Senin, 30 Maret 2015

SKENARIO 3 PART 1 BLOK 11


Skenario 3 Part 1 Blok 11
Author : Yulia Rachmi W

Berhubung skenario kali ini menggunakan video, jadi materi yang dijelaskan merupakan materi berasarkan skenario tahun lalu.

1.     DEFINISI
Hemostasis adalah suatu proses yang terjadi untuk mencegah kehilangan darah berlebih dalam tubuh kita. Tugasnya adalah :
·         mempertahankan darah tetap dalam keadaan cair di dalam pembuluh darah.
·         mencegah hilangnya darah berlebih akibat luka dengan pembentukan sumbatan untuk menghentikan perdarahan.
·         menstabilkan kembali aliran darah selama proses penyembuhan luka.

2.     FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HEMOSTASIS
a.       Pembuluh darah
Saat luka terjadi pembuluh darah akan melakukan vasokonstriksi yang tujuannya supaya darah yang keluar tidak banyak.
b.      Trombosit
Fungsinya melindungi pembuluh darah dari kerusakan endotel dengan membuat sumbat trombosit dengan cara adhesi dan agregasi.
c.       Faktor koagulasi
Tugasnya adalah membuat fibrin yang fungsinya memperkuat sumbat trombosit tadi supaya menjadi hemostatik plug.
d.      Faktor fibrinolisi
Faktor ini akan berperan memecah / melisiskan fibrin yang sudah terbentuk agar tidak terjadi trombosis karena penumpukan fibrin. Regulasi ini berlangsung apabila terjadi hiperaktivasi dari koagulasi.
e.      Inhibitor
Menghambat aktivasi koagulan yang berlebihan.
Kelima faktor tersebut harus seimbang antara satu sama lain.

3.  MEKANISME HEMOSTASIS
a.       Hemostasis Primer
Jika ada luka kecil, yang trrlibat adalah pembuluh darah dan trombosit saja. Pembuluh darah akan vasokonstriksi dengan tujuan mempersempit area luka supaya darag tidak banyak keluar, kemudian trombosit akan membentuk suatu sumbat trombosit supaya perdarahannya tidak berlebihan. Mekanisme hemostasis primer ini berlangsung sangat cepat.
b.      Hemostasis Sekunder
Jika lukanya besar tidak bisa hanya diatasi dengan hemostasis primer, maka akan melibatkan faktor koagulasi dalam plasma. Aktivasi faktor koagulan akan membuat fibrin memperkuat sumbat trombosit yang dibuat pada hemostasis primer, sehingga akan membentuk hemostasis plug yang lebih kuat. Respon hemostasis sekunder lebih lambat.
c.       Hemostasis Tersier
Kalau sudah terjadi sumbatan, kemudian pembuluh darah akan recovery. Aktivasi koagulasi tidak bisa dibiarkan terlalu lama karena akan terjadi jendalan-jendalan trombosis yang banyak. Maka dari itu akan terjadi hemostasis tersier dengan cara melisiskan fibrin, yang berperan adalah plasmin. Sehingga faktor fibrinolisis akan teraktivasi.

4.  PATOFISIOLOGI DEFISIENSI KOAGULAN (HEMOFILIA)
Proses hemostasis tergantung pada faktor koagulasi, trombosit dan pembuluh darah. Mekanisme hemostasis terdiri dari respons pembuluh darah, adesi trombosit, agregasi trombosit, pembentukan bekuan darah, stabilisasi bekuan darah, pembatasan bekuan darah pada tempat cedera oleh regulasi antikoagulan, dan pemulihan aliran darah melalui proses fibrinolisis dan penyembuhan pembuluh darah.
Cedera pada pembuluh darah akan menyebabkan vasokonstriksi pembuluh darah dan terpaparnya darah terhadap matriks subendotelial. Faktor von Willebrand (vWF) akan teraktifasi dan diikuti adesi trombosit. Setelah proses ini, adenosine diphosphatase, tromboxane A2 dan protein lain trombosit dilepaskan granul yang berada di dalam trombosit dan menyebabkan agregasi trombosit dan perekrutan trombosit lebih lanjut. Cedera pada pembuluh darah juga melepaskan tissue factor dan mengubah permukaan pembuluh darah, sehingga memulai kaskade pembekuan darah dan menghasilkan fibrin. Selanjutnya bekuan fibrin dan trombosit ini akan distabilkan oleh faktor XIII.
Pada penderita hemofilia dimana terjadi defisit F VIII atau F IX maka pembentukan bekuan darah terlambat dan tidak stabil. Oleh karena itu penderita hemofilia tidak berdarah lebih cepat, hanya perdarahan sulit berhenti. Pada perdarahan dalam ruang tertutup seperti dalam sendi, proses perdarahan terhenti akibat efek tamponade. Namun pada luka yang terbuka dimana efek tamponade tidak ada, perdarahan masif dapat terjadi. Bekuan darah yang terbentuk tidak kuat dan perdarahan ulang dapat terjadi akibat proses fibrinolisis alami atau trauma ringan.
Defisit F VIII dan F IX ini disebabkan oleh mutasi pada gen F8 dan F9. Gen F8 terletak di bagian lengan panjang kromosom X di regio Xq28, sedangkan gen F9 terletak di regio Xq27. Terdapat lebih dari 2500 jenis mutasi yang dapat terjadi, namun inversi 22 dari gen F8 merupakan mutasi yang paling banyak ditemukan yaitu sekitar 50% penderita hemofilia A yang berat. Mutasi gen F8 dan F9 ini diturunkan secara x-linked resesif sehingga anak laki-laki atau kaum pria dari pihak ibu yang menderita kelainan ini. Pada sepertiga kasus mutasi spontan dapat terjadi sehingga tidak dijumpai adanya riwayat keluarga penderita hemofilia pada kasus demikian.
Wanita pembawa sifat hemofilia dapat juga menderita gejala perdarahan walaupun biasanya ringan. Sebuah studi di Amerika Serikat menemukan bahwa 5 di antara 55 orang penderita hemofilia ringan adalah wanita.

5.  Pemeriksaan defisiensi faktor pembekuan
Pemeriksaan APTT umumnya digunakan untuk menjaring kasus dengan kelainan pada lintasan intrinsik seperti defisiensi faktor kontak, hemofila A (defisiensi faktor VIII), hemofilia B (defisiensi faktor IX) dan hemofilia C (defisiensi faktor XI ). Kadar APTT akan memberikan gambaran abnormal (memanjang) bilamana defisiensi faktor berada pada level <0,3 – 0,4 U/ml. Kemampuan untuk mem- pertahankan fungsi hemostasis minimal dari faktor VIII, IX, XI adalah pada nilai 30% dengan demikian APTT merupakan tes skrining hemostatik yang sensitif terhadap defisiensi faktor. Meskipun demikian prosedur APTT akan mempunyai kemungkinan gagal mendeteksi kasus hemofilia ringan atau borderline dengan nilai 25 – 30% dari kadar normal, pada kasus demikian pemeriksaan faktor pembekuan spesifik perlu dilakukan bilamana dicurigai suatu hemofilia ringan.
·         Pemeriksaan terhadap inhibitor
Pemeriksaan APTT merupakan pemeriksaan skrining yang penting untuk mengetahui adanya inhibitor terhadap koagulasi seperti lupus antikoagulan, demikian juga dengan efek inhibisi dari fibrin degradation product dan juga efek dari heparin akan memperpanjang APTT.
·         Protrombin Time (PT)
Pemeriksaan PT merupakan pemeriksaan skrining terhadap kelainan dalam lintasan ekstrinsik yaitu terhadap faktor VII, X, V dan II. Pemeriksaan ini juga untuk mendeteksi kadar fibrinogen yang rendah yaitu bila kadar fibrinogen <100 mg/dl; terutama digunakan untuk monitoring terapi antikoagulan atau skrining terhadap defisiensi vitamin K. Pemeriksaan PT kurang sesitif terhadap inhibisi oleh FDP dan heparin dibandingkan dengan pemeriksaan PTT atau thrombin time.
·         Thrombin Clotting Time (TCT)
Pemeriksaan TCT merupakan suatu pemeriksaan dengan menambahkan trombin dalam plasma untuk mengetahui keadaan jumlah dan kualitas fibrinogen atau kecepatan konversi fibrinogen menjadi fibrin. Nilai TCT yang memanjang menggambarkan adanya defisiensi fibrinogen (<100 mg/dl); misalnya pada keadaan congenital hipofibrinogemia atau afibrinogemia, kadar yang abnormal terjadi pada reaksi inflamasi, kualitas yang abnormal dari fibrinogen (hereditary dysfibrinogemia, sirosis, karsinoma hepatoselular, neonatus). Selain itu bahan-bahan yang mengganggu kerja trombin dalam mengubah fibrinogen menjadi fibrin seperti heparin, anti thrombin antibody, produk proteolitik dari fibrinogen dan fibrin (FDP) akan menyebabkan TCT memanjang.
·         Pemeriksaan Faktor Koagulasi
Pemeriksaan Faktor Koagulasi terdiri atas 2 jenis yaitu : (1) qualitative coagulation factor activity assay dan (2) quantitative coagulation factor activity. Kualitatif terdiri dari atas 2 tipe yaitu : (1) clotting time assays dan (2) chromogenic assays. Clotting time assays dilakukan dengan mengukur aktivitas faktor dengan menggunakan plasma depleted factor congenital atau dengan menggunakan factor depleted plasma artificial. Kuantitatif, ditujukan untuk mengukur jumlah protein pembekuan (prokoagulan, antikoagulan, komponen fibrinolitik, peptida aktif ). Teknik pemeriksaan yang umum dilakukan adalah dengan menggunakan agglutination of antibody-coated beads, imunoelektro-poresis, radio immuno assays dan enzyme linked immunoabsorbent assay (ELISA). Pemeriksaan kuantitatif tidak akan mengukur fungsi dari protein faktor koagulasi. Diagnosis banding hemofilia adalah penyakit von Willebrand, defisiensi faktor koagulasi lain seperti FV, FVII, FX, FXI, atau fibrinogen, atau kelainan trombosit seperti Glanzmann trombastenia.

6.   Penatalaksanaan
Tatalaksana penderita hemofilia harus dilakukan secara komprehensif meliputi pemberian faktor pengganti yaitu F VIII untuk hemofilia A dan F IX untuk hemofilia B, perawatan dan rehabilitasi terutama bila ada sendi, edukasi dan dukungan psikososial bagi penderita dan keluarganya. Bila terjadi perdarahan akut terutama daerah sendi, maka tindakan RICE (rest, ice, compression, elevation) segera dilakukan. Sendi yang mengalami perdarahan diistirahatkan dan diimobilisasi. Kompres dengan es atau handuk basah yang dingin, kemudian dilakukan penekanan atau pembebatan dan meninggikan daerah perdarahan. Penderita sebaiknya diberikan faktor pengganti dalam 2 jam setelah perdarahan.
Untuk hemofilia A diberikan konsentrat F VIII dengan dosis 0.5 x BB (kg) x kadar yang diinginkan (%). F VIII diberikan tiap 12 jam sedangkan F IX diberikan tiap 24 jam untuk hemofilia. Kadar F VIII atau IX yang diinginkan tergantung pada lokasi perdarahan dimana untuk perdarahan sendi, otot, mukosa mulut dan hidung kadar 30-50% diperlukan. Perdarahan saluran cerna, saluran kemih, daerah retroperitoneal dan susunan saraf pusat maupun trauma dan tindakan operasi dianjurkan kadar 60- 100%. Lama pemberian tergantung pada beratnya perdarahan atau jenis tindakan. Untuk pencabutan gigi atau epistaksis, diberikan selama 2-5 hari, sedangkan operasi atau laserasi luas diberikan 7-14 hari. Untuk rehabilitasi seperti pada hemarthrosis dapat diberikan lebih lama lagi.
Kriopresipitat juga dapat diberikan untuk hemofilia A dimana satu kantung kriopresipitat mengandung sekitar 80 U F VIII. Demikian juga dengan obat antifibrinolitik seperti asam epsilon amino-kaproat atau asam traneksamat. Aspirin dan obat antiinflamasi non steroid harus dihindari karena dapat mengganggu hemostasis. Profilaksis F VIII atau IX dapat diberikan secara kepada penderita hemofilia berat dengan tujuan mengurangi kejadian hemartrosis dan kecacatan sendi. WHO dan WFH merekomendasikan profilaksis primer dimulai pada usia 1- 2 tahun dan dilanjutkan seumur hidup. Profilaksis diberikan berdasarkan Protokol Malmö yang pertama kali dikembangkan di Swedia yaitu pemberian F VIII 20-40 U/kg selang sehari minimal 3 hari per minggu atau F IX 20-40 U/kg dua kali per minggu.
Untuk penderita hemofilia ringan dan sedang, desmopressin (1-deamino-8-arginine vasopressin, DDAVP) suatu anolog vasopressin dapat digunakan untuk meningkatkan kadar F VIII endogen ke dalam sirkulasi, namun tidak dianjurkan untuk hemofilia berat. Mekanisme kerja sampai saat ini masih belum jelas, diduga obat ini merangsang pengeluaran vWF dari tempat simpanannya (Weibel-Palade bodies) sehingga menstabilkan F VIII di plasma. DDAVP dapat diberikan secara intravena, subkutan atau intranasal.
Penderita hemofilia dianjurkan untuk berolah raga rutin, memakai peralatan pelindung yang sesuai untuk olahraga, menghindari olahraga berat atau kontak fisik. Berat badan harus dijaga terutama bila ada kelainan sendi karena berat badan yang berlebih memperberat arthritis. Kebersihan mulut dan gigi juga harus diperhatikan. Vaksinasi diberikan sebagaimana anak normal terutama terhadap hepatitis A dan B. Vaksin diberikan melalui jalur subkutan, bukan intramuskular. Pihak sekolah sebaiknya diberitahu bila seorang anak menderita hemofilia supaya dapat membantu penderita bila diperlukan.
Upaya mengetahui status pembawa sifat hemofilia dan konseling genetik merupakan hal yang terpadu dalam tatalaksana hemofilia. Konseling genetik perlu diberikan kepada penderita dan keluarga. Konseling meliputi penyakit hemofilia itu sendiri, terapi dan prognosis, pola keturunan, deteksi pembawa sifat dan implikasinya terhadap masa depan penderita dan pembawa sifat. Deteksi hemofilia pada janin dapat dilakukan terutama bila jenis mutasi gen sudah diketahui. Sampel dapat diperoleh melalui tindakan sampling villus khorionik atau amnionsintesis.

Referensi :
·         http://saripediatri.idai.or.id/pdfile/6-1-7s.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar