Senin, 23 April 2012

Tutorial Sk. 4 Blok 5 : Edema


Tutorial Skenario 4 part 2
Author : Eka
Edema
Edema adalah penimbunan cairan secara berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. Keadaan ini sering dijumpai pada praktek klinik sehari-hari yang terjadi sebagai akibat ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh, antara lain gangguan hemodinamik system kapiler yang menyebabkan retensi natrium dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke intestinum.
Edema yang bersifat lokal seperti terjadi hanya di dalam rongga perut (hydroperitoneum atau ascites), rongga dada (hydrothorax), di bawah kulit (edema subkutis atau hidops anasarca), pericardium jantung (hydropericardium) atau di dalam paru-paru (edema pulmonum). Sedangkan edema yang ditandai dengan terjadinya pengumpulan cairan edema di banyak tempat dinamakan edema umum (general edema).
 Cairan edema diberi istilah transudat, memiliki berat jenis dan kadar protein rendah, jernih tidak berwarna atau jernih kekuningan dan merupakan cairan yang encer atau mirip gelatin bila mengandung di dalamnya sejumlah fibrinogen plasma.

Etiologi dan PATOFISIOLOGI
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan cairan interstisium dikenal sebagai edema. Penyebab edema dapat dikelompokan menjadi empat kategori  umum:
1.      Penurunan konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic plasma.penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh lebih tinggi, sementara jumlah cairan yang  direabsorpsi kurang dari normal ; dengan demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang –ruang interstisium. Edema yang disebabkan oleh penurunan konsentrasi protein plasma dapat terjadi melalui beberapa cara : pengeluaran berlebihan protein plasma di urin akibat penyakit ginjal ; penurunan sintesis protein plasma akibat penyakit hati ( hati mensintesis hampir semua protein plasma ); makanan yang kurang mengandung protein ; atau pengeluaran protein akibat luka bakar yang luas .
2.      Peningkatan permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar dari kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak. Sebagai contoh, melalui pelebaran  pori –pori kapiler yang dicetuskan oleh histamin pada cedera jaringan atau reaksi alergi . Terjadi penurunan tekanan osmotik koloid plasma yang menurunkan kearah dalam sementara peningkatan tekanan osmotik  koloid cairan interstisium yang disebabkan oleh kelebihan protein dicairan interstisium meningkatkan tekanan kearah luar. ketidakseimbangan ini ikut berperan menimbulkan edema lokal yang berkaitan dengan cedera ( misalnya , lepuh ) dan respon alergi (misalnya , biduran)
3.      Peningkatan tekanan vena , misalnya darah terbendung di vena , akan disertai peningkatan tekanan darah kapiler, kerena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena. peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Edema regional juga dapat terjadi  karena restriksi lokal aliran balik  vena. Salah satu contoh adalah adalah pembengkakan di tungkai dan kaki yang sering terjadi pada masa kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena –vena  besar  yang mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena tersebut masuk  ke rongga abdomen. Pembendungan darah di vena ini menyebabkan kaki yang mendorong terjadinya edema regional di ekstremitas bawah.
4.      Penyumbatan pembuluh  limfe menimbulkan edema,karena kelebihan cairan yang difiltrasi keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah melalui sistem limfe. Akumulasi protein di cairan interstisium memperberat masalah melalui efek osmotiknya. Penyumbatan limfe lokal dapat terjadi, misalnya di lengan wanita yang saluran-saluran drainase limfenya dari lengan yang tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe selama pembedahan untuk kanker payudara. Penyumbatan limfe yang lebih meluas terjadi pada filariasis, suatu penyakit parasitic yang ditularkan melalui nyamuk yang terutama dijumpai di daerah-daerah tropis. Pada penyakit ini, cacing-cacing filaria kecil mirip benang menginfeksi pembuluh limfe sehingga terjadi gangguan aliran limfe. Bagian tubuh yang terkena, terutama skrotum dan ekstremitas, mengalami edema hebat.Kelainan ini sering disebut sebagai elephantiasis,karena ekstremitas yang membengkak seperti kaki gajah.

Apapun penyebab edema, konsenkuensi pentingnya adalah penurunan pertukaran bahan-bahan antara darah dan sel. Sering dengan akumulasi cairan interstisium, jarak antara sel dan darah yang harus ditempuh oleh nutrient, O2, dan zat-zat sisa melebar sehingga kecepatan difusi berkurang. Dengan demikian, sel-sel di dalam jaringan yang edematosa mungkin kurang mendapat pasokan darah.

MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan Tanda
1.      Distensi vena jugularis, Peningkatan tekanan vena sentral
2.      Peningkatan tekanan darah, Denyut nadi penuh, kuat
3.      Melambatnya waktu pengosongan vena-vena tangan
4.      Edema perifer dan periorbita
5.      Asites, Efusi pleura, Edema paru akut ( dispnea,takipnea,ronki basah di seluruh lapangan paru )
6.      Penambahan berat badan secara cepat : penambahan 2% = kelebihan ringan, penambahna 5% = kelebihan sedang, penambahan 8% = kelebihan berat
7.      Hasil laboratorium : penurunan hematokrit, protein serum rendah, natrium serum normal, natrium urine rendah ( <10 mEq/24 jam )

PENATALAKSANAAN
Terapi edema harus mencakup terapi penyebab yang mendasarinya yang reversibel (jika memungkinkan). Pengurangan asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. tidak semua pasien edema memerlukan terapi farmakologis ,pada beberapa pasien terapi non farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni kurang dari jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki diatas level dari atrium kiri. Tetapi pada kondisi tertentu diuretic harus diberikan bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan obat dan dosis akan sangat tergantung pada penyakit yang mendasari, berat-ringannya penyakit dan urgensi dari penyakitnya.
Efek diuretic berbeda berdasarkan tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretic berdasarkan tempat kerja ;
1.      Diuretik yang bekerja pada tubulus proksimalis
2.      Diuretic yang bekerja pada loop of henle
3.      Diuretic yang bekerja pada tubulus kontortus distal
4.      Diuretic yang bekerja pada cortical collecting tubule
Prinsip terapi edema
1.      Penanganan penyakit yang mendasari
2.      Mengurangi asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intravena
3.      Meningkatkan pengeluaran natrium dan air : Diuretic ;hanya sebagai terapi paliatif,bukan kuratif; Tirah baring, local pressure
4.      Hindari factor yang memperburuk penyakit dasar ; diuresis yang berlebihan menyebabkan pengurangan volume plasma,hipotensi,perfusi yang inadekuat, sehingga dapat memperburuk.
Mekanisme edema yang disebabkan oleh penyakit dan penatalaksana
1.      Edema Paru Akut (Kardiak) adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema Paru Akut (Kardiak)  menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di atrium kiri melebihi keluaran ventrikel kiri.
Penatalaksanaan

2.      Posisi ½ duduk
3.      Oksigen (40%-50%) sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien makin sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisadipertahankan > 60 mmHg dengan O2 konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi endotrakeal, suction dan ventilator.
4.      Infus emergensi. Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.
5.      Nitrogliserin sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit. Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan maka dapat diberikan Nitrogliserin IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau sampai tekanan sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke organ-organ vital.
6.      Morfin sulfat 3-5 mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
7.      Diuretik Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
8.      Bila perlu (tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
9.      Trombolitik atau revaskularisasi pada pasien infark miokard.
10.  Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak berhasil dengan oksigen.
11.  Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
12.  Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan ruptur dinding ventrikel/corda tendinae.

1.      Edema anasarka et causa Sindroma Nefrotik
Sindroma nefrotik adalah suatu sindroma klinik dengan gejala proteinuria masif (≥ 40 mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/dl atau dipstik ≥2+), Hipoalbuminemia ≤ 2,5 gr/dl, Edema dan dapat disertai hiperkolesterolemia. Menurut pembagian berdasarkan etiologi (penyebab), SN dibagi menjadi :
a.      SN Primer, merupakan Sindroma Nefrotik Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), tipe ini diidap oleh 90% anak dengan SN.Diduga ada hubungan dengan faktor genetik, alergi dan imunologi. SN idiopatik terdiri dari 3 tipe histologis : SN kelainan minimal (85% dari total kasus SN pada anak), glomerulonephritis proliferatif (5% dari total kasus SN), dan glomerulosklerosis fokal segmental (10% dari kasus SN).
b.      SN Sekunder, tipe ini penyebabnya berasal dari luar ginjal (ekstra renal). Umumnya menimpa orang dewasa, bisa diakibatkan oleh penyakit-penyakit tertentu seperti : Hepatitis B, malaria, lepra, pasca infeksi bakteri streptokokus, penyakit ganas : tumor paru, tumor saluran cerna, kontaminasi toksin seperti logam berat, bisa ular dan serangga. Episode awal dapat didahului oleh infeksi ringan. Anak datang dengan keluhan bengkak (edema) ringan dimana awalnya terjadi pada sekitar mata (periorbital) dan ekstremitas bawah. Seiring waktu pembengkakan semakin meluas, asites, efusi pleura, dan edema genitalia. Anoreksia, iritabilitas, nyeri perut dan diare sering pula terjadi. Penatalaksanaan SN antara lain berupa istirahat sampai edema berkurang, diit rendah protein dan rendah garam, diuretika, antibiotika bila ada gejala infeksi, yang paling penting adalah pemberian kortikosteroid (prednison) yang terbagi dalam beberapa fase sampai urin bebas protein. Obat-obat lain seperti methylprednisolone, cyclofosfamid, tacrolimus dll diberikan pada kondisi tertentu. Tindakan bedah seperti pungsi asites, pungsi hidrotoraks, dilakukan bila ada indikasi vital. Prognosis penderita sangat tergantung dari penyebab, berat ringannya penyakit, umur penderita dan penatalaksanaannya. Anak dapat mengalami berulangnya penyakit (relaps) dikemudian hari.

Kesimpulan
Sindroma Nefrotik (SN) sindroma klinik dengan gejala proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan hiperkolesterolemia. 90 % SN merupakan tipe primer (idiopatik). Penatalaksanaan SN antara lain berupa istirahat sampai edema berkurang, diit rendah protein dan rendah garam, diuretika, antibiotika bila ada gejala infeksi dan kortikosteroid (prednison). SN dapat mengalami relaps. Prognosis penderita sangat tergantung dari penyebab, berat ringannya penyakit, umur penderita dan penatalaksanaannya.

Terapi
Bed rest, Diit rendah garam 1-2 g/hari, Kortikosteroid : 4 minggu pertama dengan dosis penuh 2 mg/kgBB/hari. Diharapkan akan remisi. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, dilanjutkan dengan 4 minggu kedua dengan dosis 2/3 dosis awal secara alternating (selang sehari), 1 kali sehari setelah makan pagi. Diuretik : Furosemid 1-2 mg/kgBB/hari. Pemantauan : Berat badan dan tekanan darah diukur setiap hari, Ureum dan kreatinin urin diperiksa setiap 3 hari.
  1. Ascites et causa Hepatitis Kronis
Kronis adalah peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis kronis lebih jarang ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Biasanya ringan dan tidak menimbulkan gejala ataupun kerusakan hati yang berarti. Pada beberapa kasus, peradangan yang terus menerus secara perlahan menyebabkan kerusakan hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis dan kegagalan.
Dikatakan Hepatitis kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi, selama 6 bulan. Pada pasien ini terdapat keluhan perut membesar. Hal ini merupakan tanda adanya kelainan pada rongga perut pisa berupa cairan, massa dan perdarahan. Untuk membedakan maka dilakukan pemeriksaan fisik yang didapat test undulasi dan pekak beralih positif, ini menunjukkan pada rongga abdomen terdapat cairan yang disebut Asites.
Pasien memiliki riwayat sering mengkonsumsi minuman keras semasa mudanya yang bisa memperburuk kondisi heparnya. Dengan hasil lab yang menyatakan HbsAg pasien (+) berarti pasien menderita penyakit hepatitis B. Karena sudah berlangsung beberapa tahun memungkinkan perjalanan penyakit pasien menjadi penyakit yang kronik. Pada pemeriksaan kimia darah, rasio alumin dan globulin menjadi terbalik, menyatakan telah terjadi kerusakan yang cukup parah pada hepar pasien.
Pada penurunan fungsi hepatoseluler terjadi penurunan dari sintesis albumin, dimana albumin ini memegang peranan penting dalam menjaga tekanan osmotik darah. Dengan menurunnya kadar albumin, maka tekanan osmotik akan menurun yang berakibat eksudasi cairan intravaskular ke dalam jaringan interstitial di seluruh tubuh, diantaranya adalah rongga peritoneum, sedangkan udem perifer yang terjadi selain karena faktor hipoalbuminemia juga akibat adanya retensi garam dan air yang terjadi oleh karena kegagalan hati dalam menginaktifkan hormon aldosteron dan hormon anti diuretik (ADH).
Mengenai keluhan badan lemas dan cepat lelah, mual dan nafsu makan yang menurun merupakan kompensasi dari tubuh akibat adanya kerusakan dari parenkim hati.
Pasien juga merasakan perut sebah yang dikarenakan terdapatnya cairan pada rongga abdomen sehingga tekanan abdomen meningkat dan dapat mengganggu kerja usus dan lambung, hal ini bisa menimbulkan rasa mual akibat penekanan tersebut, nafsu makan menurun dan badan menjadi lemas.
Berdasarkan alasan diatas maka kasus pada pasien ini lebih kearah  gangguan fungsi fungsi hati akibat penyakit yang berjalan lama.. Dengan tanda dan gejala yang ada dan didukung oleh pemeriksaan fisik dan penunjang maka diagnosis pasien adalah Asites et causa Hepatitis B kronik

Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga peritoneum yang dapat dibagi menjadi 2 mekanisme dasar yaitu eksudasi dan transudasi. Hepatitis Kronis adalah peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis kronis lebih jarang ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan berpuluh-puluh tahun. Biasanya ringan dan tidak menimbulkan gejala ataupun kerusakan hati yang berarti. Pada beberapa kasus, peradangan yang terus menerus secara perlahan menyebabkan kerusakan hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis dan kegagalan. Dikatakan Hepatitis kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi, selama 6 bulan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi terapi non farmakologis yaitu dengan diet tinggi protein, tinggi kalori, rendah garam dan dengan pungsi asites. Diberikan juga terapi farmakologis berupa infus RL 20 tetes/ menit, furosemid 40mg x 2 tab (dosis maksimal 600 mg/hari), kcl 50mg/hari, BC 100mg x 3 tab, dan Ranitidin 150mg x 3 tab.

Sumber
·         Amin, Zulkifli, Asril Bahar, dkk. 2006. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
·         IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1. Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
·         Hassan, R., et al, Buku Kuliah, Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, cetakan ke 9, Jakarta; 2000.
·         Nelson, W. E., Ilmu Kesehatan Anak, Nelson Textbook of Peditrics, EGC, Jakarta; 2000. 
·         Standar Pelayanan Medis Operasional RSUP DR. SARDJITO, Fakultas Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta; 2000.
Author : Eka

Tidak ada komentar:

Posting Komentar