Skenario 4 Blok 6
Author: Amina
Seorang
laki-laki 40 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak nafas mendadak. Keluhan
ini muncul kurang lebih 15 menit setelah minum obat penghilang sakit gigi yang
dia beli di toko obat. Pasien juga mengeluh keringat dingin, bibir bengkak dan
bintik-bintik merah di seluruh badannya. Penderita memiliki riwayat sakit asma
sejak 10 tahun yang lalu dan sering kumat-kumatan. Pada pemeriksaan fisik
didapatkan keadaan lemah, dengan tekanan darah 70/40 mmHg.
Pasien
segera mendapatkan epinefrin subcutaneous (1:1.000, 0,3 mL), dan klorfeniramin
intravena 45 mg dan metilprednisolon 60 mg. tekanan darah meningkat menjadi
normal kembali beberapa saat setelah pemberian epinefrin, dan lesi-lesi kulitnya
mulai sembuh dalam beberapa menit. Pasien tetap diamati selama 5 jam dan dia
sembuh total.
Clarifying Unfamiliar
Terms
1.
Keringat
Dingin: kondisi yang tidak normal ditandai dengan keluarnya keringat tetapi
tubuh terasa kedinginan. Istilah medis dari keringat dingin adalah diaphoresis.
2.
Asma:
sebuah penyakit kronis (kambuhan) pada sistem pernapasan, berupa peradangan dan
penyempitan liang/saluran pernapasan, menyebabkan susah bernapas, dada terasa
sesak, dan batuk. Penyakit asma dapat muncul karena reaksi terhadap rangsangan
tertentu.
Analyzing
1.
Alergi Obat
Alergi
obat adalah reaksi alergi gimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara
berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu. Obat ini bisa dijual bebas
atau dengan resep dokter bisa berpotensi menimbulkan alergi terhadap orang yang
sesitif terhadap obat tersebut.
Gejala Alergi Obat
Gejala alergi obat dapat muncul beberapa menit atau beberapa hari bahkan
minggu setelah minum obat. Gejala tersebut antara lain:
·
Ruam
Kulit
·
Gatal-gatal
biduran/kaligata (urtikaria)
·
Demam
·
Wajah
bengkak/sembab
·
Sesak
napas
·
Anafilaksis,
reaksi yang mengancam jiwa
Penatalaksanaan dan pengobatan
Alergi Obat
Cara mengatasi alergi obat yaitu dengan cara menghentikan pemakaian obat
yang menyebabkan alergi. Diperlukan juga obat untuk meredakan gejala dari
alergi obat. Reaksi ringan seperti ruam atau gatal-gatal dapat diatasi dengan
pemberian antihistamin seperti CTM, difenhidramin, interhistin, cetirizine,
loratadin, dll.
Reaksi serius mungkin memerlukan pengobatan dengan kortikosteroid oral
atau suntik. Segera ke IGD jika muncul gejala ruam parah atau gatal-gatal,
bengkak, sesak napas, pusing atau tanda-tanda lain atau gejala dari reaksi
anafilaksis. Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang membutuhkan suntikan
epinefrin segera dan perawatan di rumah sakit untuk menjaga tekanan darah dan
pernapasan.
2.
Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu respon alergi yang berat dan menyerang berbagai
organ. Reaksi alergi ini merupakan suatu reaksi alergi tipe cepat (tipe I),
yaitu reaksi antara antigen spesifik yang terikat pada sel mast. Selain itu
dikenal pula istilat reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan reaksi
anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada
sel mast, sehingga menyebabkan terlepasnya histamine, SRA-A, ECF-A, PAF, dan heparin.
Reaksi hipersensitifitas tipe cepat ini terdiri dari serangkaian mekanisme
efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE.
Penyebab dari anafilaksis diantaranya adalaha ntibiotik, ekstrak alergen,
serum kuda, zat diagnostic, bisa ular, produk darah, anestetikum lokal seperti
lidokain atau prokain, enzim, hormone. Beberapa makanan dikenal sebagai
penyebab alergi anafilaktik seperti susu sapi, kerang dan kacang-kacangan.
Patofisiologi Reaksi Alergi
Anafilaksis
Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator
kimia yang sangat kuat yang memacu serangkaian peristiwa fisiologik yang
menghasilkan gejala anafilaksis. Histamin yang merupakan salah satu mediator
sel mast dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan
bronkokonstriksi. Pada sistem vascular menyebabkan dilatasi venula kecil,
sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena
kontraksi oto polos. Selanjutnya histamine meninggikan permeabilitas kapiler
dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskuler ini menyebabkan respon
wheal-flare, dan bila terjadi secara sistemik dapat menimbulkan hipotensi,
urtikaria dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamine meninggikan
sekresi mukosa lambung dan bila pelepasan histamine terjadi secara sistemik
maka aktifitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan
hipermotilitas.
Gejala klinis reaksi alergi
anafilaksis
-
Reaksi
Lokal:
o
Urtikaria
o
Angioedema
-
Reaksi
Sistemik:
o
Traktus
respiratorius: penyempitan saluran napas dan tenggorokan
o
Sistem
Kardiovaskuler: Shock, penurunan tekanan darah, nadi cepat dan lemah
o
Traktus
gastrointestinalis: mual, muntah atau diare
3.
Penjelasan Obat
a. Epinephrine
Epinephrine termasuk obat
sympathomimetic tipe direct-acting. Menstimulasi reseptor α- dan β-adrenergic
dan menyebabkan relaksasi dari otot polos bronkus, stimulasi jantung, dan
pelebaran pembuluh darah otot rangka. Epinephrine sering ditambahkan dalam
anastesi lokal untuk memperpanjang durasi dan mengurangi bahaya toksisitas.
Epinephrine merupakan life-saving medication dalam penatalaksanaan anafilaksis.
Actions of Epinephrine:
-
Peningkatan
metabolism
-
Stimulasi
jantung & peningkatan denyut jantung
-
Peningkatan
tekanan darah
-
Peningkatan
aliran darah
-
Vasokonstriksi
-
Dilatasi
pupil dan bronkus
-
Oksigenasi
meningkat
-
Glukosa
darah meningkat
Onset epinephrine:
-
SC:
approx. 5-10 min
-
Inhalation:
approx. 1 min
-
Conjunctival
instillation: IOP declines approx. 1 hour.
Side Effects of Epinephrine:
-
Cemas,
takut dan tremor
-
Jari-jari
dingin dan mulut kering (karena vasokonstriksi)
-
Sakit
kepala
-
Pucat
-
Jantung
aritmia, angina & kenaikan tekanan darah
-
Pendarahan
intraserebral mengarah ke stroke
-
Hiperventilasi
Contraindications:
Epinephrine dapat diberikan pada life-threatening anafilaksis bahkan pada orang
dengan contraindications sebagai berikut
-
Coronary
Artery Disease
-
Uncontrolled
Hypertension
-
Serious
ventricular arrhythmias
-
Second
stage of labour
Dosage:
Epinephrine
1:1000, 0,3 sampai 0,5 mL (0,3-0,5 mg). Dosis dapat diulang setiap 10 menit
jika perlu. Di beberapa reaksi parah, dosis dapat ditingkatkan menjadi 1 mL.
Injeksi intramuscular lebih baik daripada injeksi subkutan. Dosis 1:1000 tidak
boleh di injeksi secara intravenous
b. Klorfeniramin
Injeksi
klorfeniramin diindikasikan untuk urtikaria akut, reaksi alergi terhadap
gigitan dan sengatan serangga, edema angioneurotic, reaksi obat dan serum,
reaksi desensitisasi, hayfever, rhinitis vasomotor, pruritus berat tanpa asal
yang jelas.
Dosage:
Dosis normal
untuk injeksi klorfeniramin pada orang dewasa adalah 10-20 mg, dosis maksimal
yang diberikan adalah 40 mg dalam 24 jam. Injeksi dapat diberikan secara
subkutan, intramuscular atau intravenous. Untuk kasus anafilaksis, pemberian
dengan innjeksi intravenous sangat dianjurkan dengan tambahan epinephrine,
kortikosteroid, oxygen dan terapi supportif lainnya.
Contraindication:
Kontraindikasi
terhadap orang yang hipersensitif terhadap antihistamin dan orang yang
mengkonsumsi monoamine oxidase inhibitor (MAOIs) selamat empat belas hari
terakhir. Harus digunakan dengan hati-hati pada epilepsy, peningkatan TIO
termasuk glaucoma, hipertrofi prostat, hipertensi berat atau penyakit
kardiovaskula, bronchitis, bronkiektasis dan asma, penyakit hati dan
tirotoksitosis.
Side
Effects:
-
Mengantuk
-
Tidak
dapat berkonsentrasi
-
Kelesuan
-
Penglihatan
kabur
-
Gangguan
GIT
-
Retensi
urin
-
Sakit
kepala
-
Mulut
kering
-
Pusing
c. Metilprednisolon
Digunakan untuk mengobati peradangan
(pembengkakan), alergi parah, masalah adrenal, arthritis, asma, masalah darah
atau sumsum tulang belakang, masalah mata atau penglihatan, dll.
Metilprednisolon adalah kortikosteroid. Bekerja pada sistem kekebalan tubuh
untuk membantu meringankan pembengkakan, kemerahan, gatal dan reaksi alergi.
Dosage:
-
Intramuscular/intravenous
10-40 mg dan diulangi sesuai kebutuhan.
4.
Hipersensitivitas
Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya
akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi
pada kontak ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami
sensitisasi. Sensitisasi memulai respon humoral atau pembentukan antibody.
Untuk menambah pemahaman mengenai imunopatogenesis penyakit, reaksi
hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi 4 tipe
reaksi yang spesifik.
a.
Hipersensitivitas
Anafilaktik (Tipe I)
Keadaan ini merupakan
hipersensitivitasanafilaktik seketika dengan reaksi yang dimulai dalam tempo
beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen. Kalau mediator kimia
terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai selama 24 jam. Reaksi
ini diantarai oleh antibody IgE (reagin) dan bukan oleh antibody IgG atau IgM.
Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang
spesifik sehingga terjadi produksi antibody IgE oleh sel-sel plasma. Proses ini
berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper membantu menggalakan
rekasi ini. Antibody IgE akan terikat dengan reseptor membrane pada sel-sel
mast yang dijumpai dalam jaringan ikat dan basofil. Pada saat kontak ulang,
antigen akan terikat dnegan antibody IgE di dekatnya dan pengikatan ini
mengaktifan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta pelepasan
mediator kimia. Mediator kimia primer bertanggung jawab atas berbagai gejala
pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-paru dan traktus
gastrointestinal.
b.
Hipersensitivitas
Sitotoksik (Tipe II)
Hipersensitivitas sitotoksik terjadi kalau
system kekebalan secara keliru mengenali konstituen tubuh yang normal sebagai
benda asing. Reaksi ini mungkin merupakan akibat dari antibody yang melakukan
reaksi silang dan pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan sel serta karingan.
Hipersensitivitas tipe II meliputi pengikatan antiodi IgG atau IgM dengan
antigenyang terikat sel. Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa pengaktifan
rantai komplemen dan destruksi sel yang menjadi empat antigen terikat.
Reaksi hipersensitivias tipe II terlibat
dalam penyakit miastenia gravis dimana tubuh secara keliru menghasilkan
antibody terhadap reseptor normal ujung saraf. Contoh lainnya adalah sindrom
Goodpasture yang pada sindrom ini dihasilkan antibody terhadap jaringan paru
dan ginjal sehingga terjadi kerusakan paru dan gagal ginjal. Anemia hemolitik
imun karena obat, kelainan hemolitik Rh pada bayi baru lahir dan reaksi
transfuse darah yang tidak kompatibel merupakan contoh hipersensitivitas tipe
II yang menimbulkan destruksi sel darah merah.
c.
Hipersensitivitas
Kompleks Imun (Tipe III)
Kompleks imun terbentuk ketika antigen
terikat dengan antibody dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja
fagositik. Kalau kompleks ini bertumpuk dalam jaringan atau endothelium
vaskuler, terdapat dua buah factor yang turut menimbulkan cedera, yaitu :
peningkatan jumlah kompleks imun yang beredar dan adanya
aminavasoaktif. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler
dan cedera jaringn. Persendian dan ginjal merupakan organ yang terutama rentan
terhadap cedera ini. Hipersensitivitas tipe III berkaitan dengan sistemik lupus
eritematosus, atritis remaotid, serum sickness, tipe tertentu nefritis dan
beberapa tipe endokarditis bakterialis.
d.
Hipersensitivitas
tipe Lambat (Tiper IV)
Reaksi ini yang juga dikenal sebgaai
hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72 jam sesudah kontak dengan
allergen. Hipersensitivitas tipe IV diantarai oleh makrofag dari sel-sel T yang
sudah tersensitisasi. Contoh reaksi ini adalah efek penyuntikan intradermal
antigen tuberculin atau PPD (purified protein derivative). Sel-sel T
yang tersensitisasi akan bereaksi dengan antigen pada atau didekat tempat
penyuntikan. Pelepasan limfokin akan menarik, mengaktifkan dan mempertahankan
sel-sel makrofag pada tempat tersebut. Lisozim yang dilepas oleh sel-sel
makrofag akan menimbulkan kerusakan jaringan. Edema dan fibrin merupakan
penyebab timbulnya reaksi tuberculin yang positif. Dermatitis kontak merupaka
hipersensitivitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan allergen seperti
kosmetika, plester, obat-obatan topical, bahan aditif obat dan racun tanaman.
Kontak primer akan menimbulkan sensitiasasi, kontak ulang menyebabkan reaksi hipersensitivitas
yang tersusun dari molekul dengan berat molekul rendah atau hapten yang terikat
dengan protein atau pembawa dan kemudian diproses oleh sel-sel Langerhans dalam
kulit. Gejala yang terjadi mencangkup keluhan gatal-gatal. Eritema dan lesi
yang menonjol.
Sources:
-
http://www.mayoclinic.org/drugs-supplements/methylprednisolone-oral-route/precautions/drg-20075237
Tidak ada komentar:
Posting Komentar