Senin, 02 Juni 2014

Skenario 4 Part 1 Blok 6

Skenario 4 Blok 6
Author: Amina


                Seorang laki-laki 40 tahun dibawa ke rumah sakit karena sesak nafas mendadak. Keluhan ini muncul kurang lebih 15 menit setelah minum obat penghilang sakit gigi yang dia beli di toko obat. Pasien juga mengeluh keringat dingin, bibir bengkak dan bintik-bintik merah di seluruh badannya. Penderita memiliki riwayat sakit asma sejak 10 tahun yang lalu dan sering kumat-kumatan. Pada pemeriksaan fisik didapatkan keadaan lemah, dengan tekanan darah 70/40 mmHg.
                Pasien segera mendapatkan epinefrin subcutaneous (1:1.000, 0,3 mL), dan klorfeniramin intravena 45 mg dan metilprednisolon 60 mg. tekanan darah meningkat menjadi normal kembali beberapa saat setelah pemberian epinefrin, dan lesi-lesi kulitnya mulai sembuh dalam beberapa menit. Pasien tetap diamati selama 5 jam dan dia sembuh total.

Clarifying Unfamiliar Terms
1.       Keringat Dingin: kondisi yang tidak normal ditandai dengan keluarnya keringat tetapi tubuh terasa kedinginan. Istilah medis dari keringat dingin adalah diaphoresis.
2.       Asma: sebuah penyakit kronis (kambuhan) pada sistem pernapasan, berupa peradangan dan penyempitan liang/saluran pernapasan, menyebabkan susah bernapas, dada terasa sesak, dan batuk. Penyakit asma dapat muncul karena reaksi terhadap rangsangan tertentu.

Analyzing
1.       Alergi Obat
Alergi obat adalah reaksi alergi gimana sistem kekebalan tubuh bereaksi secara berlebihan (abnormal) terhadap obat-obatan tertentu. Obat ini bisa dijual bebas atau dengan resep dokter bisa berpotensi menimbulkan alergi terhadap orang yang sesitif terhadap obat tersebut.
                Gejala Alergi Obat
Gejala alergi obat dapat muncul beberapa menit atau beberapa hari bahkan minggu setelah minum obat. Gejala tersebut antara lain:
·         Ruam Kulit
·         Gatal-gatal biduran/kaligata (urtikaria)
·         Demam
·         Wajah bengkak/sembab
·         Sesak napas
·         Anafilaksis, reaksi yang mengancam jiwa
Penatalaksanaan dan pengobatan Alergi Obat
Cara mengatasi alergi obat yaitu dengan cara menghentikan pemakaian obat yang menyebabkan alergi. Diperlukan juga obat untuk meredakan gejala dari alergi obat. Reaksi ringan seperti ruam atau gatal-gatal dapat diatasi dengan pemberian antihistamin seperti CTM, difenhidramin, interhistin, cetirizine, loratadin, dll.
Reaksi serius mungkin memerlukan pengobatan dengan kortikosteroid oral atau suntik. Segera ke IGD jika muncul gejala ruam parah atau gatal-gatal, bengkak, sesak napas, pusing atau tanda-tanda lain atau gejala dari reaksi anafilaksis. Anafilaksis merupakan keadaan darurat yang membutuhkan suntikan epinefrin segera dan perawatan di rumah sakit untuk menjaga tekanan darah dan pernapasan.

2.       Anafilaksis
Anafilaksis adalah suatu respon alergi yang berat dan menyerang berbagai organ. Reaksi alergi ini merupakan suatu reaksi alergi tipe cepat (tipe I), yaitu reaksi antara antigen spesifik yang terikat pada sel mast. Selain itu dikenal pula istilat reaksi anafilaktoid yang secara klinis sama dengan reaksi anafilaksis, akan tetapi tidak disebabkan oleh zat yang bekerja langsung pada sel mast, sehingga menyebabkan terlepasnya histamine, SRA-A, ECF-A, PAF, dan heparin. Reaksi hipersensitifitas tipe cepat ini terdiri dari serangkaian mekanisme efektor tubuh yang dijalankan oleh IgE.
Penyebab dari anafilaksis diantaranya adalaha ntibiotik, ekstrak alergen, serum kuda, zat diagnostic, bisa ular, produk darah, anestetikum lokal seperti lidokain atau prokain, enzim, hormone. Beberapa makanan dikenal sebagai penyebab alergi anafilaktik seperti susu sapi, kerang dan kacang-kacangan.
Patofisiologi Reaksi Alergi Anafilaksis
Rangsangan alergen pada sel mast menyebabkan dilepaskannya mediator kimia yang sangat kuat yang memacu serangkaian peristiwa fisiologik yang menghasilkan gejala anafilaksis. Histamin yang merupakan salah satu mediator sel mast dapat menyebabkan kontraksi otot polos bronkus yang menyebabkan bronkokonstriksi. Pada sistem vascular menyebabkan dilatasi venula kecil, sedangkan pada pembuluh darah yang lebih besar menyebabkan konstriksi karena kontraksi oto polos. Selanjutnya histamine meninggikan permeabilitas kapiler dan venula pasca kapiler. Perubahan vaskuler ini menyebabkan respon wheal-flare, dan bila terjadi secara sistemik dapat menimbulkan hipotensi, urtikaria dan angioedema. Pada traktus gastrointestinalis histamine meninggikan sekresi mukosa lambung dan bila pelepasan histamine terjadi secara sistemik maka aktifitas otot polos usus dapat meningkat menyebabkan diare dan hipermotilitas.
Gejala klinis reaksi alergi anafilaksis
-          Reaksi Lokal:
o   Urtikaria
o   Angioedema
-          Reaksi Sistemik:
o   Traktus respiratorius: penyempitan saluran napas dan tenggorokan
o   Sistem Kardiovaskuler: Shock, penurunan tekanan darah, nadi cepat dan lemah
o   Traktus gastrointestinalis: mual, muntah atau diare

3.       Penjelasan Obat
a.       Epinephrine
Epinephrine termasuk obat sympathomimetic tipe direct-acting. Menstimulasi reseptor α- dan β-adrenergic dan menyebabkan relaksasi dari otot polos bronkus, stimulasi jantung, dan pelebaran pembuluh darah otot rangka. Epinephrine sering ditambahkan dalam anastesi lokal untuk memperpanjang durasi dan mengurangi bahaya toksisitas. Epinephrine merupakan life-saving medication dalam penatalaksanaan anafilaksis.
Actions of Epinephrine:

-          Peningkatan metabolism
-          Stimulasi jantung & peningkatan denyut jantung
-          Peningkatan tekanan darah
-          Peningkatan aliran darah
-          Vasokonstriksi
-          Dilatasi pupil dan bronkus
-          Oksigenasi meningkat
-          Glukosa darah meningkat

Onset epinephrine:
-          SC: approx. 5-10 min
-          Inhalation: approx. 1 min
-          Conjunctival instillation: IOP declines approx. 1 hour.
Side Effects of Epinephrine:

-          Cemas, takut dan tremor
-          Jari-jari dingin dan mulut kering (karena vasokonstriksi)
-          Sakit kepala
-          Pucat
-          Jantung aritmia, angina & kenaikan tekanan darah
-          Pendarahan intraserebral mengarah ke stroke
-          Hiperventilasi

Contraindications: Epinephrine dapat diberikan pada life-threatening anafilaksis bahkan pada orang dengan contraindications sebagai berikut
-          Coronary Artery Disease
-          Uncontrolled Hypertension
-          Serious ventricular arrhythmias
-          Second stage of labour
Dosage:
Epinephrine 1:1000, 0,3 sampai 0,5 mL (0,3-0,5 mg). Dosis dapat diulang setiap 10 menit jika perlu. Di beberapa reaksi parah, dosis dapat ditingkatkan menjadi 1 mL. Injeksi intramuscular lebih baik daripada injeksi subkutan. Dosis 1:1000 tidak boleh di injeksi secara intravenous
b.      Klorfeniramin
Injeksi klorfeniramin diindikasikan untuk urtikaria akut, reaksi alergi terhadap gigitan dan sengatan serangga, edema angioneurotic, reaksi obat dan serum, reaksi desensitisasi, hayfever, rhinitis vasomotor, pruritus berat tanpa asal yang jelas.
Dosage:
Dosis normal untuk injeksi klorfeniramin pada orang dewasa adalah 10-20 mg, dosis maksimal yang diberikan adalah 40 mg dalam 24 jam. Injeksi dapat diberikan secara subkutan, intramuscular atau intravenous. Untuk kasus anafilaksis, pemberian dengan innjeksi intravenous sangat dianjurkan dengan tambahan epinephrine, kortikosteroid, oxygen dan terapi supportif lainnya.
Contraindication:
Kontraindikasi terhadap orang yang hipersensitif terhadap antihistamin dan orang yang mengkonsumsi monoamine oxidase inhibitor (MAOIs) selamat empat belas hari terakhir. Harus digunakan dengan hati-hati pada epilepsy, peningkatan TIO termasuk glaucoma, hipertrofi prostat, hipertensi berat atau penyakit kardiovaskula, bronchitis, bronkiektasis dan asma, penyakit hati dan tirotoksitosis.
Side Effects:

-          Mengantuk
-          Tidak dapat berkonsentrasi
-          Kelesuan
-          Penglihatan kabur
-          Gangguan GIT
-          Retensi urin
-          Sakit kepala
-          Mulut kering
-          Pusing

c.       Metilprednisolon
Digunakan untuk mengobati peradangan (pembengkakan), alergi parah, masalah adrenal, arthritis, asma, masalah darah atau sumsum tulang belakang, masalah mata atau penglihatan, dll. Metilprednisolon adalah kortikosteroid. Bekerja pada sistem kekebalan tubuh untuk membantu meringankan pembengkakan, kemerahan, gatal dan reaksi alergi.
Dosage:
-          Intramuscular/intravenous 10-40 mg dan diulangi sesuai kebutuhan.

4.       Hipersensitivitas
Suatu reaksi hipersensitivitas biasanya akan terjadi sesudah kontak pertama kali dengan sebuah antigen. Reaksi terjadi pada kontak ulang sesudah seseorang yang memiliki predisposisi mengalami sensitisasi. Sensitisasi memulai respon humoral atau pembentukan antibody. Untuk menambah pemahaman mengenai imunopatogenesis penyakit, reaksi hipersensitivitas telah diklasifikasikan oleh Gell dan Coombs menjadi 4 tipe reaksi yang spesifik.
a.       Hipersensitivitas Anafilaktik (Tipe I)
Keadaan ini merupakan hipersensitivitasanafilaktik seketika dengan reaksi yang dimulai dalam tempo beberapa menit sesudah terjadi kontak dengan antigen. Kalau mediator kimia terus dilepaskan, reaksi lambat dapat berlanjut sampai selama 24 jam. Reaksi ini diantarai oleh antibody IgE (reagin) dan bukan oleh antibody IgG atau IgM. Hipersensitivitas tipe I memerlukan kontak sebelumnya dengan antigen yang spesifik sehingga terjadi produksi antibody IgE oleh sel-sel plasma. Proses ini berlangsung dalam kelenjar limfe tempat sel-sel T helper membantu menggalakan rekasi ini. Antibody IgE akan terikat dengan reseptor membrane pada sel-sel mast yang dijumpai dalam jaringan ikat dan basofil. Pada saat kontak ulang, antigen akan terikat dnegan antibody IgE di dekatnya dan pengikatan ini mengaktifan reaksi seluler yang memicu proses degranulasi serta pelepasan mediator kimia. Mediator kimia primer bertanggung jawab atas berbagai gejala pada hipersensitivitas tipe I karena efeknya pada kulit, paru-paru dan traktus gastrointestinal.
b.      Hipersensitivitas Sitotoksik (Tipe II)
Hipersensitivitas sitotoksik terjadi kalau system kekebalan secara keliru mengenali konstituen tubuh yang normal sebagai benda asing. Reaksi ini mungkin merupakan akibat dari antibody yang melakukan reaksi silang dan pada akhirnya dapat menimbulkan kerusakan sel serta karingan. Hipersensitivitas tipe II meliputi pengikatan antiodi IgG atau IgM dengan antigenyang terikat sel. Akibat pengikatan antigen-antibodi berupa pengaktifan rantai komplemen dan destruksi sel yang menjadi empat antigen terikat.
Reaksi hipersensitivias tipe II terlibat dalam penyakit miastenia gravis dimana tubuh secara keliru menghasilkan antibody terhadap reseptor normal ujung saraf. Contoh lainnya adalah sindrom Goodpasture yang pada sindrom ini dihasilkan antibody terhadap jaringan paru dan ginjal sehingga terjadi kerusakan paru dan gagal ginjal. Anemia hemolitik imun karena obat, kelainan hemolitik Rh pada bayi baru lahir dan reaksi transfuse darah yang tidak kompatibel merupakan contoh hipersensitivitas tipe II yang menimbulkan destruksi sel darah merah.
c.       Hipersensitivitas Kompleks Imun (Tipe III)
Kompleks imun terbentuk ketika antigen terikat dengan antibody dan dibersihkan dari dalam sirkulasi darah lewat kerja fagositik. Kalau kompleks ini bertumpuk dalam jaringan atau endothelium vaskuler, terdapat dua buah factor yang turut menimbulkan cedera, yaitu : peningkatan jumlah kompleks imun yang beredar  dan adanya aminavasoaktif. Sebagai akibatnya terjadi peningkatan permeabilitas vaskuler dan cedera jaringn. Persendian dan ginjal merupakan organ yang terutama rentan terhadap cedera ini. Hipersensitivitas tipe III berkaitan dengan sistemik lupus eritematosus, atritis remaotid, serum sickness, tipe tertentu nefritis dan beberapa tipe endokarditis bakterialis.
d.      Hipersensitivitas tipe Lambat (Tiper IV)
Reaksi ini yang juga dikenal sebgaai hipersensitivitas seluler, terjadi 24 hingga 72 jam sesudah kontak dengan allergen. Hipersensitivitas tipe IV diantarai oleh makrofag dari sel-sel T yang sudah tersensitisasi. Contoh reaksi ini adalah efek penyuntikan intradermal antigen tuberculin atau PPD (purified protein derivative). Sel-sel T yang tersensitisasi akan bereaksi dengan antigen pada atau didekat tempat penyuntikan. Pelepasan limfokin akan menarik, mengaktifkan dan mempertahankan sel-sel makrofag pada tempat tersebut. Lisozim yang dilepas oleh sel-sel makrofag akan menimbulkan kerusakan jaringan. Edema dan fibrin merupakan penyebab timbulnya reaksi tuberculin yang positif. Dermatitis kontak merupaka hipersensitivitas tipe IV yang terjadi akibat kontak dengan allergen seperti kosmetika, plester, obat-obatan topical, bahan aditif obat dan racun tanaman. Kontak primer akan menimbulkan sensitiasasi, kontak ulang menyebabkan reaksi hipersensitivitas yang tersusun dari molekul dengan berat molekul rendah atau hapten yang terikat dengan protein atau pembawa dan kemudian diproses oleh sel-sel Langerhans dalam kulit. Gejala yang terjadi mencangkup keluhan gatal-gatal. Eritema dan lesi yang menonjol.

Sources:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar