Skenario 2 Part 2
Author
: Cece
LIMFONODI
Limfonodi, yaitu
kelenjar yang berfungsi sebagai pertahanan kekebalan tubuh (sistem imun).
Kelenjar ini mengandung zat-zat yang berguna untuk tubuh, diantaranya adalah
protein, lemak, limfosit, sel darah putih, fibrinogen, albumin, sel-sel
pembentuk pertahanan tubuh, dsb. kelenjar ini dapat membesar oleh karena
penambahan sel-sel pertahanan tubuh yang berasal dari KGB itu sendiri, seperti
limfosit, sel plasma, monosit dan tristiosit. Penyebab lainnya yaitu
karena proses peradangan (neutrofil), yang artinya kelenjar itu sedang dalam
proses melawan bakteri yang masuk, infiltrasi sel-sel ganas atau timbunan dari
penyakit metabolit lemak. Jika dalam proses peradangan, bakteri dapat
tereliminasi maka kelenjar tersebut akan mengalami regresi kembali. Namun
proses peradangan tersebut pada beberapa individu dapat menjadi berlebihan,
sehingga pembesarannya menjadi relatif lebih besar dan lebih sensitif, terutama
pada individu dengan riwayat alergi dan asma. Akibatnya terjadi
pembengkakan yang terasa nyeri jika ditekan dan terasa berfluktuasi.
Kulit yang diatasnya sering berwarna merah, penetrasi infeksi ke permukaan
kulit, dan menimbulkan sinus yang mengalirkan cairan.(Robbins and
Cotran,2008)
Proses pembesaran kelenjar limfe
Proses
pembesaran kelenjar limfe oleh karena infeksi berbeda dengan metastasis
karsinoma (kanker). Pada pembesaran kelenjar limfe yang disebabkan oleh infeksi
dapat dijelaskan sebagai berikut.
Infeksi yang dimulai dengan masuknya kuman patogen ke dalam tubuh,
direspons oleh sistem kekebalan yang berlapis. Di lapis depan berjajar komponen
normal tubuh seperti kulit, selaput lendir, batuk, flora normal dan berbagai
sel. Di pusat pertahanan, terdapat kelenjar limfe yang menyimpan dua mesin
perang yaitu limfosit T dan limfosit B. Kelenjar limfe tersusun secara regional
menjaga kawasan tertentu. Karena itu mereka disebut juga sentinel node
(sentinal adalah penjaga dan node adalah kelenjar limfe). Sentinel node kepala
dan muka, terdapat di leher; payudara dan tangan, ketiak; kaki, lipat paha dan
sebagainya [12].
Dalam peperangan itu salah satu tugas lapis pertama adalah membawa
sampel kuman ke limfosit untuk identifikasi dan pemrograman penghancurannya.
Kemudian limfe atau cairan getah bening akan membawa sel T dan sel B, ke daerah
konflik. Dalam usahanya kelenjar limfe regional akan meningkatkan aktivitasnya
hingga membesar. Ciri-ciri pembesaran kelenjar limfe dalam mengatasi infeksi
adalah sakit. Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional dengan nyeri
dan disertai tanda-tanda infeksi di daerah itu, pencarian dan pengobatan pusat
infeksi menjadi prioritas [12].
Berbeda dengan infeksi, kelenjar limfe regional akan kewalahan
menghadapi kanker. Mereka melakukan penetrasi secara bertahap dalam waktu
tahunan. Lama-lama kelenjar limfe regional akan membesar tanpa rasa sakit.
Karena itu bila pembesaran kelenjar limfe regional tidak sakit, pencarian
kanker primer menjadi prioritas [12].
Bakteri ekstraseluler dan intraseluler
1.
Infeksi Bakteri Ekstraseluler
a. Strategi pertahanan bakteri
Bakteri ekstraseluler adalah bakteri yang dapat bereplikasi
di luar sel, di dalam sirkulasi, di jaringan ikat ekstraseluler, dan di
berbagai jaringan. Berbagai jenis bakteri yang termasuk golongan bakteri ekstraseluler
telah disebutkan pada bab sebelumnya. Bakteri ekstraseluler biasanya mudah
dihancurkan oleh sel fagosit. Pada keadaan tertentu bakteri ekstraseluler tidak
dapat dihancurkan oleh sel fagosit karena adanya sintesis kapsul antifagosit,
yaitu kapsul luar (outer capsule) yang mengakibatkan adesi yang tidak
baik antara sel fagosit dengan bakteri, seperti pada infeksi bakteri berkapsul Streptococcus
pneumoniae atau Haemophylus influenzae. Selain itu, kapsul tersebut
melindungi molekul karbohidrat pada permukaan bakteri yang seharusnya dapat
dikenali oleh reseptor fagosit. Dengan adanya kapsul ini, akses fagosit dan
deposisi C3b pada dinding sel bakteri dapat dihambat. Beberapa organisme lain
mengeluarkan eksotoksin yang meracuni leukosit. Strategi lainnya adalah dengan
pengikatan bakteri ke permukaan sel non fagosit sehingga memperoleh
perlindungan dari fungsi fagosit .
Sel normal dalam tubuh mempunyai protein regulator yang
melindungi dari kerusakan oleh komplemen, seperti CR1, MCP dan DAF, yang
menyebabkan pemecahan C3 konvertase. Beberapa bakteri tidak mempunyai regulator
tersebut, sehingga akan mengaktifkan jalur alternatif komplemen melalui
stabilisasi C3b3b konvertase pada permukaan sel bakteri. Dengan adanya kapsul
bakteri akan menyebabkan aktivasi dan stabilisasi komplemen yang buruk.
Beberapa bakteri juga dapat mempercepat pemecahan komplemen
melalui aksi produk mikrobial yang mengikat atau menghambat kerja regulator
aktivasi komplemen. Bahkan beberapa spesies dapat menghindari lisis dengan cara
mengalihkan lokasi aktivasi komplemen melalui sekresi protein umpan (decoy
protein) atau posisi permukaan bakteri yang jauh dari membran sel. Beberapa
organisme Gram positif mempunyai lapisan peptidoglikan tebal yang menghambat
insersi komplek serangan membran C5b-9 pada membran sel bakteri .
Bakteri
enterik Gram negatif pada usus mempengaruhi aktivitas makrofag termasuk
menginduksi apoptosis, meningkatkan produksi IL-1, mencegah fusi
fagosom-lisosom dan mempengaruhi sitoskleton aktin. Strategi berupa variasi antigenik
juga dimiliki oleh beberapa bakteri, seperti variasi lipoprotein permukaan,
variasi enzim yang terlibat dalam sintesis struktur permukaan dan variasi
antigenik pili. Keadaan sistem imun yang dapat menyebabkan bakteri
ekstraseluler sulit dihancurkan adalah gangguan pada mekanisme fagositik karena
defisiensi sel fagositik (neutropenia) atau kualitas respons imun yang kurang
(penyakit granulomatosa kronik).
Mekanisme pertahanan bakteri ekstraseluler.
b. Mekanisme
pertahanan tubuh
Respons
imun terhadap bakteri ekstraseluler bertujuan untuk menetralkan efek toksin dan
mengeliminasi bakteri. Respons imun alamiah terutama melalui fagositosis oleh
neutrofil, monosit serta makrofag jaringan. Lipopolisakarida dalam dinding
bakteri Gram negatif dapat mengaktivasi komplemen jalur alternatif tanpa adanya
antibodi. Hasil aktivasi ini adalah C3b yang mempunyai efek opsonisasi, lisis
bakteri melalui serangan kompleks membran dan respons inflamasi akibat
pengumpulan serta aktivasi leukosit. Endotoksin juga merangsang makrofag dan
sel lain seperti endotel vaskular untuk memproduksi sitokin seperti TNF, IL-1,
IL-6 dan IL-8. Sitokin akan menginduksi adesi neutrofil dan monosit pada
endotel vaskular pada tempat infeksi, diikuti dengan migrasi, akumulasi lokal
serta aktivasi sel inflamasi. Kerusakan jaringan yang terjadi adalah akibat
efek samping mekanisme pertahanan untuk eliminasi bakteri. Sitokin juga
merangsang demam dan sintesis protein fase akut.
Netralisasi toksin
Infeksi bakteri Gram negatif dapat
menyebabkan pengeluaran endotoksin yang akan menstimulasi makrofag. Stimulasi
yang berlebihan terhadap makrofag akan menghasilkan sejumlah sitokin seperti
IL-1, IL-6 dan TNF. Proses ini akan memacu terjadinya reaksi peradangan yang
menyebabkan kerusakan sel, hipotensi, aktivasi sistem koagulasi, gagal organ
multipel dan berakhir dengan kematian. Antibodi yang mengandung reseptor
sitokin dan antagonisnya, berperan dalam menghilangkan sejumlah sitokin dalam
sirkulasi dan mencegah sitokin berikatan pada sel target.
Antibodi yang beredar dalam sirkulasi
akan menetralisasi molekul antifagositik dan eksotoksin lainnya yang diproduksi
bakteri. Mekanisme netralisasi antibodi terhadap bakteri terjadi melalui dua
cara. Pertama, melalui kombinasi antibodi di dekat lokasi biologi aktif infeksi
yaitu secara langsung menghambat reaksi toksin dengan sel target. Kedua,
melalui kombinasi antibodi yang terletak jauh dari lokasi biologi aktif infeksi
yaitu dengan mengubah konformasi alosterik toksin agar tidak dapat bereaksi
dengan sel target. Dengan ikatan kompleks bersama antibodi, toksin tidak dapat
berdifusi sehingga rawan terhadap fagositosis, terutama bila ukuran kompleks
membesar karena deposisi komplemen pada permukaan bakteri akan semakin
bertambah.
Opsonisasi
Opsonisasi adalah pelapisan antigen
oleh antibodi, komplemen, fibronektin, yang berfungsi untuk memudahkan
fagositosis. Opsonisasi ada dua yaitu opsonisasi yang tidak tergantung antibodi
dan yang ditingkatkan oleh antibodi.
Pada opsonisasi yang tidak tergantung
antibodi, protein pengikat manose dapat terikat pada manose terminal pada
permukaan bakteri, dan akan mengaktifkan C1r dan C1s serta berikatan dengan
C1q. Proses tersebut akan mengaktivasi komplemen pada jalur klasik yang dapat
berperan sebagai opsonin dan memperantarai fagositosis. Lipopolisakarida (LPS)
merupakan endotoksin yang penting pada bakteri Gram negatif. Sel ini dapat
dikenal oleh tiga kelas molekul reseptor. Sedangkan opsonisasi yang
ditingkatkan oleh antibodi adalah bakteri yang resisten terhadap proses
fagositosis akan tertarik pada sel PMN dan makrofag bila telah diopsonisasi
oleh antibodi.
Dalam opsonisasi terdapat sinergisme
antara antibodi dan komplemen yang diperantarai oleh reseptor yang mempunyai
afinitas kuat untuk IgG dan C3b pada permukaan fagosit, sehingga meningkatkan
pengikatan di fagosit. Efek augmentasi dari komplemen berasal dari molekul IgG
yang dapat mengikat banyak molekul C3b, sehingga meningkatkan jumlah hubungan
ke makrofag (bonus effect of multivalency). Meskipun IgM tidak terikat
secara spesifik pada makrofag, namun merangsang adesi melalui pengikatan
komplemen.
Antibodi akan menginisiasi aksi
berantai komplemen sehingga lisozim serum dapat masuk ke dalam lapisan
peptidoglikan bakteri dan menyebabkan kematian sel. Aktivasi komplemen melalui
penggabungan dengan antibodi dan bakteri juga menghasilkan anfilaktoksin C3a
dan C5a yang berujung pada transudasi luas dari komponen serum, termasuk
antibodi yang lebih banyak, dan juga faktor kemotaktik terhadap neutrofil
untuk membantu fagositosis.
Sel PMN merupakan fagosit yang
predominan dalam sirkulasi dan selalu tiba di lokasi infeksi lebih cepat dari
sel lain, karena sel PMN tertarik oleh sinyal kemotaktik yang dikeluarkan oleh
bakteri, sel PMN lain, komplemen atau makrofag lain, yang lebih dahulu tiba di
tempat infeksi. Sel PMN sangat peka terhadap semua faktor kemotaktik.
Sel PMN yang telah mengalami kemotaktik
selanjutnya akan melakukan adesi pada dinding sel bakteri, endotel maupun
jaringan yang terinfeksi. Kemampuan adesi PMN pada permukaan sel bakteri akan
bertambah kuat karena sinyal yang terbentuk pada proses adesi ini akan
merangsang ekspresi Fc dan komplemen pada permukaan sel. Sel PMN juga akan
melakukan proses diapedesis agar dapat menjangkau bakteri yang telah
menginfeksi.
Proses penelanan bakteri oleh fagosit
diawali dengan pembentukan tonjolan pseudopodia yang berbentuk kantong fagosom
untuk mengelilingi bakteri, sehingga bakteri akan terperangkap di dalamnya,
selanjutnya partikel granular di dalam fagosom akan mengeluarkan berbagai enzim
dan protein untuk merusak dan menghancurkan bakteri tersebut.
Mekanisme pemusnahan bakteri oleh enzim
ini dapat melalui proses oksidasi maupun nonoksidasi, tergantung pada jenis
bakteri dan status metabolik pada saat itu. Oksidasi dapat berlangsung dengan
atau tanpa mieloperoksidase. Proses oksidasi dengan mieloperoksidase terjadi
melalui ikatan H2O2 dengan Fe yang terdapat pada
mieloperoksidase. Proses ini menghasilkan komplek enzim-subtrat dengan daya
oksidasi tinggi dan sangat toksik terhadap bakteri, yaitu asam hipoklorat (HOCl).
Proses oksidasi tanpa mieloperoksidase
berdasarkan ikatan H2O2 dengan superoksida dan radikal
hidroksil namun daya oksidasinya rendah. Proses nonoksidasi berlangsung dengan
perantaraan berbagai protein dalam fagosom yaitu flavoprotein, sitokrom-b,
laktoferin, lisozim, kaptensin G dan difensin. Pada proses pemusnahan
bakteri, pH dalam sel fagosit dapat menjadi alkalis. Hal ini terjadi karena
protein yang bermuatan positif dalam pH yang alkalis bersifat sangat toksik dan
dapat merusak lapisan lemak dinding bakteri Gram negatif. Selain itu, bakteri
juga dapat terbunuh pada saat pH dalam fagosom menjadi asam karena aktivitas
lisozim. Melalui proses ini PMN memproduksi antibakteri yang dapat berperan
sebagai antibiotika alami (natural antibiotics).
Sistem imun sekretori
Permukaan mukosa usus mempunyai
mekanisme pertahanan spesifik antigen dan nonspesifik. Mekanisme nonspesifik
terdiri dari peptida antimikrobial yang diproduksi oleh neutrofil, makrofag dan
epitel mukosa. Peptida ini akan menyebabkan lisis bakteri melalui disrupsi pada
permukaan membran. Imunitas spesifik diperantarai oleh IgA sekretori dan IgM,
dengan dominasi IgA1 pada usus bagian awal dan IgA2 pada usus besar. Antibodi
IgA mempunyai fungsi proteksi dengan cara melapisi (coating) virus dan
bakteri dan mencegah adesi pada sel epitel di membran mukosa. Reseptor Fc dari
kelas Ig ini mempunyai afinitas tinggi terhadap neutrofil dan makrofag dalam
proses fagositosis. Apabila agen infeksi berhasil melewati barier IgA, maka
lini pertahanan berikutnya adalah IgE. Adanya kontak antigen dengan IgE akan
menyebabkan pelepasan mediator yang menarik agen respons imun dan menghasilkan
reaksi inflamasi akut. Adanya peningkatan permeabilitas vaskular yang
disebabkan oleh histamin akan menyebabkan transudasi IgG dan komplemen,
sedangkan faktor kemotaktik terhadap neutrofil dan eosinofil akan menarik sel
efektor yang diperlukan untuk mengatasi organisme penyebab infeksi yang telah
dilapisi oleh IgG spesifik dan C3b. Penyatuan kompleks antibodi-komplemen pada
makrofag akan menghasilkan faktor yang memperkuat permeabilitas vaskular dan
proses kemotaktik .
Apabila organisme yang diopsonisasi
terlalu besar untuk difagosit, maka fagosit dapat mengatasi organisme tersebut
melalui mekanisme ekstraseluler, yaitu Antibody-Dependent Cellular
Cytotoxicity (ADCC).
2.
INFEKSI BAKTERI INTRASELULER
a.
Strategi pertahanan
bakteri
Bakteri
intraseluler terbagi atas dua jenis, yaitu bakteri intraseluler fakultatif dan
obligat. Bakteri intraseluler fakultatif adalah bakteri yang mudah
difagositosis tetapi tidak dapat dihancurkan oleh sistem fagositosis. Bakteri
intraseluler obligat adalah bakteri yang hanya dapat hidup dan berkembang biak
di dalam sel hospes. Hal ini dapat terjadi karena bakteri tidak dapat dijangkau
oleh antibodi dalam sirkulasi, sehingga mekanisme respons imun terhadap bakteri
intraseluler juga berbeda dibandingkan dengan bakteri ekstraseluler. Beberapa
jenis bakteri seperti basil tuberkel dan leprosi, dan organisme Listeria dan
Brucella menghindari perlawanan sistem imun dengan cara hidup
intraseluler dalam makrofag, biasanya fagosit mononuklear, karena sel tersebut
mempunyai mobilitas tinggi dalam tubuh. Masuknya bakteri dimulai dengan ambilan
fagosit setelah bakteri mengalami opsonisasi. Namun setelah di dalam makrofag,
bakteri tersebut melakukan perubahan mekanisme pertahanan.
Bakteri intraseluler memiliki kemampuan
mempertahankan diri melalui tiga mekanisme, yaitu 1) hambatan fusi lisosom pada
vakuola yang berisi bakteri, 2) lipid mikobakterial seperti lipoarabinomanan
menghalangi pembentukan ROI (reactive oxygen intermediate) seperti anion
superoksida, radikal hidroksil dan hidrogen peroksida dan terjadinya respiratory
burst, 3) menghindari perangkap fagosom dengan menggunakan lisin sehingga
tetap hidup bebas dalam sitoplasma makrofag dan terbebas dari proses pemusnahan
selanjutnya (Gambar 13-4).
b.
Mekanisme pertahanan
tubuh
Pertahanan oleh diperantarai sel T (Celluar Mediated
Immunity, CMI) sangat penting dalam mengatasi organisme intraseluler. Sel T
CD4 akan berikatan dengan partikel antigen yang dipresentasikan melalui MHC II
pada permukaan makrofag yang terinfeksi bakteri intraseluler. Sel T helper
(Th1) ini akan mengeluarkan sitokin IFN γ yang akan mengaktivasi makrofag dan
membunuh organisme intraseluler, terutama melalui pembentukan oksigen reaktif
intermediat (ROI) dan nitrit oxide (NO). Selanjutnya makrofag tersebut
akan mengeluarkan lebih banyak substansi yang berperan dalam reaksi inflamasi
kronik. Selain itu juga terjadi lisis sel yang diperantarai oleh sel T
CD8.
Beberapa bakteri ada yang resisten sehingga menimbulkan
stimulasi antigen yang kronik. Keadaan ini menimbulkan pengumpulan lokal
makrofag yang terkativasi yang membentuk granuloma sekeliling mikroorganisme
untuk mencegah penyebaran. Hal ini dapat berlanjut pada nekrosis jaringan dan
fibrosis yang luas yang menyebabkan gangguan fungsi. Oleh karena itu, kerusakan
jaringan terutama disebabkan oleh respons imun terhadap infeksi bakteri
intraseluler.
Nodul
Eritem
Eritema nodosum (EN)
adalah suatu kondisi berupa benjolan-benjolan merah bulat (nodul) yang terbentuk
tepat di bawah permukaan kulit. Kondisi ini terjadi oleh peradangan di
lapisan lemak di bawah kulit.
Gejala
EN
biasanya timbul di tulang kering, tetapi juga bisa terjadi di daerah lain
seperti pantat, betis, pergelangan kaki, paha, dan lengan. Lesi dimulai
sebagai benjolan-benjolan selebar 2-6 cm yang datar, keras, panas,
kemerahan, dan menyakitkan. Garis tepi nodul tidak terdefinisikan dengan baik.
Dalam
beberapa hari benjolan-benjolan itu menjadi lunak dan berwarna kebiruan atau
merah muda, kemudian memudar dalam beberapa minggu. Bekas benjolan
kemudian tampak seperti memar kecoklatan atau kekuningan sebelum hilang
sepenuhnya.
Gejala
lain mungkin termasuk:
·
Demam
·
Kurang enak badan (malaise)
·
Nyeri sendi
·
Pembengkakan kaki atau daerah lain yang
terkena dampak
Gejala
lain yang menyertai tergantung pada sebab yang mendasari. Misalnya, EN
karena penyakit inflamasi usus mungkin disertai sakit perut dan diare.
Bila penyebabnya adalah TB mungkin disertai batuk dan sesak nafas (lihat
uraian di bawah mengenai penyebab).
Penyebab
Pada
lebih dari setengah penderita, EN timbul tanpa sebab yang jelas
(idiopatik). Namun, kadang-kadang EN dapat menjadi tanda awal suatu
masalah kesehatan yang perlu segera didiagnosis dan diobati. Kondisi yang
dapat memicu timbulnya EN antara lain:
·
Infeksi streptokokus: pemicu yang
paling umum pada anak-anak. Infeksi ini menyebabkan radang tenggorokan.
·
Sarkoidosis: kondisi di mana peradangan
menyebabkan benjolan-benjolan kecil (granuloma) di berbagai organ tubuh,
yang paling umum di paru-paru dan kelenjar getah bening. Sarkoidosis
adalah pemicu umum EN pada orang dewasa.
·
Tuberkulosis (TB): infeksi oleh bakteri
TB yang biasanya menyerang paru-paru.
·
Infeksi lainnya: Clamidia,
Mycoplasma pneumoniae, Salmonella spp dan Campylobacter spp .
·
Reaksi terhadap obat-obatan tertentu
seperti antibiotik dan pil KB kombinasi.
·
Penyakit radang usus: ulcerative
colitis dan penyakit Crohn.
·
Kehamilan, paling sering selama
trimester kedua.
·
Kanker jenis limfoma dan leukemia.
Pustulasi
pustulasi
: lesi kulit yang terisi dengan pus dibagian epidermis
Patofisiologi
terjadi karena infeksi bakteri
menyebabkan penumpukan eksudat purulen yang terdiri dari pus, leukosit dan
debris. Pustule
Infeksi
yaitu invasi dan
pembiakan mikroorganisme di jaringan tubuh, secara klinis tidak tampak atau
timbul cedera selular lokal akibat kompetisi metabolisme, toksin, replikasi
intrasel, atau respon antigen-antibodi. (Dorland, 2002)
Radang atau
inflamasi
merupakan respon
protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang
berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurunng (sekuester) baik agen
pencedera maupun jaringan yang cedera itu. (Dorland, 2002)
Infeksi
Infeksi menembus
permukaan kulit atau berasal dari dalam tubuh. Gambaran klinisnya tergantung
pada:
1.
Letaknya di dalam kulit
2.
Sifat alami organisme
3.
Sifat respon tubuh terhadap organisme
Sebagian besar
infeksi melalui jalan eksternal dengan menembus barier kulit yang dapat
menyebabkan lesi kulit saat organisme menginfeksi tubuh lainnya dan menimbulkan
bercak-bercak kulit. Infeksi dapat disebabkan oleh berbagai macam organisme,
seperti fungi, virus, bakteri, protozoa dan virus metazoa. Banyak organisme
yang hidup atau bahkan tumbuh di dalam kulit tetapi tidak menimbulkan kerugian
terhadap inang yang disebut komensal, atau apabila organisme ini mengkonsumsi
bahan-bahan yang mati maka mereka disebut saprofit.(Underwood, 1999)
Mekanisme
kerusakan jaringan yang diakibatkan organisme infeksius beraneka ragam, karena
produk atau sekresi yang berbahaya dari bakteri-bakteri. Jadi, sel hospes
menerima rangsangan bahan kimia yang mungkin bersifat toksik terhadap
metabolisme atau terhadap keutuhan membran sel. Sebagai tambahan, sering timbul
respon peradangan dari hospes yang dapat menyebabkan kerusakan kimiawi terhadap
sel. Agen intraseluler misalnya virus sering menyebabkan ruptura sel yang
terinfeksi. Selanjutnya terjadi kerusakan jaringan lokal. (Underwood, 1999)
Radang
Peradangan ditandai oleh:
1.
Vasodilatasi pembuluh darah lokal yang mengakibatkan terjadinya aliran darah
setempat yang berlebihan
2.
Peningkatan permeabilitas kapiler, memungkinkan kebocoran banyak sekali cairan
ke dalam ruang intersisiel
3.
Seringkali terjadi pembekuan cairan di dalam ruang intersisiel yang disebabkan
oleh fibrinogen dan protein yang lainnya yang bocor dari kapiler dalam jumlah
besar
4.
Migrasi sejumlah besar granulosit dan monosit ke dalam jaringan
5.
Pembengkakan sel jaringan
(Guyton, 2007)
Biasanya diklasifikasikan berdasarkan waktu kejadiannya,
antara lain:
1.
Radang akut
Yaitu reaksi jaringan yang segera dan hanya dalam waktu yang tidak lama
2.
Radang kronis
Yaitu reaksi jaringan selanjutnya yang diperlama mengikuti respon awal
Penyebab utama radang akut adalah:
· Infeksi mikrobial
Merupakan penyebab
yang paling sering ditemukan. Virus menyebabkan kematian sel dengan cara
multiplikasi intraseluler. Bakteri melepaskan endotoksin yang spesifik atau
melepaskan endotoksin yang ada hubungannya dengan dinding sel. Di samping itu,
beberapa macam organisme, melalui reaksi hipersensitivitas, dapat menyebabkan
radang yang diperantarai imunologi.
· Reaksi hipersensitivitas
Terjadi bila
perubahan kondisi respon imunologi mengakibatkan tidak sesuainya atau
berlebihannya reaksi imun yang akan merusak jaringan.
· Agen fisik
Kerusakan jaringan
yang terrjadi pada proses radang dapat melalui trauma fisik, ultraviolet atau radiasi
ion, terbakar atau dingin yang berlebihan (fostbite).
· Bahan kimia iritan dan korosif
Bahan kimiawi yang
menyebabkan korosif (bahan oksidan, asam, basa) akan merusak jaringan, yang
kemudian akan memprovokasi terjadinya proses radang. Di samping itu, agen
penyebab infeksi dapat melepaskan bahan kimiawi spesifik yang mengiritasi, dan
langsung mengakibatkan radang.
· Jaringan nekrosis
Aliran darah yang
tidak mencukupi akan menyebabkan berkurangnya pasokan oksigen dan makanan pada
daerah bersangkutan, yang akan mengakibatkan terjadinya kematian jaringan.
Kematian jaringan sendiri merupakan stimulus yang kuat untuk terjadinya
infeksi. Pada tepi daerah infark sering memperlihatkan suatu respon radang
akut.(Underwood, 1999)
Proses peradangan
Salah satu efek
pertama dari peradangan adalah pembatasan (wall of) area yang cedera dari sisa
jaringan yang tidak mengalami radang. Ruang jaringan dan cairan limfatik di
daerah yang meradang dihalangi oleh bekuan fibrinogen, sehingga untuk sementara
waktu hampir tidak ada cairan yang melintasi ruangan. Proses pembatasan akan
menunda penyebaran bakteri atau produk toksik.
Dalam waktu beberapa
menit setelah peradangan dimulai, makrofag telah ada di dalam jaringan dan
segera memulai kerja fagositiknya. Bila diaktifkan oleh produk infeksi dan
peradangan, efek yang mula-mula terjadi adalah pembengkakan setiap sel-sel ini
dengan cepat. Selanjutnya, banyak makrofag yang sebelumnya terikat kemudian
lepas dari perlekatannya dan menjauh mobil, membentuk lini pertama pertahanan
tubuh terhadap infeksi selama beberapa jam pertama.
Dalam beberapa jam
setelah peradangan dimulai, sejumlah besar netrofil dari darah mulai menginvasi
daerah yang meradang. Hal ini disebabkan oleh produk yang berasal dari jaringan
yang meradang akan memicu reaksi berikut:
1.
Produk tersebut mengubah permukaan bagian dalam endotel kapiler, menyebabkan
netrofil melekat pada dinding kapiler di area yang meradang. Efek ini disebut
marginasi.
2.
Produk ini menyebabkan longgarnya perlekatan interseluler antara sel endotel
kapiler dan sel endotel vanula kecil sehingga terbuka cukup lebar, dan
memungkinkan netrofil untuk melewatinya dengan cara diapedesis langsung dari
darah ke dalam ruang jaringan.
3.
Produk peradangan lainnya akan menyebabkan kemotaksis netrofil menuju jaringan
yang cedera.
Jadi, dalam waktu
beberapa jam setelah dimulainya kerusakan jaringan, tempat tersebut akan diisi
oleh netrofil. Karena netrofil darah telah berbentuk sel matur, maka sel-sel
tersebut sudah siap untuk segera memulai fungsinya untuk membunuh bakteri dan
menyingkirkan bahan-bahan asing.
Dalam waktu
beberapa jam sesudah dimulainya radang akkut yang berat, jumlah netrofil di
dalam darah kadang-kadang menigkat sebanyak 4-5 kali lipat menjadi
15.000-25.000 netrofil per mikroliter. Keadaan ini disebut netrofilia.
Netrofilia disebabkan oleh produk peradangan yang memasuki aliran darah, kemudian
diangkut ke sumsum tulang, dan disitu bekerja pada netrofil yang tersimpan
dalam semsum untuk menggerakkan netrofil-netrofil ini ke sirkulasi darah. Hal
ini membuat lebih banyak lagi netrofil yang tersedia di area jaringan yanng
meradang.
Bersama dengan invasi
netrofil, monosit dari darah akan memasuki jaringan yang meradang dan membesar
menjadi makrofag. Setelah menginvasi jaringan yang meradang, monosit masih
merupakan sel imatur, dan memerlukan waktu 8 jam atau lebih untuk membengkak ke
ukuran yang jauh lebih besar dan membentuk lisosom dalam jumlah yang sangat
banyak, barulah kemudian mencapai kapasitas penuh sebagai makrofag jaringan
untuk proses fagositosis. Ternyata setelah beberapa hari hingga minggu,
makrofag akhirnya datang dan mendominasi sel-sel fagositik di area yang
meradang, karena produksi monosit baru yang sangat meningkat dalam sumsum
tulang.
Pertahanan tubuh
yang keempat adalah peningkatan hebat produksi granulosit dan monosit oleh
sumsum tulang. Hal ini disebabkan oleh perangsangan sel-sel progenitor
granulositik dan monositik di sumsum. Namun hal tersebut memerlukan waktu 3-4
hari sebelum granulosit dan monosit yang baru terbentuk ini mencapai tahap
meninggalkan sumsum tulang. (Guyton, 2007)
Pembentukan pus
Bila netrofil dan
makrofag menelan sejumlah besar bakteri dan jaringan nekrotik, pada dasarnya
semua netrofil dan sebagian besar makrofag akhirnya akan mati. Sesudah beberapa
hari, di dalam jaringan yang meradang akan terbentuk rongga yang mengandung
berbagai bagian jaringan nekrotik, netrofil mati, makrofag mati, dan cairan
jaringan. Campuran seperti ini biasanya disebut pus. Setelah proses infeksi
dapat ditekan, sel-sel mati dan jaringan nekrotik yang terdapat dalam pus
secara bertahap akan mengalami autokatalisis dalam waktu beberapa hari, dan
kemudian produk akhirnya akan diabsorpsi ke dalam jaringan sekitar dan cairan
limfe hingga sebagian besar tanda kerusakan jaringan telah hilang.
(Guyton, 2007)
Efek radang akut
Cairan dan eksudat
seluler, keduanya dapat mempunyai efek yang berguna. Manfaat cairan eksudat
adalah sebagai berikut:
· Mengencerkan toksin
Pengenceran toksin yang diproduksi oleh bakteria akan memungkinkan
pembuangannya melalui saluran limfatik
· Masuknya antibodi
Akibat naiknya permeabilitas vaskuler, memugkinkan antibodi masuk ke dalam
rongga ekstravaskuler. Antibodi dapat mengakibatkan lisisnya mikro-organisme
dengan mengikutsertakan komplemen, atau mengakibat-kan fagositosis
melalui opsonisasi. Antibodi juga penting untuk menetralisir toksin.
· Transpor obat
Seperti antibiotik ke tempat bakteri berkembang biak.
· Pembentukan fibrin
Dari eksudat fibrinogen dapat menghalangi gerakan mikro-organsme,
menangkapnya dan memberikan fasilitas terjadinya fagositosis.
· Mengirim nutrisi dan oksigen
Yang sangat
penting untuk sel seperti neutrofil yang mempunyai aktivitas metabolisme yang
tinggi, yang dibantu dengan menaikkan aliran cairan melalui daerah tersebut
· Merangsang respon imun
Dengan cara
menyalurkan cairan eksudat ke dalam saluran limfatik yang memungkinkan partikel
dari larutan antigen mencapai limfonodus regionalnya, dimana partikel dapat
merangsang respon imun.
Pembebasan
enzim-enzim lisosom oleh sel radang dapat pula mempunyai efek yang merugikan,
yaitu:
· Mencerna jaringan normal
Enzim-enzim
seperti kolagenase, protease dapat mencerna jaringan normal, yang menyebabkan
kerusakan. Kondisi ini mungkin terutama sebagai hasil kerusakan vaskuler,
misalnya pada reaksi hipersensitivitas tipe III.
· Pembengkakan
Pembengkakan
jaringan yang mengalami radang akut dapat merugikan. Pembengkakan karena radang
akan berbahaya apabila terjadi di dalam ruang yang tertutup seperti rongga
kepala.
·
Respon radang yang
tidak sesuai
Kadang-kadang
respon radang akut tampak tidak sesuai, seperti yang terjadi pada reaksi
hipersensitivitas tipe I, dimana antigen di sekitarnya berkemampuan menyebabkan
reaksi yang tidak mengancam dan merugikan individu. Pada respon radang karena
alergi mungkin dapat mengancam hidupnya, misalnya asma ekstrinsik
Ciri ciri inflamasi
Warna kemerahan (rubor)
Diakibatkan oleh
adanya dilatasi pembuluh darah kecil dalam daerah yang mengalami kerusakan.
Panas (kalor)
Peningkatan suhu
hanya tampak pada bagian perifer tubuh (kulit). Peningkatan suhu ini
diakibatkan karena meningkatnya aliran darah sehingga sistem vaskuler dilatasi
dan mengalirkan darah yang hangat pada daerah tersebut.
Bengkak (tumor)
Pembengkakan
sebagai hasil adanya edema dan kelompok sel radang dalam jumlah sedikit yang
masuk ke dalam daerah tersebut.
Nyeri (dolor)
Rasa nyeri
diakibatkan oleh regangan dan distorsi jaringan akibat edema dan terutama
karena tekanan pus di dalam rongga abses.
Demam
Demam merupakan
manifestasi sistemik yang paling sering terjadi pada respon radang dan
merupakan gejala utama penyakit infeksi
- Endotoksin bakteri gram negatif
- Sitokin yang dilepaskan dari sel-sel
limfoid
Mekanisme demam
antara lain:
Aktivator
(mikroba, toksin, kompleks antigen-antibodi, proses radang; dll) → menginduksi
fagosit MN dan sel lain → melepaskan interleukin-1 → pusat pengatur suhu
(hipotalamus) melalui darah → respon fisiologik → demam
Penanganan luka
Prinsipnya adalah
pada luka bersih tidak perlu diberikan antibiotik dan pada luka kotor maka
perlu diberikan antibiotik. Tindakan penanganan luka harus dilakukan sesuai
teknik aseptik (steril).
1.
Bersihkan tepi luka menggunakan alkohol
2.
Lanjutkan dengan pemakaian desinfektan seperti betadine pada luka
3.
Balut luka agar tidak terjadi infeksi lebih lanjut