Author: Muhammad Shiddiq
Dwisurya
Sebelum masuk materi, bagi temen-temen yang ingin mencari
artikel dapat mengklik alamat dibawah ini
1.
Berbagai macam penyakit defisiensi imun dapat
dicari di http://allergycliniconline.com/2012/02/16/berbagai-penyakit-defisiensi-imun/
2.
Disarankan dapat membuka link dibawah ini untuk
berbagai artikel tentang hipersensitivitas maupun immuniologi baik dasar,
klinik, maupun patologi
selamat belajar :)
1.
Penyebab Anafilaksis, Gejala, dan
Pengobatan
Alergi pada
dasarnya merupakan reaksi hipersensitivitas dari sistem kekebalan tubuh
terhadap makanan tertentu, iritasi lingkungan, obat-obatan, atau zat-zat lain
yang dianggap sebagai ancaman. Ketika zat penyebab alergi memasuki tubuh,
sistem kekebalan tubuh mengaktifkan sel-sel khusus yang disebut sel mast. Sel
mast adalah sel-sel yang terletak di bawah jaringan ikat yang terletak tepat di
bawah kulit. Substansi alergi selanjutnya menempel pada antibodi imunoglobulin E
(IgE) yang hadir pada sel mast. Sel-sel mast melepaskan bahan kimia yang
disebut histamin untuk menyerang zat alergi. Pelepasan histamin meningkatkan
permeabilitas struktur vaskuler sehingga cairan dari pembuluh darah akan mulai
mengalir keluar. Respon inflamasi yang disebabkan karena sekresi histamin juga
akan menimbulkan berbagai gejala tidak menguntungkan. Ketika seluruh tubuh
dipengaruhi oleh reaksi alergi, situasi yang mengancam jiwa dapat terjadi.
Kondisi ini secara medis disebut sebagai anafilaksis (anaphylaxis). Anafilaksis
bisa menjadi fatal jika penderita tidak menerima perawatan medis tepat waktu.
Penyebab Anafilaksis
Zat yang
menjadi penyebab paling umum anafilaksis adalah makanan seperti kacang tanah,
biji wijen, kerang, susu, dan telur. Penisilin dan obat tertentu dan sengatan
serangga seperti lebah, tawon, serta semut api adalah penyebab lain yang
bertanggung jawab untuk syok anafilaksis. Selain ini, anafilaksis juga bisa
disebabkan oleh lateks alam (karet), relaksan otot, dan latihan fisik.
Gejala Anafilaksis
Penyebab
anafilaksis dibagi menjadi dua jenis: IgE mediated dan non IgE mediated. IgE
mediated menyebabkan sensitivitas anafilaksis pada paparan pertama dan kemudian
menginduksi reaksi parah pada eksposur kedua. Penyebab IgE mediated termasuk
obat (Penisilin, Sefalosporin, Anestesia, dll), sengatan serangga, makanan
(kacang, kerang, kedelai, gandum, telur, dll), dan vaksin berbasis gelatin,
produk karet, protein hewani, dll.
Penyebab non
IgE mediated disebut sebagai anaphylactoid (“seperti anafilaksis”). Paparan
pertama terhadap penyebab alergi dapat langsung mengakibatkan reaksi parah
karena anafilaksis jenis ini tidak memerlukan sensitisasi sistem kekebalan
tubuh. Penyebab mungkin termasuk obat (anti-inflamasi non-steroid, relaksan
otot, gamma globulin, dll), pewarna sinar-X, pengawet, latihan fisik, dan
beberapa penyebab yang tidak diketahui. Gejala-gejala anafilaksis dapat diamati
dalam beberapa detik, menit, atau bahkan jam. Semakin cepat gejala yang
diamati, semakin sensitif dan berat konsekuensinya.
Berikut ini
adalah beberapa gejala paling umum anafilaksis.
1. Kemerahan
pada kulit. Kulit juga mungkin terasa hangat dan lunak saat disentuh.
2. Gatal yang terjadi pada pangkal paha atau
ketiak atau di seluruh tubuh.
3. Kegelisahan dan kehilangan kesadaran.
4. Bengkak di lidah yang mengakibatkan suara
serak, kesulitan menelan, dan bernapas.
5. Pembengkakan
pada saluran napas dan tenggorokan, yang menyebabkan kesulitan bernapas parah
dan bahkan dapat menghentikan pernapasan.
6. Hidung
berair, bersin, dan mengi terutama pada orang dengan asma.
7. Muntah,
diare, kram perut, dan mual.
8. Tekanan darah rendah dan denyut nadi tidak
teratur.
9. Dalam
kondisi sangat parah jantung mungkin akan berhenti berfungsi.
10. Pusing
dan muntah.
Pengobatan
Anafilaksis
Mereka yang
mengalami asma atau eksim, berada pada risiko lebih besar terkena syok
anafilaksis. Seseorang yang telah mengalami anafilaksis sebelumnya harus
mengikuti pedoman untuk pencegahan anafilaksis. Menghindari alergen adalah cara
terbaik untuk mencegah syok anafilaksis.
Berikut adalah
alternatif pengobatan anafilaksis:
1. Manajemen Gangguan Pernapasan. Sistem
kardiovaskular yang dipengaruhi oleh reaksi alergi yang parah akan membuat
penderitanya mengalami gangguan pernapasan. Saat pernapasan pasien berhenti,
cardiopulmonary resuscitation (CPR) harus dilakukan. CPR adalah bagian integral
dari manajemen jalan nafas.Untuk alasan yang sama, suplementasi oksigen
merupakan bagian penting dari perawatan anafilaksis di rumah sakit. Harus
dipastikan pasien tidak menderita komplikasi karena kadar oksigen yang rendah
dalam darah.
2. Cairan Intravena. Anafilaksis
menyebabkan pembengkakan tenggorokan sehingga pasien tidak dapat menelan
makanan atau minuman. Dalam keadaan seperti itu, cairan harus diberikan secara
intravena.
3. Suntikan Epinefrin. Karena pelepasan
histamin menyebabkan cairan bocor (keluar) dari pembuluh darah, epinefrin
diberikan sehingga dapat menyempitkan pembuluh darah. Epinefrin adalah hormon
yang bertindak menginduksi proses ‘melawan atau melarikan diri’ saat seseorang
berada di bawah ancaman. Pemberian epinefrin menyebabkan jantung memompa darah
lebih cepat, dan juga membantu dalam pelebaran saluran udara ke paru-paru.
Epinefrin membalikkan efek dari zat dilepaskan selama syok anafilaksis dan digunakan
sebagai bagian dari pengobatan darurat.
4. Terapi Obat. Obat diberikan untuk
menghentikan pelepasan histamin. Obat tersebut disebut sebagai antihistamin
yang berfungsi membalikkan efek histamin dan karena itu digunakan untuk
mengurangi gejala alergi. Kortikosteroid atau obat anti-inflamasi mungkin juga
diresepkan untuk menurunkan peradangan. Karena anafilaksis (anaphylaxis)
menyebabkan penurunan tekanan darah, obat-obatan untuk menstabilkan tekanan
darah pasien juga bisa diberikan.
2. Mekanisme Hipersensitivitas
Pada keadaan
normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung
padaaktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan
mekanisme ini, akanmenimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi
hipersensitivitas. Menurut Gell danCoombs, reaksi hipersensitivitas dapat
dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipeII
hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang
diperani kompleksimun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satutipe
lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory
hipersensitivity
1.1. Hipersensitivitas Tipe I
Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat
atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi, timbul segerasesudah terpajan
dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk kedalam tubuhmenimbulkan
respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi,
asma, dandermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai
berikut:
1. Fase
sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat
silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada permukaan sel mast dan
basofil.
2. Fase
aktivasi , yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang
spesifik dansel mast maupun basofil melepas isinya yang berisikan granul yang
menimbulkan reaksi. Hal initerjadi oleh karena ikatan silang antara antigen
dengan IgE.
3. Fase
efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek
mediator-mediator yang di lepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.
Alergen
dipresentasikan ke sel T CD4+naïve oleh sel dendritik (yang menangkap alergen
dari tempat masuknya:selaput lendir hidung,paru,konjungtiva). Sel T kemudian
berubah menjadi sel Th2. Sel TCD4+ ini berperan penting dalam patogenesis
hipersensitivitas tipe I karena sitokin yangdisekresikannya (khususnya IL-4 dan
IL-5) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindaksebagai factor
pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi
IgEberikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi (Fcε-R1) yang terdapat pada
sel mast dan basofil; begitusel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang
bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan
yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang antara
antigen dengan IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel
sehinggaterjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons
awal sedangkanmediator sekunder untuk fase lambat.Contoh reaksi
hipersensitivitas tipe 1: hay fever, urtikaria, rinitis alergika, asma alergi
(ekstrinsik),dermatitis atopik.
Rangkaian
Reaksi Tipe Cepat
Sensitisasi atopic
1. Pajanan antigen (alergen)
2. Respons pembentukan IgE3.
Terikatnya IgE pada sel mast
|
Reaksi atopik
|
sel Mast
1.2. REAKSI TIPE II ATAU SITOTOKSIK ATAU
SITOLITIK
Reaksi
hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik,
terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang
merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan
determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah
komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah
sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan
efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor
Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan
kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi
klinik.
Antibodi
spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan
menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi
sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan
memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3
terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi
leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen
melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen
yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi
di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti
intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan
disekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet,
sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit penjamu.
Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan
jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat
menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi
terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan
menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa
adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves’ disease, dimana antibodi
terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon
tiroid.
Banyak
kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi
antijaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan
konsekuensi jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada kasus yang
parah, plasmaferesis digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang
bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi
produksi autoantibodi (misal. dengan antagonis yang memblok ligan CD40 sehingga
menghambat aktivasi sel B dependen sel Th).
Reaksi transfusi
Sejumlah besar
protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila darah
individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi
transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang
menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi
dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas
golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas
dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan
hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar
tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan
dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria.
Reaksi
transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi
berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan
darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang
ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran
golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy.
Tiga Mekanisme Utama Hipersensitivitas Tipe II
Hemolytic diseases of the newborn (HDN)
Terjadi
ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang
berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan
melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas
tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai
janin dengan Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat
persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru
pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat
menembus placenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan
eritrosit janin (eritroblastosis fetalis).
Anemia hemolitik
Antibiotika
tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi
nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks
molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi
yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen
menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.
Sources : http://www.medicinesia.com/kedokteran-dasar/imunologi/hipersensitivitas-tipe-2-sitotoksik/
1.3. Hipersensitiv tipe III
`Hipersensitifitas ini terjadi
karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang mengendap dalam jaringa
yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini
terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada
jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada
ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen dan segera
dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat
yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Di sana,
terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen
pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah.
Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.
Antigen yang
membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing yang
diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang
menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang
dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di
sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ
tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh
darah kecil pada kulit. 2Reaksi hipersensitifitas tipe III setempat dapat
dipicu dalam jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki
antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut.
Apabila antigen disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang telah berdifusi
ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat. Komplek imun
tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan
komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan setempat
disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan
permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil,
masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Hipersensitifitas
ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik berupa acute serum
sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness pada masa
sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi ini
dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda
yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.
Umumnya kerusakan terjadi karena
ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu:
·
Ikatan
antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu
respon imun yang membuat dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu
sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, di mana
mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk
kompleks antigen-antibodi.
·
Kompleks
imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan
persendian
Faktor yang menentukan apakah
pembentukan kompleks imun akan memicu deposisi jaringan dan penyakit belum
begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan
yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk
membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang
sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi.
·
Faktor
humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan berkumpul
di daerah pengendapan
·
Berlangsung
kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit
pada jaringan akan menginisiasi reaksi inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar
10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi manifestasi klinis seperti demam,
urtikaria, nyeri sendi (atralgia), pembesaran nodus limfa, dan proteinuria.
Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi
inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah,
glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi
pada sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen
(seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi
patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level
serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari
eksprosur terhadap antigen tunggal yang besar, lesi cenderung untuk pecah,
sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum sickness yang kronis
terjadi akibat eksposur antigen berulang atau berkepanjangan. Hal ini dapat
terjadi pada penyakit seperti SLE yang berkaitan dengan respon antibodi
persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat
perubahan morfologis dan terdapat temuan deposisi kompleks imun, tetapi
antigennya tetap tidak diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis
dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus
merupakan nekrosis jaringan dengan area terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis
kompleks imun aktif yang biasanya terjadi pada kulit. Secara eksprimen, reaksi
dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan suatu antigen pada hewan yang sudah
terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut.
Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang
ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secara
lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan
nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa
iskemik.
1.4. Hipersensitiv
tipe IV
Sebagian besar
hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan penyebab dari autoimunitas.
Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel dengan
distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi
sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau biasanya tidak sistemik.
Jejas jaringan dapat juga mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba.
Sebagai contoh, pada tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan responsnya menjadi
kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi. Inflamasi granulomatosa yang
dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan normal pada situs
infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya
sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik
terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyebabkan jejas pada liver.
Pada penyakit
yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang dimediasi oleh
sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh limfosit T sitolitik CD8+.
Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T
untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi
terhadap antigen sel atau jaringan dan menyekresi sitokin yang menginduksi
inflamasi lokal dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan
oleh makrofag dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada
sel autolog dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit
autoimun yang dimediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik
untuk antigen penjamu, dan keduanya berkontribusi dalam jejas jaringan.
Sel T melepas
sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons
inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya
dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi
topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk
hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi inflamasi,
menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap sitokin seperti TNF, dan
untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin.
Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid
arthritis dan inflammatory bowel disease. Banyak agen-agen baru yang
dikembangkan untuk menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis
terhadap reseptor untuk sitokin seperti IL-2, dan agen yang memblok
kostimulator seperti B7.
Dewasa ini
reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui
sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis
yang terjadi melalui sel CD8+.
Mekanisme hipersensitivitas tipe 4
Contoh-contoh penyakit Hipersensitivitas tipe 4
Delayed Type Hypersensitivity
Tipe IV
Contoh klasik
dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi intrakutan dari
tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen dari
tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi
kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam
24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi
sel mononuklear disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah
“perivascular cuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas
mikrovaskular yang disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya.
Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan deposisi
fibrin di interstisial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya
indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada lesi yang telah berkembang penuh, venula
yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Dengan antigen
persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang
berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang
muncul di awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu.
Makrofag yang terakumulasi seringkali mengalami perubahan morfologis menjadi
sel epiteloid (mirip sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid
yang dikelilingi oleh limfosit, disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang
kadang terlihat pada hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasi
granulomatosa.
Tahapan
selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika seorang
individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli,
sel CD4+ T naïve mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul
kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naïve
menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH
bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa
sel Th1 akan memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk
waktu yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang
sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali
antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi
sitokin, terutama IFN-γ, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH.
Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah
sbb:
·
IL-12, sitokin yang diproduksi makrofag dan sel
dendritik, penting untuk induksi respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan
mikroba, makrofag dan sel dendritik menyekresi IL-12, yang menginduksi
diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya
sitokin lain, yang disebutkan di bawah ini. IL-12 juga merupakan inducer poten
dari sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK. IFN-γ akan memperbanyak diferensiasi
sel Th1.
·
IFN-γ memiliki banyak efek dan merupakan
mediator kunci pada DTH. Paling penting adalah merupakan aktivator makrofag
yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang
menyerang; jika aktivasi tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan
terbentuk fibrosis.
·
IL-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan
autokrin dari sel T, menyebabkan akumulasi di situs DTH.
·
TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang
memiliki efek terhadap sel endotel: (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin,
yang meningkatkan aliran darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2)
peningkatan ekspresi P-E-selektin, molekul adhesi yang mempromosikan penempelan
limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8.
·
Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag
merekrut lebih banyak lagi leukosit ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini
terkadang disebut inflamasi imun.
Hipersensitivitas
tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan terhadap beragam patogen intrasel,
termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu, dan juga berperan dalam
rejeksi transplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga dapat
menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas
jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan
urushiol, komponen antigen dari poison ivy atau poison oak dan bermanifestasi
dalam bentuk dermatitis vesikular. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang
dijelaskan sebelumnya untuk sensitivitas tuberculin. Pada pajanan berulang
terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis,
kemudian bermigrasi menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan
sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel=sel ini dan
pembentukan vesikel intraepidermal.
Formasi Granuloma pada Hipersensitivitas Tipe IV
T Cell-Mediated Cytotoxicity
Pada varian
hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang tersensitisasi membunuh sel
target antigen. Sel efektor tersebut disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL).
Destruksi jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari banyak penyakit
yang dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel
berperan penting dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting dalam
resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida
virus terkait dengan molekul kelas 1 di dalam sel, dan keduanya
ditransportasikan ke permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR
dari limfosit T CD8+ sitotoksik. Lisis dari sel yang terinfeksi menyebabkan
eliminasi dari infeksi.
Dua mekanisme
utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui: (1) perforin-granzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas ligand-dependent killing.
Perforin dan
granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat di dalam granula
mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran plasma dari sel
target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati
sel taget, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan
dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-lubang di
membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut granzyme, yang
diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk perforin. Saat berada
di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase, yang menginduksi apoptosis
sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke dalam
sel, menyebabkan lisis osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi apoptosis
sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan Fas ligan,
molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang
diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis.
3. Penatalaksanaan anafilaksis
Yang
terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk
membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya
mediator selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian
adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan intravena,
difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi,
kortikosteroid, serta pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar tatalaksana
anafilaksis secara umum
·
Evaluasi
segera Yang penting dievaluasi
adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami henti
jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner
·
Adrenalin
Larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB,
maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan
pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan
suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada
daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama
dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat
syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular,
dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan
1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat
diulang dalam 5-10 menit.
·
Intubasi
dan trakeostomi Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat
sumbatan jalan napas bagian atas oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda
kalau sudah terindikasi.
·
Turniket
Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau
sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah
suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini
dilonggarkan selama 1-2 menit.
·
Oksigen
Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang menplami sianosis,
dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran
sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung.
·
Difenhidramin
Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10
menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai
dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa
difenhidramin bukanlah merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan
secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama
pada urtikaria dan angioedema. Kalau penderita tidak memberikan respons dengan
tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan
kesukaran bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan
pengobatan diteruskan dengan langkah berikut.
·
Cairan
intravena Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl
fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama
1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan
tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan dan umur anak.
·
Aminofilin
Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang
dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit
sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung
dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan
kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap
6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.
·
Vasopresor
Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan
metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan
tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia
jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila
diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain
seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan
intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan
bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
·
Kortikosteroid
Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis.
Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan
Kortikosteroid bergunan untuk mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula
diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB
setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah
2-3 hari.
Pengobatan
suportif
Sesudah
keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat
dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital.
Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan
beberapa jam sampai beberapa hari.
4. PENCEGAHAN ANAFILAKSIS
Pencegahan
merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis.
·
Anamnesis teliti
Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap
antigen yang dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus
dikerjakan sebelum kita memberikan setiap obat, terutama obat suntikan. Edukasi
juga dapat diberikan pada pasien, antara lain membaca label obat dengan teliti
dan mempunyai catatan mengenai jenis obat yang dicurigai menimbulkan gejala
alergi.
·
Penggunaan antibiotic.
Penggunaan antibiotik atau obat lainnya harus dengan
indikasi khusus, dan pemberian per oral lebih baik, bila hal ini memungkinkan.
·
Uji kulit dan konjungtiva
Uji kulit dan konjungtiva terhadap beberapa antitoksin yang
berasal dari serum hewan, dianjurkan untuk dikerjakan sebelum diberikan. Jika
diperlukan anti serum, sebisa mungkin diberikan preparat serum manusia. Di
negara maju, setiap saat dapat diperoleh informasi dari badan tertentu yang
mempunyai catatan lengkap mengenai penderita yang telah pemah mengalami reaksi
anafilaksis.
Sources : http://allergycliniconline.com/2012/02/26/imunologis-dasar-reaksi-hipersensitifitas-anafilaksis/
5. Penyakit Atopik
Dermatitis
atopik, juga dikenal sebagai eksim, merupakan penyakit kulit umum yang mengenai
sekitar 20 persen orang di seluruh dunia. Penyakit ini biasanya timbul di masa
kanak-kanak dan berakhir pada usia enam
tahun. Namun, dalam banyak kasus, kondisi tersebut berlanjut sampai dewasa.
Penyebab
penyakit ini tidak dipahami dengan baik, tetapi diketahui bahwa individu dengan
dermatitis atopik sering memiliki penyakit atopik lain, termasuk asma, rinitis
alergi (“hay fever“), dan alergi makanan.
Gejala
Eksim
Gejala
bervariasi. Secara umum, anak-anak menderita rasa gatal dan kulit memerah,
daerah bersisik pada kulit tubuh bagian atas, meskipun mungkin terjadi di mana
saja pada tubuh. Individu yang terkena juga memiliki peningkatan risiko terkena
infeksi kulit.
Faktor
Risiko
·
Keluarga atau riwayat pribadi penyakit atopik:
Adanya riwayat alergi makanan, demam, atau asma dikaitkan dengan dermatitis
atopik. Sekitar setengah dari individu dengan dermatitis atopik memiliki
kerabat yang menderita asma.
·
Tidak sedang menyusui: Beberapa bukti
menunjukkan bahwa menyusui eksklusif selama sedikitnya tiga bulan pertama bayi
dapat terkait dengan penurunan risiko.
Diagnosa
·
Riwayat medis dan pemeriksaan fisik adalah alat
diagnostik utama.
·
Tidak ada tes laboratorium yang secara pasti
dapat mendiagnosa dermatitis atopik. Tes alergi pada kulit mungkin berguna,
tetapi tidak diperlukan untuk membuat diagnosis.
Pengobatan
·
Perlakuan awal melibatkan penghilangan faktor
yang dapat memperburuk gangguan, seperti sabun dan deterjen, alergen makanan,
dan kosmetik.
·
Mandi berlebihan atau penggunaan lotion tidak
disarankan, karena penguapan air dari kulit memperburuk penyakit. Banyak orang
yang terkejut mengetahui bahwa lotion-berbahan-dasar-air benar-benar
meningkatkan penguapan air dari kulit, tidak seperti krim emolien atau balsam.
Krim emolien atau balsam harus digunakan secara bebas, terutama setelah mandi,
untuk mengunci kelembaban. Pelembab udara dapat dicoba di iklim kering.
·
Antihistamin, seperti diphenhydramine (Benadryl)
atau loratadine (Claritin) bisa meringankan gatal-gatal.
·
Steroid topikal dapat digunakan untuk mengobati
penyakit aktif. Penggunaan steroid topikal sesekali di antara episode serangan
mengurangi kemungkinan kambuh. Ketika serangan berat terjadi, steroid oral
(misalnya prednison) dapat berguna.
·
Obat lain, seperti tacrolimus dan siklosporin,
kadang-kadang diresepkan untuk kasus yang parah. Namun, harus digunakan dengan
hati-hati karena risiko efek samping, yang mungkin termasuk kanker kulit.
·
Fototerapi menggunakan sinar ultraviolet
biasanya efektif untuk mengobati penyakit berat, tetapi dapat meningkatkan
risiko untuk melanoma dan kanker kulit lainnya.
Pola
Makan Eksim (Dermatitis Atopik)
·
Perubahan nutrisi untuk mengurangi eksim atau
dermatitis atopik telah diteliti selama bertahun-tahun.
·
Menghindari alkohol selama kehamilan: Asupan
alkohol ibu (empat atau lebih minuman per minggu) secara signifikan meningkatkan
risiko eksim atau dermatitis atopik pada bayi. Selanjutnya, penggunaan alkohol
selama kehamilan membawa risiko besar lainnya dan harus dihindari sepenuhnya.
·
Menyusui: Menyusui bayi memungkinkan untuk
meminimalkan paparan terhadap protein susu sapi. Namun, protein susu sapi masih
dapat ditransfer melalui menyusui pada ibu yang minum susu sapi. Menghindari
makanan alergi oleh seorang ibu menyusui dapat lebih lanjut mengurangi risiko
penyakit atopik pada bayi. Pada anak-anak yang tidak diberi ASI, formula whey
protein hidrolisat secara ekstensif telah digunakan untuk mengurangi risiko
eksim atau dermatitis atopik dan ditoleransi oleh setidaknya 90 persen bayi
dengan riwayat alergi terhadap protein susu sapi. Namun, formula ini masih bisa
menimbulkan gejala alergi. Hanya formula berbasis asam amino dapat dianggap
sepenuhnya nonalergenik.
·
Menunda pengenalan makanan padat: Menghindari
pengenalan makanan padat sampai bayi mencapai empat sampai enam bulan usia
tampak mengurangi risiko penyakit atopik.
Pendekatan ini dapat lebih ditingkatkan dengan meminimalkan alergen
lingkungan. Sebagai contoh, penutup matras polivinil dan semprotan
anti-debu-tungau dapat digunakan. Dalam uji klinis, langkah-langkah gabungan
ini terkait dengan penurunan 67 persen dalam dermatitis, dibandingkan dengan
populasi kontrol.
·
Menghilangkan makanan penyebab alergi: Telur,
susu sapi, kedelai, gandum bertanggung jawab atas sekitar 90 persen alergi
makanan pada anak dengan eksim atau dermatitis atopik. Ketika makanan ini
dihindari, lebih dari 50 persen anak-anak dengan diet-yang-terkait dengan
dermatitis atopik mengalami penurunan gejala yang signifikan. Ketika
makanan-makanan ini ditambahkan kembali ke dalam makanan, gejala dapat muncul
kembali. Orang dewasa dengan eksim lebih mungkin untuk mengalami serangan
mendadak bila terpapar makanan yang mengandung birch pollen. Uji makanan
double-blind, plasebo-terkontrol telah menemukan bahwa sebagian kecil dari
anak-anak dan orang dewasa mengalami reaksi kulit ketika diberikan makanan tambahan
yang bervariasi. Ini termasuk nitrit, benzoat, dan tartrazine, balsam Peru, dan
vanili alami dan buatan. Lebih dari 50 persen pasien telah dilaporkan untuk
membaik dengan diet rendah alergen.
·
Diet vegetarian: Bukti awal menunjukkan bahwa
diet vegetarian mengurangi secara signifikan gejala eksim atau dermatitis
atopik. Diet rendah kalori-juga dapat membantu.
·
Vitamin E: Data awal menunjukkan bahwa suplemen
vitamin E (400 IU per hari) menurunkan gejala eksim atau dermatitis atopik pada
beberapa orang dewasa dengan penyakit ini.
Sources : http://infopemanasanglobal.wordpress.com/tag/faktor-risiko-dermatitis-atopik/
dan http://medicastore.com/penyakit/76/Dermatitis_Atopik_Eksim.html
6. Pemeriksaan penunjang hipersensitivitas
Pemeriksaan Penunjang
hipersensitivitas tipe iv
Dermatitis
kontak
·
Tidak ada tes laboratorium khusus diperlukan
kecuali diagnosis tidak pasti.
·
Dermatitis kontak adalah diagnosis klinis.
·
Biopsi kulit dapat dilakukan jika diagnosis
dipertanyakan, dan hasil tes patch sering membantu untuk menentukan contactant
tertentu.
Reaksi
Kulit hipersensitivitas Tuberkulin
·
Tidak ada tes laboratorium diperlukan.
·
Reaksi ini adalah reaksi lokal khusus untuk
pemberian tes Mantoux.
Granulomatosa
penyakit
·
Tes diagnostik berbeda, tergantung pada penyakit
yang disarankan.
·
Jika TB dianggap, tes Mantoux dan rontgen dada
harus dilakukan.
·
Jika curiga sarkoidosis disarankan, rontgen dada
·
Jika diindikasikan, biopsi, harus dilakukan.
·
Serum angiotensin-converting enzim tingkat tidak
diagnostik.
·
Jika lesi kulit yang kemungkinan berhubungan
dengan suatu penyakit granulomatosa, maka kulit biopsi dapat dilakukan.
Possible
cell-mediated immunity
·
Jika kekurangan imunitas diperantarai sel
disarankan, baterai anergi tes kulit dapat dilakukan.
·
Biasanya, antigen digunakan adalah candidin,
trichophytin, gondok antigen uji kulit, dan toksoid tetanus.
·
Jika kurang dari 4 antigen recall digunakan,
kemungkinan hasil negatif palsu meningkat.Konsentrasi yang digunakan adalah
candidin di 1:100, trichophytin pada 1:30 atau 1:100, tes antigen kulit
gondok pada 40 unit pembentuk koloni /
mL, dan tetanus toksoid pada 0,2 unit Loeffler / 0,1 mL 1:100. Volume tes
adalah 0,1 mL intradermally. Diameter indurasi tegak lurus maksimum ditentukan
pada 24, 48, dan 72 jam. Sebuah wheal (20 menit) langsung dan flare di tempat
suntikan selama tes kulit DTH dapat mengakibatkan reaksi DTH negatif palsu.
·
Istilah anergi sekarang diperluas untuk
menyiratkan tidak adanya kapasitas untuk mengekspresikan reaktivitas DTH uji
kulit terhadap antigen biasanya dihadapi (apa yang disebut antigen recall).
Kehadiran anergi tergantung pada jumlah dan jenis antigen yang digunakan dalam
evaluasi uji kulit, reaksi terkecil dianggap positif, dan faktor teknis
lainnya.
·
Kebanyakan peneliti menggunakan panel antigen
4-5 untuk yang lebih dari 90% orang dewasa sehat menunjukkan setidaknya satu
reaksi positif. Persentase reaktor adalah dimengerti lebih rendah pada anak
sehat karena mengurangi kesempatan untuk pemaparan sebelum mikroorganisme yang
biasanya mengakibatkan reaktivitas DTH tersebut.
·
Secara umum, prevalensi tertinggi terjadi reaksi
melawan gondok, candida, dan antigen tetanus. Defisit relatif dimengerti lebih
sulit untuk mengevaluasi, tetapi mereka mungkin lebih umum daripada anergi
absolut dalam proses biologis dan gangguan klinis yang dijelaskan.
·
Dalam beberapa situasi klinis, individu mungkin
menunjukkan defisit dalam mengekspresikan reaksi DTH terhadap antigen tertentu
sebelumnya dihadapi, sementara tanggapan recall lain DTH adalah normal. Ada
beberapa kontroversi mengenai apakah mengenai tidak adanya reaktifitas tes
kulit tuberkulin DTH dan respon normal terhadap antigen recall lainnya
mengecualikan infeksi sebelumnya atau saat ini dengan tuberkulosis M.
Reaktivitas terhadap antigen baru yang dihadapi tidak dapat berkembang, tapi
ingat reaktivitas DTH adalah normal.
·
Dalam studi terkini, peneliti telah berfokus
pada dasar seluler anergi. Dengan bantuan teknologi in vitro, kelainan yang
melibatkan beberapa komponen aparat DTH telah dijelaskan. Ekspresi reaktivitas
tes kulit DTH membutuhkan kemampuan untuk me-mount reaksi inflamasi selular, respon
nonspesifik sering terganggu pada orang dengan penyakit kronis yang melemahkan.
Selain itu, T-sel yang tergantung fungsi tampaknya sering terganggu. Defisit
tersebut baik mungkin memainkan peran penting dalam patogenesis penyakit
tertentu atau terjadi sebagai akibat penyakit itu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar