SKENARIO 1 BLOK 12
author : fida
Mata merah dapat timbul akibat
pelebaran pembuluh darah yang menyebabkan terjadinya warna kemerahan pada
permukaan bola mata.
Derajat kemerahan pada mata
biasanya tidak berhubungan dengan keparahan suatu penyakit mata yang diderita.
Yang perlu diperhatikan adalah keluhan yang menyertai mata merah tersebut,
misalnya jika disertai keluhan sakit kepala, mual, muntah, ataupun gangguan
penglihatan.
MATA MERAH DENGAN PENGLIHATAN NORMAL
· Konjungtivitis
Suatu inflamasi atau peradangan pada
konjungtiva. Gejala yang timbul berupa mata merah, gatal, berair/belekan,
terasa mengganjal.
· Blefaritis
Peradangan pada kelopak mata serta
bulu mata yang umumnya disebabkan oleh infeksi bakteri.
Gejalanya berupa kemerahan pada
kelopak mata disertai gatal, sehingga mirip dengan reaksi
alergi. Biasanya terdapat kotoran
(krusta) yang menempel pada bulu mata.
· Perdarahan Konjungtiva
Bisa terjadi akibat suatu trauma
(tumpul), batuk/bersin yang keras, pada pemakaian obat pengencer darah, atau
tanpa sebab yang jelas (spontan). Mata akan terlihat merah dan gradasinya
sangat tergantung dari luasnya perdarahan.
MATA MERAH DENGAN PENGLIHATAN
TERGANGGU/MENURUN
· Borok Kornea
Peradangan pada kornea yang
disebabkan oleh infeksi yang umumnya didahului luka. Kelainan ini merupakan
penyebab kebutaan ketiga terbanyak di Indonesia. Gejalanya, mata merah dengan
penurunan penglihatan (buram) dan tampak lesi atau kekeruhan di kornea.
· Uveitis
Peradangan pada jaringan uvea akibat
infeksi, trauma, keganasan, atau proses autoimun. Gejalanya berupa mata merah
disertai sakit; silau dengan derajat penurunan penglihatan (buram) yang
bervariasi dari ringan sampai berat.
· Glaukoma Akut
Peningkatan tekanan bola mata yang
terjadi secara mendadak. Bisa terjadi karena mempunyai bakat bawaan glaukoma,
atau timbul sebagai komplikasi penyakit mata lain. Gejalanya berupa sakit hebat
di mata yang bersifat mendadak dan dapat menjalar ke kepala; dapat disertai
rasa mual dan kadang-kadang muntah; penglihatan buram yang sering diawali
seperti melihat gambaran pelangi di sekitar sumber cahaya.
· Endoftalmitis
Infeksi di dalam bola mata umumnya
melibatkan mata secara keseluruhan yang didahului oleh trauma tembus/ tajam
pada bola mata, ulkus kornea yang perforasi, ataupun riwayat operasi mata
sebelumketerangan nya. Gejalanya berupa mata merah, sakit, bengkak dan nyeri,
disertai dengan penglihatan yang sangat menurun.
DEFINISI KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis adalah proses inflamasi
akibat infeksi atau non-infeksi pada konjungtiva yang ditandai dengan dilatasi vaskular,
infiltrasi seluler, dan eksudasi.1,2 Berdasarkan waktu,
konjungtivitis dibedakan menjadi:
1. Konjungtivitis
akut: awitan terpisah yang diawali dengan inflamasi unilateral, kemudian
diikuti dengan inflamasi mata kedua seminggu kemudian. Lama sakit adalah kurang
dari empat minggu.
2. Konjungtivitis
kronik: lama sakit lebih dari tiga sampai empat minggu.2
ETIOLOGI KONJUNGTIVITIS
Sama halnya dengan kornea, konjungtiva
terpajan dengan lingkungan luar seperti mikroorganisme dan faktor stress.1
Permukaan konjungtiva tidak steril karena dihuni oleh flora normal. Untuk itu,
terdapat mekanisme defensi alamiah seperti komponen aqueous yang melarutkan
agen infeksius, mukus yang menangkap debris, kedipan mata, perfusi yang baik,
dan aliran air mata yang membilas konjungtiva. Air mata sendiri mengandung
antibodi dan antibakterial yaitu immunoglobulin (IgA dan IgG), lisozim, dan
interferon.1,3 Inflamasi
dapat terjadi dengan kontak langsung dengan patogen melalui tangan yang
terkontaminasi, handuk, atau kolam renang. Secara garis besar, penyebab
konjungtivitis adalah endogen (non-infeksius) atau eksogen (infeksius).
Infeksius
·
Bakterial
·
Klamidia
·
Viral
·
Riketsia
·
Parasitik
Non-infeksius
·
Alergi
·
Autoimun
·
Toksik (kimia atau
iritan)
·
Penyakit sistemik
seperti sindrom Steven-Johnson
·
Iritasi persisten
akibat produksi air mata yang kurang.2
EPIDEMIOLOGI
KONJUNGTIVITIS
Konjungtivitis adalah penyakit mata
paling sering di dunia yang dapat terjadi pada berbagai usia.1 Akan
tetapi, terdapat beberapa bentuk konjungtivitis tertentu yang terjadi pada
kelompok usia tertentu. Pada anak, sering terjadi keratokonjungtivitis vernal,
sedangkan keratokonjungtivitis atopik dan alergika sering terjadi pada dewasa
muda. Sekitar 1-3% pengguna kontak
lensa terkena konjungtivitis papiler raksasa dan 10% neonatus mengalami
konjungtivitis dengan berbagai penyebab. Konjungtivitis infeksius mengenai
perempuan dan laki-laki dengan insidens yang sama. Namun, konjungtivitis sicca
lebih sering terjadi pada perempuan. Sebaliknya, keratokonjungtivitis vernal
dan konjungtivitis akibat kimia dan mekanik lebih sering terjadi pada pria.2
Gejala dan Tanda
Konjungtivitis
Umumnya, konjungtivitis mengenai kedua
mata dengan derajat keparahan yang berbeda. Gejala konjungtivitis adalah mata
merah dengan produksi sekret yang berlebih sehingga mata terasa lengket pada
pagi hari setelah bangun tidur. Selain itu, pasien dapat mengalami sensasi
benda asing, terbakar, atau gatal, serta fotofobia. Rasa nyeri yang muncul biasanya menandakan
kornea juga terkena. Gejala yang dirasakan oleh pasien dapat bervariasi. Oleh
karena itu, penting untuk mengenali tanda dari konjungtivitis berupa:
·
Hiperemia: mata tampak
merah akibat dilatasi pembuluh darah. Jika tanpa disertai infiltrasi seluler,
menandai iritasi seperti angin, matahari, dan asap.
·
Epifora: lakrimasi
yang berlebihan sebagai respons terhadap sensasi benda asing dan iritan yang
harus dibedakan dengan transudat. Transudat ringan yang timbul akibat pelebaran
pembuluh darah dapat bercampur dengan air mata.
·
Eksudasi: kuantitas
dan sifat eksudar (mukoid, purulen, berair, atau berdarah) bergantung dengan
etiologi penyakit.
·
Pseudoptosis: jatuhnya
kelopak bola mata karena infiltrasi pada otot Muller yang dapat ditemukan pada
konjungtivitis parah seperti keratokonjungtivitis trakoma.
·
Hipertrofi papiler:
reaksi konjungtiva yang tidak spesifik
berupa papil berukuran kecil, halus, dan seperti beludru. Papil berwarna
kemerahan pada infeksi bacterial, sedangkan bentuk cobblestone ditemui pada konjungtivitis vernal.
·
Kemosis: pembengkakan
konjungtiva yang sering ditemukan pada konjungtivitis alergika, bakterial
(konjungtivitis gonokokus), dan adenoviral.
·
Folikel: hiperplasia
limfoid lokal konjungtiva yang terdiri dari sentrum germinativum yang paling
sering ditemukan pada infeksi virus. Selain infeksi virus, ditemui pula pada
infeksi parasit dan yang diinduksi oleh obat idoxuridine, dipivefrin, dan
miotik.
·
Pseudomembran:
terbentuk akibat proses eksudatif dimana epitel tetap intak ketika
pseudomembran dibuang.
·
Konjungtiva lignose:
terbentuk pada pasien yang mengalami konjungtivitis membranosa berulang.
·
Flikten: diawali
dengan perivaskulitis limfositik yang kemudian berkembang menjadi ulkus
konjungtiva. Selain itu, flikten menandakan reaksi delayed hipersensitivitas terhadap antigen microbial.
·
Limfadenopati
preaurikular: pembesaran kelenjar getah bening yang dapat disertai rasa nyeri
pada infeksi akibat herpes simpleks, konjungtivitis inklusi, atau trakoma.1,2,3
Tanda Konjungtvitis3
Mata
tampak merah dengan dilatasi pembuluh darah konjungtiva yang difus (injeksi
konjungtiva).
A. KONJUNGTIVITIS
BAKTERIAL
a) Tanda dan Gejala
Dua bentuk konjungtivitis bakterial
adalah akut dan kronik. Konjungtivitis bacterial akut (subakut) yang disebabkan
oleh Haemophilus influenza bersifat
self-limited dengan lama sakit melebihi dua minggu (tanpa pengobatan)
dan eksudat tipis, berair, serta flokulen.
Konjungtivitis purulen yang disebabkan oleh Neisseria
gonorrhoeae atau Neisseria meningitidis menyebabkan komplikasi yang
serius jika tidak diobati dengan benar.
Konjungtivitis bilateral dengan
eksudat purulen dan biasanya pembengkakan kelopak mata. Umumnya, infeksi
bersifat unilateral pada mulanya kemudian mengenai mata yang lain melalui
tangan. Konjungtivitis purulen yang banyak dapat disebabkan oleh N
gonorrhoeae, Neisseria kochii, dan N meningitides yang membutuhkan pemeriksaan laboratorium
dan pengobatan segera. Penundaan dapat menyebabkan kerusakan kornea, kebutaan,
dan sepsis. Sedangkan konjungtivitis mukopurulen akut,
penyebab tersering adalah Streptococcus
pneumoniae.
Konjungtivitis kronik terjadi pada
pasien dengan obstruksi duktus nasolakriminal dan dakriosistitis kronik.
Disamping itu, blefaritis bacterial kronik atau disfungsi kelenjar meibom juga
dapat menyebabkan konjungtivitis kronik.1
b) Pemeriksaan
Laboratorium
Sebagian
besar diagnosis dapat ditegakkan dengan tanda dan gejala. Oleh karena itu,
pemeriksaan laboratorium dilakukan apabila konjungtivitis tidak responsif
terhadap antibitotik. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pewarnaan Gram
untuk mengidentifikasi mikroorganisme penyebab. Pewarnaan Giemsa bertujuan
untuk mengidentifikasi tipe sel dan morfologi. Kerokan
konjungtiva dan kultur dianjurkan apabila terdapat sekret purulen, membranosa,
atau pseudomembranosa. 1,2
c) Komplikasi
Pada infeksi staphylococcal dapat
terbentuk blefaritis marginal kronik. Selain itu, konjungtivitis
pseudomembranosa dan membranosa akan menimbulkan sikatriks dalam proses penyembuhan, dan lebih jarang menyebabkan
ulkus kornea. Ulkus kornea marginal mempermudah infeksi N gonorrhoeae, N kochii, N meningitidis, H
aegyptius, S aureus, dan M catarrhalis. Apabila produk toksik N
gonorrhoeae menyebar pada bilik mata depan, akan terjadi iritis toksik.1
d) Pengobatan
Terapi empiris didahulukan sebelum
hasil tes sensitivitas antibiotik tersedia. Adapun terapi empiris yang dapat
diberikan adalah Polytrim dalam bentuk topical. Sediaan topikal yang diberikan
dalam bentuk salep atau tetes mata adalah seperti gentamisin, tobramisin,
aureomisin, kloramfenikol, polimiksin B kombinasi dengan basitrasin dan
neomisis, kanamisis, asam fusidat, ofloksasin, dan asidamfenikol. Kombinasi
pengobatan antibiotik spektrum luas dengan deksametason atau hidrokortison
dapat mengurangi keluhan yang dialami oleh pasien lebih cepat.1,2
Namun, apabila hasil mikroskopik menunjukkan
bakteri gram-negatif diplokokus seperti neisseria, maka terapi sistemik dan topikal
harus diberikan secepatnya. Seftriakson 1 g, dosis tunggal intramuscular,
diberikan apabila tidak mengenai kornea. Jika ada keterlibatan kornea, maka
diberikan seftriakson 1-2 g/hari secara parenteral selama 5 hari. Pemberian
obat tersebut diikuti dengan doksisiklin 100 mg dua kali sehari atau
eritromisin 500 mg empat kali sehari selama 1 minggu. Pada konjungtivitis
kataral kronik, diberikan antibiotik topikal seperti kloramfenikol atau
gentamisin diberikan 3-4 kali/ hari selama dua minggu untuk mengeliminasi
infeksi kronik.1,4
Selain
itu, eksudat dibilas dengan larutan saline pada konjungtivitis purulen dan
mukopurulen akut. Untuk mencegah penyebaran penyakit, pasien dan keluarga
diedukasi untuk memerhatikan kebersihan diri.1,2
e) Prognosis
Konjungtivitis
bacterial akut dapat sembuh sendiri dalam 10-14 hari tanpa pengobatan. Namun,
konjungtivitis akan sembuh lebih cepat dalam 1-3 hari apabila diobati dengan
tepat. Sebaliknya, infeksi kronik membutuhkan terapi yang adekuat untuk dapat
pulih. Infeksi staphylococcal dapat menimbulkan blefarokonjungtivitis.
Kemudian, konjungtivitis gonococcal dapat menyebabkan ulkus kornea dan
endoftalmitis jika tidak diobati. Oleh karena konjungtiva dapat menjadi port d’entry, maka septikemia dan
meningitis menjadi komplikasi dari konjungtivitis meningococcal.1
B. KONJUNGTIVITIS VIRAL
Konjungtivitis
viral dapat disebabkan berbagai jenis virus. Adenovirus adalah penyebab tersering, sementara Herpes Simplex Virus merupakan etiologi
yang paling membahayakan. Selain itu penyakit ini juga dapat disebabkan oleh
virus Varicella zoster, Picornavirus, Poxvirus, dan Human Immunodeficiency
Virus. Transmisi terjadi melalui kontak dengan sekret respiratori, sekret
okular, serta benda-benda yang menyebarkan virus (fomites) seperti handuk.
Infeksi dapat muncul sporadik atau epidemik pada tempat ramai seperti sekolah,
RS, atau kolam renang. 1
a) Tanda
dan gejala
Presentasi klinis yang muncul
berbeda-beda tergantung agen penyebabnya. Namun pada umumnya konjungtivitis
viral, mata akan sangat berair dengan eksudat minimal, disertai adenopati
preaurikular atau radang tenggorokan dan demam. Vaughan membagi konjungtivitis
ke dalam 3 kelompok sbb:
1. Konjungtivitis
folikuler viral akut 1
a)
Pharyngoconjunctival fever. Disebabkan oleh adenovirus
tipe 3, 4, dan 7. Ditandai dengan demam 38 – 40 o C, nyeri
tenggorokan, dan konjungtivitis folikuler pada satu atau kedua mata. Tanda lain
dapat berupa injeksi, mata berair, limfadenopati preaurikular, atau keratitis
epitelial superfisial.
b)
Epidemic keratoconjunctivitis. Disebabkan oleh adenovirus
tipe 8, 19, dan 29. Sering hanya muncul pada satu mata, atau bilateral dengan
lesi salah satu mata akan lebih berat. Ditandai dengan injeksi, nyeri, mata
berair, kemudian dalam 5 – 14 hari diikuit dengan fotofobia, keratitis
epitelial, dan opasitas subepitelial. Tanda lain berupa nodul preaurikular,
edema kelopak mata, kemosis, subkonjungtiva hiperemis, dan kadang pseudomembran
dan symblepharon. Pada dewasa, infeksi ini hanya terbatas pada mata, sedangkan
pada anak-anak gejala nyeri tenggorokan dan demam akan terlihat nyata.
c)
Herpes simplex virus
conjungtivitis.
Biasanya ditemukan pada anak-anak, ditandai dengan infeksi unilateral, iritasi,
keluar sekret mukoid, nyeri, dan fotofobia ringan. Muncul pada infeksi primer
HSV atau pada episode rekuren herpes okuler. Kadang disertai pula dengan
keratitis herpes simplex. Bentuk konjungtivitis berupa folikuler atau
pseudomembran (jarang). Dapat pula muncul vesikel herpetik pada kelopak mata dan
nyeri pada nodul preaurikuler.
d)
Acute hemorrhagic conjunctivitis.
Disebabkan oleh
enterovirus tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24 (jarang). Penyakit ini
memiliki masa inkubasi yang pendek 8 – 48 jam, dan perjalanan penyakit yang
ringkas 5 – 7 hari. Tanda klinis berupa nyeri, fotofobia, sensasi benda asing,
mata berair, mata merah, kelopak mata bengkak, perdarahan subkonjungtiva,
kemosis. Disertai dengan limfadenopati preaurikular, folikel konjungtiva, dan
keratitis epitelial.
2. Konjungtivitis
folikuler viral kronik 1
Infeksi Molluscum contagiosum ditandai dengan konjungtivitis folikular
unilateral kronik, keratitis superior, dan pannus superior. Lesi berbentuk
nodul bulat, waxy, berwarna putih mutiara, dengan pusatnya bertangkai.
3. Blefarokonjungtivitis
viral 1
Infeksi oleh varicella dan
herpes zoster, ditandai dengan konjungtivitis hiperemis, lesi erupsi vesikular
sepanjang cabang optalmika dari nervus trigeminalis. Lesi berbentuk papil,
kadang folikel, pseudomembran, dan vesikel. Lesi varicella dapat muncul pada
kulit disekitar mata.
Dengan demikian, presentasi klinis yang mungkin muncul pada
konjungtivitis viral adalah sebagai berikut :
1.
Oedema
kelopak mata dan limfadenopati preaurikular,
2.
Konjungtiva
hiperemis dan muncul folikel,
3.
Inflamasi
berat dapat diasosiasikan dengan adanya perdarahan konjungtiva (umumnya
ptekiae), chemosis, membran, dan pseudomembran
4.
Adanya
jaringan parut yang dapat timbul akibat resolusi pseudomembran atau membran
5.
Uveitis
anterior ringan, namun jarang terjadi
b) Pemeriksaan
Pada
prinsipnya, diagnosis konjungtivitis viral ini dapat ditegakkan melalui
anamnesa dan pemeriksaan oftalmologi, tanpa harus menggunakan pemeriksaan
penunjang. Pada anamnesa, penting ditanyakan riwayat kontak dengan penderita
konjungtivitis akut.
Namun,
bila meragukan etiologinya, dapat dilakukan pemeriksaan penunjang dengan scrap
konjungtiva dilanjutkan dengan pewarnaan giemsa. Pada infeksi adenovirus akan
banyak ditemukan sel mononuklear. Sementara pada infeksi herpes akan ditemukan
sel raksasa multinuklear. Badan inklusi intranuklear dari HSV dapat ditemukan
pada sel konjungtiva dan kornea menggunakan metode fiksasi Bouin dan pewarnaan
Papanicolau. Adapaun pemeriksaan yang lebih spesifik lagi antara lain amplifikasi
DNA menggunakan PCR, kultur virus, serta imunokromatografi.1,5
Gambar . Keratokonjungtivitis
adenoviral. (A) Konjungtivitis folikular, (B) pseudomembran, (C) residu
jaringan parut, (D-F) keratitis 5
c) Komplikasi
Konjungtivitis viral bisa
berkembang menjadi kronis hingga menimbulkan blefarokonjungtivitis. Komplikasi
lainnya dapat berupa timbulnya pseudomembran, jaringan parut, keterlibatan
kornea, serta muncul vesikel pada kulit.
d) Tatalaksana
1,5
·
Mengurangi
risiko transmisi
o
Menjaga
kebersihan tangan, mencegah menggaruk mata
o
Tidak
menggunakan handuk bersamaan
o
Disinfeksi
alat-alat kedokteran setelah digunakan pada pasien yang terinfeksi menggunakan
sodium hipoklorit, povidone-iodine
·
Steroid
topikal
o
Prednisolone
0,5% 4xsehari à pada konjungtivitis
psuedomembranosa atau membranosa
o
Keratitis
simtomatik à steroid topikal lemah, hati-hati
dalam penggunaan, gejala dapat muncul kembali karena steroid hanya menekan
proses inflamasi.
o
Steroid
dapat membantu replikasi virus dan memperlama periode infeksius pasien.
o
Harus
monitoring tekanan intraokular jika penggunaan steroid diperpanjang
·
Lainnya
o Untuk infeksi varicella zoster, Acyclovir
oral dosis tinggi (800 mg 5x sehari selama 10 hari) diberikan jika progresi
memburuk.
o Pada keratitis herpetik dapat
diberikan acyclovir 3% salep 5x/hari, selama 10 hari, atau dengan acyclovir
oral, 400 mg 5x/hari selama 7 hari.
o
Stop
menggunakan lensa kontak
o
Artificial
tears 4xsehari
o
Kompres
hangat atau dingin
o
Insisi/pengankatan
jaringan pseudomembran atau membran
o
Antibiotik
topikal jika diduga ada infeksi bateri sekunder
o
Povidone-iodine
o
Jika
sudah ada ulkus kornea, lakukan debridemant
e) Prognosis
Konjungtivitis virus merupakan
penyakit limited disease, yang dapat
sembuh dengan sendirinya tanpa pengobatan khusus. Pada infeksi adenovirus,
infeksi dapat hilang sempurna dalam 3 – 4 minggu, dan 2 – 3 minggu untuk HSV. Dan
infeksi enterovirus tipe 70 atau coxsackievirus tipe A24 à sembuh dalam 5 – 7 hari, tanpa butu tatalaksana khusus. 1
C. KONJUNGTIVITIS ALLERGIKA
Merupakan bentuk alergi pada mata
yang disebabkan oleh reaksi sistem imun pada konjungtiva.
a) Tanda
dan gejala
Bervariasi untuk tiap kelompok.
1.
Reaksi
hipersensitivitas tipe cepat (humoral) 1
a.
Hay
fever conjunctivitis (pollens, grasses, animal danders, etc).
Merupakan inflamasi nonspesifik yang diasosiasikan dengan
hay fever (rinitis alergika). Terdapat riwayat alergi pada pollen, rumput, atau
bulu hewan sebelumnya. Mata akan gatal, berair, dan sangat merah. Jika alergern
persisten, maka akan tampak gambaran konjungtivitis papiler.
b.
Vernal
keratoconjunctivitis
Dikatakan sebagai konjungtivitis musiman, yang penyebabkan
kadang sulit untuk diketahui. Riwayat alergi sebelumnya kadang diketahui.
Gejala berupa gatal dan keluar kotoran jernih yang kental. Tampakan dapat
berupa konjungtivitis folikuler atau papiler yang besar-besar.
c.
Atopic
keratoconjunctivitis
Dimiliki pada pasien dengan dermatitis atopik. Gejala berupa
sensasi panas terbakar dengan kotoran mukoid pada mata, mata merah, dan fotofobia.
Papila koeratokonjungtivitis lebih kecil.
d.
Giant
papillary conjunctivitis
Gejala mirip konjungtivitis vernal yang berkembang pada
pasien dengan penggunaan air mata artifisial dan lensa kontak.
2.
Reaksi
hipersensitivitas tipe lambat (seluler) 1
a.
Phylctenulosis
Disebabkan oleh reaksi hipersensitivitas tipe lambat pada
protein mikroba, termasuk basil tuberkulosis, spesies staphylococcus species,
Candida albicans, Coccidioides immitis, Haemophilus aegyptius, dann Chlamydia
trachomatis. Gejala diawali dengan lesi kecil, merah, tinggi, yang dikelilingi
dengan zona hiperemi, terasa gatal dan mata berair. Pada limbus terdapat bentuk
triangular dengan apex mengarah pada kornea yang dapat membuat ulkus. Biasanya
dipicu dengan blefaritis, konjungtivitis bakterial akut, dan defisiensi diet.
b.
Konjungtivitis
ringan sekunder akibat kontak dengan blepharitis
Blefaritis kontak akubat atropine, antibiotik, neomycin, atau
broad-spectrum antibioticsdiikuti dengan hiperemia, papiler, kotoran mukoid,
dan iritasi.
3.
Penyakit
autoimun
a.
Keratoconjunctivitis
sicca yang diasosiasikan dengan sindroma Sjögren
Sinrom ini ditandai dengan triad: keratoconjunctivitis
sicca, xerostomia, dan arthritis. Kelenjar lakrimal terinfiltrasi oleh limfosit
dan sel plasma sehingga rusak. Muncul gejala berupa konjungtiva bulbar
hiperemis, iritasi, denngan kotoran mukoid,
b.
Cicatricial
pemphigoid
Diawali
dengan konjungtivitis kronik nonspesifik yang resisten terhadap terapi.
Progresi hingga membentuk scar pada fornix dan entropion dengan trichiasis.
b)
Pemeriksaan
Pemeriksaan diarahkan pada
anamnesis riwayat alergi dan tampilan klinis. Penggunaan metode scrapping dan
melihat sel imun dibawah mikroskop dapat dilakukan, namun kurang efektif. Hanya
pada konjungtivitis sicca, diagnosis dilakukan menggunakan biopsi dan menemukan
infiltrasi sel limfositik dan plasma pada kelenjar saliva. 1
c)
Komplikasi
Komplikasi bergantung pada
perjalanan dan lokasi penyakit. Jika konjungtivitis berlangsung kronik atau
mengenai media refraksi, maka dapat meinggalkan jaringan parut yang akan
mengganggu pandangan. 1
d)
Tatalaksana
Pada
dasarnya terapi yang diberikan berupa terapi suportif pemberian
vasokonstriktor-antihistamin topikal, kompres dingin untuk mengurangi gatal,
antihistamin oral, dan steroid topikal untuk mengurangi infeksi. Pemberian
steroid harus dengan hati-hati, karena hanya mensupresi gejala, bukan
menyingkirkan penyebab utama. Pada pasien dengan kecurigaan infeksi sekunder
bakteri, dapat diberikan antibiotik topikal. Sedangkan pada kasus-kasus akibat
alergi dengan air mata artifisial atau lensa kontak, penanganan terbaik adalah
menghentikan penggunaannya atau mengalihkan dengan jenis lain. Sedangkan pada
konjungtivitis sicca, tatalaksana hanya berupa suportif, menggantikan fungsi
kelenjar air mata yang hilang, menggunakan air mata artifisial. Hal lain yang
juga perlu diperhatikan adalah mengupayakan untuk menghindari kontak dengan
alergen. 1
e)
Prognosis
Konjungtivitis ini bersifat self limited,
ketika alergen hilang, maka reaksi inflamasi diharapkan juga berhenti. Beberapa
memiliki masa perjalanan penyakit yang pendek, namun ada pula yang berjalan
kronik, tergantung dengan kapasitas sitem imun pasien. Penyakit ini banyak
timbul pada usia anak, remaja, hingga dewasa. Pada sebagian kasus rekurensi
berkurang jauh ketika meninjak usia tua, diatas 40 – 50 tahun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar