Skenario 2
Part 1 Block 6
Author : Cindra P
Kasus 2
Seorang
anak perempuan berusia 5 tahun dibawa oleh orang tuanya ke dokter keluarga
karena demam dan ada benjolan pada paha yang terjadi sejak 3 hari yang lalu.
Benjolan tersebut terasa nyeri . pada pemeriksaan paha kanan terdapat nodul
eritem dengan diameter 5cm, nyeri tekan, dengan punctum/ pustulasi dibagian
tengahnya. Limfonodi inguinalis teraba membesar dan multiple.
Definisi
-
Nodul eritem :
Eritema nodosum adalah suatu
peradangan yang menyebabkan terbentuknya benjolan merahyang lunak(nodul)
Dibawah kulit,paling sering ditemukan diatas tulang kering, tetapi
kadangmenyerang lengan dan bagian tubuh lainnya
-
Punctum/pustulasi : terbentuknya pus/nanah
tubuh
manusia mempunyai berbagai cara untuk melakukan proteksi. Pertahanan pertama
adalah barier mekanik, seperti kulit yang menutupi permukaan tubuh.1 Kulit termasuk
lapisan epidermis, stratum korneum, keratinosit dan lapisan basal bersifat
sebagai barier yang penting, mencegah mikroorganisme dan agen perusak potensial
lain masuk ke dalam jaringan yang lebih dalam.1,2 Misalnya asam laktat dan
substansi lain dalam keringat mengatur pH permukaan epidermis dalamsuasana asam
yang membantu mencegah kolonisasi oleh bakteri dan organisme lain. Terdapat
berbagai infeksi pada anak disertai dengan kelainan (tanda) pada kulit. Pada
beberapa kasus kelainan kulit dapat merupakan tanda penting
penyebab infeksi yang merupakan
indikator bermakna adanya infeksi yang mendasarinya. Walaupun kebanyakan penyakit
eksantema pada anak bersifat ringan, diagnosis banding penting sekali oleh
karena beberapa infeksi pada anak yang fatal sering mempunyai kelainan (tanda)
pada kulit sebagai manifestasi
awal. Dermis dengan kolagen dan
elastin memberikan dukungan dan pencegahan banyak elemen seperti saraf,
pembuluh darah, dan lain-lain sedangkan subkutis merupakan insolator panas dan
persediaan kalori.
Kekurangan kolagen akan
memudahkan terjadinya edema, terutama pada bayi prematur.
Biologi Kulit
Kulit terdiri dari tiga lapisan
utama
Epidermis
Lapisan epidermis tebalnya
relatif, bervariasi dari 75- 150m, kecuali pada telapak tangan
dan kaki lebih tebal; terdiri dari stratum korneum dan lapisan Malpighi,
terdapat desmosom, melanosit dan lain-lain.
Dermis
Ketebalan dermis bervariasi di berbagai
tempat tubuh, biasanya 1-4mm. Dermis merupakan jaringan metabolic aktif,
mengandung kolagen, elastin, sel saraf, pembuluh darah dan jaringan limfatik.
Juga terdapat kelenjar ekrin, apokrin, sebaseus di samping folikel rambut.
Subkutis
Terletak di bawah dermis, terdiri dari jaringan ikat dan lemak.
Patogenesis Kelainan Kulit karena Infeksi
Patogenesis kelainan kulit yang
ditimbulkan infeksi dapat dibagi dalam 3 kategori:
1. Mikroorganisme patogen dari
aliran darah menyebabkan infeksi sekunder pada kulit.
Kelainan
kulit pada keadaan ini dapat langsung akibat mikroorganisme patogen itu pada
epidermis, dermis, atau endotel kapiler dermis, atau dapat disebabkan respons
imun antara organisme dan antibodi atau faktor selular pada kulit.
Sel yang berperan dalam SALT
- Keratinosit : Sekresi sitokin
Sekresi
IL-1 dan melepaskannya ke daerah yang mengalami kerusakan
Melepaskan mediator
Memproses antigen dan mempresentasikan
- Sel Langerhans : Memproses antigen
Mempresentasikan
antigen ke sel T helper
Melepaskan mediator
- Dendrosit kulit : Memproses dan mempresentasikan antigen
- Makrofag kulit : Memproses dan mempresentasikan antigen
Fagositosis
Melepaskan mediator
- Sel vailed : Transport
antigen ke kelenjar limfe
- Sel T gamma/delta : Memulai respons imun non-spesifik
Mempresentasikan antigen ke sel T supresor (?)
- Limfosit : Respons imun selular
Mengontrol dan mengatur respons imun dan inflamasi
Sekresi
limfokin
Bersifat sitotoksik
- Leukosit PMN : Fagositosis
Melepaskan mediator
- Sel mast : Aktivitas anafilaksis
Melepaskan mediator
- Cairan jaringan :
Penghantar antibodi
Sel
endotel Permeabilitas pembuluh darah
Entrapment
limfosit
Tahap
pertama pertahanan adalah mekanisme antibakteri yang tidak tergantung dari
pengenalan antigen. Kulit dan permukaan epitel mempunyai system non-spesifik
atau innate
protective system yang
membatasi masuknya organisme invasif. Asam lemak yang dihasilkan kulit juga
bersifat toksik terhadap banyak organisme. Kulit merupakan barier fisik yang
dapat mempertahankan tubuh dari agen patogen. Apabila terdapat kerusakan kulit,
maka kulit akan mempertahankan tubuh dengan proses imunologik yang cepat
terhadap agen patogen tersebut dan mengeluarkan microorganism tersebut dari
epidermis dan dermis. Sistem imun berkembang dengan fungsi yang khusus dan
bekerja pada kulit. Sel Langerhans, dendrosit kulit, sel endotel, keratinosit
dan sel lainnya semuanya ikut berpartisipasi dalam skin associated lymphoid tissue (SALT) yang mempunyai sistem
imun pada kulit. Ketika mikroorganisme menembus barrier kulit akan merangsang
respons imun. Kulit seperti halnya organ lain akan merusak mikroorganisme
tersebut dan mengeliminasi antigen. Varisela, infeksi enterovirus dan meningococcemia merupakan contoh mikroorganisme
sampai ke kulit melalui aliran darah dan menyebabkan kelainan pada kulit tanpa
kontribusi faktor imun pejamu. Pada penyakit seperti morbili, rubela dan gonococcemia sukarnya mikroorganisme
ditemukan pada kultur menandakan kemungkinan efek langsung
atau peranan respons
imun (immune-mediated response).
Sitokin
yang Dihasilkan Keratinosit
·
Interleukin : IL-1
IL-3
IL-6
IL-7
IL-8
IL-10
IL-12
·
Colony-stimulating
factor : GM CSF
G-CSF
M-CSF
·
Lain-lain :
Asetilkolin
TGFa
TGFb
TNFa
IP-10, dll
2. Penyebaran toksin spesifik yang
berasal dari mikroorganisme patogen menyebabkan kelainan pada kulit.
Infeksi
mikroorganisme pada daerah lokal, namun toksin yang dibebaskan mencapai kulit
melalui aliran darah. Seperti diketahui bakteri mempunyai banyak antigen
permukaan yang berbeda dan mengeluarkan bermacam-macam faktor virulen (misalnya
toksin) yang dapat merangsang respons imun.
3. Penyakit sistemik menimbulkan
kelainan kulit karena proses imunologik.
Umumnya
tidak dapat diidentifikasi baik lokasi antigen ataupun toksin yang dibebaskan.
Kelainan kulit yang terpenting pada kategori ini adalah eritema nodosum dan
eritema multiforme.
Proses terjadinya respons
imun
Antigen
terikat pada sel yang dapat mempresentasikan antigen seperti sel Langerhans,
makrofag dan dendrosit dermis. Sel tersebut akan memproses antigen dan
mempresentasikan fragmen antigen kepada limfosit spesifik.6 Dalam keadaan
normal sejumlah kecil limfosit akan melalui dermis di luar pembuluh darah.
Limfosit kemudian akan membentuk sel inflamasi perivaskular. Banyak ahli
imunologis berpendapat bahwa populasi limfosit di kulit dilengkapi oleh suatu
program untuk beraksi dengan antigen yang sebelumnya telah pernah kontak dengan
kulit. Sirkulasi limfosit dari kulit ke kelenjar limfe kembali ke kulit disebut
homing. Limfosit homing masuk ke dalam kulit yang tidak
mengalami inflamasi untuk mencari adanya antigen. Bila ada antigen, limfosit
akan mengaktivasi sel endotel gepeng untuk mengumpulkan limfosit lain sebagai
bagian dari reaksi inflamasi yang ditimbulkannya. Bila limfosit spesifik yang
telah tersentisisasi bereaksi dengan antigen, respons imun dapat timbul.
Kurang
lebih 5% dari limfosit di dermis pada reaksi imun yang diperantarai oleh sel
adalah limfosit yangsecara spesifik bereaksi terhadap antigen. Limfosit
tambahan dapat dikumpulkan ke area tersebut oleh limfokin yang dikeluarkan oleh
limfosit spesifik sebagai respons terhadap adanya antigen. Respons imun dapat
pula ditimbulkan di epidermis. Sel T masuk ke dalam epidermis dari dermis. Agar
hal ini dapat terjadi sel T harus melewati daerah membran basalis dan menembus
keratinosit. Substansi mediator seperti IL-8 dianggap berperan terhadap
penarikan limfosit ke dalam epidermis. Keratinosit memproduksi IL-8 terutama
bila dirangsang oleh gamma-interferon. Bila telah terdapat dalam epidermis,
limfosit dapat diaktivasi oleh sel Langerhans. Keadaan ini dapat memperkuat
respons imun dan membantu eliminasi antigen atau menghancurkan sel yang
terinfeksi. Sejumlah sel helper dan sel supresor pada infiltrat akan mengatur
proses inflamasi yang terjadi.
Nodul Eritema
Eritema
nodosum adalah klinikopatologi yang paling sering terjadi dari varian
panniculitis. Gangguan ini biasanya menunjukkan onset akut dan secara klinis
ditandai dengan tiba-tiba adanya nodul eritematosa lembut dan plak yang
terletak terutama di atas aspek ekstensor yang lebih rendah ekstremitas. Lesi
menunjukkan regresi spontan, tanpa ulserasi, jaringan parut, atau atrofi.
Eritema nodosum adalah proses reaktif kulit yang mungkin dipicu oleh berbagai
rangsangan, karena infeksi, sarkoidosis, rematologi penyakit, penyakit radang
usus, obat-obatan, autoinmune gangguan, kehamilan, dan keganasan yang paling
umum kondisi terkait.
Etiologi
Eritema
nodosum dapat berhubungan dengan berbagai macam
proses penyakit, dan observasi yang harus selalu diikuti dengan mencari
etiologi yang mendasari. Sebuah tinjauan dari literatur menunjukkan bahwa
faktor etiologi yang dapat menyebabkan eritema nodosum bervariasi, seperti
infeksi, obat-obatan, penyakit ganas, dan berbagai kelompok lain-lain. Meskipun
ada cukup variasi geografis yang terkait dengan infeksi endemik, infeksi
streptokokus adalah yang paling sering.
Hubungan
antara Infeksi saluran pernapasan oleh kelompok A streptokokus beta hemolitik
dan eritema nodosum sering terjadi terutama di anak-anak dan dewasa muda .
Biasanya , lesi kulit muncul 2 atau 3 minggu setelah infeksi tenggorokan , dan
disertai dengan elevasi antistreptolysin O ( ASO )titer . Sebuah tes positif
terhadap antigen streptokokus intradermal yang sering ditemukan pada pasien
dengan eritema nodosum sekunder infeksi streptokokus , meskipun ketika nodul
kulit berkembang , namun tidak dapat mendeteksi microorganisms pada cairan
tenggorokan.
Tuberkulosis
sekarang menjadi faktor etiologi bagi eritema nodosum di eropa selatan.
Kasus-kasus ini terlihat terutama pada anak-anak dan lesi kulit biasanya
menunjukkan infeksi paru primer, yang bersamaan dengan konversi test.
Tuberculin
merupakan obat yang sering sebagai penyebab eritema nodosum . Sulfonamid ,
bromida , dan kontrasepsi oral pil telah lama dikenal sebagai obat yang paling
umum menyebabkan eritema nodosum akut.
Dalam beberapa tahun ini , jumlah hormon dalam pil kontrasepsi memiliki telah
diturunkan dan eritema nodosum sekunder terhadap obat menjadi jarang terjadi .
Dalam kasus-kasus di mana pasien menderita eritema nodosum kadang menggunakan
antibiotik untuk penyakit menular sehingga sulit untuk membedakan apakah reaksi
kulit adalah karena antiobiotic atau agen infeksi .
Sarkoidosis
merupakan salah satu etiologi yang paling umum terjadi pada pasien dewasa
dengan nodosum eritema sekunder. Di beberapa negara , khususnya di bagian utara
Eropa , eritema nodosum dan adenopati hilus bilateral sering dipandang sebagai
manifestasi awal sarkoidosis ( Lofgren sindrom ). Namun , eritema nodosum dan hilus bilateral
adenopati tidak eksklusif sarkoidosis , dan telah dikaitkan dengan limfoma ,
tuberkulosis , infeksi streptokokus , coccidioidomycosis , histoplasmosis , dan
infeksi akut oleh Chlamydia pneumoniae .
Patogenesis
Eritema
nodosum dianggap hipersensitivitas respon terhadap berbagai faktor .
variabilitas kemungkinan rangsangan antigenik yang dapat menyebabkan eritema
nodosum menunjukkan bahwa gangguan ini merupakan proses reaktif kulit dan bahwa
kulit memiliki respon terbatas terhadap infeksi agen yang berbeda . Eritema
nodosum mungkin hasil dari pembentukan kompleks imun dan deposisi di sekitar
venula dari septa jaringan ikat subkutan yang mengandung lemak . telah tercatat
bahwa pada pasien dengan eritema nodosum terdapat immunocomplexes dan complex activation.
Lesi awal
eritema nodosum adalah histopatologi yang ditandai dengan infiltrat inflamasi
neutrofil melibatkan septa dari jaringan subkutan . Penelitian terbaru telah
menunjukkan bahwa pasien yang menderita eritema nodosum memiliki persentase
lebih tinggi empat kali lipat dari reaktif intermediet oksigen ( ROI ) yang
diproduksi oleh neutrofil aktif dalam darah perifer dibandingkan orang yang
sehat . Selain itu , persentase sel yang memproduksi ROI pasien dengan eritema
nodosum berkorelasi dengan tingkat keparahan . Data ini mendukung fakta bahwa
ROI mungkin memainkan peran dalam patogenesis eritema nodosum . ROI
berkuatan menyebabkan kerusakan jaringan
oksidatif dan memnyebabkan inflamasi.
Eritema
nodosum dalam hubungan dengan sarkoidosis mungkin pathogenesis terkait dengan
mengubah produksi TNF - alpha karena genetic polymorphism. Selain itu pola sitokin proinflamasi menunjukkan
peningkatan interleukin - 6 konsentrasi serum dan penyakit non infeksi yang berhubungan
dengan eritema nodosum.
Gambaran Klinis
Eritema
nodosum dapat terjadi pada semua usia , tetapi kebanyakan kasusmuncul antara
dekade kedua dan keempat kehidupan , dengan puncak kejadian pada usia 20 dan 30
tahu , mungkin disebabkan tingginya insiden sarkoidosis di usia itu. Beberapa
studi telah menunjukkan bahwa eritema nodosum terjadi 3 sampai 6 kali lebih
sering pada wanita dibandingkan pada pria. Benjolan khas yang tiba-tiba,
simetris , lembut , eritematosa , nodul hangat dan plak yang biasanya terletak
di tulang kering , pergelangan kaki dan lutut . diameter nodul , yang berkisar
dari 1 sampai 5 cm atau lebih, biasanya distribusi bilateral. Nodul dapat
menjadi konfluen mengakibatkan plak eritematosa. Dalam kasus yang jarang
terjadi , lesi lebih luas mungkin muncul , di paha , aspek ekstensor sampai
lengan, leher , dan bahkan wajah . Pada awalnya , nodul menunjukkan warna merah
terang dan diangkat sedikit di atas kulit . Dalam beberapa hari berubah menjadi
datar , dengan warna merah atau keunguan marah . kemudian berubah lagi menjadi
kuning atau kehijauan sering terlihat memar dalam ( " eritema
contusiformis " ) . contusiform ini evolusi warna menjadi karakteristik
eritema nodosum dan memungkinkan diagnosis spesifik pada lesi stadium akhir.
Ulserasi tidak pernah terlihat di eritema nodosum dan nodul sembuh tanpa atrofi
atau jaringan parut . Biasanya serangan akut eritema nodosum berhubungan dengan
demam 38-39 ° C , kelelahan , malaise , artralgia , sakit kepala , sakit perut
, muntah , batuk , atau diare . Episclera lesi dan phlyctenular konjungtivitis
juga dapat menyertai lesi kulit.
Manifestasi
klinis yang sering dikaitkan dengan eritema nodosum adalah limfadenopati ,
hepatomegali , splenomegali dan pleuritis. Benjolan umumnya berlangsung dari 3
sampai 6 minggu. Eritema nodosum pada
anak-anak memiliki durasi lebih pendek daripada pada orang dewasa . Arthralgia
terlihat pada sebagian kecil pasien. Beberapa varian klinis eritema nodosum
telah dijelaskan dengan nama yang berbeda, termasuk eritema migrans nodosum ,
subakut migrasi nodular panniculitis dari Vilanova dan Pinol dan eritema kronis
nodosum.
Anomali
laboratorium
Karena
kemungkinan faktor etiologi dalam eritema nodosum adalah , rasional ,
pendekatan diagnostic yang efektif pada pasien sangat diperlukan.
Anamnesis
lengkap harus ditegakkan pada semua pasien
dengan mengacu pada riwayat penyakit , obat-obatan , asing perjalanan ,
hewan peliharaan dan hobi , serta kasus-kasus familial . Evaluasi awal harus
mencakup hitung darah lengkap , penentuan laju sedimentasi , ASO titer ,
urinalisis , uji cairan tenggorokan, uji tuberkulin intradermal dan dada
roentgenogram . Jumlah darah putih normal atau hanya sedikit meningkat , tetapi
tingkat sedimentasi eritrosit adalah sering sangat tinggi , kembali ke normal
ketika benjolan memudar .
Etiologi
streptokokus yaitu sampel darah harus diselidiki secara serologis dari orang-
bakteri , virologi , jamur atau protozooal.
Dalam kasus-kasus yang dicurigai TB yang intradermal uji tuberkulin
harus dilakukan. Sebuah rontgen dada
harus dilakukan pada semua pasien dengan eritema nodosum untuk menyingkirkan
dugaan penyakit paru seperti penyebab dari proses reaktif kulit .
Histopatologi
Histopatologi
, eritema nodosum adalah stereotip contoh panniculitis sebagian besar septum
tanpa vaskulitis . Septa lemak subkutan selalu menebal dan menyusup oleh sel
inflamasi yang meluas ke periseptal di daerah lobulus lemak . Biasanya, dangkal
dan dalam perivaskular infiltrat inflammatory terutama terdiri limfosit juga
terlihat di dermis atasnya . Komposisi infiltrat inflamasi pada septa
bervariasi dengan usia lesi . Pada lesi awal , edema , perdarahan , dan
neutrofil bertanggung jawab untuk septal
menebalan , sedangkan fibrosis , periseptal jaringan granulasi , limfosit ,
histiosit dan sel raksasa berinti adalah ditemuan dalam lesi tahap akhir dari
eritema nodosum . Kadang-kadang , dalam lesi awal , inflamasi infiltrasi sel
mungkin lebih jelas dalam lobulus lemak daripada di septa , karena sel-sel
inflamasi meluas ke pinggiran lobulus lemak antara sel-sel lemak individu dalam
renda - seperti mode, dan proses muncul dominan panniculitis lobular . Namun,
berbeda dengan lobular otentik panniculitis , nekrosis adiposit di pusat
lobulus lemak tidak terlihat .
Sebuah tanda histopatologis eritema
nodosum adalah adanya granuloma radial Miescher . Pada lesi awal , granuloma
radial Miescher yang muncul tersebar dalam septa dan dikelilingi oleh
neutrophil. Lebih tua eritema nodosum , histiosit bergabung membentuk sel
raksasa berinti , banyak yang masih tetap. Kadang-kadang granuloma radial
Miescher mencolok dalam septa.
Karakteristik
histopatologi lain dari eritema nodosum adalah tidak adanya vaskulitis meskipun
, dalam kasus jarang, necrotizing kapal kecil vaskulitis dengan nekrosis
fibrinoid dari dinding pembuluh telah dijelaskan dalam septa. Sanchez Yus et al
, dalam sebuah studi histopatologi dari serangkaian 79 kasus eritema nodosum ,
157 menunjukkan bahwa leukocytoclastic otentik vaskulitis biasanya tidak ada ,
dan hanya 18 dari 79 spesimen diungkapkan perubahan nonspesifik sedikit di
beberapa terisolasi vena dan venula , sedangkan banyak yang lain yang utuh
dalam tengah nodul inflamasi . Dalam histopatologi baru-baru ini studi empat
kasus eritema nodosum yang penulis menggambarkan temuan yang tidak biasa yang
terdiri dari lobular panniculitis dengan infiltrasi neutrophilic dan vaskulitis
media ukuran arteri . Menurut pendapat kami , namun, fitur ini tidak dapat
diartikan sebagai temuan histopatologi eritema nodosum dan pembuluh meradang
bahwa mereka ditafsirkan sebagai arties menengah dalam media pendapat kami vena
ukuran dan gambaran histopatologis ilustrasi menunjukkan temuan tromboflebitis
superfisial.
Pada lesi
tahap akhir dari eritema nodosum , inflamasi menyusup dalam septa yang jarang,
dansecara nyata melebar ke septa dengan jaringan granulasi antara septa
jaringan ikat dan lobulus lemak . sebagai eritema nodosum berevolusi , septa
yang menjadi fibrosis dan diganti oleh granuloma , dan lobulus lemak menjadi
semakin diganti dan dihapuskan oleh pelebaran septa , yang bahkan bisa
benar-benar melenyapkan lobulus . Dalam lesi akhir mungkin sulit untuk
menentukan apakah lesi adalah sebagian besar septum atau kebanyakan lobular
panniculitis , karena seluruh subkutan jaringan yang dihapuskan oleh proses
fibrosis dan granulomatosa . Fibrosis yang mencolok , lesi tanpa atrofi atau
parut yang terlihat di septa . Lipomembranous atau panniculitis membranocystic.
Pola histopatologi yang telah dijelaskan pada lesi residual dari berbagai jenis
panniculitis ,juga terlihat pada lesi tahap akhir dari eritema nodosum.
Prognosis
Kebanyakan
kasus eritema nodosum regresi spontan dalam 3 sampai 4 minggu. Kasus yang lebih
berat membutuhkan sekitar 6 minggu . Lebih umum pada pasien dengan idiopathic
eritema nodosum dan eritema nodosum terkait dengan nonstreptococcal atau
streptokokus pernapasan atas Infeksi saluran . Komplikasi jarang terjadi .
Pengobatan
Pengobatan
eritema nodosum harus diarahkan ke kondisi dasar yang berhubungan , jika
diidentifikasi . Biasanya , nodul eritema spontan dalam beberapa minggu , dan
istirahat seringkali menjadi perawatan yang telah mencukupi . aspirin dan obat
antiinflamasi nonsteroid seperti oxyphenbutazone , dengan dosis 400 mg per hari
, indometasin dengan dosis 100 sampai 150 mg per hari ,naproxen dengan dosis 500 mg per hari ,mungkin bermanfaat
untuk meningkatkan analgesia. Jika lesi bertahan lebih lama , kalium iodida
dalam dosis 400-900 mg sehari atau larutan kalium iodida jenuh, 2 sampai 10
tetes dalam air atau jus oranye tiga kali per hari , telah dilaporkan berguna .
Mekanisme
kerja kalium iodida dalam eritema nodosum tidak diketahui , tetapi tampaknya
hal itu menyebabkan heparin rilis dari sel mast dan tindakan heparin untuk
menekan tertundanya reaksi hipersensitivitas . Kalium iodida juga menghambat
neutrofil chemotaxis. Kalium iodida merupakan kontraindikasi selama kehamilan ,
karena dapat menghasilkan gondok pada janin . Hipotiroidisme parah sekunder
asupan eksogen iodida juga telah dijelaskan pada pasien dengan eritema nodosum
diobati dengan kalium iodida kortikosteroid sistemik jarang ditunjukkan dalam
eritema nodosum dan sebelum obat ini diberikan suatu mendasari infeksi harus
disingkirkan
Sistem Imun dan Respon Imun
Sistem pertahanan tubuh yang pertama dilakukan
oleh jaringan epitel yang menutupi permukaan tubuh atau meliputi organ. Sistem
imun merupakan pertahan lini kedua atau ketiga.
Pertahanan
lapis pertama:
a. Kulit dan membran
mukosa yang utuh
b. Kelenjar keringat,
sebum, dan air mata mensekresi zat kimia bersifat bakterisida
c. Mukus, silia, tight
junction, desmosom, sel keratin, dan lisozim di
lapisan epitel
d. Rambut pada lubang
hidung
e. Flora normal
Unsur-unsur
yang berperan dalam reaksi imunologik:
1.
Unsur selular: berasal dari sel induk pluripoten yang berdiferensiasi melalui 2
jalur, yaitu: a) jalur limfoid untuk pembentukan limfosit dan subsetnya, b)
jalur mieloid yang membentuk selsel fagosit dan sel lainnya.
2.
Organ limfoid: nodus limfatikus, nodulus limfatikus, limpa, timus, dan tonsilla.
Umumnya terdiri dari jaringan ikat yang mengandung sel limfosit, makrofag, sel
plasma, sel retikuloendotel, dan serabut-serabut retikuler.
3.
Substansi-substansi: imunoglobulin, komplemen, dan sitokin/interleukin. Respon
imun yang dibentuk dapat dibagi menjadi 2 respon imun spesifik/adaptif dan
tidak spesifik/innate.
Respon imun tidak spesifik sudah dimiliki secara adaptif sejak awal. Respon
imun spesifik melibatkan respon imun seluler dan humoral. Contoh respon imun
seluler: kulit, makrofag, sel polimorfonuklear, sel NK, dan sel T sitotoksik.
Sel langsung membunuh antigen tanpa harus diaktivasi terlebih dahulu. Respon
imun humoral diatur oleh sel limfosit B dan mengaktifkan antibodi.
Sistem
Kekebalan Non Spesifik
Dapat
mendeteksi adanya benda asing, dan melindungi tubuh dari kerusakan yang diakibatkannya.
Namun, tidak dapat mengenali benda asing yang masuk ke dalam tubuh.
Yang termasuk dalam
sistem ini:
1.
Reaksi inflamasi/peradangan
2.
Protein antivirus (interferon)
3.
Sel natural killer (NK cells)
4.
Sistem komplemen
Sistem
Kekebalan Spesifik
Unsur seluler:
1.
Sel limfosit: terdiri dari limfosit B dan limfosit T. Semua limfosit dibentuk
di sumsum tulang. Limfosit B kemudian akan mengalami pematangan di sumsum
tulang belakang. Limfosit T akan mengalami pematangan di timus. Sumsum tulang
belakang dan timus disebut organ limfoid sentral. Nodus limfatikus, nodulus
limfatikus, limpa, dan tonsil adalah organ limfoid sekunder.
Limfosit B: diaktivasi jika kontak dengan
antigen. Selanjutnya berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel plasma yang
menghasilkan antibodi.
Limfosit T:
T killer
cells: langsung menghancurkan antigen
melalui pembentukan perforin.
T helper
cells: membantu aktivasi sel B.
T memory cells:
di nodus limfatikus dan bersirkulasi; menjadi T killer cells bila diaktivasi.
T regulator: mengatur imunitas seluler
dan humoral dan menghambat kerja T helper dan
T killer.
T amplifier cells: di
timus dan limpa; memelihara populasi sel limfosit T.
2.
Sel plasma.
3.
Sel NK: limfosit yang tidak mempunyai molekul penanda; reseptor untuk komplemen
dan Fc reseptor; terutama untuk membunuh sel yang terinfeksi virus dan
pertahanan imunologik terhadap sel kanker.
4.
Sel fagosit mononuklear/APC: menghancurkan antigen dalam fagolisosom.
5.
Sel polimorfonuklear: neutrofil, eosinofil, dan basofil.
Mekanisme respon imun seluler:
1.
Degradasi antigen asing (terutama pada
infeksi virus) di dalam sel inang.
2.
Antigen yang terlah diproses kemudian
diikatkan pada MHC di retikulum endoplasma.
3.
Kompleks antigen-MHC dibawa ke
permukaan sel dengan menembus membran sitoplasma dan
kemudian
dikenali oleh TCR pada permukaan sel Tc (CD8).
4.
Sel Tc memproduksi protein sitotoksik
perforin dan akan membunuh sel yang terinfeksi virus.
Mekanisme respon imun humoral:
1. Antigen masuk ke dalam tubuh.
2. APC menangkap dan memproses antigen
dengan fagolisosom vakuola.
3. Antigen dipotong-potong menjadi
epitop dan ditangkap MHC II.
4. Makrofag akan
berjalan ke nodus-nodus, masuk melalui pembuluh limfatik afferen, mencari limfosit
yang sesuai.
5. Sinyal inti
makrofag mengakibatkan pengeluaran IL-1 yang akan diberikan pada T helper
yang
sedang menempel (limfosit masih naif).
6. T helper menghasilkan IL-2 untuk
diri sendiri (agar menjadi sel efektor), sel T sitotoksik yang
memiliki TCR sesuai, dan limfosit B.
IL-2 akan mengkode proliferasi dan diferensiasi.
7. Sel B berubah menjadi sel plasma
(melepaskan protein permukaan IgM, memproduksi IgG)
untuk menangkap
antigen. Sel T sitotoksik akan berikatan dengan makrofag dan melisiskannya. Sel
efektor hanya berusia 100 hari. Sel memori akan dibentuk.
Toleransi
Imun
Toleransi imun merupakan sistem imun
yang tidak atau kurang dapat mengekspresikan imunitas
humoral
atau seluler terhadap satu atau lebih antigen spesifik. Beberapa faktor eksogen
dapat merusak
toleransi.
Akibatnya dapat berbahaya; bergantung pada derajat kerusakan toleransi.
Penyakit autoimun
adalah
akibat hilangnya self tolerance.
Toleransi
Imun Timus Secara Sentral terhadap Antigen dalam Tubuh
Limfosit berkembang dari prekursor di
sumsum tulang. Sel-sel limfoid akan berdiferensiasi
menjadi
limfosit B, limfosit T, dan sel NK. Di kelenjar timus, limfosit T tidak
mengekspresikan
molekul
koreseptor baik CD4 maupun CD8 (double
negative). Sel-sel limfosit T kemudian berubah
menjadi
double positive (ada CD4 dan CD8).
Tahap
selanjutnya adalah seleksi positif:
a.
Yang terpapar MHC I: CD8.
b.
Yang terpapar MHC II: CD4.
c.
Yang tidak terpapar MHC akan apoptosis.
d.
Yang bereaksi dengan self antigen akan mengalami kematian sel
Source :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar