Mengapa saat sakit
lidah terasa pahit?
Dikutip dari The Breath, Rabu (5/5/2010), mulut kering umumnya disebabkan
oleh berkurangnya produksi air liur karena berbagai hal. Liur sedikit artinya
oksigen juga berkurang, sehingga memicu pertumbuhan bakteri anaerob.Bakteri
tersebut memproduksi gas sulfur dalam jumlah besar dan menyebabkan bau mulut
yang tidak sedap. Bakteri itu juga bisa menyebabkan sensasi pahit di lidah.
Beberapa orang memiliki lidah dengan permukaan lebih kasar, sehingga lebih rentan ditumbuhi bakteri. Karena papila atau tonjolan-tonjolan di lidah lebih besar, sekilas lidahnya tampak lebih putih dan berbulu.
Beberapa orang memiliki lidah dengan permukaan lebih kasar, sehingga lebih rentan ditumbuhi bakteri. Karena papila atau tonjolan-tonjolan di lidah lebih besar, sekilas lidahnya tampak lebih putih dan berbulu.
Masih menurut Dr.
Rob, faktor-faktor lain yang menyebabkan lidah pahit antara lain:
1.
Obat-obatan (anti-tiroid, sediaan
seng, antibiotik, obat-obat syaraf, dll)
2.
Radiasi dan obat-obat kemoterapi
3.
Penuaan (fungsi pengecapan dan
penciuman menurun)
4.
Kondisi medis (Bell's Palsy,
Parkinson, Diabetes, GERD, dll)
5.
Cedera pada mulut, hidung atau kepala
6.
Kebersihan mulut yang tidak terjaga
7.
Infeksi jamur pada lidah atau area
mulut
8.
Kanker di kepala atau leher
(www.health.detik.com)
Diare
1.1
Definisi
Diare adalah buang air
besar (defekasi) dengan tinja berbentuk cair atau setengah cair (setengah
padat), kandungan air tinja lebih banyak dari biasanya lebih dari 200 g atau
200 ml/24 jam biasanya >3 kali sehari. (Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid
I)
1.2
Klasifikasi
Berdasarkan lama waktu diare :
1.
Diare akut : diare yang berlangsung kurang dari
15 hari. Sedang menurut world Gastroenterology
Organisation global guidelines 2005, didefinisikan sebagi pasase tinja yang
cair/ lembek dengan jumlah lebih banyak dari normal berlangsung kurang dari 14
hari.
2.
Diare kronis : diare yang berlangsung lebih dari
15 hari (Indonesia). Pakar dunia mengajukan beberapa kriteria mengenai batasan
kronik pada kasus diare, ada yang 15 hari, 3 minggu, 1 bulan atau 3 bulan.
3.
Diare persisten : istilah yang dipakai diluar
negeri yang menyatakan diare berlangsung 15-30 hari yang merupakan kelanjutan
diare akut ( peralihan antara diare akut dan kronik, dimana lama diare kronik
menganut berlangsung lebih dari 30 hari)
Berdasarkan penyebab organic :
1.
Diare organic : bila ditemukan penyebab
anatomic, bakteriologik, hormonal, atau toksikologik.
2.
Diare fungsional : bila tidak didapatkan
penyebab organic
Berdasarkan penyebab infeksi :
1.
Diare infektif
2.
Diare non-infektif
1.3
Patofisiologi
Diare akut infeksi diklasifikasikan secara klinis dan
patofisiologis menjadi :
1.
Diare Inflamasi disebabkan invasi
bakteri dan sitotoksin di kolon dengan manifestasi sindroma disentri dengan
diare yang disertai lendir dan darah. Gejala klinis yang menyertai keluhan
abdomen seperti mulas sampai nyeri seperti kolik, mual, muntah, demam,
tenesmus, serta gejala dan tanda dehidrasi. Pada pemeriksaan tinja rutin secara
makroskopis ditemukan lendir dan/atau darah, serta mikroskopis didapati sel
leukosit polimorfonuklear.
2.
diare non inflamasi, diare disebabkan
oleh enterotoksin yang mengakibatkan diare cair dengan volume yang besar tanpa
lendir dan darah. Keluhan abdomen biasanya minimal atau tidak ada sama sekali,
namun gejala dan tanda dehidrasi cepat timbul, terutama pada kasus yang tidak
mendapat cairan pengganti. Pada pemeriksaan tinja secara rutin tidak ditemukan
leukosit.
Mekanisme terjadinya diare yang akut maupun yang kronik dapat
dibagi :
1.
Diare osmotik terjadi bila ada
bahan yang tidak dapat diserap meningkatkan osmolaritas dalam lumen yang
menarik air dari plasma sehingga terjadi diare. Contohnya adalah malabsorbsi
karbohidrat akibat defisiensi laktase atau akibat garam magnesium.
2.
Diare sekretorik bila terjadi
gangguan transport elektrolit baik absorbsi yang berkurang ataupun sekresi yang meningkat. Hal ini dapat
terjadi akibat toksin yang dikeluarkan bakteri misalnya toksin kolera atau
pengaruh garam empedu, asam lemak rantai pendek, atau laksantif non osmotik.
Beberapa hormon intestinal seperti gastrin vasoactive intestinal polypeptide
(VIP) juga dapat menyebabkan diare sekretorik.
3.
Diare eksudatif, inflamasi akan
mengakibatkan kerusakan mukosa baik usus halus maupun usus besar. Inflamasi dan
eksudasi dapat terjadi akibat infeksi bakteri atau bersifat non infeksi seperti
gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease (IBD) atau
akibat radiasi.
4.
Gangguan motilitas yang mengakibatkan
waktu transit usus menjadi lebih cepat. Hal ini terjadi pada keadaan
tirotoksikosis, sindroma usus iritabel atau diabetes melitus.
Diare dapat terjadi akibat lebih dari satu mekanisme. Pada infeksi
bakteri paling tidak ada dua mekanisme yang bekerja peningkatan sekresi usus
dan penurunan absorbsi di usus. Infeksi bakteri menyebabkan inflamasi dan
mengeluarkan toksin yang menyebabkan terjadinya diare. Pada dasarnya mekanisme
terjadinya diare akibat kuman enteropatogen meliputi penempelan bakteri pada
sel epitel dengan atau tanpa kerusakan mukosa, invasi mukosa, dan produksi
enterotoksin atau sitotoksin. Satu bakteri dapat menggunakan satu atau lebih
mekanisme tersebut untuk dapat mengatasi pertahanan mukosa usus.
1.4
Manifestasi
klinis
Diare akut karena infeksi dapat disertai keadaan muntah-muntah
dan/atau demam, tenesmus, hematochezia, nyeri perut atau kejang perut.
Diare yang berlangsung beberapa waktu tanpa penanggulangan medis
yang adekuat dapat menyebabkan kematian karena kekurangan cairan di badan yang
mengakibatkan renjatan hipovolemik atau karena gangguan biokimiawi berupa
asidosis metabolik yang lanjut. Karena kehilangan cairan seseorang merasa haus,
berat badan berkurang, mata menjadi cekung, lidah kering, tulang pipi menonjol,
turgor kulit menurun serta suara menjadi serak. Keluhan dan gejala ini
disebabkan deplesi air yang isotonik.
Karena kehilangan bikarbonas, perbandingan bikarbonas berkurang,
yang mengakibatkan penurunan pH darah. Penurunan ini akan merangsang pusat
pernapasan sehingga frekwensi nafas lebih cepat dan lebih dalam (kussmaul).
Reaksi ini adalah usaha tubuh untuk mengeluarkan asam karbonas agar pH dapat
naik kembali normal. Pada keadaan asidosis metabolik yang tidak dikompensasi,
bikarbonat standard juga rendah, pCO2 normal dan base excess sangat
negatif.
Gangguan kardiovaskular pada hipovolemik yang berat dapat berupa
renjatan dengan tanda-tanda denyut nadi yang cepat, tekanan darah menurun
sampai tidak terukur. Pasien mulai gelisah, muka pucat, ujung-ujung ekstremitas
dingin dan kadang sianosis. Karena kehilangan kalium pada diare akut juga dapat
timbul aritmia jantung.
Penurunan tekanan darah akan menyebabkan perfusi ginjal menurun
dan akan timbul anuria. Bila keadaan ini tidak segera diatasi akan timbul
penyulit berupa nekrosis tubulus ginjal akut, yang berarti pada saat tersebut
kita menghadapi gagal ginjal akut. Bila keadaan asidosis metabolik menjadi
lebih berat, akan terjadi kepincangan pembagian darah dengan pemusatan yang
lebih banyak dalam sirkulasi paru-paru. Observasi ini penting karena dapat
menyebabkan edema paru pada pasien yang menerima rehidrasi cairan intravena
tanpa alkali.
1.5
Komplikasi
Kehilangan cairan dan kelainan elektrolit merupakan komplikasi utama,
terutama pada usia lanjut dan anak-anak. Pada diare akut karena kolera
kehilangan cairan secara mendadak sehingga terjadi shock hipovolemik yang
cepat. Kehilangan elektrolit melalui feses potensial mengarah ke hipokalemia
dan asidosis metabolik.
Pada kasus-kasus yang terlambat meminta pertolongan medis,
sehingga syok hipovolemik yang terjadi sudah tidak dapat diatasi lagi maka
dapat timbul Tubular Nekrosis Akut pada ginjal yang selanjutnya terjadi gagal
multi organ. Komplikasi ini dapat juga terjadi bila penanganan pemberian cairan
tidak adekuat sehingga tidak tecapai rehidrasi yang optimal.
Haemolityc uremic Syndrome (HUS) adalah komplikasi yang disebabkan
terbanyak oleh EHEC. Pasien dengan HUS menderita gagal ginjal, anemia
hemolisis, dan trombositopeni 12-14 hari setelah diare. Risiko HUS akan
meningkat setelah infeksi EHEC dengan penggunaan obat anti diare, tetapi
penggunaan antibiotik untuk terjadinya HUS masih kontroversi.
Sindrom Guillain – Barre, suatu demielinasi polineuropati akut,
adalah merupakan komplikasi potensial lainnya dari infeksi enterik, khususnya
setelah infeksi C. jejuni. Dari pasien dengan Guillain – Barre,
20 – 40 % nya menderita infeksi C. jejuni beberapa minggu sebelumnya.
Biasanya pasien menderita kelemahan motorik dan memerlukan ventilasi mekanis
untuk mengaktifkan otot pernafasan. Mekanisme dimana infeksi menyebabkan
Sindrom Guillain – Barre tetap belum diketahui.
Artritis pasca infeksi dapat terjadi beberapa minggu setelah
penyakit diare karena Campylobakter, Shigella, Salmonella, atau Yersinia
spp
1.6
Penatalaksanaan
a. Rehidrasi
Aspek paling penting dari terapi diare adalah untuk menjaga
hidrasi yang adekuat dan keseimbangan elektrolit selama episode akut. Ini
dilakukan dengan rehidrasi oral, dimana harus dilakukan pada semua pasien
kecuali yang tidak dapat minum atau yang terkena diare hebat yang memerlukan
hidrasi intavena yang membahayakan jiwa.Idealnya, cairan rehidrasi oral harus
terdiri dari 3,5 g Natrium klorida, dan 2,5 g Natrium bikarbonat, 1,5 g kalium
klorida, dan 20 g glukosa per liter air.
Cairan seperti itu tersedia secara komersial dalam paket-paket
yang mudah disiapkan dengan mencampurkan dengan air. Jika sediaan secara
komersial tidak ada, cairan rehidrasi oral pengganti dapat dibuat dengan
menambahkan ½ sendok teh garam, ½ sendok teh baking soda, dan 2 – 4 sendok
makan gula per liter air. Dua pisang atau 1 cangkir jus jeruk diberikan untuk
mengganti kalium.. Jika terapi intra vena diperlukan, cairan normotonik seperti
cairan saline normal atau laktat Ringer harus diberikan dengan suplementasi
kalium sebagaimana panduan kimia darah. Status hidrasi harus dimonitor dengan
baik dengan memperhatikan tanda-tanda vital, pernapasan, dan urin, dan
penyesuaian infus jika diperlukan. Pemberian harus diubah ke cairan rehidrasi
oral sesegera mungkin.
b. Anti biotik
Pemberian
antibotik secara empiris jarang diindikasikan pada diare akut infeksi, karena
40% kasus diare infeksi sembuh kurang dari 3 hari tanpa pemberian anti biotik.
Pemberian antibiotik di indikasikan pada : Pasien dengan gejala dan tanda diare
infeksi seperti demam, feses berdarah,, leukosit pada feses, mengurangi
ekskresi dan kontaminasi lingkungan, persisten atau penyelamatan jiwa pada
diare infeksi, diare pada pelancong, dan pasien immunocompromised. Pemberian
antibiotik secara empiris dapat dilakukan, tetapi terapi antibiotik spesifik
diberikan berdasarkan kultur dan resistensi kuman.
c. Obat anti diare
-
Kelompok
antisekresi selektif
Terobosan
terbaru dalam milenium ini adalah mulai tersedianya secara luas racecadotril
yang bermanfaat sekali sebagai penghambat enzim enkephalinase sehingga
enkephalin dapat bekerja kembali secara normal. Perbaikan fungsi akan
menormalkan sekresi dari elektrolit sehingga keseimbangan cairan dapat
dikembalikan secara normal. Di Indonesia saat ini tersedia di bawah nama
hidrasec sebagai generasi pertama jenis obat baru anti diare yang dapat pula
digunakan lebih aman pada anak.14
-
Kelompok
opiat
Dalam
kelompok ini tergolong kodein fosfat, loperamid HCl serta kombinasi
difenoksilat dan atropin sulfat (lomotil). Penggunaan kodein adalah 15-60mg 3x
sehari, loperamid 2 – 4 mg/ 3 – 4x sehari dan lomotil 5mg 3 – 4 x sehari. Efek
kelompok obat tersebut meliputi penghambatan propulsi, peningkatan absorbsi
cairan sehingga dapat memperbaiki konsistensi feses dan mengurangi frekwensi
diare.Bila diberikan dengan cara yang benar obat ini cukup aman dan dapat
mengurangi frekwensi defekasi sampai 80%. Bila diare akut dengan gejala demam
dan sindrom disentri obat ini tidak dianjurkan.10
-
Kelompok
absorbent
Arang aktif,
attapulgit aktif, bismut subsalisilat, pektin, kaolin, atau smektit diberikan
atas dasar argumentasi bahwa zat ini dapat menyeap bahan infeksius atau
toksin-toksin. Melalui efek tersebut maka sel mukosa usus terhindar kontak
langsung dengan zat-zat yang dapat merangsang sekresi elektrolit.
-
Zat
Hidrofilik
Ekstrak tumbuh-tumbuhan yang
berasal dari Plantago oveta, Psyllium, Karaya (Strerculia), Ispraghulla,
Coptidis dan Catechu dapat membentuk kolloid dengan cairan dalam
lumen usus dan akan mengurangi frekwensi dan konsistensi feses tetapi tidak
dapat mengurangi kehilangan cairan dan elektrolit. Pemakaiannya adalah 5-10 cc/
2x sehari dilarutkan dalam air atau diberikan dalam bentuk kapsul atau tablet
-
Probiotik
Kelompok
probiotik yang terdiri dari Lactobacillus dan Bifidobacteria atau
Saccharomyces boulardii, bila mengalami peningkatan jumlahnya di saluran
cerna akan memiliki efek yang positif karena berkompetisi untuk nutrisi dan
reseptor saluran cerna. Syarat penggunaan dan keberhasilan
mengurangi/menghilangkan diare harus diberikan dalam jumlah yang adekuat
Dehidrasi
Dehidrasi dapat
timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah,
terutama pada anak kecil dan lanjut usia. Dehidrasi bermanisfestasi sebagai
rasa haus yang meningkat, berkurangnya jumlah buang air kecil dengan warna urin
gelap, tidak mampu berkeringat, dan perubahan ortostatik. Pada keadaan berat,
dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti
kebingungan dan pusing kepala.
Dehidrasi menurut keadaan klinis dapat dibagi atas 3 tingkatan :
1.
Dehidrasi ringan (hilang cairan 2-5% BB) :
gambaran klinisnya turgor kurang, suara serak (vox cholerica), pasien belum
jatuh dlam presyok
2.
Dehidrasi sedang (hilang cairan 5-8%) : turgor
buruk, suara serak, pasien jatuh dalam presyok atau syok, nadi cepat, napas
cepat, dan dalam.
3.
Dehidrasi berat (hilangnya cairan 8-10% BB) :
tanda dehidrasi sedang ditambah kesadaran menurun(apatis sampai koma),
otot-otot kaku, sianosis.
Syok
Syok adalah suatu keadaan
dimana pasokan darah tidak mencukupi untuk kebutuhan organ-organ di dalam tubuh. Shock juga didefinisikan
sebagai gangguan sirkulasi yang mengakibatkan penurunan kritis perfusi jaringan
vital atau menurunnya volume darah yang bersirkulasi secara efektif. Pada syok yang kurang parah, kompensasi tubuh
dapat berupa peningkatan laju jantung dan konstriksi pembuluh darah perifer
(keduanya secara refleks), sehingga hal tersebut dapat memelihara tahanan
perifer dan aliran darah ke organ-organ vital. Ketika syok bertambah parah,
kompensasi ini akan gagal.
Tipe
Syok
Syok kardiogenik terjadi apabila jantung gagal
berfungsi sebagai pompa untuk mempertahankan curah jantung yang memadai.
Disfungsi dapat terjadi pada saat sistole atau diastole atau dapat merupakan akibat
dari obstruksi. Kegagalan sistole atau pengaliran darah dapat diakibatkan oleh
kardiomiopati terkembang (dilated cardiomyopathy) yang menyebabkan buruknya kontraktilitas, atau
toksin/obat yang menyebabkan depresi atau kerusakan miokardium. Kegagalan
diastole atau pengisian jantung dapat diakibatkan oleh kardiomiopati
hipertropik yang mengakibatkan buruknya preload, regurgitasi seperti pada cacat katup, tamponad atau fibrosis
perikardiaum yang mengakibatkan rendahnya preload, atau aritmia parah yang mengakibatkan buruknya preload dan kontraktilitas takefisien.
Syok hipovolemik terjadi apabila ada defisit
volume darah ≥15%, sehingga menimbulkan ketidakcukupan pengiriman oksigen dan
nutrisi ke jaringan dan penumpukan sisa-sisa metabolisme sel. Berkurangnya
volume intravaskular dapat diakibatkan oleh kehilangan cairan tubuh secara akut
atau kronik, misalnya karena oligemia, hemoragi, atau kebakaran.
Syok distributif disebabkan oleh maldistribusi
aliran darah karena adanya vasodilatasi perifer sehingga volume darah yang
bersirkulasi secara efektif tidak memadai untuk perfusi jaringan. Vasodilatasi
perifer menimbulkan hipovelemia relatif. Contoh klasik dari syok distributif
adalah syok septik. Akan tetapi, keadaan vasodilatasi akibat faktor lain juga
dapat menimbulkan syok distributif, seperti pacuan panas (heat stroke), anafilaksis, syok
neurogenik, dan systemic
inflamatory response syndrome (SIRS). Etiologi
Etiologi spesifik
dari syok tidak diketahui, tetapi syok dapat terjadi karena stres yang serius,
misalnya karena trauma yang hebat, kegagalan jantung, perdarahan, terbakar,
anestesi, infeksi berat, obstruksi intestinal, anemia, dehidrasi, anafilaksis,
dan intoksikasi.
Tanda
Klinik
Tanda
klinik syok bervariasi tergantung pada penyebabnya. Secara umum, tanda
kliniknya dapat berupa apatis, lemah, membrana mukosa pucat, kualitas pulsus
jelek, respirasi cepat, temperatur tubuh rendah, tekanan darah rendah, capillary refill time lambat, takikardia atau
bradikardia (kucing), oliguria, dan hemokonsentrasi (kecuali pada hemoragi).
Tekanan arteri rendah, membrana mukosa pucat, capiilarity refill time (CRT) lambat (>2 detik), temperatur rektal rendah atau
normal, takipnea, dan ekstremitas terasa dingin merupakan tanda klinik syok
kardiogenik dan hipovolemik. Untuk membedakan syok kardiogenik dengan syok
hipovolemik dibutuhkan anamnesis lengkap dan evaluasi jantung. Pasien yang
mengalami syok septik awal, membrana mukosanya mungkin masih merah, CRT cepat
(<1 detik), takikardia, demam, dan terasa hangat saat disentuh. Pada
perkembangan selanjutnya, membrana mukosa tampak “keruh”, CRT bertambah lambat
(>2 detik), pulsus menjadi lemah, dan ekstremitas menjadi dingin.
Penanganan
Tujuan
penanganan syok tahap awal adalah mengembalikan perfusi dan oksigenasi jaringan
dengan mengembalikan volume dan tekanan darah. Pada syok tahap lebih lanjut,
pengembalian perfusi jaringan saja biasanya tidak cukup untuk menghentikan
perkembangan peradangan sehingga perlu dilakukan upaya menghilangkan faktor
toksik yang terutama disebabkan oleh bakteri.
Pemberian
oksigen merupakan penanganan yang sangat umum, tanpa memperhatikan penyebab
syok. Terapi lainnya tergantung pada penyebab syok. Terapi cairan merupakan
terapi yang paling penting terhadap pasien yang mengalami syok hipovolemik dan
distributif. Pemberian cairan secara IV akan memperbaiki volume darah yang
bersirkulai, menurunkan viskositas darah, dan meningkatkan aliran darah vena,
sehingga membantu memperbaiki curah jantung. Akibat selanjutnya adalah
meningkatkan perfusi jaringan dan memberikan pasokan oksigen kepada sel. Terapi
awal dapat berupa pemberian cairan kristaloid atau koloid.
Kecepatan
dan volume terapi cairan harus dapat ditoleransi oleh individu pasien.
Kecepatan dan jumlah pemberian cairan dimonitor pada tekanan vena sentral dan
pengeluaran urin. Apabila perfusi jaringan berkurang karena kehilangan banyak
darah, secara ideal harus dilakukan transfusi darah dengan kecepatan tidak
melebihi 22 ml/kg secara IV dan kontrol perdarahan harus dilakukan dengan baik.
Bila PCV menurun secara akut menjadi di bawah 20%, transfusi padatan sel darah merah
(packed red
blood cells)
atau darah total secara nyata memperbaiki tekanan darah dan penghantaran
oksigen ke jaringan.
Pada
syok kardiogenik, terapi cairan yang terlalu cepat dapat berakibat fatal karena
akan meningkatkan beban kerja jantung dan selanjutnya membahayakan sirkulasi.
Terapi syok kardiogenik tergantung pada penyebabnya. Jika syok disebabkan oleh
kontraktilitas miokardium yang jelek, disarankan penanganan dengan beta-agonist. Dobutamin merupakan betaagonist yang mampu meningkatkan curah
jantung dan penghantaran oksigen, tanpa menyebabkan vasokonstriksi, merupakan
obat yang paling umum digunakan untuk meningkatkan fungsi jantung.
Pada
syok distributif apabila hipotensi tetap terjadi walaupun telah dilakukan
terapi cairan yang cukup maka dibutuhkan pemberian vasopresor. Oleh karena
curah jantung dan tahanan pembuluh darah sistemik mempengaruhi penghantaran
oksigen ke jaringan, maka pada pasien hipotensi harus dilakukan terapi untuk memaksimalkan
fungsi jantung dengan terapi cairan dan obat inotropik, dan/atau memodifikasi
tonus pembuluh darah dengan agen vasopresor.
Syok
septik sering kali berkaitan dengan bakteri gram negatif, dan antibiotik yang
cocok untuk itu misalnya sepalosporin atau aminoglikosida dan penisilin.
Sebagai petunjuk dalam pemberian terapi dapat digunakan parameter
kardiovaskuler (kecepatan denyut jantung, warna membrane mukosa, kualitas
pulsus, CRT, tekanan vena sentral), kecepatan pernapasan, temperatur,
hematokrit, dan pengeluaran urin. Untuk mengevaluasi terapi cairan pada syok
karena perdarahan sangat penting dilakukan pengukuran PCV (packed cell volume) dan TS (total solid). Tekanan gas dalam darah sangat
penting dalam penentuan dan memonitor keseimbangan asam-basa.
Sources :
Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi IV 2006
Tidak ada komentar:
Posting Komentar