Tutorial Skenario 4 part
2
Author : Eka
Edema
Edema adalah penimbunan cairan secara
berlebihan di antara sel-sel tubuh atau di dalam berbagai rongga tubuh. Keadaan
ini sering dijumpai pada praktek klinik sehari-hari yang terjadi sebagai akibat
ketidakseimbangan faktor-faktor yang mengontrol perpindahan cairan tubuh,
antara lain gangguan hemodinamik system kapiler yang menyebabkan retensi
natrium dan air, penyakit ginjal serta perpindahannya air dari intravascular ke
intestinum.
Edema yang bersifat lokal seperti
terjadi hanya di dalam rongga perut (hydroperitoneum atau ascites), rongga dada
(hydrothorax), di bawah kulit (edema subkutis atau hidops anasarca),
pericardium jantung (hydropericardium) atau di dalam paru-paru (edema
pulmonum). Sedangkan edema yang ditandai dengan terjadinya pengumpulan cairan
edema di banyak tempat dinamakan edema umum (general edema).
Cairan edema diberi istilah transudat,
memiliki berat jenis dan kadar protein rendah, jernih tidak berwarna atau
jernih kekuningan dan merupakan cairan yang encer atau mirip gelatin bila
mengandung di dalamnya sejumlah fibrinogen plasma.
Etiologi dan PATOFISIOLOGI
Pembengkakan jaringan akibat kelebihan
cairan interstisium dikenal sebagai edema. Penyebab edema dapat dikelompokan
menjadi empat kategori umum:
1.
Penurunan
konsentrasi protein plasma menyebabkan penurunan tekanan osmotic
plasma.penurunan ini menyebabkan filtrasi cairan yang keluar dari pembuluh
lebih tinggi, sementara jumlah cairan yang direabsorpsi kurang dari
normal ; dengan demikian terdapat cairan tambahan yang tertinggal diruang
–ruang interstisium. Edema yang disebabkan oleh penurunan konsentrasi protein
plasma dapat terjadi melalui beberapa cara : pengeluaran berlebihan protein
plasma di urin akibat penyakit ginjal ; penurunan sintesis protein plasma
akibat penyakit hati ( hati mensintesis hampir semua protein plasma ); makanan
yang kurang mengandung protein ; atau pengeluaran protein akibat luka bakar
yang luas .
2.
Peningkatan
permeabilitas dinding kapiler menyebabkan protein plasma yang keluar dari
kapiler ke cairan interstisium disekitarnya lebih banyak. Sebagai contoh,
melalui pelebaran pori –pori kapiler yang dicetuskan oleh histamin pada
cedera jaringan atau reaksi alergi . Terjadi penurunan tekanan osmotik koloid
plasma yang menurunkan kearah dalam sementara peningkatan tekanan osmotik
koloid cairan interstisium yang disebabkan oleh kelebihan protein dicairan
interstisium meningkatkan tekanan kearah luar. ketidakseimbangan ini ikut
berperan menimbulkan edema lokal yang berkaitan dengan cedera ( misalnya ,
lepuh ) dan respon alergi (misalnya , biduran)
3.
Peningkatan
tekanan vena , misalnya darah terbendung di vena , akan disertai peningkatan
tekanan darah kapiler, kerena kapiler mengalirkan isinya kedalam vena.
peningkatan tekanan kearah dinding kapiler ini terutama berperan pada edema
yang terjadi pada gagal jantung kongestif. Edema regional juga dapat
terjadi karena restriksi lokal aliran balik vena. Salah satu contoh
adalah adalah pembengkakan di tungkai dan kaki yang sering terjadi pada masa
kehamilan. Uterus yang membesar menekan vena –vena besar yang
mengalirkan darah dari ekstremitas bawah pada saat vena-vena tersebut
masuk ke rongga abdomen. Pembendungan darah di vena ini menyebabkan kaki
yang mendorong terjadinya edema regional di ekstremitas bawah.
4.
Penyumbatan
pembuluh limfe menimbulkan edema,karena kelebihan cairan yang difiltrasi
keluar tertahan di cairan interstisium dan tidak dapat dikembalikan ke darah
melalui sistem limfe. Akumulasi protein di cairan interstisium memperberat
masalah melalui efek osmotiknya. Penyumbatan limfe lokal dapat terjadi,
misalnya di lengan wanita yang saluran-saluran drainase limfenya dari lengan
yang tersumbat akibat pengangkatan kelenjar limfe selama pembedahan untuk
kanker payudara. Penyumbatan limfe yang lebih meluas terjadi pada filariasis,
suatu penyakit parasitic yang ditularkan melalui nyamuk yang terutama dijumpai
di daerah-daerah tropis. Pada penyakit ini, cacing-cacing filaria kecil mirip
benang menginfeksi pembuluh limfe sehingga terjadi gangguan aliran limfe.
Bagian tubuh yang terkena, terutama skrotum dan ekstremitas, mengalami edema
hebat.Kelainan ini sering disebut sebagai elephantiasis,karena ekstremitas yang
membengkak seperti kaki gajah.
Apapun penyebab edema, konsenkuensi pentingnya
adalah penurunan pertukaran bahan-bahan antara darah dan sel. Sering dengan
akumulasi cairan interstisium, jarak antara sel dan darah yang harus ditempuh
oleh nutrient, O2, dan zat-zat sisa melebar sehingga kecepatan
difusi berkurang. Dengan demikian, sel-sel di dalam jaringan yang edematosa
mungkin kurang mendapat pasokan darah.
MANIFESTASI KLINIS
Gejala dan Tanda
1.
Distensi
vena jugularis, Peningkatan tekanan vena sentral
2.
Peningkatan
tekanan darah, Denyut nadi penuh, kuat
3.
Melambatnya
waktu pengosongan vena-vena tangan
4.
Edema
perifer dan periorbita
5.
Asites,
Efusi pleura, Edema paru akut ( dispnea,takipnea,ronki basah di seluruh
lapangan paru )
6.
Penambahan
berat badan secara cepat : penambahan 2% = kelebihan ringan, penambahna 5% =
kelebihan sedang, penambahan 8% = kelebihan berat
7.
Hasil
laboratorium : penurunan hematokrit, protein serum rendah, natrium serum
normal, natrium urine rendah ( <10 mEq/24 jam )
PENATALAKSANAAN
Terapi edema harus mencakup terapi
penyebab yang mendasarinya yang reversibel (jika memungkinkan). Pengurangan
asupan sodium harus dilakukan untuk meminimalisasi retensi air. tidak semua
pasien edema memerlukan terapi farmakologis ,pada beberapa pasien terapi non
farmakologis sangat efektif seperti pengurangan asupan natrium (yakni kurang
dari jumlah yang diekskresikan oleh ginjal) dan menaikkan kaki diatas level
dari atrium kiri. Tetapi pada kondisi tertentu diuretic harus diberikan
bersamaan dengan terapi non farmakologis. Pemilihan obat dan dosis akan sangat
tergantung pada penyakit yang mendasari, berat-ringannya penyakit dan urgensi
dari penyakitnya.
Efek diuretic berbeda berdasarkan
tempat kerjanya pada ginjal. Klasifikasi diuretic berdasarkan tempat kerja ;
1.
Diuretik
yang bekerja pada tubulus proksimalis
2.
Diuretic
yang bekerja pada loop of henle
3.
Diuretic
yang bekerja pada tubulus kontortus distal
4.
Diuretic
yang bekerja pada cortical collecting tubule
Prinsip
terapi edema
1.
Penanganan
penyakit yang mendasari
2.
Mengurangi
asupan natrium dan air, baik dari diet maupun intravena
3.
Meningkatkan
pengeluaran natrium dan air : Diuretic ;hanya sebagai terapi paliatif,bukan kuratif;
Tirah baring, local pressure
4.
Hindari
factor yang memperburuk penyakit dasar ; diuresis yang berlebihan menyebabkan
pengurangan volume plasma,hipotensi,perfusi yang inadekuat, sehingga dapat
memperburuk.
Mekanisme edema yang disebabkan
oleh penyakit dan penatalaksana
1.
Edema Paru Akut (Kardiak)
adalah edema paru yang disebabkan oleh meningkatnya tekanan hidrostatik kapiler
yang disebabkan karena meningkatnya tekanan vena pulmonalis. Edema Paru Akut
(Kardiak) menunjukkan adanya akumulasi cairan yang rendah protein di
interstisial paru dan alveoli ketika vena pulmonalis dan aliran balik vena di
atrium kiri melebihi keluaran ventrikel kiri.
Penatalaksanaan
2.
Posisi ½ duduk
3.
Oksigen (40%-50%)
sampai 8 liter/menit bila perlu dengan masker. Jika memburuk (pasien makin
sesak, takipneu, ronkhi bertambah, PaO2 tidak bisadipertahankan > 60
mmHg dengan O2 konssentrasi dan aliran tinggi, retensi CO2, hipoventilasi atau
tidak mampu mengurangi cairan edema secara adekuat), maka dilakukan intubasi
endotrakeal, suction dan ventilator.
4.
Infus emergensi.
Monitor tekanan darah, monitor EKG, oksimetri bila perlu.
5.
Nitrogliserin
sublingual atau intravena. Nitrogliserin per oral 0,4-0,6 mg tiap 5-10 menit.
Jika tekanan darah sistolik >95 mmHg bisa diberikan Nitrogliserin intravena
mulai dosis 3-5 ug/kgBB. Jika tidak memberikan hasil memuaskan maka dapat
diberikan Nitrogliserin IV dimulai dosis 0,1 ug/kgBB/menit bila tidak memberi
respon dengan nitrat, dosis dinaikkan sampai didapatkan perbaikan klinis atau
sampai tekanan sistolik 85-90 mmHg pada pasien yang tadinya mempunyai tekanan
darah normal atau selama dapat dipertahankan perfusi yang adekuat ke
organ-organ vital.
6.
Morfin sulfat 3-5
mg IV, dapat diulang tiap 25 menit, total dosis 15 mg (sebaiknya dihindari).
7.
Diuretik
Furosemid 40-80 mg IV bolus dapat diulangi atau dosis ditingkatkan tiap 4 jam
atau dilanjutkan drip ontinue sampai dicapai produksi urine 1 ml/kgBB/jam.
8.
Bila perlu
(tekanan darah turun /tanda hipoperfusi) : Dopamin 2-5 ug/kgBB/menit atau
doputamin 2-10 ug/kgBB/menit untuk menstabilkan hemodinamik. Dosis dapat
ditingkatkan sesuai respon klinis atau keduanya.
9.
Trombolitik atau
revaskularisasi pada pasien infark miokard.
10. Intubasi dan ventilator pada pasien dengan hipoksia berat, asidosis/tidak
berhasil dengan oksigen.
11. Atasi aritmia atau gangguan konduksi.
12. Operasi pada komplikasi akut infark miokard sepertiregurgitasi, VSD dan
ruptur dinding ventrikel/corda tendinae.
1.
Edema
anasarka et causa Sindroma Nefrotik
Sindroma
nefrotik adalah suatu sindroma klinik dengan gejala proteinuria masif (≥ 40
mg/m2 LPB/jam atau rasio protein/kreatinin pada urin sewaktu > 2 mg/dl atau
dipstik ≥2+), Hipoalbuminemia ≤ 2,5 gr/dl, Edema dan dapat disertai
hiperkolesterolemia. Menurut pembagian berdasarkan etiologi (penyebab), SN
dibagi menjadi :
a.
SN Primer, merupakan Sindroma Nefrotik
Idiopatik (tidak diketahui penyebabnya), tipe ini diidap oleh 90% anak dengan
SN.Diduga ada hubungan dengan faktor genetik, alergi dan imunologi. SN
idiopatik terdiri dari 3 tipe histologis : SN kelainan minimal (85% dari total
kasus SN pada anak), glomerulonephritis proliferatif (5% dari total kasus SN),
dan glomerulosklerosis fokal segmental (10% dari kasus SN).
b.
SN Sekunder, tipe ini penyebabnya berasal dari
luar ginjal (ekstra renal). Umumnya menimpa orang dewasa, bisa diakibatkan oleh
penyakit-penyakit tertentu seperti : Hepatitis B, malaria, lepra, pasca infeksi
bakteri streptokokus, penyakit ganas : tumor paru, tumor saluran cerna,
kontaminasi toksin seperti logam berat, bisa ular dan serangga. Episode awal
dapat didahului oleh infeksi ringan. Anak datang dengan keluhan bengkak (edema)
ringan dimana awalnya terjadi pada sekitar mata (periorbital) dan ekstremitas
bawah. Seiring waktu pembengkakan semakin meluas, asites, efusi pleura, dan
edema genitalia. Anoreksia, iritabilitas, nyeri perut dan diare sering pula
terjadi. Penatalaksanaan SN antara lain berupa istirahat sampai edema
berkurang, diit rendah protein dan rendah garam, diuretika, antibiotika bila
ada gejala infeksi, yang paling penting adalah pemberian kortikosteroid
(prednison) yang terbagi dalam beberapa fase sampai urin bebas protein.
Obat-obat lain seperti methylprednisolone, cyclofosfamid, tacrolimus dll
diberikan pada kondisi tertentu. Tindakan bedah seperti pungsi asites, pungsi
hidrotoraks, dilakukan bila ada indikasi vital. Prognosis penderita sangat
tergantung dari penyebab, berat ringannya penyakit, umur penderita dan
penatalaksanaannya. Anak dapat mengalami berulangnya penyakit (relaps)
dikemudian hari.
Kesimpulan
Sindroma Nefrotik (SN) sindroma klinik
dengan gejala proteinuria masif, hipoalbuminemia, edema dan
hiperkolesterolemia. 90 % SN merupakan tipe primer (idiopatik). Penatalaksanaan
SN antara lain berupa istirahat sampai edema berkurang, diit rendah protein dan
rendah garam, diuretika, antibiotika bila ada gejala infeksi dan kortikosteroid
(prednison). SN dapat mengalami relaps. Prognosis penderita sangat tergantung
dari penyebab, berat ringannya penyakit, umur penderita dan penatalaksanaannya.
Terapi
Bed rest, Diit rendah garam 1-2
g/hari, Kortikosteroid : 4 minggu pertama dengan dosis penuh 2 mg/kgBB/hari.
Diharapkan akan remisi. Bila terjadi remisi pada 4 minggu pertama, dilanjutkan
dengan 4 minggu kedua dengan dosis 2/3 dosis awal secara alternating (selang sehari),
1 kali sehari setelah makan pagi. Diuretik : Furosemid 1-2 mg/kgBB/hari.
Pemantauan : Berat badan dan tekanan darah diukur setiap hari, Ureum dan
kreatinin urin diperiksa setiap 3 hari.
- Ascites et causa Hepatitis Kronis
Kronis
adalah peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis kronis
lebih jarang ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan
berpuluh-puluh tahun. Biasanya ringan dan tidak menimbulkan gejala ataupun
kerusakan hati yang berarti. Pada beberapa kasus, peradangan yang terus menerus
secara perlahan menyebabkan kerusakan hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis dan kegagalan.
Dikatakan
Hepatitis kronis bila penyakit menetap, tidak menyembuh secara klinis atau
laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi, selama 6 bulan. Pada pasien ini terdapat keluhan perut
membesar. Hal ini merupakan tanda adanya kelainan pada rongga perut pisa berupa
cairan, massa dan perdarahan. Untuk membedakan maka dilakukan pemeriksaan fisik
yang didapat test undulasi dan pekak beralih positif, ini menunjukkan pada
rongga abdomen terdapat cairan yang disebut Asites.
Pasien
memiliki riwayat sering
mengkonsumsi minuman keras semasa mudanya yang bisa memperburuk kondisi
heparnya. Dengan hasil lab yang menyatakan HbsAg pasien (+) berarti pasien
menderita penyakit hepatitis B. Karena sudah berlangsung beberapa
tahun memungkinkan perjalanan penyakit pasien menjadi penyakit yang kronik.
Pada pemeriksaan kimia darah, rasio alumin dan globulin menjadi terbalik, menyatakan
telah terjadi kerusakan yang cukup parah pada hepar pasien.
Pada
penurunan fungsi hepatoseluler terjadi penurunan dari sintesis albumin, dimana
albumin ini memegang peranan penting dalam menjaga tekanan osmotik darah.
Dengan menurunnya kadar albumin, maka tekanan osmotik akan menurun yang
berakibat eksudasi cairan intravaskular ke dalam jaringan interstitial di
seluruh tubuh, diantaranya adalah rongga peritoneum, sedangkan udem perifer
yang terjadi selain karena faktor hipoalbuminemia juga akibat adanya retensi
garam dan air yang terjadi oleh karena kegagalan hati dalam menginaktifkan
hormon aldosteron dan hormon anti diuretik (ADH).
Mengenai
keluhan badan lemas dan cepat lelah, mual dan nafsu makan yang menurun
merupakan kompensasi dari tubuh akibat adanya kerusakan dari parenkim hati.
Pasien
juga merasakan perut sebah yang dikarenakan terdapatnya cairan pada rongga
abdomen sehingga tekanan abdomen meningkat dan dapat mengganggu kerja usus dan
lambung, hal ini bisa menimbulkan rasa mual akibat penekanan tersebut, nafsu
makan menurun dan badan menjadi lemas.
Berdasarkan
alasan diatas maka kasus pada pasien ini lebih kearah gangguan fungsi
fungsi hati akibat penyakit yang berjalan lama.. Dengan tanda dan gejala yang
ada dan didukung oleh pemeriksaan fisik dan penunjang maka diagnosis pasien
adalah Asites et causa Hepatitis B kronik
Asites adalah penimbunan cairan secara abnormal di rongga
peritoneum yang dapat dibagi menjadi 2 mekanisme dasar yaitu eksudasi dan
transudasi. Hepatitis
Kronis adalah peradangan yang berlangsung selama minimal 6 bulan. Hepatitis
kronis lebih jarang ditemukan, tetapi bisa menetap sampai bertahun-tahun bahkan
berpuluh-puluh tahun. Biasanya ringan dan tidak menimbulkan gejala ataupun
kerusakan hati yang berarti. Pada beberapa kasus, peradangan yang terus menerus
secara perlahan menyebabkan kerusakan hati dan pada akhirnya terjadilah sirosis
dan kegagalan. Dikatakan Hepatitis kronis bila penyakit menetap, tidak
menyembuh secara klinis atau laboratorium atau pada gambaran patologi anatomi,
selama 6 bulan.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien ini meliputi terapi non farmakologis yaitu dengan diet tinggi protein, tinggi kalori, rendah garam dan dengan pungsi asites. Diberikan juga terapi
farmakologis berupa infus RL 20
tetes/ menit, furosemid 40mg x 2
tab (dosis maksimal 600 mg/hari), kcl
50mg/hari, BC 100mg x 3 tab, dan Ranitidin
150mg x 3 tab.
Sumber
·
Amin, Zulkifli, Asril Bahar, dkk. 2006. Buku ajar
Ilmu Penyakit Dalam. Fakultas Kedokteran UI. Jakarta
·
IDAI. 2004. Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Edisi 1.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia
·
Hassan, R., et al, Buku Kuliah, Ilmu Kesehatan Anak, Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, cetakan ke 9, Jakarta; 2000.
·
Nelson, W. E., Ilmu Kesehatan Anak, Nelson Textbook of Peditrics,
EGC, Jakarta; 2000.
·
Standar Pelayanan Medis Operasional RSUP DR. SARDJITO, Fakultas
Kedokteran Universitas Gajah Mada, Yogyakarta; 2000.
Author : Eka
Tidak ada komentar:
Posting Komentar