Skenario 5
Blok 12
Author :
Fauzan Kurniawan
Tinnitus
- ETIOLOGI
Penyebab
tinnitus sebenarnya masih belum dapat dipastikan. Tinnitus dapat disebabkan
oleh adanya penurunan kemampuan pendengaran, antara lain: presbiacusis,penurunan
pendengaran yang diakibatkan oleh suara (noise induced hearing loss ), Meniere’s
syndrome, atau neuroma akustik (Wadddell, 2004).
Pendekatan
untuk mempelajari etiologi tinnitus dapat dilakukan dengan membedakan tinnitus
menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus
obyektif dan tinnitus subyektif.
Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh
penderita dapat didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya
terdengar oleh penderita
saja
(Lockwood et.al., 2002).
Subyektif
tinnitus juga dapat disebabkan oleh beberapa keadaan. Tinnitus subyektif bias
disebabkan oleh karena berasal dari gangguan telinga (otologic), karena efek
dari medikasi ataupun obat-obatan (Ototoxic), gangguan neurologist, gangguan
metabolisme, ataupun dikarenakan oleh depresi psikogenik. Sedangkan tinnitus
obyektif dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan vaskularisasi, gangguan
neurologis.
Etiologi tinnitus subyektif antara lain adalah : presbiakusis, paparan
suara bising yang lama, trauma akustik yaitu terpapar suara dengan intensitas
tinggi sewaktu, otosklerosis yaitu terjadinya proses pengapuran pada tulang
pendengaran di telinga tengah ataupun pengapuran pada cochlea, infeksi,
autoimun, ataupun predisposisi genetic, dan juga trauma pada kepala ataupun leher
(Folmer et.al., 2004).
Sedangkan
tinnitus obyektif merupakan tinnitus yang sangat jarang ditemui (Crummer &
Hassan, 2004). Berdasar klasifikasi etiologi tinnitus obyektif oleh Lockwood
et. al., (2002), maka tinnitus obyektif dibagi menjadi dua (2) sub bagian yaitu
pulsatil dan non pulsatil.
Pulsatile Tinnitus :
- Neoplasma
pada umumnya pada vaskular
- Glomus
tumors atau paragangliomas (chemodectoma, paragangliomas)
- Glomus
tympanicum, glomus jugulare, glomus jugulotympanicum
- Hemangioma
- Hemangioma
N VII, cavernous hemangioma
- Neoplasma
Vaskular lainya
- Meningioma,
adenoma
- Lesi
Vaskular
- Lesi
arteri akibat perlukaan
- Atherosclerotic
plaque (carotid atau intracranial)
- Vaskular
malformations (intracranial, dural; dapat berupa sekuel dari trauma)
- Aneurysma
Nonpulsatile Tinnitus :
- Palatal
myoclonus
- Spasm,
fasciculations, or fibrillations dari m. tensor tympani atau m. stapedius
- emisi
otoakustik spontan
- Patulous
eustachian tube
Tinnitus obyektif type pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang sering
ditemukan. Tinnitus pulsatil pada umunya diakibatkan oleh adanya turbulensi
aliran darah arteri (percabangan arteri carotis interna) ataupun adanya aliran
darah yang sangat cepat pada pembuluh darah lain di sekitar organ pendengaran.
Kelainan aliran darah tersebut akan menyebabkan hantaran gelombang melalui
tulang ataupun didnding pembuluh darah yang terhubung kepada cochlea, dan
menghasilkan interpretasi suara.
Sedangkan tinnitus obyektif tipe non-pulsatil
merupakan tinnitus obyektif yang paling jarang ditemukan. Major cause dari
tinnitus non-pulsatil adalah adanya palatal myoclonus yang diakibatkan adanya
kontraksi ritmik pada palatum mole atau soft palatal (Lockwood et. al., 2002).
- PATOFISIOLOGI
B.1. Tinnitus Subyektif
Penyakit
atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling banyak sebagai etiologi
tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus
sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss ), baik
sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering
menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss ) karena
adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya (Crummer &
Hassan, 2004).
Sumber
suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan oleh
impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat
stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya
menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging,
jika sumber suara tersebut berhenti maka stereosilia akan mengalami pemulihan
ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu
tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang ( continous exposure) maka akan
mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan
mengakibatkan ketulian (hearing loss ) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh
adanya hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls
terus-menerus kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).
Meniere’s
syndrome dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus membranaseous
dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang terjadi pada
penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging dan tinnitus
suara bergemuruh (Crummer & Hassan, 2004). Neoplasma berupa acoustic
neuroma juga dapat menyebabkan terjadinya tinnitus subyektif. Neoplasma ini
berasal dari sel schwann yang tumbuh dan menyelimuti percabangan NC VIII
(Nervus Oktavus) yaitu n. vestibularis sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf
bahkan demyelinasi pada saraf tersebut Crummer & Hassan, 2004).
Tinnitus
yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus ototoksik. Ototoksisitas yang terjadi akibat dari
penggunaan obat-obatan tertentu sebagaimana telah dibahas sebelumnya akan
mempengaruhi sel-sel rambut pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf
penghubung antara cochlea dengan system nervosa central (Crummer & Hassan,
2004).
Gangguan
neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat menyebabkan adanya
tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi ataupun mekanisme terjadinya tinnitus
karena hal ini belum jelas (Crummer & Hassan, 2004).
Penelitian-penelitian
yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita tinnitus obyektif yang
memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita hypothyroidism, hyperthyroidism,
anemia, avitaminosa B12, atau defisiensi Zinc (Zn). Disamping itu penderita
tinnitus rata-rata menunjukkan perubahan sikap dan gangguan psikologis walaupun
sebetulnya depresi merupakan salah satu etiologi dari tinnitus subyektif
(psikogenik). Gangguan tidur, deperesi, dan gangguan konsentrasi lebih banyak
ditemukan pada penderita tinnitus subyektif dibandingkan dengan yang tidak
mengalami gangguan psikologis (Crummer & Hassan, 2004).
B.2. Tinnitus Obyektif
Tinnitus
obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas
vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt
arteriovenosa, glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri
carotis (high-riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf
pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis
seperti adanya palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan
muscullus stapedius pada telinga tengah (Folmer et. al., 2004).
Kelainan
pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube ) akan menyebabkan terdengarnya
suara bergemuruh terutama pada saat bernafas karena kelainan muara tuba pada
nasofaring. Biasanya penderita tinnitus dengan keadaan ini akan menderita
penurunan berat badan, dan mendengar suaranya sendiri saat berbicara atau
autophony. Tinnitus dapat hilang jika dilakukan valsava maneuver atau saat
penderita tidur terlentang dengan kepala dalam keadaan bebas atau tergantung
melebihi tempat tidurnya (Crummer & Hassan, 2004).
B.2.a.
Pulsatile Tinnitus
Tinnitus
pulsatil banyak diderita oleh pasien dengan turbulensi aliran arteri ataupun
aliran darah yang cepat pada pembuluh darah. Penyakit jantung yang berhubungan
dengan arteriosklerosis dan penuaan meningkatkan prevalensii tinnitus pulsatil,
adanya stenosis arteri juga banyak ditemukan pada penderita dengan tinnitus
jenis ini. Stenosis artery intracranial dapat menyebabkan turbulensi aliran darah
pada bagian stenosis dan bagian distal dari stenosis (Gambar 12). Sementara itu
stenosis arteri carotis merupakan tempat yang umum ditemukan, padahal arteri
carotis tempatnya berdekatan dengan bagian proximal cochlea. Sehingga melalui
tulang getarab turbulensi aliran darah mempengaruhi cochlea dan menyebabkan
tinnitus obyektif. Pasien dengan thyrotoksikosis dan atrial fibrilasi juga
dapat menderita tinnitus pulsatill (Lockwood et.al., 2002)..
B.2.b.
Non-pulsatile Tinnitus
Tinnitus
jenis ini jarang ditemukan, sementara itu tinnitus obyektif juga merupakan
kasus yang jarang, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus non-pulsatil tinnitus adalah
sangat jarang ditemukan. Penyebab terjadinya tinnitus jenis ini sebagaimana
telah dijelaskan pada sub-bab etiologi sebelumnya. Tinnitus jenis ini juga
sering berhubungan dengan kontraksi periodik abnormal pada otot-otot faring,
mulut, dan wajah bagian bawah, sehingga akan mempengaruhi kerja tuba auditiva.
C. Pendekatan Diagnosis Klinis untuk Tinnitus
Mengingat
penanganan terhadap tinnitus adalah meletakkan dasar pemikiran bahwa penyakit
tersebut adalah gejala dari sebuah penyakit lain yang menyebabkanya, maka dalam
melakukan diagnostik digunakan pendekatan klinis, supaya dapat dibedakan
tinnitus menurut etiologinya (Waddel, 2004; Lockwood et. al., 2002).
Membedakan
secara garis besar jenis tinnitus yang diderita dan penilaian secara menyeluruh
terhadap riwayat tinnitus serta penyakit lain merupakan suatu hal yang harus
diteliti. Evaluasi terhadap keluhan tinnitus meliputi (Crummer & Hassan,
2004) :
a.
Riwayat tinnitus
Evaluasi
tinnitus pada pasien diawali dengan mempelajari keseluruhan riwayat tinnitus
semenjak pertama kali muncul . Evaluasi tinnitus berdasar riwayat tinnitus
meliputi penilaian:
i.
Onset
Jika
tinnitus berkembang seiring dengan penurunan kemampuan mendengar atau penderita
adalah usia lanjut maka Presbiakusis bias menjadi penyebabnya.
ii.
Lokasi
Tinnitus
unilateral bias disebabkan oleh adanya impaksi serumen, otitis eksterna, dan
otitis media. Sedangkan tinnitus unilateral denganunilateral tuli sensorikmerupakan
pertanda adanya neuroma akustik.
iii.
Bentuk tinnitus (Pattern)
Tinnitus
terus-menerus berhubungan dengan ketulian. Tinnitus yang episodic kemungkinan
Meniere’s syndrome . Tinnitus pulsatil kemungkinan berasal darikelainan
vascular.
iv.
Karakteristik
Tinnitus
dengan suara rendah dan bergemuruh suspek Meniere’s syndrome . Sedangkan
tinnitus dengan frekuensi tinggi berhubungan dengan tuli sensorik.
v.
Keterhubungan dengan keluhan vertigo dan penurunan kemampuan pendengaran
Ada hubungan
kuat dengan Meniere’s syndrome.
vi.
Paparan obat-obatan ototoksik
Kemungkinan
disebabkan oleh adanya Noise Induced atau medication-induced Hearing Loss.
vii.
Perubahan keluhan dan faktor eksaserbasi
Tinnitus
dengan patulous Eustachian tube mengurang dengan berbaring atau melakukan
valsava maneuver.
viii.
Kelainan Metabolisme
Hiperlipidemi,
gangguan tiroid, defisiensi Vitamin B12 , anemia, bias menjadi penyebab
tinnitus.
ix.
Lainya
Signifikansi
keluhan penderita terhadap kualitas hidup sehari-harinya menjadi pedoman
manajemen tinnitus.
b.
Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan
secara komprehensif pada telinga meliputi kanalis akustikus eksternus, serumen,
membrane timpani, ataupun kemungkinan adanya infeksi. Auskultasi pada leher,
periaurikularis, orbita dan mastoid juga harus dilakukan. Uji pendengaran
menggunakan garpu tala (Weber dan Rinne) juga seharusnya dilakukan (Crummer
& Hassan, 2004).
c.
Pemeriksan Penunjang
Pemeriksaan
menggunakan audiometri sebaiknya dilakukan, karena pada umunya keluhan tinnitus
adalah keluhan subyektif penderita dengan hubungan kelainan organ pendengaran
adalah sangat minimal (Crummer & Hassan, 2004).
Pendekatan
diagnostik dalam langkah manajemen tinnitus berdasarkan kemungkinan penyebabnya
dapat dilakukan melalui algoritma yang dibuat oleh Crummer dan Hassan (2004).
Sedangkan
algoritma yang bertitik berat pada riwayat penyakit untuk mengklasifikasikan
jenis keluhan tinnitus, dan langkah-langkah pemeriksaan yang diperlukan untuk
melakukan evaluasi keluhan tinnitus yang diderita pasien mengikuti algoritma
yang disampaikan oleh Lockwood et.al. (2002) tertera pada.
F. PENATALAKSANAAN
Di
Amerika FDA ( Food and Drug Association ) hingga saat ini belum memberikan
persetujuan ataupun pengesahan terhadap obat-obatan yang digunakan untuk menangani
tinnitus (Lockwood et.al., 2002).
Tinnitus
banyak berhubungan dengan berbagai penyakit ataupun gangguan pada organ
pendengaran hingga pusat pendengaran, pada tataran inii maka tinnitus sebagai sebuah
kelainan yang muncul sebagai kelainan membutuhkan beberapa penanganan khusus.
Tinnitus menyebabkan adanya keluhan depresi, insomnia, ataupun kecemasan, maka penatalaksanaannya
ditujukan pada terapi psikoterapi untuk mengurangi gangguan tinnitus terhadap
kualitas hidupnya.
Accoustic
Therapy (terapi akustik) di Amerika merupakan langkah Retraining Therapy yaitu
terapi yang diformulasikan khusus secara individual sesuai riwayat penyakit
pasien berupa menyarankan agar pasien mendengarkan musik yang disukainya pada
saat berada di tempat sepi. Jika pasien memiliki kelainan pendengaran berupa
ketulian maka penggunaan alat pendengaran akan menolong penurunan tinnitus. Hal
tersebut menjadi acuan manajemen atau penatalaksanaan Tinnitus yang dapat
dilakukan selama 1 bulan, 6 bulan, atau 12 bulan tergantung penyakit atau
kelainan yang mendasarinya. Sedangkan sebab-sebab lain berupa abnormalitas
pembuluh darah hingga adanya neoplasma pada otak yang mengakibatkan tinnitus,
maka penatalaksanaannya berada pada penyakit tersebut. Namun pada tuli
sensorineural yang menyebabkan tinnitus kronis merupakan penyakit yang hingga
saat ini masih sangat sulit ditangani, hal ini menuntut adanya penjelasan yang
mencukupi kepada penderita tinnitus kronis dengan penyebab tuli sensorineural
(Folmer et.al., 2004).
Penggunaan
sediaan agonis reseptor GABA dapat menunjukkan perbaikan pada penderita dengan
tinnitus dalam mekanisme yang masih diteliti (Eggermont & Roberts, 2004).
Teori
masking (menutupi), dengan metode noise generator (pembangkitan bunyi) yang
dilakukan dengan menyalakan radio tanpa siaran (hanya desis) ataupun suara fan
(kipas angina) pada saat hendak tidur sehingga tinnitus dikaburkan oleh suara
dari luar dapat membuat penderita lebih baik (Folmer et.al., 2004; Crummer
& Hassan, 2004; Lockwood et.al., 2002; The British Tinnitus Association,
2004).
Pada
dasarnya manajemen tinnitus adalah melakukan masking pada penderita sehingga
terjadi perubahan persepsi penderita terhadap keluhan tinnitusnya. Pengobatan
terhadap penyakit yang menyebabkan tinnitus, ataupun factor-faktor yang menjadi
etiologi tinnitus perlu dilakukan untuk mendukung penurunan keluhan tinnitus
(Folmer et.al., 2004; Waddel, 2004; Lockwood et.al., 2002, Eggermont &
Roberts, 2004).
Dari skenario 5 ini diduga pasien menderita tinnitus
subjektif karena trauma akustik.