Rabu, 04 Juni 2014

Skenario 4 Part 2 Blok 6


Author:  Muhammad Shiddiq Dwisurya
Sebelum masuk materi, bagi temen-temen yang ingin mencari artikel dapat mengklik alamat dibawah ini
1.       Berbagai macam penyakit defisiensi imun dapat dicari di http://allergycliniconline.com/2012/02/16/berbagai-penyakit-defisiensi-imun/
2.       Disarankan dapat membuka link dibawah ini untuk berbagai artikel tentang hipersensitivitas maupun immuniologi baik dasar, klinik, maupun patologi
selamat belajar :)

1.       Penyebab Anafilaksis, Gejala, dan Pengobatan
Alergi pada dasarnya merupakan reaksi hipersensitivitas dari sistem kekebalan tubuh terhadap makanan tertentu, iritasi lingkungan, obat-obatan, atau zat-zat lain yang dianggap sebagai ancaman. Ketika zat penyebab alergi memasuki tubuh, sistem kekebalan tubuh mengaktifkan sel-sel khusus yang disebut sel mast. Sel mast adalah sel-sel yang terletak di bawah jaringan ikat yang terletak tepat di bawah kulit. Substansi alergi selanjutnya menempel pada antibodi imunoglobulin E (IgE) yang hadir pada sel mast. Sel-sel mast melepaskan bahan kimia yang disebut histamin untuk menyerang zat alergi. Pelepasan histamin meningkatkan permeabilitas struktur vaskuler sehingga cairan dari pembuluh darah akan mulai mengalir keluar. Respon inflamasi yang disebabkan karena sekresi histamin juga akan menimbulkan berbagai gejala tidak menguntungkan. Ketika seluruh tubuh dipengaruhi oleh reaksi alergi, situasi yang mengancam jiwa dapat terjadi. Kondisi ini secara medis disebut sebagai anafilaksis (anaphylaxis). Anafilaksis bisa menjadi fatal jika penderita tidak menerima perawatan medis tepat waktu.
Penyebab Anafilaksis
Zat yang menjadi penyebab paling umum anafilaksis adalah makanan seperti kacang tanah, biji wijen, kerang, susu, dan telur. Penisilin dan obat tertentu dan sengatan serangga seperti lebah, tawon, serta semut api adalah penyebab lain yang bertanggung jawab untuk syok anafilaksis. Selain ini, anafilaksis juga bisa disebabkan oleh lateks alam (karet), relaksan otot, dan latihan fisik.

Gejala Anafilaksis
Penyebab anafilaksis dibagi menjadi dua jenis: IgE mediated dan non IgE mediated. IgE mediated menyebabkan sensitivitas anafilaksis pada paparan pertama dan kemudian menginduksi reaksi parah pada eksposur kedua. Penyebab IgE mediated termasuk obat (Penisilin, Sefalosporin, Anestesia, dll), sengatan serangga, makanan (kacang, kerang, kedelai, gandum, telur, dll), dan vaksin berbasis gelatin, produk karet, protein hewani, dll.
Penyebab non IgE mediated disebut sebagai anaphylactoid (“seperti anafilaksis”). Paparan pertama terhadap penyebab alergi dapat langsung mengakibatkan reaksi parah karena anafilaksis jenis ini tidak memerlukan sensitisasi sistem kekebalan tubuh. Penyebab mungkin termasuk obat (anti-inflamasi non-steroid, relaksan otot, gamma globulin, dll), pewarna sinar-X, pengawet, latihan fisik, dan beberapa penyebab yang tidak diketahui. Gejala-gejala anafilaksis dapat diamati dalam beberapa detik, menit, atau bahkan jam. Semakin cepat gejala yang diamati, semakin sensitif dan berat konsekuensinya.
Berikut ini adalah beberapa gejala paling umum anafilaksis.
1.       Kemerahan pada kulit. Kulit juga mungkin terasa hangat dan lunak saat disentuh.
2.        Gatal yang terjadi pada pangkal paha atau ketiak atau di seluruh tubuh.
3.        Kegelisahan dan kehilangan kesadaran.
4.        Bengkak di lidah yang mengakibatkan suara serak, kesulitan menelan, dan bernapas.
5.       Pembengkakan pada saluran napas dan tenggorokan, yang menyebabkan kesulitan bernapas parah dan bahkan dapat menghentikan pernapasan.
6.       Hidung berair, bersin, dan mengi terutama pada orang dengan asma.
7.       Muntah, diare, kram perut, dan mual.
8.        Tekanan darah rendah dan denyut nadi tidak teratur.
9.       Dalam kondisi sangat parah jantung mungkin akan berhenti berfungsi.
10.   Pusing dan muntah.
Pengobatan Anafilaksis
Mereka yang mengalami asma atau eksim, berada pada risiko lebih besar terkena syok anafilaksis. Seseorang yang telah mengalami anafilaksis sebelumnya harus mengikuti pedoman untuk pencegahan anafilaksis. Menghindari alergen adalah cara terbaik untuk mencegah syok anafilaksis.
Berikut adalah alternatif pengobatan anafilaksis:
1.       Manajemen Gangguan Pernapasan. Sistem kardiovaskular yang dipengaruhi oleh reaksi alergi yang parah akan membuat penderitanya mengalami gangguan pernapasan. Saat pernapasan pasien berhenti, cardiopulmonary resuscitation (CPR) harus dilakukan. CPR adalah bagian integral dari manajemen jalan nafas.Untuk alasan yang sama, suplementasi oksigen merupakan bagian penting dari perawatan anafilaksis di rumah sakit. Harus dipastikan pasien tidak menderita komplikasi karena kadar oksigen yang rendah dalam darah.
2.       Cairan Intravena. Anafilaksis menyebabkan pembengkakan tenggorokan sehingga pasien tidak dapat menelan makanan atau minuman. Dalam keadaan seperti itu, cairan harus diberikan secara intravena.
3.       Suntikan Epinefrin. Karena pelepasan histamin menyebabkan cairan bocor (keluar) dari pembuluh darah, epinefrin diberikan sehingga dapat menyempitkan pembuluh darah. Epinefrin adalah hormon yang bertindak menginduksi proses ‘melawan atau melarikan diri’ saat seseorang berada di bawah ancaman. Pemberian epinefrin menyebabkan jantung memompa darah lebih cepat, dan juga membantu dalam pelebaran saluran udara ke paru-paru. Epinefrin membalikkan efek dari zat dilepaskan selama syok anafilaksis dan digunakan sebagai bagian dari pengobatan darurat.

4.       Terapi Obat. Obat diberikan untuk menghentikan pelepasan histamin. Obat tersebut disebut sebagai antihistamin yang berfungsi membalikkan efek histamin dan karena itu digunakan untuk mengurangi gejala alergi. Kortikosteroid atau obat anti-inflamasi mungkin juga diresepkan untuk menurunkan peradangan. Karena anafilaksis (anaphylaxis) menyebabkan penurunan tekanan darah, obat-obatan untuk menstabilkan tekanan darah pasien juga bisa diberikan.

2.       Mekanisme Hipersensitivitas
Pada keadaan normal, mekanisme pertahanan tubuh baik humoral maupun selular tergantung padaaktivasi sel B dan sel T. Aktivasi berlebihan oleh antigen atau gangguan mekanisme ini, akanmenimbulkan suatu keadaan imunopatologik yang disebut reaksi hipersensitivitas. Menurut Gell danCoombs, reaksi hipersensitivitas dapat dibagi menjadi 4 tipe, yaitu tipe I hipersensitif anafilaktik, tipeII hipersensitif sitotoksik yang bergantung antibodi, tipe III hipersensitif yang diperani kompleksimun, dan tipe IV hipersensitif cell-mediated (hipersensitif tipe lambat). Selain itu masih ada satutipe lagi yang disebut sentivitas tipe V atau stimulatory hipersensitivity

1.1. Hipersensitivitas Tipe I

 Reaksi tipe 1 yang disebut juga reaksi cepat atau reaksi anafilaktik atau reaksi alergi, timbul segerasesudah terpajan dengan alergen. Pada reaksi tipe 1, alergen yang masuk kedalam tubuhmenimbulkan respons imun berupa produksi IgE dan penyakit alergi seperti rhinitis alergi, asma, dandermatitis atopi. Urutan kejadian reaksi tipe 1 adalah sebagai berikut:
1.       Fase sensitasi, yaitu waktu yang dibutuhkan untuk pembentukan IgE sampai diikat silang oleh reseptor spesifik (Fcε-R) yang terdapat pada permukaan sel mast dan basofil.
2.       Fase aktivasi , yaitu waktu yang diperlukan antara pajanan ulang dengan antigen yang spesifik dansel mast maupun basofil melepas isinya yang berisikan granul yang menimbulkan reaksi. Hal initerjadi oleh karena ikatan silang antara antigen dengan IgE.
3.       Fase efektor, yaitu waktu terjadi respons yang kompleks (anafilaksis) sebagai efek mediator-mediator yang di lepas sel mast/basofil dengan aktivitas farmakologik.
Alergen dipresentasikan ke sel T CD4+naïve oleh sel dendritik (yang menangkap alergen dari tempat masuknya:selaput lendir hidung,paru,konjungtiva). Sel T kemudian berubah menjadi sel Th2. Sel TCD4+ ini berperan penting dalam patogenesis hipersensitivitas tipe I karena sitokin yangdisekresikannya (khususnya IL-4 dan IL-5) menyebabkan diproduksinya IgE oleh sel B, yang bertindaksebagai factor pertumbuhan untuk sel mast, serta merekrut dan mengaktivasi eosinofil. Antibodi IgEberikatan pada reseptor Fc berafinitas tinggi (Fcε-R1) yang terdapat pada sel mast dan basofil; begitusel mast dan basofil “dipersenjatai”, individu yang bersangkutan diperlengkapi untuk menimbulkan hipersensitivitas tipe I. Pajanan yang ulang terhadap antigen yang sama mengakibatkan pertautan-silang antara antigen dengan IgE yang terikat sel dan memicu suatu kaskade sinyal intrasel sehinggaterjadi pelepasan beberapa mediator kuat. Mediator primer untuk respons awal sedangkanmediator sekunder untuk fase lambat.Contoh reaksi hipersensitivitas tipe 1: hay fever, urtikaria, rinitis alergika, asma alergi (ekstrinsik),dermatitis atopik.

Rangkaian Reaksi Tipe Cepat
Sensitisasi atopic
1. Pajanan antigen (alergen)
2. Respons pembentukan IgE3. Terikatnya IgE pada sel mast
Reaksi atopik
  1. Terpapar ulang dengan antigen yang sama
  2. Interaksi antigen-IgE spesifik di sel mast
  3. Pelepasan mediator oleh sel mast
  4. Efek mediator pada berbagai organ





  sel Mast
 

1.2. REAKSI TIPE II ATAU SITOTOKSIK ATAU SITOLITIK

Reaksi hipersensitivitas Tipe II disebut juga reaksi sitotoksik atau sitolitik, terjadi karena dibentuknya antibodi jenis IgG atau IgM terhadap antigen yang merupakan bagian sel pejamu. Reaksi diawali oleh reaksi antara antibodi dan determinan antigen yang merupakan bagian dari membran sel tergantung apakah komplemen atau molekul aksesori dan metabolisme sel dilibatkan.
Istilah sitolitik lebih tepat mengingat reaksi yang terjadi disebabkan lisis dan bukan efek toksik. Antibodi tersebut dapat mengaktifkan sel yang memiliki reseptor Fcγ-R dan juga sel NK yang dapat berperan sebagai sel efektor dan menimbulkan kerusakan melalui ADCC. Reaksi Tipe II dapat menunjukkan berbagai manifestasi klinik.
Antibodi spesifik terhadap antigen sel dan jaringan dapat berdeposit di jaringan dan menyebabkan jejas dengan menginduksi inflamasi lokal, atau mengganggu fungsi sel normal. Antibodi terhadap antigen jaringan menginduksi inflamasi dengan memanggil dan mengaktivasi leukosit. Antibodi IgG dari subkelas IgG1 dan IgG3 terikat pada reseptor Fc neutrofil dan makrofag dan mengaktivasi leukosit-leukosit ini, menyebabkan inflamasi. IgM mengaktivasi sistem komplemen melalui jalur klasik, menyebabkan produksi zat-zat yang dihasilkan komplemen yang merekrut leukosit dan menginduksi inflamasi. Ketika leukosit teraktivasi di situs deposit antibodi, sel-sel ini memproduksi substansi seperti intermediet reaktif oksigen dan enzim lisosom yang merusak jaringan disekitarnya. Jika antibodi terikat pada sel, seperti eritrosit dan platelet, sel akan teropsonisasi dan dapat dicerna dan dihancurkan oleh fagosit penjamu. Beberapa antibodi dapat menyebabkan penyakit tanpa secara langsung menyebabkan jejas jaringan. Misalnya pada antibodi terhadap reseptor hormon yang dapat menghambat fungsi reseptor; pada beberapa kasus myasthenia gravis, antibodi terhadap reseptor asetilkolin menghambat transmisi neuromuskular dan menyebabkan paralisis. Antibodi lainnya dapat mengaktivasi reseptor tanpa adanya hormon fisiologis; seperti pada Graves’ disease, dimana antibodi terhadap reseptor TSH menstimulasi sel tiroid bahkan tanpa keberadaan hormon tiroid.
Banyak kelainan hipersensitivitas kronik pada manusia yang terkait dengan antibodi antijaringan. Terapi untuk kelainan ini terutama untuk membatasi inflamasi dan konsekuensi jejasnya, dengan obat seperti kortikosteroid. Pada kasus yang parah, plasmaferesis digunakan untuk mengurangi kadar antibodi yang bersirkulasi. Terdapat ketertarikan untuk mencoba pendekatan pada inhibisi produksi autoantibodi (misal. dengan antagonis yang memblok ligan CD40 sehingga menghambat aktivasi sel B dependen sel Th).

Reaksi transfusi
Sejumlah besar protein dan glikoprotein pada membran SDM disandi oleh berbagai gen. Bila darah individu golongan darah A mendapat transfusi golongan B terjadi reaksi transfusi, oleh karena anti B isohemaglutinin berikatan dengan sel darah B yang menimbulkan kerusakan darah direk oleh hemolisis masif intravaskular. Reaksi dapat cepat atau lambat. Reaksi cepat biasanya disebabkan oleh inkompatibilitas golongan darah ABO yang dipacu oleh IgM. Dalam beberapa jam hemoglobin bebas dapat ditemukan dalam plasma dan disaring melalui ginjal dan menimbulkan hemoglobinuria. Beberapa hemoglobin diubah menjadi bilirubin yang pada kadar tinggi bersifat toksik. Gejala khasnya berupa demam, menggigil, nausea, bekuan dalam pembuluh darah, nyeri pinggang bawah dan hemoglobinuria.
Reaksi transfusi darah yang lambat terjadi pada mereka yang pernah mendapat transfusi berulang dengan darah yang kompatibel ABO namun inkompatibel dengan golongan darah lainnya. Reaksi terjadi 2 sampai 6 hari setelah transfusi. Darah yang ditransfusikan memacu pembentukan IgG terhadap berbagai antigen membran golongan darah, tersering adalah golongan Rhesus, Kidd, Kell, dan Duffy.

Tiga Mekanisme Utama Hipersensitivitas Tipe II






Hemolytic diseases of the newborn (HDN)
Terjadi ketidaksesuaian faktor Rhesus (Rhesus incompatibility) dimana anti-D IgG yang berasal dari ibu menembus plasenta dan masuk ke dalam sirkulasi darah janin dan melapisi permukaan eritrosi janin kemudian mencetuskan reaksi hipersensitivitas tipe II. HDN terjadi apabila seorang ibu memiliki Rhesus negatif dan mempunyai janin dengan Rhesus positif. Sensitisasi pada ibu umumnya terjadi pada saat persalinan pertama, karena itu HDN umumnya tidak timbul pada bayi pertama. Baru pada kehamilan berikutnya, limfosit ibu akan membentuk anti-D IgG yang dapat menembus placenta dan mengadakan interaksi dengan faktor rhesus pada permukaan eritrosit janin (eritroblastosis fetalis).
Anemia hemolitik
Antibiotika tertentu seperti penisilin, sefalosporin, dan streptomisin dapat diabsorpsi nonspesifik pada protein membran SDM yang membentuk kompleks serupa kompleks molekul hapten pembawa. Pada beberapa penderita, kompleks membentuk antibodi yang selanjutnya mengikat obat pada SDM dan dengan bantuan komplemen menimbulkan lisis dengan dan anemia progresif.




1.3. Hipersensitiv tipe III

`Hipersensitifitas ini terjadi karena adanya reaksi antara antigen dan antibodi yang mengendap dalam jaringa yang dapat berkembang menjadi kerusakan pada jaringan tersebut. Reaksi ini terjadi jika antigen berada dalam bentuk larutan dan dapat terjadi baik pada jaringan atau sirkulasi. Potensi patogenik kompleks imun tergantung pada ukurannya. Ukuran agregat yang besar akan mengikat komplemen dan segera dibersihkan dari peredaran darah oleh sistem fagosit mononuklear sedang agregat yang lebih kecil ukurannya cenderung diendapkan pada pembuluh darah. Di sana, terjadi dimulai kerusakan melalui ikatan reseptor Fc dan komponen komplemen pada permukaan endotel yang berakibat pada kerusakan dinding pembuluh darah. Contoh kasus reaksi tipe III ialah vaskulitis nekrotikans.



Antigen yang membentuk kompleks imun dapat berasal dari luar, seperti protein asing yang diinjeksikan atau dihasilkan mikroba. Juga, berasal dari dalam jika seseorang menghasilkan antibodi melawan komponennya sendiri (autoimun). Penyakit yang dimediasi oleh kompleks imun ini dapat bersifat sistemik jika terbentuk di sirkulasi dan terdeposit pada berbagai organ atau terlokalisasi pada organ tertentu seperti ginjal (glomerulonefritis), sendi (artritis) atau pembuluh darah kecil pada kulit. 2Reaksi hipersensitifitas tipe III setempat dapat dipicu dalam jaringan kulit individu yang tersensitisasi, yang memiliki antibodi IgG yang spesifik terhadap antigen pemicu sensitisasi tersebut. Apabila antigen disuntikan ke dalam individu tersebut, IgG yang telah berdifusi ke jaringan kulit akan membentuk senyawa kompleks imun setempat. Komplek imun tersebut akan mengikat reseptor Fc pada permukaan sel dan juga mengaktifkan komplemen sehingga C5a yang terbentuk akan memicu respon peradangan setempat disertai peningkatan permeabilitas pembuluh darah setempat. Peningkatan permeabilitas ini memudahkan cairan dan sel-sel darah, khususnya netrofil, masuk ke jaringan ikat setempat di sekitar pembuluh darah tersebut.
Hipersensitifitas ini dapat bermanifestasi pada kompleks imun sistemik berupa acute serum sickness serta lokal berupa reaksi artrus. Acute serum sickness pada masa sekarang kurang begitu umum terjadi. Percobaan untuk mengetahui reaksi ini dilakukan dengan pemberian sejumlah besar serum asing seperti serum dari kuda yang terimunisasi yang digunakan untuk perlindungan terhadap difteri.

Umumnya kerusakan terjadi karena ada pengendapan kompleks imun yang berlangsung melalui 4 tahap yaitu:
·         Ikatan antibodi dengan antigen membentuk kompleks imun
Pengenalan antigen protein memicu respon imun yang membuat dilakukannya produksi antibodi, sekitar satu minggu sesudah injeksi protein. Antibodi tersebut disekresikan ke dalam darah, di mana mereka dapat bereaksi dengan antigen yang masih ada di sirkulasi dan membentuk kompleks antigen-antibodi.
·         Kompleks imun akan mengendap pada jaringan tertentu seperti endotel, kulit, ginjal dan persendian
Faktor yang menentukan apakah pembentukan kompleks imun akan memicu deposisi jaringan dan penyakit belum begitu dimengerti. Secara umum, kompleks imun yang berukuran medium merupakan yang paling patogenik. Organ yang darahnya tersaring pada tekanan tinggi untuk membentuk cairan lain seperti urin dan cairan sinovial lebih sering terserang sehingga meningkatkan kejadian kompleks imun pada glomerulus dan sendi.
·         Faktor humoral seperti komplemen dan enzim fagosit dan faktor seluler akan berkumpul di daerah pengendapan
·         Berlangsung kerusakan jaringan oleh faktor humoral dan selular.
Kompleks imun yang terdeposit pada jaringan akan menginisiasi reaksi inflamasi akut. Selama fase ini, sekitar 10 hari sesudah antigen masuk, dapat terjadi manifestasi klinis seperti demam, urtikaria, nyeri sendi (atralgia), pembesaran nodus limfa, dan proteinuria. Kerusakan yang terjadi cukup mirip pada organ apapun yang terlibat. Lesi inflamasi diberi nama sebagai vaskulitis jika terjadi pada pembuluh darah, glomerulonefritis jika terjadi pada glomerulus ginjal, artritis jika terjadi pada sendi, dan sebagainya.
Antibodi yang mengikat komplemen (seperti IgG dan IgM) dan antibodi yang mengikat reseptor Fc leukosit  (beberapa subkelas IgG) menginduksi lesi patologis. Karena adanya penggunaan komplemen, dapat terjadi penurunan level serum C3 yang biasanya digunakan untuk memonitor aktivitas penyakit.
Jika penyakit berasal dari eksprosur terhadap antigen tunggal yang besar, lesi cenderung untuk pecah, sebagai akibat katabolisme kompleks imun. Bentuk serum sickness yang kronis terjadi akibat eksposur antigen berulang atau berkepanjangan. Hal ini dapat terjadi pada penyakit seperti SLE yang berkaitan dengan respon antibodi persisten terhadap autoantigen. Pada beberapa penyakit, meski terdapat perubahan morfologis dan terdapat temuan deposisi kompleks imun, tetapi antigennya tetap tidak diketahui dengan pasti seperti pada glomerulonefritis dan poliarteritis nodosa.
Sementara itu, reaksi antrus merupakan nekrosis jaringan dengan area terlokalisasi yang terjadi dari vaskulitis kompleks imun aktif yang biasanya terjadi pada kulit. Secara eksprimen, reaksi dapat dihasilkan dengan injeksi intrakutan suatu antigen pada hewan yang sudah terimunisasi dan memiliki antibodi bersirkulasi yang melawan antigen tersebut. Ketika antigen berdifusi ke dinding vaskular, akan terjadi ikatan yang ditunjukan oleh antibodi, selanjutnya kompleks imun besar terbentuk secara lokal. Kompleks ini mengendap pada dinding pembuluh darah dan menyebabkan nekrosis fibrinoid maupun trombosis yang dapat memperburuk cedera berupa iskemik.

1.4. Hipersensitiv tipe IV

Sebagian besar hipersensitivitas tipe IV dipercaya merupakan penyebab dari autoimunitas. Reaksi autoimun biasanya ditargetkan langsung terhadap antigen sel dengan distribusi jaringan yang terbatas. Sehingga penyakit autoimun yang dimediasi sel T cenderung terbatas pada beberapa organ atau biasanya tidak sistemik. Jejas jaringan dapat juga mengiringi respon sel T normal terhadap mikroba. Sebagai contoh, pada tuberkulosis, terdapat respon imun terhadap M. tuberculosis, dan responsnya menjadi kronik karena infeksinya sulit untuk dieradikasi. Inflamasi granulomatosa yang dihasilkan merupakan penyebab utama dari jejas pada jaringan normal pada situs infeksi dan kerusakan fungsional. Pada infeksi virus hepatitis, virusnya sendiri tidak bersifat sitopatik tinggi, tapi respons limfosit T sitolitik terhadap hepatosit yang terinfeksi yang menyebabkan jejas pada liver.
Pada penyakit yang dimediasi sel T, jejas jaringan disebabkan oleh DTH yang dimediasi oleh sel T CD4+ atau lisis dari sel penjamu oleh limfosit T sitolitik CD8+. Mekanisme jejas jaringan adalah sama dengan mekanisme yang digunakan sel T untuk mengeliminasi mikroba yang terkait sel. Sel T CD4+ dapat bereaksi terhadap antigen sel atau jaringan dan menyekresi sitokin yang menginduksi inflamasi lokal dan mengaktivasi makrofag. Jejas jaringan aslinya disebabkan oleh makrofag dan sel radang lainnya. Sel T CD8+ spesifik untuk antigen pada sel autolog dapat langsung membunuh sel-sel tersebut. Pada banyak penyakit autoimun yang dimediasi sel T, terdapat sel T CD4+ dan sel T CD8+ spesifik untuk antigen penjamu, dan keduanya berkontribusi dalam jejas jaringan.
Sel T melepas sitokin, bersama dengan produksi mediator sitotoksik lainnya menimbulkan respons inflamasi yang terlihat pada penyakit kulit hipersensitivitas lambat. Contohnya dermatitis kontak yang diinduksi oleh etilendiamine, neomisin, anestesi topikal, antihistamin topikal dan steroid topikal.
Terapi untuk hipersensitivitas yang dimediasi sel T didesain untuk mengurangi inflamasi, menggunakan kortikosteroid dan antagonis terhadap sitokin seperti TNF, dan untuk menghambat respons sel T dengan obat imunosupresif seperti siklosporin. Antagonis TNF telah dibuktikan bermanfaat pada pasien dengan rheumatoid arthritis dan inflammatory bowel disease. Banyak agen-agen baru yang dikembangkan untuk menghambat respons sel T. Hal ini meliputi antagonis terhadap reseptor untuk sitokin seperti IL-2, dan agen yang memblok kostimulator seperti B7.
Dewasa ini reaksi hipersensitivitas tipe IV telah dibagi dalam DTH yang terjadi melalui sel CD4+ dan T Cell Mediated Cytolysis yang terjadi melalui sel CD8+.

Mekanisme hipersensitivitas tipe 4



Contoh-contoh penyakit Hipersensitivitas tipe 4




Delayed Type Hypersensitivity Tipe IV
Contoh klasik dari DTH adalah reaksi tuberculin, yang diproduksi oleh injeksi intrakutan dari tuberculin, suatu protein-lipopolisakarida yang merupakan komponen dari tuberkel bacillus. Pada individu yang sebelumnya telah tersensitisasi, terjadi kemerahan dan indurasi pada situs dalam waktu 8-12 jam, mencapai puncak dalam 24-72 jam, dan berkurang. Secara morfologis, DTH dikarakterisasi oleh akumulasi sel mononuklear disekeliling vena kecil dan venula, menghasilkan sebuah “perivascular cuffing”. Terdapat asosiasi mengenai peningkatan permeabilitas mikrovaskular yang disebabkan mekanisme yang sama dengan inflamasi lainnya. Sehingga protein plasma akan keluar dan menyebabkan edema dermal dan deposisi fibrin di interstisial. Yang terakhir menjadi penyebab utama terjadinya indurasi, yang menjadi ciri DTH. Pada lesi yang telah berkembang penuh, venula yang dikelilingi limfosit akan menunjukkan hipertrofi atau hiperplasia endotel.
Dengan antigen persisten atau yang sulit didegradasi, seperti tuberkel bacilli yang berkolonisasi di paru atau jaringan lain, infiltrat limfosit perivaskular yang muncul di awal akan digantikan oleh makrofag dalam waktu 2 atau 3 minggu. Makrofag yang terakumulasi seringkali mengalami perubahan morfologis menjadi sel epiteloid (mirip sel epitel). Secara mikroskopis, agregat sel epiteloid yang dikelilingi oleh limfosit, disebut dengan granuloma. Pola inflamasi yang kadang terlihat pada hipersensitivitas tipe IV ini disebut dengan inflamasi granulomatosa.
Tahapan selular dari DTH dapat dimisalkan oleh reaksi tuberculin. Ketika seorang individu pertama kali terekspos terhadap antigen protein dari tuberkel bacilli, sel CD4+ T naïve mengenali peptida turunan antigen dan terkait dengan molekul kelas II pada permukaan APC. Hal ini memicu diferensiasi dari sel T CD4+ naïve menjadi sel Th1. Induksi sel Th1 merupakan hal yang penting karena ekspresi DTH bergantung pada sebagian besar sitokin yang disekresi oleh sel Th1. Beberapa sel Th1 akan memasukin sirkulasi dan tetap berada pada pool memori sel T untuk waktu yang lama. Atau injeksi intrakutan dari tuberculin pada seseorang yang sebelumnya terekspos tuberkel bacilli, dimana sel memori Th1 akan mengenali antigen yang ditampilkan APC dan teraktivasi. Sel-sel Th1 ini akan menyekresi sitokin, terutama IFN-γ, yang bertanggung jawab terhadap ekspresi DTH. Sitokin-sitokin yang paling relevan dalam reaksi ini dan kerja mereka adalah sbb:
·         IL-12, sitokin yang diproduksi makrofag dan sel dendritik, penting untuk induksi respons Th1 dan DTH. Pada tahap awal melawan mikroba, makrofag dan sel dendritik menyekresi IL-12, yang menginduksi diferensiasi sel T CD4+ menjadi sel Th1. Hal ini akan menyebabkan diproduksinya sitokin lain, yang disebutkan di bawah ini. IL-12 juga merupakan inducer poten dari sekresi IFN-γ oleh sel T dan sel NK. IFN-γ akan memperbanyak diferensiasi sel Th1.
·         IFN-γ memiliki banyak efek dan merupakan mediator kunci pada DTH. Paling penting adalah merupakan aktivator makrofag yang kuat. Makrofag yang teraktivasi berperan dalam mengeliminasi antigen yang menyerang; jika aktivasi tetap berlangsung maka inflamasi tetap berlanjut dan terbentuk fibrosis.
·         IL-2 menyebabkan proliferasi parakrin dan autokrin dari sel T, menyebabkan akumulasi di situs DTH.
·         TNF dan limfotoksin merupakan 2 sitokin yang memiliki efek terhadap sel endotel: (1) peningkatan sekresi dari prostasiklin, yang meningkatkan aliran darah dan menyebabkan vasodilatasi lokal; (2) peningkatan ekspresi P-E-selektin, molekul adhesi yang mempromosikan penempelan limfosit dan monosit; dan (3) induksi dan sekresi kemokin seperti IL-8.
·         Kemokin yang diproduksi sel T dan makrofag merekrut lebih banyak lagi leukosit ke situs reaksi. Tipe inflamasi ini terkadang disebut inflamasi imun.
Hipersensitivitas tipe IV merupakan mekanisme utama pertahanan terhadap beragam patogen intrasel, termasuk mycobacteria, jamur, dan parasit tertentu, dan juga berperan dalam rejeksi transplant dan imunitas tumor. Namun di sisi lain, DTH juga dapat menyebabkan penyakit. Dermatitis kontak merupakan contoh umum dari jejas jaringan yang disebabkan oleh DTH. Hal ini dapat terjadi akibat kontak dengan urushiol, komponen antigen dari poison ivy atau poison oak dan bermanifestasi dalam bentuk dermatitis vesikular. Mekanisme dasarnya mirip dengan yang dijelaskan sebelumnya untuk sensitivitas tuberculin. Pada pajanan berulang terhadap tanaman tersebut, sel CD4+ yang tersensitisasi terakumulasi di dermis, kemudian bermigrasi menuju antigen di epidermis. Di sana mereka melepaskan sitokin yang merusak keratinosit, menyebabkan pemisahan dari sel=sel ini dan pembentukan vesikel intraepidermal.

Formasi Granuloma pada Hipersensitivitas Tipe IV




T Cell-Mediated Cytotoxicity
Pada varian hipersensitivitas tipe IV ini, sel T CD8+ yang tersensitisasi membunuh sel target antigen. Sel efektor tersebut disebut cytotoxic T lymphocyte (CTL). Destruksi jaringan oleh CTL merupakan komponen penting dari banyak penyakit yang dimediasi sel T. CTL yang menyerang langsung antigen permukaan sel berperan penting dalam rejeksi graft. Hal ini juga berperan penting dalam resistensi terhadap infeksi virus. Pada sel yang terinfeksi virus, peptida virus terkait dengan molekul kelas 1 di dalam sel, dan keduanya ditransportasikan ke permukaan sel dalam bentuk kompleks yang dikenali oleh TCR dari limfosit T CD8+ sitotoksik. Lisis dari sel yang terinfeksi menyebabkan eliminasi dari infeksi.
Dua mekanisme utama dari kerusakan yang dimediasi sel T telah diketahui: (1) perforin-granzyme-dependent killing, dan (2) Fas-Fas ligand-dependent killing.
Perforin dan granzyme merupakan mediator yang telah dibentuk yang terdapat di dalam granula mirip lisosom dari CTL. Perforin dapat memperforasi membran plasma dari sel target yang sedang diserang limfosit CD8+. Pada awalnya, sel T CD8+ mendekati sel taget, kemudian terjadi polimerisasi dari molekul perforin yang dilepaskan dan insersinya ke membran sel target, menyebabkan terbentuknya lubang-lubang di membran. Granul-granul CTL mengandung protease yang disebut granzyme, yang diantarkan ke sel target melalui pori-pori yang dibentuk perforin. Saat berada di dalam sel, granzyme akan mengaktivasi kaspase, yang menginduksi apoptosis sel target. Sebagai tambahan, pori-pori perforin menyebabkan air masuk ke dalam sel, menyebabkan lisis osmotik. Fasdependent killing juga menginduksi apoptosis sel target namun dengan mekanisme yang berbeda. CTL mengekspresikan Fas ligan, molekul yang homolog dengan TNF, yang dapat terikat dengan Fas yang diekpresikan oleh sel target. Interaksi ini akan menyebabkan terjadi apoptosis.

3.       Penatalaksanaan anafilaksis
Yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis adalah tindakan segera untuk membantu fungsi vital, melawan pengaruh mediator, dan mencegah lepasnya mediator selanjutnya. Tindakan tersebut mencakup evaluasi segera, pemberian adrenalin, pemasangan turniket, pemberian oksigen, cairan intravena, difenhidramin, aminofilin, vasopresor, intubasi dan trakeostomi, kortikosteroid, serta pengobatan suportif. Berikut merupakan gambar tatalaksana anafilaksis secara umum
·         Evaluasi segera  Yang penting dievaluasi adalah keadaan jalan napas dan jantung. Kalau pasien mengalami henti jantung-paru harus dilakukan resusitasi kardiopulmoner
·         Adrenalin Larutan adrenalin (epinefrin) 1/1000 dalam air sebanyak 0,01 ml/kgBB, maksimum 0,5 ml (larutan 1:1000), diberikan secara intramuskular atau subkutan pada lengan atas atau paha. Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan, berikan suntikan adrenalin kedua 0,1-0,3 ml (larutan 1:1000) secara subkutan pada daerah suntikan untuk mengurangi absorbsi antigen. Dosis adrenalin pertama dapat diulangi dengan jarak waktu 15- 20 menit bila diperlukan. Kalau terdapat syok atau kolaps vaskular atau tidak berespons dengan medikasi intramuskular, dapat diberikan adrenalin 0,1 ml/kgBB dalam 10 ml NaCl fisiologik (larutan 1:10.000) secara intravena dengan kecepatan lambat (1-2 menit) serta dapat diulang dalam 5-10 menit.
·         Intubasi dan trakeostomi Intubasi atau trakeostomi perlu dikerjakan kalau terdapat sumbatan jalan napas bagian atas oleh edema. Prosedur ini tidak boleh ditunda kalau sudah terindikasi.
·         Turniket Kalau anafilaksis terjadi karena suntikan pada ekstremitas atau sengatan/gigitan hewan berbisa maka dipasang turniket proksimal dari daerah suntikan atau tempat gigitan tersebut. Setiap 10 menit turniket ini dilonggarkan selama 1-2 menit.
·         Oksigen Oksigen harus diberikan kepada penderita penderita yang menplami sianosis, dispneu yang jelas atau penderita dengan mengi. Oksigen dengan aliran sedang-tinggi (5-10 liter/menit) diberikan melalui masker atau kateter hidung.
·         Difenhidramin Difenhidramin dapat diberikan secara intravena (kecepatan lambat selama 5 – 10 menit), intramuskular atau oral (1-2 mg/kgBB) sampai maksimum 50 mg sebagai dosis tunggal, tergantung dari beratnya reaksi. Yang perlu diingat adalah bahwa difenhidramin bukanlah merupakan substitusi adrenalin. Difenhidramin diteruskan secara oral setiap 6 jam selama 24 jam untuk mencegah reaksi berulang, terutama pada urtikaria dan angioedema. Kalau penderita tidak memberikan respons dengan tindakan di atas, jadi penderita masih tetap hipotensif atau tetap dengan kesukaran bernapas, maka penderita perlu dirawat di unit perawatan intensif dan pengobatan diteruskan dengan langkah berikut.
·         Cairan intravena Untuk mengatasi syok pada anak dapat diberikan cairan NaCl fisiologis dan glukosa 5% dengan perbandingan 1 : 4 sebanyak 30 ml/kgBB selama 1-2 jam pertama atau sampai syok teratasi. Bila syok sudah teratasi, cairan tersebut diteruskan dengan dosis sesuai dengan berat badan dan umur anak.
·         Aminofilin Apabila bronkospasme menetap, diberikan aminofilin intravena 4-7 mg/kgBB yang dilarutkan dalam cairan intravena (dekstrosa 5%) dengan jumlah paling sedikit sama. Campuran ini diberikan intravena secara lambat (15-20 menit). Tergantung dari tingkat bronkospasme, aminofilin dapat diteruskan melalui infus dengan kecepatan 0,2-1,2 mg/kgBB atau 4-5 mg/kgBB intravena selama 20-30 menit setiap 6 jam. Bila memungkinkan kadar aminofilin serum harus dimonitor.
·         Vasopresor Bila cairan intravena saja tidak dapat mengontrol tekanan darah, berikan metaraminol bitartrat (Aramine) 0,0l mg/kgBB (maksimum 5 mg) sebagai suntikan tunggal secara lambat dengan memonitor aritmia jantung, bila terjadi aritmia jantung, pengobatan dihentikan segera. Dosis ini dapat diulangi bila diperlukan, untuk menjaga tekanan darah. Dapat juga diberikan vasopresor lain seperti levaterenol bitartrat (Levophed) 1 mg (1 ml) dalam 250 ml cairan intravena dengan kecepatan 0,5 ml/menit atau dopamin (Intropine) yang diberikan bersama infus, dengan kecepatan 0,3-1,2 mg/kgBB/jam.
·         Kortikosteroid Kortikosteroid tidak menolong pada pelaksanaan akut suatu reaksi anafilaksis. Pada reaksi anafilaksis sedang dan berat kortikosteroid harus diberikan Kortikosteroid bergunan untuk mencegah gejala yang lama atau rekuren. Mula-mula diberikan hidrokortison intravena 7-10 mg/kgBB lalu diteruskan dengan 5 mg/kgBB setiap 6 jam dengan bolus infus. Pengobatan biasanya dapat dihentikan sesudah 2-3 hari.
Pengobatan suportif
Sesudah keadaan stabil, penderita harus tetap mendapat pengobatan suportif dengan obat dan cairan selama diperlukan untuk membantu memperbaiki fungsi vital. Tergantung dari beratnya reaksi, pengobatan suportif ini dapat diberikan beberapa jam sampai beberapa hari.

4.       PENCEGAHAN ANAFILAKSIS
Pencegahan merupakan aspek yang terpenting pada penatalaksanaan anafilaksis.
·         Anamnesis teliti
Anamnesis mengenai kemungkinan terdapatnya reaksi terhadap antigen yang dicurigai, yang mungkin terjadi diwaktu yang lalu, harus dikerjakan sebelum kita memberikan setiap obat, terutama obat suntikan. Edukasi juga dapat diberikan pada pasien, antara lain membaca label obat dengan teliti dan mempunyai catatan mengenai jenis obat yang dicurigai menimbulkan gejala alergi.
·         Penggunaan antibiotic.
Penggunaan antibiotik atau obat lainnya harus dengan indikasi khusus, dan pemberian per oral lebih baik, bila hal ini memungkinkan.
·         Uji kulit dan konjungtiva
Uji kulit dan konjungtiva terhadap beberapa antitoksin yang berasal dari serum hewan, dianjurkan untuk dikerjakan sebelum diberikan. Jika diperlukan anti serum, sebisa mungkin diberikan preparat serum manusia. Di negara maju, setiap saat dapat diperoleh informasi dari badan tertentu yang mempunyai catatan lengkap mengenai penderita yang telah pemah mengalami reaksi anafilaksis.

5.       Penyakit Atopik
Dermatitis atopik, juga dikenal sebagai eksim, merupakan penyakit kulit umum yang mengenai sekitar 20 persen orang di seluruh dunia. Penyakit ini biasanya timbul di masa kanak-kanak  dan berakhir pada usia enam tahun. Namun, dalam banyak kasus, kondisi tersebut berlanjut sampai dewasa.
Penyebab penyakit ini tidak dipahami dengan baik, tetapi diketahui bahwa individu dengan dermatitis atopik sering memiliki penyakit atopik lain, termasuk asma, rinitis alergi (“hay fever“), dan alergi makanan.
Gejala Eksim
Gejala bervariasi. Secara umum, anak-anak menderita rasa gatal dan kulit memerah, daerah bersisik pada kulit tubuh bagian atas, meskipun mungkin terjadi di mana saja pada tubuh. Individu yang terkena juga memiliki peningkatan risiko terkena infeksi kulit.
Faktor Risiko
·         Keluarga atau riwayat pribadi penyakit atopik: Adanya riwayat alergi makanan, demam, atau asma dikaitkan dengan dermatitis atopik. Sekitar setengah dari individu dengan dermatitis atopik memiliki kerabat yang menderita asma.
·         Tidak sedang menyusui: Beberapa bukti menunjukkan bahwa menyusui eksklusif selama sedikitnya tiga bulan pertama bayi dapat terkait dengan penurunan risiko.
Diagnosa
·         Riwayat medis dan pemeriksaan fisik adalah alat diagnostik utama.
·         Tidak ada tes laboratorium yang secara pasti dapat mendiagnosa dermatitis atopik. Tes alergi pada kulit mungkin berguna, tetapi tidak diperlukan untuk membuat diagnosis.
Pengobatan
·         Perlakuan awal melibatkan penghilangan faktor yang dapat memperburuk gangguan, seperti sabun dan deterjen, alergen makanan, dan kosmetik.
·         Mandi berlebihan atau penggunaan lotion tidak disarankan, karena penguapan air dari kulit memperburuk penyakit. Banyak orang yang terkejut mengetahui bahwa lotion-berbahan-dasar-air benar-benar meningkatkan penguapan air dari kulit, tidak seperti krim emolien atau balsam. Krim emolien atau balsam harus digunakan secara bebas, terutama setelah mandi, untuk mengunci kelembaban. Pelembab udara dapat dicoba di iklim kering.
·         Antihistamin, seperti diphenhydramine (Benadryl) atau loratadine (Claritin) bisa meringankan gatal-gatal.
·         Steroid topikal dapat digunakan untuk mengobati penyakit aktif. Penggunaan steroid topikal sesekali di antara episode serangan mengurangi kemungkinan kambuh. Ketika serangan berat terjadi, steroid oral (misalnya prednison) dapat berguna.
·         Obat lain, seperti tacrolimus dan siklosporin, kadang-kadang diresepkan untuk kasus yang parah. Namun, harus digunakan dengan hati-hati karena risiko efek samping, yang mungkin termasuk kanker kulit.
·         Fototerapi menggunakan sinar ultraviolet biasanya efektif untuk mengobati penyakit berat, tetapi dapat meningkatkan risiko untuk melanoma dan kanker kulit lainnya.
Pola Makan Eksim (Dermatitis Atopik)
·         Perubahan nutrisi untuk mengurangi eksim atau dermatitis atopik telah diteliti selama bertahun-tahun.
·         Menghindari alkohol selama kehamilan: Asupan alkohol ibu (empat atau lebih minuman per minggu) secara signifikan meningkatkan risiko eksim atau dermatitis atopik pada bayi. Selanjutnya, penggunaan alkohol selama kehamilan membawa risiko besar lainnya dan harus dihindari sepenuhnya.
·         Menyusui: Menyusui bayi memungkinkan untuk meminimalkan paparan terhadap protein susu sapi. Namun, protein susu sapi masih dapat ditransfer melalui menyusui pada ibu yang minum susu sapi. Menghindari makanan alergi oleh seorang ibu menyusui dapat lebih lanjut mengurangi risiko penyakit atopik pada bayi. Pada anak-anak yang tidak diberi ASI, formula whey protein hidrolisat secara ekstensif telah digunakan untuk mengurangi risiko eksim atau dermatitis atopik dan ditoleransi oleh setidaknya 90 persen bayi dengan riwayat alergi terhadap protein susu sapi. Namun, formula ini masih bisa menimbulkan gejala alergi. Hanya formula berbasis asam amino dapat dianggap sepenuhnya nonalergenik.
·         Menunda pengenalan makanan padat: Menghindari pengenalan makanan padat sampai bayi mencapai empat sampai enam bulan usia tampak mengurangi risiko penyakit atopik.  Pendekatan ini dapat lebih ditingkatkan dengan meminimalkan alergen lingkungan. Sebagai contoh, penutup matras polivinil dan semprotan anti-debu-tungau dapat digunakan. Dalam uji klinis, langkah-langkah gabungan ini terkait dengan penurunan 67 persen dalam dermatitis, dibandingkan dengan populasi kontrol.
·         Menghilangkan makanan penyebab alergi: Telur, susu sapi, kedelai, gandum bertanggung jawab atas sekitar 90 persen alergi makanan pada anak dengan eksim atau dermatitis atopik. Ketika makanan ini dihindari, lebih dari 50 persen anak-anak dengan diet-yang-terkait dengan dermatitis atopik mengalami penurunan gejala yang signifikan. Ketika makanan-makanan ini ditambahkan kembali ke dalam makanan, gejala dapat muncul kembali. Orang dewasa dengan eksim lebih mungkin untuk mengalami serangan mendadak bila terpapar makanan yang mengandung birch pollen. Uji makanan double-blind, plasebo-terkontrol telah menemukan bahwa sebagian kecil dari anak-anak dan orang dewasa mengalami reaksi kulit ketika diberikan makanan tambahan yang bervariasi. Ini termasuk nitrit, benzoat, dan tartrazine, balsam Peru, dan vanili alami dan buatan. Lebih dari 50 persen pasien telah dilaporkan untuk membaik dengan diet rendah alergen.
·         Diet vegetarian: Bukti awal menunjukkan bahwa diet vegetarian mengurangi secara signifikan gejala eksim atau dermatitis atopik. Diet rendah kalori-juga dapat membantu.
·         Vitamin E: Data awal menunjukkan bahwa suplemen vitamin E (400 IU per hari) menurunkan gejala eksim atau dermatitis atopik pada beberapa orang dewasa dengan penyakit ini.

6.       Pemeriksaan penunjang hipersensitivitas
Pemeriksaan Penunjang hipersensitivitas tipe iv
Dermatitis kontak
·         Tidak ada tes laboratorium khusus diperlukan kecuali diagnosis tidak pasti.
·         Dermatitis kontak adalah diagnosis klinis.
·         Biopsi kulit dapat dilakukan jika diagnosis dipertanyakan, dan hasil tes patch sering membantu untuk menentukan contactant tertentu.
Reaksi Kulit hipersensitivitas Tuberkulin
·         Tidak ada tes laboratorium diperlukan.
·         Reaksi ini adalah reaksi lokal khusus untuk pemberian tes Mantoux.
Granulomatosa penyakit
·         Tes diagnostik berbeda, tergantung pada penyakit yang disarankan.
·         Jika TB dianggap, tes Mantoux dan rontgen dada harus dilakukan.
·         Jika curiga sarkoidosis disarankan, rontgen dada
·         Jika diindikasikan, biopsi, harus dilakukan.
·         Serum angiotensin-converting enzim tingkat tidak diagnostik.
·         Jika lesi kulit yang kemungkinan berhubungan dengan suatu penyakit granulomatosa, maka kulit biopsi dapat dilakukan.
Possible cell-mediated immunity
·         Jika kekurangan imunitas diperantarai sel disarankan, baterai anergi tes kulit dapat dilakukan.
·         Biasanya, antigen digunakan adalah candidin, trichophytin, gondok antigen uji kulit, dan toksoid tetanus.
·         Jika kurang dari 4 antigen recall digunakan, kemungkinan hasil negatif palsu meningkat.Konsentrasi yang digunakan adalah candidin di 1:100, trichophytin pada 1:30 atau 1:100, tes antigen kulit gondok  pada 40 unit pembentuk koloni / mL, dan tetanus toksoid pada 0,2 unit Loeffler / 0,1 mL 1:100. Volume tes adalah 0,1 mL intradermally. Diameter indurasi tegak lurus maksimum ditentukan pada 24, 48, dan 72 jam. Sebuah wheal (20 menit) langsung dan flare di tempat suntikan selama tes kulit DTH dapat mengakibatkan reaksi DTH negatif palsu.
·         Istilah anergi sekarang diperluas untuk menyiratkan tidak adanya kapasitas untuk mengekspresikan reaktivitas DTH uji kulit terhadap antigen biasanya dihadapi (apa yang disebut antigen recall). Kehadiran anergi tergantung pada jumlah dan jenis antigen yang digunakan dalam evaluasi uji kulit, reaksi terkecil dianggap positif, dan faktor teknis lainnya.
·         Kebanyakan peneliti menggunakan panel antigen 4-5 untuk yang lebih dari 90% orang dewasa sehat menunjukkan setidaknya satu reaksi positif. Persentase reaktor adalah dimengerti lebih rendah pada anak sehat karena mengurangi kesempatan untuk pemaparan sebelum mikroorganisme yang biasanya mengakibatkan reaktivitas DTH tersebut.
·         Secara umum, prevalensi tertinggi terjadi reaksi melawan gondok, candida, dan antigen tetanus. Defisit relatif dimengerti lebih sulit untuk mengevaluasi, tetapi mereka mungkin lebih umum daripada anergi absolut dalam proses biologis dan gangguan klinis yang dijelaskan.
·         Dalam beberapa situasi klinis, individu mungkin menunjukkan defisit dalam mengekspresikan reaksi DTH terhadap antigen tertentu sebelumnya dihadapi, sementara tanggapan recall lain DTH adalah normal. Ada beberapa kontroversi mengenai apakah mengenai tidak adanya reaktifitas tes kulit tuberkulin DTH dan respon normal terhadap antigen recall lainnya mengecualikan infeksi sebelumnya atau saat ini dengan tuberkulosis M. Reaktivitas terhadap antigen baru yang dihadapi tidak dapat berkembang, tapi ingat reaktivitas DTH adalah normal.
·         Dalam studi terkini, peneliti telah berfokus pada dasar seluler anergi. Dengan bantuan teknologi in vitro, kelainan yang melibatkan beberapa komponen aparat DTH telah dijelaskan. Ekspresi reaktivitas tes kulit DTH membutuhkan kemampuan untuk me-mount reaksi inflamasi selular, respon nonspesifik sering terganggu pada orang dengan penyakit kronis yang melemahkan. Selain itu, T-sel yang tergantung fungsi tampaknya sering terganggu. Defisit tersebut baik mungkin memainkan peran penting dalam patogenesis penyakit tertentu atau terjadi sebagai akibat penyakit itu.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar