Kamis, 21 Mei 2015

Skenario 4 Blok 12


Skenario 4 Blok 12
Author : Lilyana Ulfa

INFEKSI HERPES PADA PASIEN IMUNOKOMPETEN

PENDAHULUAN
              Herpes simpleks adalah infeksi yang disebabkan Herpes simplex virus (HSV) tipe 1 dan 2, meliputi herpes orolabialis dan herpes genitalis. Penularan virus paling sering terjadi melalui kontak langsung dengan lesi atau sekret genital/oral dari individu yang terinfeksi.
Di antara kedua tipe herpes simpleks, herpes genitalis merupakan salah satu infeksi menular seksual yang perlu mendapat perhatian karena sifat penyakitnya yang sukar disembuhkan dan sering rekuren, transmisi virus dari pasien asimtomatik, pengaruhnya terhadap kehamilan/janin dalam kandungan dan pasien imunokompromais, dampak psikologis, serta kemungkinan timbulnya resistensi virus.

BIOLOGI VIRUS HERPES

A. Klasifikasi
              Herpes simplex virus (HSV) tergolong anggota virus herpes yang primer menimbulkan penyakit pada manusia. Herpes simplex virus tipe 1 (HSV-1) dan HSV-2 termasuk sub family alphaherpesvirinae dengan ciri-ciri spektrum sel pejamu bervariasi, siklus replikasi yang relatif cepat, mudahnya infeksi menyebar di biakan sel, menimbulkan kerusakan sel yang cepat, dan kemampuan menimbulkan infeksi laten khususnya pada ganglion sensorik.

B. Struktur, Komposisi, dan Sifat
              Virus herpes berukuran besar dibandingkan dengan virus lain. Struktur virus herpes dari dalam ke luar terdiri dari genom DNA untai ganda liniar berbentuk toroid, kapsid, lapisan tegumen, dan selubung. Dari selubung keluar tonjolan- tonjolan (spike), tersusun atas glikoprotein. Terdapat 10 glikoprotein untuk HSV-1 yaitu glikoprotein (g)B, gC, gD, gE, gH, gI, gK, gL, dan M. Glikoprotein D dan glikoprotein B merupakan bagian penting untuk infektivitas virus. Glikoprotein G HSV-1 berbeda dengan HSV-2 sehingga antibodi terhadapnya dapat dipakai untuk membedakan kedua spesies tersebut.
Virus herpes humanus relatif tidak stabil pada suhu kamar dan dapat dirusakkan dengan perebusan, alkohol, dan pelarut lipid seperti eter atau kloroform.

C. Replikasi virus
              Virus masuk ke dalam sel melalui fusi antara glikoprotein selubung virus dengan reseptornya yang terdapat di membran plasma. Selanjutnya nukleokapsid pindah dari sitoplasma ke inti sel. Setelah kapsid rusak, genom virus dilepas di dalam inti sel, berubah dari liniar menjadi sirkular. Sebagian gen langsung ditranskripsikan dan produk RNA-nya dipindahkan ke sitoplasma. Pada tahap akhir, dengan bantuan protein beta, terjadi transkripsi dan translasi late genes menjadi protein gamma.
              Transkripsi DNA virus terjadi sepanjang siklus replikasi di dalam sel dengan bantuan enzim RNA polimerase sel pejamu dan protein virus lain. Transkrip dalam bentuk DNA virus selanjutnya dirakit menjadi virion pada membran inti sel. Virion selanjutnya dilepaskan ke luar inti sel melalui proses eksositosis. Satu kali siklus replikasi berlangsung sekitar 18 jam untuk herpes simpleks.
Replikasi HSV di dalam sel akan menghambat sintesis DNA dan protein selular sejak fase dini replikasi.
              Virus baru yang terbentuk akan dilepaskan dari sel dan menginfeksi sel lain.

D. Infeksi Laten
Infeksi laten oleh sel virus merupakan infeksi yang tidak disertai pembentukan virion. Infeksi dimulai pada epitel orolabial atau genital, selanjutnya infeksi menyebar ke akson terminal syaraf sensorik dan terjadi translokasi retrograd virus ke akson. Pada sel neuron, infeksi dapat bersifat produktif maupun laten. Latensi tersering terjadi pada ganglion trigeminus. Jika ada stimulus, infeksi laten pada neuron berubah menjadi infeksi produksi terbatas dan selanjutnya menyebar ke jaringan yang dipersyarafinya.

PATOGENESIS
              Infeksi terjadi melalui inokulasi virus pada permukaan mukosa yang rentan. Virus akan melekat pada sel epitel kemudian masuk dengan cara meleburkan diri di dalam membran. Sekali di dalam sel, terjadi replikasi yang menghasilkan lebih banyak virion yang menyebabkan kematian sel. Virus juga memasuki ujung saraf sensorik. Virion kemudian ditransportasi ke inti sel neuron di ganglia sensorik. Virion dalam neuron yang terinfeksi akan bereplikasi menghasilkan progeni atau virus akan memasuki keadaan laten tak bereplikasi. Neuron yang terinfeksi akan mengirim balik virus progeni ke lokasi kulit tempat dilepaskannya virion sebelumnya dan menginfeksi sel epitel yang berdekatan dengan ujung saraf, sehingga terjadi penyebaran virus dan jejas sel.Infeksi oleh HSV-1 dan HSV-2 akan menginduksi glikoprotein yang berhubungan pada permukaan sel- sel yang terinfeksi. Setelah terjadi infeksi, sistem imunitas humoral dan selular akan terangsang oleh glikoprotein antigenik untuk menghasilkan respon imun. Respon imun dapat membatasi replikasi virus sehingga infeksi akut dapat membaik. Respon ini tidak dapat mengeliminasi infeksi laten yang menetap dalam ganglia seumur hidup pejamu. Latensi semata tidak menimbulkan penyakit, namun infeksi laten dapat mengalami reaktivasi sehingga menghasilkan virion yang bila dilepas dari ujung saraf dapat menginfeksi sel epitel di dekatnya untuk menghasilkan lesi kulit rekurens atau pelepasan virus asimtomatik. Reaktivasi HSV-1 sering terjadi dari ganglion trigeminus, sedangkan HSV-2 dari ganglion sakralis.
Faktor pemicu terjadinya reaktivasi dapat berupa demam, kelelahan, sinar ultra violet, trauma mekanik, bahan kimia, hormon, menstruasi, hubungan seksual, stres emosional, dan keadaan imunokompromais.
Penularan lesi orolabial terjadi melalui droplet dan kontak langsung dengan lesi atau saliva yang mengandung virus. Penularan lesi genital dimulai bila sel epitel mukosa saluran genital pejamu yang rentan terpajan virus yang terdapat dalam lesi atau sekret genital orang yang terinfeksi. Walaupun herpes orolabialis paling sering disebabkan oleh HSV-1 dan herpes genitalis terutama disebabkan oleh HSV-2, kadang-kadang HSV-2 dapat mengakibatkan lesi-lesi oral, demikian pula HSV-1 dapat menyebabkan lesi genital. Hal ini dikaitkan dengan aktivitas seksual secara orogenital.
Semua individu seropositif HSV-2 secara intermiten akan mereaktivasi HSV di saluran genitourin selama hidupnya, baik sebagai infeksi simtomatik, infeksi simtomatik namun tidak dikenal sebagai herpes, atau sebagai infeksi subklinis.

MANIFESTASI KLINIS HERPES OROFASIAL

1. Infeksi primer
              Infeksi primer dapat bersifat subklinis, tetapi pada beberapa keadaan menimbulkan manifestasi berat di daerah oral disebut gingivostomatitis herpetika primer.
              Gingivostomatitis herpetika adalah manifestasi infeksi HSV-1 orofasial primer yang tersering, ditandai lesi khas vesikoulseratif oral dan atau perioral, kebanyakan mengenai anak-anak umur 1-5 tahun. Gejala prodromal berupa demam, sakit kepala, malaise, nausea, dan muntah-muntah disertai rasa tidak nyaman di mulut. Satu sampai dua hari setelah gejala prodromal, timbul lesi-lesi lokal berupa vesikel kecil berkelompok di mukosa mulut, berdinding tipis dikelilingi oleh peradangan. Vesikel cepat pecah meninggalkan ulkus dangkal dan bulat yang nyeri di sekitar rongga mulut. Lesi dapat mengenai seluruh bagian mukosa mulut. Selama perlangsungan penyakit, vesikel dapat bersatu menjadi lesi yang lebih besar dengan tepi tidak teratur. Gambaran khas adalah ginggivitis marginalis akut, generalisata, edema, dan eritema ginggiva, kadang-kadang disertai beberapa ulkus pada gingiva. Pada pemeriksaan, faring posterior akan tampak kemerahan dengan pembesaran kelenjar getah bening submandibular dan servikal.
Gejala ekstra oral berupa vesikel berkelompok pada bibir dan kulit di sekitar sirkum oral. Setelah beberapa hari lesi akan ditutupi krusta kekuningan. Stomatitis herpetika akut pada anak-anak yang sehat bersifat swasirna. Demam biasanya akan hilang dalam 3-4 hari dan lesi akan sembuh dalam 10 hari, walaupun dalam waktu 1 bulan masih dapat ditemukan virus dalam saliva.

2. Infeksi rekuren
              Herpes simpleks labialis (cold sore/fever blisters) adalah bentuk herpes orofasial rekuren yang paling sering terjadi, berupa vesikel-vesikel pada batas luar vermilion dan kulit sekitarnya. Gejala dimulai dengan rasa perih diikuti oleh timbulnya vesikel berkelompok dalam 24 jam, pecah, terjadi erosi superfisial, kemudian akan ditutupi krusta. Nyeri dan rasa tidak nyaman terjadi pada beberapa hari pertama; lesi sembuh dalam waktu kurang dari 2 minggu tanpa jaringan parut. Pelepasan virus terus berlansung 3–5 hari setelah lesi sembuh. Herpes labialis rekuren terjadi pada 50-75% individu-individu yang terkena infeksi HSV di mulut, terjadi tiga kali lebih sering pada pasien dengan demam dibandingkan pasien tanpa demam.
              Herpes intra oral rekuren merupakan bentuk rekuren berupa lesi pada intra oral khususnya daerah mukosa yang berkeratin. Predileksi pada palatum durum regio premolar dan molar, dapat juga timbul pada bagian fasial dan bukal gingiva. Vesikel mudah pecah, terletak unilateral, tidak melewati garis tengah.

HERPES GENITALIS

1. Herpes genitalis primer episode pertama
              Episode pertama akan tampak secara klinis dalam waktu 2-21 hari setelah inokulasi. Bila seseorang belum pernah terpajan HSV sebelumnya (seronegatif) maka akan disebut sebagai infeksi primer. Episode pertama seringkali disertai gejala-gejala sistemik, lesi dan pelepasan virus yang berlangsung lama, mengenai banyak tempat di genital maupun di luar genital. Pasien dengan infeksi primer (infeksi pertama kali dengan HSV-2 maupun HSV-1) umumnya mengalami penyakit yang lebih parah dibandingkan pasien yang telah mengalami infeksi HSV-1 sebelumnya.
              Infeksi primer HSV-2 dan HSV-1 genital ditandai dengan gejala sitemik dan lokal yang lama. Gejala sistemik muncul dini berupa demam, nyeri kepala, malaise, dan mialgia. Gejala lokal utama berupa nyeri, gatal, rasa terbakar, disuria, duh tubuh, vagina atau uretra serta pembesaran dan rasa nyeri pada kelenjar getah bening inguinal. Lesi kulit berbentuk vesikel berkelompok dengan dasar eritem di labia minora, introitus, meatus uretra, serviks pada wanita; batang dan glans penis pada pria atau perineum, paha, dan bokong pada pria dan wanita. Vesikel ini mudah pecah dan menimbulkan erosi multipel. Masa pelepasan virus berlangsung kurang lebih 12 hari. Tanpa infeksi sekunder, penyembuhan terjadi secara bertahap dalam waktu kurang lebih 18 sampai 20 hari, tetapi bila ada infeksi sekunder penyembuhan memerlukan waktu lebih lama dan meninggalkan jaringan parut.

2. Herpes genitalis non-primer episode pertama
              Sebagian besar populasi pernah terpajan oleh HSV-1 maupun HSV-2 sebelumnya. Individu demikian telah seropositif pada saat episode pertama, sehingga disebut non-primer. Diagnosis klinis episode pertama non-primer sukar dibedakan dengan episode rekuren. Secara umum, episode pertama non- primer menyerupai rekurensi yaitu lebih ringan daripada infeksi primer, dengan masa tunas yang lebih panjang.

3. Herpes genitalis rekuren
              Tingkat rekurensi bervariasi diantara individu. Rekurensi cenderung lebih sering terjadi pada bulan pertama atau tahun pertama setelah infeksi awal.
Lesi rekuren biasanya terbatas pada satu sisi dan gejala klinis yang ringan. Lamanya pelepasan virus berlangsung kurang dari 5 hari, penyembuhan juga lebih cepat.

4. Herpes genitalis atipikal
Manifestasi herpes genital atipikal sering dijumpai, berupa fisura, furunkel, ekskoriasi, dan eritema vulva nonspesifik disetai rasa nyeri dan gatal pada wanita. Pada pasien pria berupa fisura linier pada preputium, dan bercak merah pada glans penis. Lesi ekstragenital umumnya mengenai bokong, sela paha, dan paha.

5. Reaktivasi subklinis/asimtomatik HSV
              Pelepasan virus (viral shedding) subklinis menjadi masalah serius pada herpes genitalis karena berpotensi tinggi dalam transmisi virus. Lokasi viral shedding pada keadaan asimtomatik umumnya di kulit penis, uretra, perianal pada pria dan di vulva, uretra, serviks, serta perineum pada wanita.

DIAGNOSIS

A. Diagnosis klinis
              Tipe awitan, gejala konstitusional yang klasik, distribusi dan gambaran lesi yang khas berupa ulserasi oral superfisial, bentuk bulat, multipel, bersifat akut dan adanya gingivitis marginal generalisata pada pemeriksaan fisis, ditunjang oleh tidak adanya riwayat episode herpes sebelumnya, serta adanya riwayat terpajan HSV-1 membantu menegakkan diagnosis gingivostomatitis herpetika primer. Herpes orofasial tipe ini perlu dibedakan dengan hand-foot-mouth disease, herpangina, eritema multiformis, pemfigus vulgaris, acute necrotizing ulcerative gingivitis.
              Herpes intraoral didiagnosis banding dengan stomatitis aftosa rekuren dan herpes zoster intraoral.
              Infeksi HSV genital perlu didiagnosis banding dengan penyebab ulkus genital lain baik berupa infeksi maupun bukan infeksi. Bila terdapat kelompokan vesikel multipel atau bila terdapat riwayat lesi sebelumnya yang berukuran sama, lama timbulnya dan sifatnya sama maka kemungkinan besar penyebabnya adalah HSV. Diagnosis banding HSV genital adalah ulkus pada sifilis, chancroid, limfogranuloma venerum, donovanosis, non infeksi penyakit Crohn, ulserasi mukosa yang dihubungkan dengan sindrom Behcet.

B. Diagnosis laboratorium
1. Tes Tzank diwarnai dengan pengecatan Giemsa atau Wright, terlihat sel raksasa berinti banyak. Pemeriksaan ini tidak sensitif dan tidak spesifisik.
2. Kultur virus. Sensitivitasnya rendah dan menurun dengan cepat saat lesi menyembuh.
3.     Deteksi DNA HSV dengan Polymerase chain reaction (PCR), lebih sensitif dibandingkan kultur virus.11
4. Tes serologik IgM dan IgG tipe spesifik. IgM baru dapat dideteksi setelah 4–7 hari infeksi, mencapai puncak setelah 2–4 minggu, dan menetap selama 2–3 bulan, bahkan sampai 9 bulan. Sedangkan, IgG baru dapat dideteksi setelah 2–3 minggu infeksi, mencapai puncak setelah 4–6 minggu, dan menetap lama, bahkan dapat seumur hidup.
Antibodi IgM dan IgG hanya memberi gambaran keadaan infeksi akut atau kronik dari penyakit herpes genitalis.
Tidak ditemukannya antibodi HSV pada sampel serum akut dan ditemukannya IgM spesifik HSV atau peningkatan 4 kali antibodi IgG selama fase penyembuhan menunjukkan diagnosis HSV primer. Ditemukannya IgG antiHSV pada serum akut, IgM spesifik HSV dan peningkatan IgG anti-HSV selama fase penyembuhan merupakan diagnostik infeksi HSV rekuren.

KONSELING DAN PENCEGAHAN

Diagnosis herpes (herpes genitalis) dapat berdampak psikologis yang berat. Umumnya pasien akan merasa depresi, terisolasi, dan takut.
Mengingat dampak psikologis yang mungkin terjadi, maka diperlukan konseling sebagai bagian integral keberhasilan manajemen herpes genitalis dengan harapan tercapainya beberapa tujuan (goals) yang jelas. Pada dasarnya konseling IMS bertujuan:
1.          Pasien patuh minum obat/mengobati sesuai ketentuan
2.          Kembali untuk follow up teratur sesuai jadwal
3.          Meyakinkan pentingnya pemeriksaan mitra seksual dan turut berusaha agar mitra tersebut bersedia diperiksa dan diobati bila perlu
4.          Mengurangi risiko penularan dengan:
a)     Abstinensia dari semua hubungan seks hingga pemeriksaan terakhir selesai
b)    Abstinensia dari semua hubungan seks bila timbul simtom atau gejala kambuh
c)     Menggunakan kondom bila meragukan adanya risiko
5.          Tanggap dan memberikan respons cepat terhadap infeksi atau hal yang mencurigakan setelah hubungan seks.
             
Hasil utama yang dikehendaki dari seluruh rangkaian konseling herpes adalah pasien dapat menerima bahwa infeksi herpes yang dideritanya bukanlah suatu punishmenti, tetapi relatif merupakan suatu kondisi medis yang biasa dan banyak ditemukan pada orang lain, serta dapat dikelola dengan berhasil untuk meminimalkan dampak negatif pada pasien dalam hidupnya.
              
Hasil yang diharapkan secara spesifik ialah :
·   Menjalin hubungan baik dengan pasien agar timbul kepercayaan pada dokter yang merawatnya.
·   Memberikan informasi dan edukasi tentang herpes
·   Meminimalkan akibat psikologis yang biasanya timbul akibat kondisi penyakit kronis tersebut
·   Membantu proses untuk memberikan informasi pada pasangan seksual pasien (partner notification)

Pedoman dasar konseling pasien herpes genitalis:
·   Lingkungan yang mendukung
·   Sikap yang benar
·   Memberikan informasi yang benar

Beberapa tambahan tuntunan (guidelines) dalam konseling pasien herpes genitalis:
·   Memberi jaminan bagi pasien untuk kerahasiaan absolut tentang konsultasi dan hubungan bersifat pribadi
·   Selalu menunjukkan perhatian dan kesungguhan terhadap masalah yang dihadapi oleh pasien dan menyampaikan pertanyaan yang terbuka hingga klien menjadi lebih berani berbicara
·   Dengarkan dengan sungguh-sungguh apa yang dikatakan oleh pasien, seolah-olah hanya kita yang dapat berdiskusi tentang infeksi tersebut
·       Gunakan bahasa dan terminologi sederhana dan dapat dimengerti oleh pasien
·   Hindari kata-kata dan istilah menakutkan Merangsang klien untuk mau bertanya dan menanyakan sesuatu yang belum
·   dimengerti pada kunjungan berikutnya
·   Melengkapi pasien dengan semua informasi yang dibutuhkan tentang penyakit, prosedur pengobatan hingga pasien dapat memberikan putusan yang tepat
·       Simpulkan dalam catatan yang singkat dan jelas.


Sumber :
Adolf H. Mitaart
Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Kulit dan Kelamin FK Universitas Sam Ratulangi/RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou Manado

Tidak ada komentar:

Posting Komentar