SKENARIO 6 BLOK 12
author : fida
ANATOMI DAN FISIOLOGI HIDUNG
a. Anatomi hidung
Hidung merupakan organ penting, yang
seharusnya dapat perhatian lebih dari biasanya.Hidung mempunyai beberapa
fungsi: sebagai indra penghidu,menyiapkan udara inhalasi agar dapat digunakan
paru-paru, mempengaruhi refleks tertentu pada paru-paru dan memodifikasi bicara
(peter, 1989).
1) Hidung Luar
Menonjol pada garis tengah di antara
pipi dengan bibir atas; struktur hidung luar dapat dibedakan atas tiga bagian:
yang paling atas, kubah tulang, yang tak dapat digerakkan; di bawahnya terdapat
kubah kartilago yang sedikit dapat digerakkan; dan yang paling bawah adalah
lobulus
hidung yang mudah digerakkan.
Belahan bawah aperture piriformis hanya kerangka tulangnya saja, memisahkan
hidung luar dengan hidung dalam. Di sebelah superior, struktur tulang hidung
luar berupa prosesus maksila yang berjalan ke atas dan kedua tulang hidung,
semuanya disokong oleh prosesus nasalis tulang frontalis dan suatu bagian
lamina perpendikularis tulang etmoidalis. Spina nasalis anterior merupakan
bagian dari prosesus maksilaris medial embrio yang meliputi premaksila
anterior, dapat pula dianggap sebagai bagian dari hidung luar. Bagian
berikutnya, yaitu kubah kartilago yangs edikit dapat digerakkan, dibentuk oleh
kartilago septum kuadrangularis. Sepertiga bawah hidung luar atau lobulus
hidung, dipertahankan bentuknya oleh kartilago lateralis inferior. Lobulus menutup vestibulum nasi dan dibatasi di sebelah medial oleh
kolumela, di lateral oleh ala nasi, dan anterosuperior oleh ujung hidung
(Peter, 1989).
2) Hidung Dalam
Struktur ini membentang dari os
internum di sebelah anterior hingga koana di posterior, yang memisahkan rongga
hidung dari nasofaring. Septum nasi merupakan struktur tulang di garis tengah,
secara anatomi membagi organ menjadi dua hidung. Selanjutnya, pada dinding
lateral
hidung terdapat pula konka dengan
rongga udara yang tak teratur di antaranya—meatus superior, media dan inferior.
Sementara kerangka tulang tampaknya menentukan diameter yang pasti dari rongga
udara, struktur jaringan lunak yang menutupi hidung dalam cenderung bervariasi
tebalnya, juga mengubah resistensi,
dan akibatnya tekanan dan volume aliran udara inspirasi dan ekspirasi. Diameter
yang berbeda-beda disebabkan oleh kongesti dan dekongesti mukosa, perubahan
badan vascular yang dapat mengembang pada konka dan septum atas, dan dari
krusta dan deposit atau secret
mukosa. Duktus nasolakrimalis bermuara pada meatus inferior di bagian anterior.
Hiatus semilunaris dari meatus media merupakan muara sinus frontalis,
etmoidalis anterior dan sinus maksilaris. Sel-sel sinus etmoidalis posterior
bermuara pada meatus superior, sedangkan sinus sfenoidalis bermuara pada
resesus sfenoetmoidalis. Ujung-ujung saraf olfaktorius menempati daerah kecil
pada bagian medial dan latreral dinding hidung dalam dan atas hingga kubah hidung.
Deformitas struktur demikian pula penebalan atau edema mukosa berlebihan dapat
mencegah aliran udara untuk mencapai daerah olfaktorius, dan, dengan demikian
dapat sangat mengganggu penghiduan.
Bagian tulang dari septum terdiri
dari kartilago septum (kuadrangularis) di sebelah anterior,lamina
perpendikularis tulang etmodalis di sebelah atas, vomer dan rostrum sphenoid di
posterior dan suatu Krista di sebelah bawah, terdiri dari Krista maksial dan
Krista
palatina (Hilger, 1989).
b. Fisiologi hidung
Seperti halnya anatomi hidung
biasanya tidak memungkinkan inspeksi celah olfaktorius dengan speculum hidung,
maka untuk alas an yang sama lengkung aliran udara inspirasi normalnya tidak
cukup tinggi untuk mencapai celah tersebut agar bau dapat terhidu, kecuali bila
bau tersebut sangat kuat. Bila kita ingin mengenali suatu bau, biasanya kita
mengendus, yaitu, menambah tekanan negative guna menarik aliran udara yang
masfaktorius. Pada sumbatan hidung yang patologik, pasien sering mengeluh
anosmia sebelum mengemukakan bahwa ia juga bernafas lewat mulut. Lebih lanjut, karena
kita membedakan berbagai makanan lewat kombinasi rasa dan bau, keluhan
pasiendapat pula berupa makanan tidak lagi “pas” rasanya. Indra penghidu pada
manusia tergolong rudimenter dibandingkan hewan lainnya, namun kepekaan organ
ini cukup mengejutkan.
McKenzie menyatakan vanillin dapat
dipersepsi manusia sebagai suatu bau bila terdapat dalam konsentrasi hingga
serendah 5 x 10-10 gm/L udara. Proses persepsi bau belum dapat dipastikan,
namun terdapat dua teori yang mengisyaratkan mekanisme kimia atau undulasi.
Menurut teori kimia, partikel-partikel zat yang berbau desebarkan secara difusi
lewat udara dan menyebabkan suatu reaksi kimia saat mencapai epitel
olfaktorius. Menurut teori undulasi, gelombang energi serupa dengan tempaan
ringan pada ujung saraf olfaktorius. Tanpa memandang mekanismenya, indra
penghidu dengan cepat menghilang. Masih sangat sulit untuk
melakukan standarisasi uraian ciri-ciri beragam bau atau pengukuran kadar bau
yang dapat dibandingkan dalam
suatu uji laboratorium. Amoore
mengidentifikasi tujuh kategori utama dari bau, yang cukup memadai untuk
menjembatani dan menjelaskan semua perbedaan yang dirasakan. Meskipun banyak
peneliti dapat menerima teori ini, namun sistem ini belum diterima dalam
praktek klinis rutin ataupun sebagai dasar untuk menentukan derajat kecacatan.
Sebaliknya, peneliti seringkali mencoba membedakan anosmia, hiposmia,
penghiduan normal dan parosmia (penghiduan yang berubah) memakai suatu zat yang
berbau, misalnya minyak cengkeh dalam berbagai derajat pengeceran pada subjek yang
diuji. Sinus tidak mempunyai fungsi fisiologis yang nyata. Negus adalah salah
satu pendukung opini bahwa sinus juga berfungsi sebagai indra penghidu dengan
jalan memudahkan perluasan dari etmokonka, terutama sinus frontalis dan
sfenoidalis.Etmokonka yang dilapisi epitel penghidu dapat ditemukan pada
beberapa binatang rendah. Pada manusia, sinus biasanya kosong dan indra
penghidu kita jauh lebih rendah dari misalnya anjing atau kucing; etmokonka
manusia jelas telah menghilang selama proses evolusi
(Peter,1989)
a. Definisi
Sinusitis adalah radang pada sinus
paranasalis, dimana dapat disebabkan oleh infeksi maupun bukan infeksi, dari
bakteri, jamur, virus, alergi maupun sebab autoimun (Williams, 1992)
Bila mengenai beberapa sinus disebut
multisinus sedangkan bila mengenai semua sinus paranasal, disebut pansinusitis
(Endang, 1990)
b. Klasifikasi
1) Berdasar lokasinya:
Ditemukan beberapa pasang sinus
paranasalis, yaitu; frontalis,ethmoidalis, maksilaris dan
spenoidalis
a) Sinusitis maksilaris: menyebabkan
nyeri daerah maksila sepertisakit gigi dan kepala.
b) Sinusitis frontalis: menyebabkan
nyeri pada daerah belakangdan atas mata.
c) Sinusitis ethmoidalis:
menyebabkan nyeri pada daerah belakangmata, maupun sakit kepala.
d) Sinusitis sphenoidalis:
menyebabkan nyeri pada daerah belakang mata, tetepi lebih sering pada
vertex kepala (Mehle, 2005).
2) Berdasar durasinya:
Menurut Adams (1978),sinusitis
dibagi menjadi
(a) sinusitis akut, bila infeksi beberapa hari
sampai beberapa minggu,
(b) sinusitis subakut, bila infeksi
beberapa minggu sampai beberapa bulan,
(c) sinusitis kronis apabila infeksi beberapa
bulan sampai beberapa tahun.
Menurut Cauwenberge (1983) disebut
sinusitis kronis, apabila sudah lebih dari 3 bulan.Tetapi apabila dilihat dari gejalanya,
maka sinusitis dianggap sebagai sinusitis akut bila terdapat tanda-tanda radang
akut.Dikatakan sinusitis subakut, bila tanda akut sudah reda dan perubahan
histologik mukosa sinus masih reversibel dan disebut sinusitis kronik, bila
perubahan histologik mukosa sinus sudah irreversibel, misal sudah berubah menjadi
jaringan granulasi atau polipoid. Sebenarnya klasifikasi tepat
yang lain ialah berdasarkan pemeriksaan histopatologik, akan tetapi pemeriksaan
ini tidak rutin dikerjakan.
a) Sinusitis Akut
Sinusitis akut biasanya didahului
infeksi traktus respiratorius,
umumnya disebabkan oleh virus
seperti:
Haemophilus influenzae,Streptococcus
pneumoniae,Moraxella catarrhalis dan Staphylococcus aureus
Bakteri pathogen seperti:
Streptococci species,anaerobic
bacteriadan beberapa gram negatif (Fokken,2007). Penyakit ini dimulai dangan
penyumbatan kompleks ostiomeatal oleh infeksi, obstruksi mekanis atau alergi.
Selain itu juga dapat merupakan penyebaran dari infeksi gigi (Nusjirwan,1990).
Sinusitis akut memiliki gejala
subjektif dan gejala objektif. Gejala subjektif bersifat sistemik dan lokal.
Gejala sistemik berupa demam dan rasa lesu. Gejala lokal dapat kita temukan
pada hidung, sinus paranasal dan tempat lainnya sebagai nyeri alih (referred
pain). Gejala pada hidung dapat terasa adanya ingus yang kental & berbau
mengalir ke nasofaring. Selain itu, hidung terasa tersumbat. Gejala pada sinus
paranasal berupa rasa nyeri dan nyeri alih (referred pain)
Gejala subjektifyang bersifat lokal
pada sinusitis maksila berupa rasa nyeri dibawah kelopak mata dan kadang
tersebar ke alveolus sehingga terasa nyeri di gigi. Nyeri alih (referred pain) dapat
terasa di dahi dan depan telinga. Gejala sinusitis etmoid berupa rasa nyeri
pada pangkal hidung, kantus medius, kadang-kadang pada bola mata atau dibelakang
bola mata. Akan terasa makin sakit bila pasien menggerakkan bola
matanya. Nyeri alih (referred pain) dapat terasa pada pelipis (parietal).
Gejala sinusitis frontal berupa rasa
nyeri yang terlokalisir pada dahi atau seluruh kepala.
Gejala sinusitis sfenoid berupa rasa nyeri
pada verteks, oksipital, belakang bola mata atau daerah mastoid.
Gejala objektif sinusitis akut yaitu
tampak bengkak pada muka pasien.
Gejala sinusitis maksila berupa pembengkakan
pada pipi dan kelopak mata bawah. Gejala sinusitis frontal berupa pembengkakan
pada dahi dan kelopak mata atas. Pembengkakan jarang terjadi pada sinusitis etmoid
kecuali ada komplikasi.
Rinoskopi sinusitis akut.
Pemeriksaan rinoskopi anterior menampakkan mukosa konka nasi hiperemis dan
edema. Terdapat mukopus (nanah) di meatus nasi medius pada sinusitis maksila,
sinusitis forntal, dan sinusitis
etmoid anterior. Nanah tampak keluar dari meatus nasi superior pada sinusitis
etmoid posterior dan sinusitis sfenoid. Pemeriksaan rinoskopi posterior menampakkan
adanya mukopus (nanah) di nasofaring (post nasal drip) (Muhammad, 2007).
b) Sinusitis Subakut
Gejala klinisnya sama dengan
sinusitis akut, hanya tanda-tanda radang akutnya (demam, sakit kepala hebat,
nyeri tekan) sudah reda. Pada rinoskopi anterior tampak sekret purulen di
meatus medius atau superior.Pada rinoskopi posterior tampak sekret purulen di
nasofaring.Pada pemeriksaan transiluminasi tampak sinus yang sedikit suram
ataupun gelap (Endang, 1997)
Sinusitis kronis adalah komplikasi
dari berbagai penyakit radang sinus pada umumnya.Penyebabnya multi faktorial
dan juga termasuk alergi,faktor lingkungan seperti debu, infeksi bakteri, atau
jamur.Faktor non alergi seperti rhinitis vasomotor dapat juga menyebabkan
masalah sinus kronis (Schreiber, 2005).
Etiologi sinusitis kronis. Infeksi
kronis pada sinusitis kronis
dapat disebabkan :
(1)Gangguan drainase: Gangguan
drainase dapat disebabkan obstruksi mekanik dan kerusakan silia.
(2)Perubahan mukosa: Perubahan
mukosa dapat disebabkan alergi, defisiensi imunologik, dan kerusakan silia.
(3)Pengobatan : Pengobatan infeksi
akut yang tidak sempurna. Sebaliknya, kerusakan silia dapat disebabkan oleh
gangguan drainase, perubahan mukosa, dan polusi bahan kimia.
Gejala sinusitis kronik. Secara
subjektif, sinusitis kronis
memberikan gejala :
(1)Hidung: Terasa ada sekret dalam
hidung.
(2)Nasofaring: Terasa ada sekret
pasca nasal (post nasal drip). Sekret ini memicu terjadinya batuk kronis.
(3)Faring: Rasa gatal dan tidak
nyaman di tenggorok.
(4)Telinga: Gangguan pendengaran
karena sumbatan tuba Eustachius.
(5)Kepala: Nyeri kepala / sakit
kepala yang biasanya terasa pada pagi hari dan berkurang atau menghilang
setelah siang hari. Penyebabnya belum diketahui pasti. Mungkin karena malam hari terjadi penimbunan ingus dalam sinus paranasal dan rongga
hidung serta terjadi stasis vena.
(6)Mata: Terjadi infeksi mata
melalui penjalaran duktus nasolakrimalis.
(7)Saluran napas: Terjadi batuk dan
kadang-kadang terjadi komplikasi pada paru seperti bronkitis, bronkiektasis,
dan asma bronkial
(8)Saluran cerna: Terjadi
gastroenteritis akibat tertelannya mukopus. Sering terjadi pada anak-anak. Secara
objektif, gejala sinusitis kronis tidak seberat sinusitis akut. Tidak terjadi
pembengkakan wajah pada sinusitis kronis. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior
ditemukan sekret kental purulen di meatus nasi medius dan meatus nasi superior.
Sekret purulen juga ditemukan di nasofaring dan dapat turun ke tenggorok pada
pemeriksaan rinoskopi posterior. Pemeriksaan mikrobiologik sinusitis kronis.
Biasanya
sinusitis kronis terinfeksi oleh
kuman campuran, bakteri aerob (S. aureus, S. viridans &H.influenzae) dan
bakteri anaerob (Peptostreptokokus & Fusobakterium)(Muhammad, 2007)
3) Berdasar penyebabnya
a)Rhinogenik (penyebab kelainan atau
masalah di hidung), Segala sesuatu yang menyebabkan sumbatan pada hidung dapat menyebabkan
sinusitis
b)Dentogenik/Odontogenik
(penyebabnya kelainan gigi), yang sering menyebabkan sinusitis infeksi pada
gigi geraham atas (pre molar dan molar)(Sukri, 2007)
3.DIAGNOSIS
Faktor predisposisi yang dapat
mengembangkan sinusitis, antara lain: alergi; masalah struktural seperti
deviasi septum atau ostium sinus yang kecil; merokok; polip hidung; membawa gen
fibrosis kistik.Beberapa prediksi sudah dikembangkan untuk diagnosa berdasar
fisik dan riwayat penyakit, prediktor terbaik yaitu adanya cairan hidung yang
kental (Simel, 1992).
Pemeriksaan yang dilakukan didapat
nyeri tekan pada pipi kanan / kiri atau dua-duanya,terkadang nyeri tekan di
atas hidung. Pemeriksaan lain misalnya: Transiluminasi, Rinoskopi, Sinoskopi,
pemeriksaan foto rontgen sinus paranasal (foto waters, PA, lateral),
pemeriksaan Naso-endoskopi, CT Scan, tentu juga pemeriksaan kultur kuman
(Erawati, 2001)
4.PENGOBATAN
Didapatkan beberapa obat yang dapat
melegakan gejala yang menyertai sinusitis, seperti sakit kepala, nyeri maupun
kelelahan.Biasanya dapat dikombinasikan antara jenis obat antihistamin
bersamaan dengan decongestan atau pelega nyeri.Bila sinusitis tidak membaik
pada 48 jam, atau menyebabkan nyeri berarti, dapat diberikan antibiotik
(Amoxicillin yang paling umum).Flouroquinolone untuk pasien dengan alergi
penicillin (Samsa, 1992).
Antibiotik dosis penuh untuk 10 - 14
hari,obat dekongestan lokal berupa tetes hidung dengan waktu terbatas 5 – 10
hari (Erawati, 2001)
5.TINDAKAN MEDIS
Penderita dengan sinusitis kronis,
diindikasikan untuk mendapatkan pembedahan hidung, atau biasa disebut FESS
(Functional Endoscopic Sinus Surgery) dimana mengembalikan
fungsi normal sinus dengan menghilangkan bagian-bagian baik yang normal maupun
patologis yang menyebabkan sumbatan pada sinus (Ian, 2007). Pencucian hidung :
Apabila dengan pengobatan tidak banyak menolong, maka mungkin pencucian hidung
diperlukan. Dilakukan dengan Anestesi lokal, di mana trokar dan kanula
dimasukkan melalui meatus inferior dan ditusukkan menembus dinding naso antral
dan kemudian di drainase. Setiap pus yang didapatkan dibuat pemeriksaan
biakannya. Apabila setelah 2-3kali pencucian, infeksi belum sirna, maka mungkin
diperlukan tindakan Antrostomi intranasal. Namun perlu diketahui, jarang
dibutuhkan terapi pembedahan pada sinusitis akut. Antrostomi yaitu membuat
hubungan / lubang di bawah pangkal konka inferior, sehingga ada hubungan
langsung antara sinus maxilaris dengan cavum nasi supaya pengaliran
lendir/sekret lebihbaik. Bila pengobatan konservatif tidak berhasil maka
dilakukan tindakan radikal berupa: Operasi Cadwell-Luc. Selain itu tindakan operasi
dengan
menggunakan endosop disebut Bedah
Sinus Endoskopik Fungsional (BSEF) Sejumlah komplikasi sinusitis yang mungkin
timbul adalah infeksi tulang (Osteomielitis dan abses periostal) biasanya pada
anak-anak, kelainan Orbita (ruangan tempat bola mata), kelainan dalam kepala
(intrakranial), kelainan paru. Sementara jumlah pencucian sinus tergantung
dengan kondisi penyakitnya. Jarak waktu pencucian kurang lebih dua minggu
setelah pencucian pertama. Untuk menghindari kambuh, upayakan agar aliran silia
mukosa sinus tidak rusak. Bila tidak rusak, kemungkinan kambuh sangat kecil (Erawati,
2001).
6. PEMERIKSAAN SINUS PARANASALIS
Untuk melihat sinus maksilaris, kita
usulkan memakai posisi Water pada X-photo rontgen. Hasil foto X dengan sinus
gelap menunjukkan patologis. Perhatikan batas sinus atau tulang, apakah masih
utuh ataukah tidak (Sardjono, 2000)
Spesifisitas dari pemeriksaan foto
polos termasuk tinggi, tapi sensitifitasnya rendah kecuali untuk sinus
maksillaris (sensitifitas 80%) (Hagtvedt, 2002).
Foto polos adalah salah satu cara
mendiagnosa penyakit sinus.Walaupun didapatkan beberapa gambaran radiografi
untuk evaluasi sinus paranasal, umumnya hanya ada empat gambaran – Caldwell,
water, lateral dan base. Pengerjaan rutin radiografis harus meliputi sebuah
cross-table atau film lateral tegak dipadukan dengan penyinaran sinar-X
horizontal, dimana menampilkan cairan dalam sinus dengan membandingkan tingkat
cairanudara.Dengan cara lain, penyinaran sinar-X dari depan, dan pasien dalam posisi
pronasi maupun supinasi dengan kepala menengok ke suatu sisi, cairan akan
memenuhi dinding sinus, maka tidak akan tampak tingkat air-udara
(Babbel, 1991)
RINITIS ALERGI
Rinitis alergi adalah penyakit
inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya
sudah tersensitisasi dengan alergen yang sama serta dilepaskannya suatu
mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan denganalergen spesifik tersebut
(von Pirquet, 1986).
Menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis
and its Impact on Asthma) tahun 2001, rinitis alergi adalah kelainan pada
hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah
mukosa hidung terpapar alergen yang diperantarai oleh IgE.
Klasifikasi rinitis alergi
Dahulu rinitis alergi dibedakan dalam 2 macam
berdasarkan sifat berlangsungnya, yaitu:
1.Rinitis alergi musiman (seasonal,
hay fever, polinosis)
2.Rinitis alergi sepanjang tahun (perenial)
Gejala keduanya hampir sama, hanya
berbeda dalam sifat berlangsungnya(Irawati, Kasakeyan, Rusmono, 2008).
Saat ini digunakan klasifikasi rhinitis alergi berdasarkan rekomendasi dari WHO
IniativeARIA (AllergicRhinitisand its Impact on Asthma) tahun 2000, yaitu
berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi :
1.Intermiten (kadang-kadang): bila
gejala kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
2.Persisten/menetap bila gejala
lebih dari 4 hari/minggu dan atau lebih dari 4
minggu.
1.Ringan, bila tidak ditemukan
gangguan tidur, gangguan aktifitas harian, bersantai, berolahraga,belajar,
bekerja dan hal-hal lain yang mengganggu.
2.Sedang atau berat bila terdapat satu
atau lebih dari gangguan tersebut
diatas(Bousquet et al, 2001).
Etiologi rinitis alergi
Rinitis alergi melibatkan interaksi
antara lingkungan dengan predisposisi
genetik dalam perkembangan
penyakitnya.
Faktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi (Adams, Boies, Higler, 1997).Penyebab
rinitis alergi tersering adalah allergen inhalan pada dewasa dan ingestan pada
anak-anak. Pada anak-anak sering disertai gejala alergi lain, seperti urtikaria
dan gangguan pencernaan.Penyebab rinitis alergi dapat berbeda tergantung dari
klasifikasi. Beberapa pasien sensitif terhadap beberapa alergen. Alergen yang menyebabkan
rinitis alergi musiman biasanya berupa serbuk sari atau jamur.
Rinitis alergi perenial(sepanjang
tahun) diantaranya debu tungau, terdapat dua spesies utama tungau yaitu
Dermatophagoides farinae
dan Dermatophagoides pteronyssinus,
jamur, binatang peliharaan seperti kecoa dan binatang pengerat.
Faktor resiko untuk terpaparnya debu
tungau biasanya karpet serta sprai tempat tidur, suhu yang tinggi, dan faktor
kelembaban udara. Kelembaban yang tinggi merupakan faktor resiko untuk untuk
tumbuhnya jamur. Berbagai pemicu yang bisa berperan dan memperberat adalah
beberapa faktor nonspesifik diantaranya asap rokok, polusi udara, bau aroma
yang kuat atau merangsang dan perubahan cuaca (Becker, 1994).Berdasarkan cara
masuknya allergen dibagi atas:
•Alergen
Inhalan, yang masuk bersama dengan udara pernafasan, misalnya
debu rumah, tungau, serpihan epitel
dari bulu binatang serta jamur.
•Alergen
Ingestan, yang masuk ke saluran cerna, berupa makanan, misalnya susu,
telur,coklat, ikan dan udang.
•Alergen
Kontaktan, yang masuk melalui kontak dengan kulit atau jaringan
mukosa, misalnya bahan kosmetik atau
perhiasan (Kaplan, 2003)
Gejala klinik rinitis alergi, yaitu
:
Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Sebetulnya bersin merupakan gejala
yang normal, terutama pada pagi hari atau bila terdapat kontak dengan sejumlah
besar debu. Hal ini merupakan mekanisme fisiologik, yaitu proses membersihkan
sendiri (self cleaning process). Bersin dianggap patologik, bila terjadinya
lebih dari 5 kali setiap serangan, sebagai akibat dilepaskannya histamin.
Disebut juga sebagai bersin patologis(Soepardi, Iskandar, 2004).
Gejala lain ialah keluar ingus
(rinore) yang encer
dan banyak, hidung tersumbat, hidung
dan mata gatal, yang kadang-kadang disertai dengan banyak air mata keluar
(lakrimasi). Tanda-tanda alergi juga terlihat di hidung, mata, telinga, faring
atau laring. Tanda hidung termasuk lipatan hidung melintang – garis hitam
melintangpada tengah punggunghidung akibat sering menggosok hidung ke atas menirukan
pemberian hormat (allergic salute), pucat dan edema mukosa hidung
yang dapat muncul kebiruan. Lubang hidung bengkak.Disertai dengan sekret mukoid
atau cair. Tanda di matatermasuk edema kelopak mata, kongestikonjungtiva,
lingkar hitam dibawah mata (allergic shiner).
Tanda pada telingatermasuk retraksi
membran timpani atau otitis media serosa sebagai hasil dari hambatan tuba
eustachii.
Tanda faringeal termasuk faringitis
granuler akibat hiperplasia submukosa jaringan limfoid.
Tanda laringealtermasuk suara serak
dan edema pita suara (Bousquet, Cauwenberge, Khaltaev, ARIA Workshop Group. WHO,
2001).
Gejala lain yang tidak khas dapat
berupa: batuk, sakit kepala, masalah penciuman, mengi, penekanan pada sinus dan
nyeri wajah, post nasal
drip. Beberapa orang juga mengalami
lemah dan lesu, mudah marah, kehilangan nafsu makan dan sulit tidur (Harmadji,
1993).
Diagnosis rinitis alergi
Diagnosis rinitis alergi ditegakkan
berdasarkan:
1. Anamnesis
Anamnesis sangat penting, karena sering
kali serangan tidak terjadi dihadapan pemeriksa. Hampir 50% diagnosis dapat
ditegakkan dari anamnesis saja.
Gejala rinitis alergi yang khas
ialah terdapatnya serangan bersin berulang.
Gejala lain ialah keluar hingus
(rinore) yang encer dan banyak, hidung tersumbat, hidung dan mata gatal, yang
kadang-kadang disertai denganbanyak air mata keluar (lakr imasi). Kada
ng-kadang keluhan hidung tersumbat merupakan keluhan utama atau satu-satunya
gejala yangdiutarakan oleh pasien (Irawati, Kasakayan, Rusmono, 2008). Perlu
ditanyakan pola gejala (hilang timbul, menetap) beserta onset dan keparahannya,
identifikasi faktor predisposisi karenafaktor genetik dan herediter sangat
berperan pada ekspresi rinitis alergi,respon terhadap pengobatan, kondisi
lingkungan dan pekerjaan. Rinitis alergi dapat ditegakkan berdasarkan
anamnesis, bila terdapat 2 atau
lebih gejala seperti bersin-bersin lebih 5 kali setiap serangan, hidung dan
mata gatal, ingus encerlebih dari satu jam,hidung tersumbat,dan mata merah
serta berairmaka dinyatakan positif (Rusmono,Kasakayan, 1990).
Pada muka biasanya didapatkan garis
Dennie-Morgan dan
allergic shinner, yaitu bayangan
gelap di daerah bawah matakarena stasisvena sekunder akibat obstruksi hidung
(Irawati, 2002). Selain itu, dapat ditemukan juga allergic creaseyaitu berupa
garis melintang pada dorsum nasi bagian sepertiga bawah. Garis ini timbul
akibat hidung yang sering digosok-gosok oleh punggung tangan (allergic salute).
Pada pemeriksaan rinoskopi ditemukan mukosa hidung basah, berwarna pucat atau
livid dengan konka edema dan sekret yang encer dan banyak. Perlu juga dilihat
adanya kelainan septum atau polip hidung yang dapat memperberat gejala hidung
tersumbat. Selain itu, dapat pula ditemukan konjungtivis bilateral atau
penyakit yang berhubungan lainnya seperti sinusitis dan otitis media (Irawati,
2002).
3. Pemeriksaan Penunjang
a. In vitro
Hitung eosinofil dalam darah tepi
dapat normal ataumeningkat. Demikian
pula pemeriksaan IgE total
(prist-paper radio imunosorbent test) sering kali
menunjukkan nilai normal, kecuali
bila tanda alergi pada pasien lebih dari satu macam penyakit, misalnya selain
rinitis alergi juga menderita asma bronkial atau urtikaria. Lebih bermakna
adalah dengan RAST (Radio Immuno Sorbent Test) atau ELISA (Enzyme Linked Immuno
Sorbent AssayTest).
Pemeriksaan sitologi hidung, walaupun tidak
dapat memastikan diagnosis,tetap berguna sebagai pemeriksaan pelengkap.
Ditemukannya eosinofil dalam jumlah banyak menunjukkan kemungkinan alergi
inhalan.Jika basofil (5 sel/lap) mungkin disebabkan alergi makanan, sedangkan
jika ditemukan sel PMN menunjukkan adanya infeksi bakteri (Irawati, 2002).
b. In vivo
Alergen penyebab dapat dicari dengan
cara pemeriksaan tes cukit kulit, uji intrakutan atau intradermal yang tunggal
atau berseri (Skin End-pointTitration/SET). SET dilakukan untuk alergen inhalan
dengan menyuntikkan alergen dalam berbagai konsentrasi yang bertingkat
kepekatannya. Keuntungan SET, selain alergen penyebab juga
derajat alergi serta dosis inisial untuk desensitisasi dapat diketahui
(Sumarman, 2000). Untuk alergi makanan, uji kulit seperti tersebut diatas
kurang dapat diandalkan. Diagnosis biasanya ditegakkan dengan dieteliminasi
danprovokasi (“Challenge Test”). Alergen ingestan secara tuntas lenyap dari
tubuh dalam waktu lima hari. Karena itu pada Challenge Test, makanan yang
dicurigai diberikan pada pasien setelah berpantang selama 5 hari, selanjutnya
diamati reaksinya. Pada diet eliminasi, jenis makanan setiap kali dihilangkan
dari menu makanan sampai suatu ketika gejala menghilang dengan meniadakan suatu
jenis makanan (Irawati, 2002).
Penatalaksanaan rinitis alergi
1. Terapi yang paling ideal adalah
dengan alergen penyebabnya (avoidance) dan eliminasi.
2. Simptomatis
a. Medikamentosa-Antihistamin yang
dipakai adalah antagonis H-1, yang bekerja secara inhibitor komppetitif pada
reseptor H-1 sel target, dan merupakan preparat farmakologik yang paling sering
dipakai sebagai inti pertama pengobatan rinitis alergi. Pemberian dapat dalam
kombinasi atau tanpa kombinasi dengan dekongestan secara peroral. Antihistamin
dibagi dalam 2 golongan yaitu golongan antihistamin generasi -1 (klasik) dan
generasi -2 (non sedatif). Antihistamin generasi-1 bersifat lipofilik, sehingga
dapat menembus sawar darah otak (mempunyai efek pada SSP) dan plasenta serta
mempunyai efek kolinergik. Preparat simpatomimetik golongan agonis adrenergik
alfa dipakai dekongestan hidung oral dengan atau tanpa kombinasi dengan
antihistamin atau tropikal. Namun pemakaian secara tropikal hanya boleh untuk
beberapa hari saja untuk menghindari terjadinya rhinitis medikamentosa. Preparat
kortikosteroid dipilih bila gejala trauma sumbatan hidung akibat respons fase lambat
berhasil diatasi dengan obat lain. Yang sering dipakai adalah kortikosteroid
tropikal (beklometosa, budesonid, flusolid, flutikason, mometasonfuroat dan
triamsinolon). Preparat antikolinergik topikal adalah ipratropium
bromida, bermanfaat untuk mengatasi rinore, karena aktifitas inhibisi reseptor
kolinergik permukaan sel efektor(Mulyarjo, 2006).
b. Operatif- Tindakan konkotomi (pemotongan
konka inferior) perlu dipikirkan bila konka inferior hipertrofi berat dan tidak
berhasil dikecilkan dengan cara kauterisasi memakai AgNO3 25 % atau troklor
asetat
(Roland, McCluggage, Sciinneider,
2001).
c. Imunoterapi - Jenisnya
desensitasi, hiposensitasi & netralisasi. Desensitasi dan hiposensitasi
membentuk blocking antibody. Keduanya untuk alergi inhalan yang gejalanya
berat, berlangsung lama dan hasil pengobatan lain belum memuaskan (Mulyarjo,
2006).
Komplikasi rinitis alergi
Komplikasi rinitis alergi yang
sering ialah:
a. Polip hidung yang memiliki tanda
patognomonis: inspisited mucous glands, akumulasi sel-sel inflamasi yang luar
biasa banyaknya (lebiheosinofil dan limfosit T CD4+), hiperplasia epitel,
hiperplasia goblet, dan metaplasia skuamosa.
b. Otitis media yang sering residif,
terutama pada anak-anak.
c. Sinusitis paranasal merupakan
inflamasi mukosa satu atau lebih sinus para
nasal. Terjadi akibat edema ostia
sinus oleh proses alergis dalam mukosayang menyebabkan sumbatan ostia sehingga
terjadi penurunan oksigenasi dan tekanan
udara rongga sinus. Hal tersebut akan menyuburkan pertumbuhan bakteri terutama
bakteri anaerob dan akan menyebabkan rusaknya fungsi barier epitel antara lain
akibat dekstruksi mukosa oleh mediator protein basayang dilepas sel eosinofil
(MBP) dengan akibat sinusitis akan semakin parah (Durham, 2006).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar