Substansi mediator seperti IL-8 dianggap berperan terhadap penarikan limfosit ke dalam epidermis. Keratinosit memproduksi IL-8 terutama bila dirangsang oleh gamma-interferon. Bila telah terdapat dalam epidermis, limfosit dapat diaktivasi oleh sel Langerhans. Keadaan ini dapat memperkuat respons imun dan membantu eliminasi antigen atau menghancurkan sel yang terinfeksi. Sejumlah sel helper dan sel supresor pada infiltrat akan mengatur proses inflamasi yang terjadi.

Nodul Eritema
Eritema nodosum adalah klinikopatologi yang paling sering terjadi dari varian panniculitis. Gangguan ini biasanya menunjukkan onset akut dan secara klinis ditandai dengan tiba-tiba adanya nodul eritematosa lembut dan plak yang terletak terutama di atas aspek ekstensor yang lebih rendah ekstremitas. Lesi menunjukkan regresi spontan, tanpa ulserasi, jaringan parut, atau atrofi. Eritema nodosum adalah proses reaktif kulit yang mungkin dipicu oleh berbagai rangsangan, karena infeksi, sarkoidosis, rematologi penyakit, penyakit radang usus, obat-obatan, autoinmune gangguan, kehamilan, dan keganasan yang paling umum kondisi terkait.
Etiologi
Eritema nodosum dapat berhubungan dengan berbagai macam  proses penyakit, dan observasi yang harus selalu diikuti dengan mencari etiologi yang mendasari. Sebuah tinjauan dari literatur menunjukkan bahwa faktor etiologi yang dapat menyebabkan eritema nodosum bervariasi, seperti infeksi, obat-obatan, penyakit ganas, dan berbagai kelompok lain-lain. Meskipun ada cukup variasi geografis yang terkait dengan infeksi endemik, infeksi streptokokus adalah yang paling sering.
Hubungan antara Infeksi saluran pernapasan oleh kelompok A streptokokus beta hemolitik dan eritema nodosum sering terjadi terutama di anak-anak dan dewasa muda . Biasanya , lesi kulit muncul 2 atau 3 minggu setelah infeksi tenggorokan , dan disertai dengan elevasi antistreptolysin O ( ASO )titer . Sebuah tes positif terhadap antigen streptokokus intradermal yang sering ditemukan pada pasien dengan eritema nodosum sekunder infeksi streptokokus , meskipun ketika nodul kulit berkembang , namun tidak dapat mendeteksi microorganisms pada cairan tenggorokan.
Tuberkulosis sekarang menjadi faktor etiologi bagi eritema nodosum di eropa selatan. Kasus-kasus ini terlihat terutama pada anak-anak dan lesi kulit biasanya menunjukkan infeksi paru primer, yang bersamaan dengan konversi test.
Tuberculin merupakan obat yang sering sebagai penyebab eritema nodosum . Sulfonamid , bromida , dan kontrasepsi oral pil telah lama dikenal sebagai obat yang paling umum menyebabkan eritema nodosum  akut. Dalam beberapa tahun ini , jumlah hormon dalam pil kontrasepsi memiliki telah diturunkan dan eritema nodosum sekunder terhadap obat menjadi jarang terjadi . Dalam kasus-kasus di mana pasien menderita eritema nodosum kadang menggunakan antibiotik untuk penyakit menular sehingga sulit untuk membedakan apakah reaksi kulit adalah karena antiobiotic atau agen infeksi .
Sarkoidosis merupakan salah satu etiologi yang paling umum terjadi pada pasien dewasa dengan nodosum eritema sekunder. Di beberapa negara , khususnya di bagian utara Eropa , eritema nodosum dan adenopati hilus bilateral sering dipandang sebagai manifestasi awal sarkoidosis ( Lofgren sindrom ).  Namun , eritema nodosum dan hilus bilateral adenopati tidak eksklusif sarkoidosis , dan telah dikaitkan dengan limfoma , tuberkulosis , infeksi streptokokus , coccidioidomycosis , histoplasmosis , dan infeksi akut oleh Chlamydia pneumoniae .
Patogenesis
Eritema nodosum dianggap hipersensitivitas respon terhadap berbagai faktor . variabilitas kemungkinan rangsangan antigenik yang dapat menyebabkan eritema nodosum menunjukkan bahwa gangguan ini merupakan proses reaktif kulit dan bahwa kulit memiliki respon terbatas terhadap infeksi agen yang berbeda . Eritema nodosum mungkin hasil dari pembentukan kompleks imun dan deposisi di sekitar venula dari septa jaringan ikat subkutan yang mengandung lemak . telah tercatat bahwa pada pasien dengan eritema nodosum terdapat immunocomplexes  dan complex activation.
Lesi awal eritema nodosum adalah histopatologi yang ditandai dengan infiltrat inflamasi neutrofil melibatkan septa dari jaringan subkutan . Penelitian terbaru telah menunjukkan bahwa pasien yang menderita eritema nodosum memiliki persentase lebih tinggi empat kali lipat dari reaktif intermediet oksigen ( ROI ) yang diproduksi oleh neutrofil aktif dalam darah perifer dibandingkan orang yang sehat . Selain itu , persentase sel yang memproduksi ROI pasien dengan eritema nodosum berkorelasi dengan tingkat keparahan . Data ini mendukung fakta bahwa ROI mungkin memainkan peran dalam patogenesis eritema nodosum . ROI berkuatan  menyebabkan kerusakan jaringan oksidatif dan memnyebabkan inflamasi.
Eritema nodosum dalam hubungan dengan sarkoidosis mungkin pathogenesis terkait dengan mengubah produksi TNF - alpha karena genetic polymorphism. Selain itu  pola sitokin proinflamasi menunjukkan peningkatan interleukin - 6 konsentrasi serum dan penyakit non infeksi yang berhubungan dengan eritema nodosum.
Gambaran Klinis
Eritema nodosum dapat terjadi pada semua usia , tetapi kebanyakan kasusmuncul antara dekade kedua dan keempat kehidupan , dengan puncak kejadian pada usia 20 dan 30 tahu , mungkin disebabkan tingginya insiden sarkoidosis di usia itu. Beberapa studi telah menunjukkan bahwa eritema nodosum terjadi 3 sampai 6 kali lebih sering pada wanita dibandingkan pada pria. Benjolan khas yang tiba-tiba, simetris , lembut , eritematosa , nodul hangat dan plak yang biasanya terletak di tulang kering , pergelangan kaki dan lutut . diameter nodul , yang berkisar dari 1 sampai 5 cm atau lebih, biasanya distribusi bilateral. Nodul dapat menjadi konfluen mengakibatkan plak eritematosa. Dalam kasus yang jarang terjadi , lesi lebih luas mungkin muncul , di paha , aspek ekstensor sampai lengan, leher , dan bahkan wajah . Pada awalnya , nodul menunjukkan warna merah terang dan diangkat sedikit di atas kulit . Dalam beberapa hari berubah menjadi datar , dengan warna merah atau keunguan marah . kemudian berubah lagi menjadi kuning atau kehijauan sering terlihat memar dalam ( " eritema contusiformis " ) . contusiform ini evolusi warna menjadi karakteristik eritema nodosum dan memungkinkan diagnosis spesifik pada lesi stadium akhir. Ulserasi tidak pernah terlihat di eritema nodosum dan nodul sembuh tanpa atrofi atau jaringan parut . Biasanya serangan akut eritema nodosum berhubungan dengan demam 38-39 ° C , kelelahan , malaise , artralgia , sakit kepala , sakit perut , muntah , batuk , atau diare . Episclera lesi dan phlyctenular konjungtivitis juga dapat menyertai lesi kulit.
Manifestasi klinis yang sering dikaitkan dengan eritema nodosum adalah limfadenopati , hepatomegali , splenomegali dan pleuritis. Benjolan umumnya berlangsung dari 3 sampai 6 minggu.  Eritema nodosum pada anak-anak memiliki durasi lebih pendek daripada pada orang dewasa . Arthralgia terlihat pada sebagian kecil pasien. Beberapa varian klinis eritema nodosum telah dijelaskan dengan nama yang berbeda, termasuk eritema migrans nodosum , subakut migrasi nodular panniculitis dari Vilanova dan Pinol dan eritema kronis nodosum.
Anomali laboratorium
Karena kemungkinan faktor etiologi dalam eritema nodosum adalah , rasional , pendekatan diagnostic yang efektif pada pasien sangat diperlukan.
Anamnesis lengkap harus ditegakkan pada semua pasien  dengan mengacu pada riwayat penyakit , obat-obatan , asing perjalanan , hewan peliharaan dan hobi , serta kasus-kasus familial . Evaluasi awal harus mencakup hitung darah lengkap , penentuan laju sedimentasi , ASO titer , urinalisis , uji cairan tenggorokan, uji tuberkulin intradermal dan dada roentgenogram . Jumlah darah putih normal atau hanya sedikit meningkat , tetapi tingkat sedimentasi eritrosit adalah sering sangat tinggi , kembali ke normal ketika benjolan memudar .
Etiologi streptokokus yaitu sampel darah harus diselidiki secara serologis dari orang- bakteri , virologi , jamur atau protozooal.  Dalam kasus-kasus yang dicurigai TB yang intradermal uji tuberkulin harus dilakukan.  Sebuah rontgen dada harus dilakukan pada semua pasien dengan eritema nodosum untuk menyingkirkan dugaan penyakit paru seperti penyebab dari proses reaktif kulit .
Histopatologi
Histopatologi , eritema nodosum adalah stereotip contoh panniculitis sebagian besar septum tanpa vaskulitis . Septa lemak subkutan selalu menebal dan menyusup oleh sel inflamasi yang meluas ke periseptal di daerah lobulus lemak . Biasanya, dangkal dan dalam perivaskular infiltrat inflammatory terutama terdiri limfosit juga terlihat di dermis atasnya . Komposisi infiltrat inflamasi pada septa bervariasi dengan usia lesi . Pada lesi awal , edema , perdarahan , dan neutrofil  bertanggung jawab untuk septal menebalan , sedangkan fibrosis , periseptal jaringan granulasi , limfosit , histiosit dan sel raksasa berinti adalah ditemuan dalam lesi tahap akhir dari eritema nodosum . Kadang-kadang , dalam lesi awal , inflamasi infiltrasi sel mungkin lebih jelas dalam lobulus lemak daripada di septa , karena sel-sel inflamasi meluas ke pinggiran lobulus lemak antara sel-sel lemak individu dalam renda - seperti mode, dan proses muncul dominan panniculitis lobular . Namun, berbeda dengan lobular otentik panniculitis , nekrosis adiposit di pusat lobulus lemak tidak terlihat .
Sebuah tanda histopatologis eritema nodosum adalah adanya granuloma radial Miescher . Pada lesi awal , granuloma radial Miescher yang muncul tersebar dalam septa dan dikelilingi oleh neutrophil. Lebih tua eritema nodosum , histiosit bergabung membentuk sel raksasa berinti , banyak yang masih tetap. Kadang-kadang granuloma radial Miescher mencolok dalam septa.
Karakteristik histopatologi lain dari eritema nodosum adalah tidak adanya vaskulitis meskipun , dalam kasus jarang, necrotizing kapal kecil vaskulitis dengan nekrosis fibrinoid dari dinding pembuluh telah dijelaskan dalam septa. Sanchez Yus et al , dalam sebuah studi histopatologi dari serangkaian 79 kasus eritema nodosum , 157 menunjukkan bahwa leukocytoclastic otentik vaskulitis biasanya tidak ada , dan hanya 18 dari 79 spesimen diungkapkan perubahan nonspesifik sedikit di beberapa terisolasi vena dan venula , sedangkan banyak yang lain yang utuh dalam tengah nodul inflamasi . Dalam histopatologi baru-baru ini studi empat kasus eritema nodosum yang penulis menggambarkan temuan yang tidak biasa yang terdiri dari lobular panniculitis dengan infiltrasi neutrophilic dan vaskulitis media ukuran arteri . Menurut pendapat kami , namun, fitur ini tidak dapat diartikan sebagai temuan histopatologi eritema nodosum dan pembuluh meradang bahwa mereka ditafsirkan sebagai arties menengah dalam media pendapat kami vena ukuran dan gambaran histopatologis ilustrasi menunjukkan temuan tromboflebitis superfisial.
Pada lesi tahap akhir dari eritema nodosum , inflamasi menyusup dalam septa yang jarang, dansecara nyata melebar ke septa dengan jaringan granulasi antara septa jaringan ikat dan lobulus lemak . sebagai eritema nodosum berevolusi , septa yang menjadi fibrosis dan diganti oleh granuloma , dan lobulus lemak menjadi semakin diganti dan dihapuskan oleh pelebaran septa , yang bahkan bisa benar-benar melenyapkan lobulus . Dalam lesi akhir mungkin sulit untuk menentukan apakah lesi adalah sebagian besar septum atau kebanyakan lobular panniculitis , karena seluruh subkutan jaringan yang dihapuskan oleh proses fibrosis dan granulomatosa . Fibrosis yang mencolok , lesi tanpa atrofi atau parut yang terlihat di septa . Lipomembranous atau panniculitis membranocystic. Pola histopatologi yang telah dijelaskan pada lesi residual dari berbagai jenis panniculitis ,juga terlihat pada lesi tahap akhir dari eritema nodosum.
Prognosis
Kebanyakan kasus eritema nodosum regresi spontan dalam 3 sampai 4 minggu. Kasus yang lebih berat membutuhkan sekitar 6 minggu . Lebih umum pada pasien dengan idiopathic eritema nodosum dan eritema nodosum terkait dengan nonstreptococcal atau streptokokus pernapasan atas Infeksi saluran . Komplikasi jarang terjadi .
Pengobatan
Pengobatan eritema nodosum harus diarahkan ke kondisi dasar yang berhubungan , jika diidentifikasi . Biasanya , nodul eritema spontan dalam beberapa minggu , dan istirahat seringkali menjadi perawatan yang telah mencukupi . aspirin dan obat antiinflamasi nonsteroid seperti oxyphenbutazone , dengan dosis 400 mg per hari , indometasin dengan dosis 100 sampai 150 mg per hari ,naproxen dengan  dosis 500 mg per hari ,mungkin bermanfaat untuk meningkatkan analgesia. Jika lesi bertahan lebih lama , kalium iodida dalam dosis 400-900 mg sehari atau larutan kalium iodida jenuh, 2 sampai 10 tetes dalam air atau jus oranye tiga kali per hari , telah dilaporkan berguna .
Mekanisme kerja kalium iodida dalam eritema nodosum tidak diketahui , tetapi tampaknya hal itu menyebabkan heparin rilis dari sel mast dan tindakan heparin untuk menekan tertundanya reaksi hipersensitivitas . Kalium iodida juga menghambat neutrofil chemotaxis. Kalium iodida merupakan kontraindikasi selama kehamilan , karena dapat menghasilkan gondok pada janin . Hipotiroidisme parah sekunder asupan eksogen iodida juga telah dijelaskan pada pasien dengan eritema nodosum diobati dengan kalium iodida kortikosteroid sistemik jarang ditunjukkan dalam eritema nodosum dan sebelum obat ini diberikan suatu mendasari infeksi harus disingkirkan 
Sistem Imun dan Respon Imun






Sistem pertahanan tubuh yang pertama dilakukan oleh jaringan epitel yang menutupi permukaan tubuh atau meliputi organ. Sistem imun merupakan pertahan lini kedua atau ketiga.
Pertahanan lapis pertama:
a. Kulit dan membran mukosa yang utuh
b. Kelenjar keringat, sebum, dan air mata mensekresi zat kimia bersifat bakterisida
c. Mukus, silia, tight junction, desmosom, sel keratin, dan lisozim di lapisan epitel
d. Rambut pada lubang hidung
e. Flora normal
Unsur-unsur yang berperan dalam reaksi imunologik:
1. Unsur selular: berasal dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi melalui 2 jalur, yaitu: a) jalur limfoid untuk pembentukan limfosit dan subsetnya, b) jalur mieloid yang membentuk selsel fagosit dan sel lainnya.
2. Organ limfoid: nodus limfatikus, nodulus limfatikus, limpa, timus, dan tonsilla. Umumnya terdiri dari jaringan ikat yang mengandung sel limfosit, makrofag, sel plasma, sel retikuloendotel, dan serabut-serabut retikuler.
3. Substansi-substansi: imunoglobulin, komplemen, dan sitokin/interleukin. Respon imun yang dibentuk dapat dibagi menjadi 2 respon imun spesifik/adaptif dan tidak spesifik/innate. Respon imun tidak spesifik sudah dimiliki secara adaptif sejak awal. Respon imun spesifik melibatkan respon imun seluler dan humoral. Contoh respon imun seluler: kulit, makrofag, sel polimorfonuklear, sel NK, dan sel T sitotoksik. Sel langsung membunuh antigen tanpa harus diaktivasi terlebih dahulu. Respon imun humoral diatur oleh sel limfosit B dan mengaktifkan antibodi.
Sistem Kekebalan Non Spesifik
Dapat mendeteksi adanya benda asing, dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya. Namun, tidak dapat mengenali benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Yang termasuk dalam sistem ini:
1. Reaksi inflamasi/peradangan
2. Protein antivirus (interferon)
3. Sel natural killer (NK cells)
4. Sistem komplemen



Sistem Kekebalan Spesifik
Unsur seluler:
1. Sel limfosit: terdiri dari limfosit B dan limfosit T. Semua limfosit dibentuk di sumsum tulang. Limfosit B kemudian akan mengalami pematangan di sumsum tulang belakang. Limfosit T akan mengalami pematangan di timus. Sumsum tulang belakang dan timus disebut organ limfoid sentral. Nodus limfatikus, nodulus limfatikus, limpa, dan tonsil adalah organ limfoid sekunder.
Limfosit B: diaktivasi jika kontak dengan antigen. Selanjutnya berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang menghasilkan antibodi.
Limfosit T:
T killer cells: langsung menghancurkan antigen melalui pembentukan perforin.
T helper cells: membantu aktivasi sel B.
T memory cells: di nodus limfatikus dan bersirkulasi; menjadi T killer cells bila diaktivasi.
T regulator: mengatur imunitas seluler dan humoral dan menghambat kerja T helper dan T killer.
T amplifier cells: di timus dan limpa; memelihara populasi sel limfosit T.
2. Sel plasma.
3. Sel NK: limfosit yang tidak mempunyai molekul penanda; reseptor untuk komplemen dan Fc reseptor; terutama untuk membunuh sel yang terinfeksi virus dan pertahanan imunologik terhadap sel kanker.
4. Sel fagosit mononuklear/APC: menghancurkan antigen dalam fagolisosom.
5. Sel polimorfonuklear: neutrofil, eosinofil, dan basofil.

Mekanisme respon imun seluler:
1.       Degradasi antigen asing (terutama pada infeksi virus) di dalam sel inang.
2.       Antigen yang terlah diproses kemudian diikatkan pada MHC di retikulum endoplasma.
3.       Kompleks antigen-MHC dibawa ke permukaan sel dengan menembus membran sitoplasma dan
kemudian dikenali oleh TCR pada permukaan sel Tc (CD8).
4.       Sel Tc memproduksi protein sitotoksik perforin dan akan membunuh sel yang terinfeksi virus.

Mekanisme respon imun humoral:
1. Antigen masuk ke dalam tubuh.
2. APC menangkap dan memproses antigen dengan fagolisosom vakuola.
3. Antigen dipotong-potong menjadi epitop dan ditangkap MHC II.
4. Makrofag akan berjalan ke nodus-nodus, masuk melalui pembuluh limfatik afferen, mencari limfosit yang sesuai.
5. Sinyal inti makrofag mengakibatkan pengeluaran IL-1 yang akan diberikan pada T helper yang
sedang menempel (limfosit masih naif).
6. T helper menghasilkan IL-2 untuk diri sendiri (agar menjadi sel efektor), sel T sitotoksik yang
memiliki TCR sesuai, dan limfosit B. IL-2 akan mengkode proliferasi dan diferensiasi.
7. Sel B berubah menjadi sel plasma (melepaskan protein permukaan IgM, memproduksi IgG)
untuk menangkap antigen. Sel T sitotoksik akan berikatan dengan makrofag dan melisiskannya. Sel efektor hanya berusia 100 hari. Sel memori akan dibentuk.

Toleransi Imun
Toleransi imun merupakan sistem imun yang tidak atau kurang dapat mengekspresikan imunitas
humoral atau seluler terhadap satu atau lebih antigen spesifik. Beberapa faktor eksogen dapat merusak
toleransi. Akibatnya dapat berbahaya; bergantung pada derajat kerusakan toleransi. Penyakit autoimun
adalah akibat hilangnya self tolerance.

Toleransi Imun Timus Secara Sentral terhadap Antigen dalam Tubuh
Limfosit berkembang dari prekursor di sumsum tulang. Sel-sel limfoid akan berdiferensiasi
menjadi limfosit B, limfosit T, dan sel NK. Di kelenjar timus, limfosit T tidak mengekspresikan
molekul koreseptor baik CD4 maupun CD8 (double negative). Sel-sel limfosit T kemudian berubah
menjadi double positive (ada CD4 dan CD8).
Tahap selanjutnya adalah seleksi positif:
a. Yang terpapar MHC I: CD8.
b. Yang terpapar MHC II: CD4.
c. Yang tidak terpapar MHC akan apoptosis.

d. Yang bereaksi dengan self antigen akan mengalami kematian sel

Source  :

Tidak ada komentar:

Posting Komentar