Senin, 23 Maret 2015

SKENARIO 2 PART 1 BLOK 11


Skenario 2 part 1 blok 11
Author : Cindra PWS

FILARIASIS
I.      Pengertian
Filariasis adalah penyakit yang disebabkan oleh infeksi nematoda jaringan yang ditularkan oleh berbagai jenis nyamuk dalam kelenjar getah bening. Penyakit ini bersifat menahun dan bila tidak mendapatkan pengobatan dapat menimbulkan cacat menetap berupa pembesaran kaki, lengan dan alat kelamin baik perempuan maupun laki-laki.
Cacing filaria yang menginfeksi manusia mempunyai 8 spesies dan 6 diantaranya bersifat patogen. Parasit yang hidup dalam pembuluh getah bening adalah: Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, Brugia timori, Loa-loa, Onchocerca volvulus, Mansonella streptocerca, Mansonella pertans, dan Mansonella ozzardi. Dua spesies yang terakhir yakni Mansonella pertans dan Mansonella ozzardi tidak memberikan gejala klinis.

II.   Etiologi
Filariasis dapat disebabkan oleh infestasi satu atau dua cacing jenis filaria yaitu Wuchereria bancrofti, Brugia malayi, dan Brugia timori. Cacing ini menyerupai benang dan hidup dalam tubuh manusia terutama dalam kelenjar 8jm getah bening dan darah selama 4 - 6 tahun dan dalam tubuh manusia cacing dewasa betina menghasilkan jutaan anak cacing (mikrofilaria) yang beredar dalam darah terutama malam hari.
Manusia adalah hospes defenitif dari W. bancrofti. Strain tertentu dari B. malayi juga dapat menginfeksi beberapa spesies hewan (kucing dan monyet). Wuchereria bancrofti merupakan filariasis yg paling sering dilaporkan di seluruh dunia, dengan jumlah penderita mencapai 80 juta orang yang sebagian besar hidup di India, Cina dan Indonesia. Penderita filariasis terutama tersebar di daerah tropis, misalnya di Afrika Timur. Arus urbanisasi meningkatkan penyebaran filariasis bancrofti di daerah perkotaan

Hospes Reservoir
Penularan filariasis umumnya dari manusia ke manusia melalui vektor serangga, tetapi ada satu strain Brugia malayi mempunyai hospes reservoir kera, anjing dan kucing dan bersifat zoonosis. Filariasis bancrofti dan timori tidak mempunyai hospes reservoir hewan.
Dalam perkembangannya, saat ini di Indonesia telah teridentifikasi ada 23 spesies nyamuk dari 5 genus yaitu : Mansonia, Anopheles, Culex, Aedes dan Armigeres yang menjadi vektor filariasis.

III.   Patofisiologi
Siklus hidup mikrofilaria terjadi dalam dua tahap yaitu dalam tubuh manusia dan dalam tubuh nyamuk. Selama mengisap darah, nyamuk yang terinfeksi memasukkan larva stadium tiga (L-3) melalui kulit manusia dan penetrasi melalui luka bekas gigitan. Larva berkembang menjadi dewasa dan pada umumnya habitatnya pada kelenjar limfatik. Cacing dewasa menghasilkan microfilaria yang migrasi ke limfe dan mencapai sirkulasi darah perifer. Nyamuk mengingesti microfilaria selama mengisap darah. Setelah masuk dalam tubuh nyamuk, selubung (sheath) dari microfilaria terlepas dan melalui dinding proventikulus dan ke usus bagian tengah (midgut) kemudian mencapai otot toraks. Microfilaria berkembang menjadi larva stadium pertama (L-1). Kemudian menjadi L-2 dan selanjutnya menjadi larva stadium tiga (L-3). Larva stadium tiga bermigrasi menuju probosis dan dapat menginfeksi penderita yang lain ketika mengisap darah.
Filariasis terutama disebabkan karena adanya cacing dewasa yang hidup dalam pembuluh getah bening. Cacing tersebut akan merusak pembuluh getah bening yang mengakibatkan cairan getah bening tidak dapat tersalurkan dengan baik sehingga menyebabkan pembengkakan pada tungkai dan lengan. Cacing dewasa mampu bertahan hidup selama 5 – 7 tahun di dalam kelenjar getah bening.
Kerusakan pembuluh getah bening akibat inflamasi yang ditimbulkan oleh cacing dewasa yang hidup di pembuluh getah bening aferen atau sinus kelenjar getah bening dan menyebabkan pelebaran pembuluh getah bening dan penebalan dinding pembuluh. Infiltrasi sel plasma, eosinofil, dan makrofag di dalam dan sekitar pembuluh getah bening yang mengalami inflamasi bersama dengan proliferasi sel endotel dan jaringan ikat, menyebabkan berliku-likunya sistem limfatik dan kerusakan atau inkompetensi katup pembuluh getah bening. Perubahan pembuluh limfe dapat berbentuk obstruksi, atresi atau dilatasi dan dapat pula terjadi aliran balik ke arah kulit (dermal back flow).

IV.   Diagnosis
A.     Gejala Klinis
        Gejala inflamasi kemungkinan juga disebabkan oleh cairan yang dikeluarkan oleh larva pada waktu pergantian kulitnya, dan mungkin pula oleh zat mukoid yang dikeluarkan cacing betina pada waktu mengeluarkan larvanya. Cacing dewasa yang mati dapat menimbulkan kalsifikasi, fibrosis dan obliterasi total saluran limfe. Jalannya penyakit filariasis dapat dibagi dalam beberapa tahap :
1.       Masa inkubasi biologis
Berlangsung dari masuknya larva stadium 3 ke dalam tubuh, sampai terdapat mikrofilaria untuk pertama kali dalam darah. Bagi penduduk yang berdiam di daerah endemik sejak kecil, masa inkubasi ini berlangsung kurang lebih satu tahun dan biasanya tidak disertai dengan gejala klinis.
2.       Masa paten tanpa gejala
Berlangsung mulai dari terdapatnya mikrofilaria di dalam darah sejak kecil di daerah endemik, masa ini kadang-kadang dapat berlangsung seumur hidup tanpa penderita ini sadar bahwa di dalam darahnya mengandung parasit filaria.
3.       Stadium akut
          Penderita mengeluh demam, terdapat pembesaran kelenjar limfe yang terasa nyeri dan panas. Gejala berupa demam, limfangitis dan limfadenitis.
4.       Stadium menahun
Stadium akut lambat laun beralih ke stadium menahun dengan gejala hidrokel, kiluria, limfedema dan elefantiasis.
Filariasis dapat menimbulkan gangguan saluran napas yang disebut sebagai Tropical Pulmonary Eosinophilia (TPE), pada keadaan ini terjadi hiperesponsif reaksi imunologi terhadap antigen filaria. Gejala yang timbul adalah hipereosinofilia (20-90%), kadang-kadang disertai batuk dngan sesak napas, pembesaran kelenjar limfe dan tidak ditemukan microfilaria dalam darah.
Perjalanan penyakit filariasis terutama dipengaruhi oleh faktor toleransi. Di daerah endemik, banyak penderita yang mengandung mikrofilaria di dalam darahnya merasa tidak sakit. Hal sebaliknya terjadi pada pendatang yang dianggap tidak mempunyai kekebalan, banyak yang jatuh sakit setelah beberapa minggu berada di daerah endemik dengan gejala filariasis.

B.      Pemeriksaan Laboratorium
1.       Deteksi parasit : menemukan mikrofilaria dalam darah, cairan hidrokel atau cairan kiluria, asites, dan cairan pleura. Diagnosis dapat dibuktikan dengan menemukan mikrofilaria dalam darah tepi dengan cara pembuatan sediaan darah tipis dan tebal yang dipulas dengan giemsa. Parasitemia yang rendah, dapat dilakukan teknik konsentrasi metode Knott, teknik provokasi, atau membran filtrasi.
·         Teknik konsentrasi metode Knott : darah vena sebanyak 1 ml ditambah 10 ml formalin 2% untuk hemolisis dan sedimen diperiksa secara langsung (direct smear) atau diwarnai dengan giemsa.
·         Teknik provokasi : dilakukan untuk menginduksi mikrofilaria ke darah tepi menggunakan DEC dosis tunggal. Sampel darah diambil 15 menit -1 jam setelah pengobatan, dengan menggunakan DEC 100 mg yang diminum secara oral, biasanya dapat menimbulkan microfilaria dalam darah tepi.
·         Teknik membrane filtrasi : darah vena diambil pada malam hari dan disaring melalui filter membran berpori silindris polikarbonat, memudahkan deteksi mikrofilaria dan menghitung beratnya infeksi. Biasanya diamati pada tahap awal penyakit sebelum manifestasi klinis berkembang. Setelah limfedema, mikrofilaria umumnya sudah tidak ada dalam darah perifer.

C.      Periodisitas Mikrofilaria
Mikrofilaria di dalam darah umumnya terdapat dalam darah tepi hanya pada waktu-waktu tertentu, sehingga disebut mempunyai periodisitas.
1.       Bila mikrofilaria terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, periodisitasnya disebut periodik nokturnal
2.       Pada siang hari, periodisitasnya di sebut periodik diurnal
3.       Di dalam darah tepi secara tidak teratur maka bersifat non periodik
4.       Adakalanya mikrofilaria di dalam darah tepi pada siang hari dan malam hari dalam jumlah yang tidak berbeda banyak. Bila jumlah agak lebih pada siang hari disebut sub periodi diurnal
5.       Cacing dewasa kadang-kadang dapat ditemukan pada biopsi kelenjar limfe.
6.       Filariasis yang menimbulkan TPE terjadi hiperesponsif reaksi imunologi terhadap antigen filaria. Pada pemeriksaan laboratorium terjadi peningkatan IgG terhadap antigen filaria dan IgE, disertai dengan peningkatan hebat dari eosinofil dalam darah perifer yang terjadi akibat penghancuran mikrofilaria yang berlebihan oleh sistem kekebalan penderita karena zat anti dalam tubuh hospes akibat adanya hipersensitivitas terhadap antigen mikrofilaria. Biopsi paru menunjukkan foki inflamasi disekitar mikrofilaria yang dihancurkan. Penemuan ini disertai dengan amikrofilaremia dalam darah penderita TPE.
7.       Tes Imunologi, dengan teknik ELISA dan imunokromatografi (ICT) menggunakan antibodi monoklonal yang spesifik. Tes ELISA positif dalam tahap awal penyakit ketika cacing dewasa hidup dan menjadi negatif setelah cacing dewasa mati.1 Contoh alat untuk Elisa adalah CELISA dan ICT dari BINAX (Portland,USA) serta ICT dari AMRAD, New South Wales).
8.       PCR, untuk mendeteksi DNA W. bancrofti sudah mulai dikembangkan. Beberapa studi menyebutkan bahwa metode ini hampir sama bahkan lebih sensitif dibanding metode parasitologik
9.       Radiodiagnostik
10.   USG Dopler. Pemeriksaan USG Dopler skrotum pada pria dan payudara pada wanita memperlihatkan gambaran filaria dance sign (cacing dewasa yang bergerak aktif dalam pembuluh limfe yang berdilatasi)
11.   Limfoskintigrafi, dengan radionuklir pada ekstremitas menunjukkan abnormalitas sistem limfatik, baik pada mereka yang asimptomatik mikrofilaremik dan penderita dengan manifestasi klinik. 

V.      DIAGNOSIS BANDING
a.       Pembesaran ekstremitas
Limfangitis bakterial akut, limfadenitis kronik,LImfogranuloma inguinale dan limfadenitis tuberkulosis dapat menyebabkan limfedema ekstremitas bawah.5 Trauma pada saluran limfe akibat operasi juga dapat menyebabkan limfedema. Pasien dengan limfedema tanpa adanya riwayat serangat akut berulang dikenal sebagai cold lymphedema merupakan kelainan bawaan.8 Tumor dan pembentukkan jaringan fibrotik juga dapat menyebabkan tekanan pada saluran limfe dan menurunkan aliran limfe sehingga terjadi limfedema secara perlahan. Mastektomi dengan limfedenektomi merupakan salah satu hal penyebab terjadinya limfedema pada ekstremitas atas.
b.      Lipedema
Pembesaran kronik akibat jaringan lemak yang berlebihan, biasanya pada tungkai atas dan pinggul. Kelainan simetris, telapak kaki normal. Kelainan ini terjadi pada saat pubertas atau 1-2 tahun sesudahnya.
c.       Hernia inguinalis
Kelainan ini dapat menyerupai hidrokel. Pada hernia batas atas masuk kedalam perut,testis teraba, isi dapat keluar masuk dan pada auskultasi bising usus (+). Pada saat pasien berdiri terlihat dasar hidrokel menyempit berbeda dengan hernia yang dasarnya melebar.
d.      Knobs
Knobs/lump dengan pertumbuhan cepat dengan atau tanpa perdarahan dapat disebabkan oleh kanker kulit. Misetoma dan kromoblastosis juga dapat memberikan gambaran benjolan/nodus. Misetoma merupakan infeksi kronik yang disebabkan oleh jamur yang ditemukan pada tanah dan tumbuhan. Jamur masuk melalui luka kemudian terbentuk abses, sinus dan fistel yang multiple. Didalam sinus terdapat butir-butir (granules) yang merupakan kumpulan dari jamur tersebut. Kromoblastosis merupakan penyakit yang disebabkan oleh jamur berpigmen yang ditemukan pada kayu, tumbuhan dan tanah. Perlu dibedakan kromoblastomikosis dengan limfedema stadium 6 yang memberikan gambaran mossy foot.
e.      Kiluria
Keadaan ini dapat juga disebabkan oleh trauma, kehamilan, tumor atau diabetes mellitus. Pada diabetes mellitus, kiluria terjadi akibat pus. Untuk membedakan ke dua keadaan ini, pasien diminta menampung urin dalam wadah transparan dan membiarkan urin selama 30-40 menit. Jika terjadi pemisahan antara sedimen dan urin, maka pasien tidak menderita kiluria

VI.   Terapi
Obat anti-filaria yang digunakan
·         Diethylcarbamazine citrate (DEC)
Diethylcarbamazine citrate (DEC) telah digunakan sejak ± 40 tahun lamanya dan masih merupakan terapi anti-filarial yang digunakan secara luas. WHO merekomendasikan pemberian DEC dengan dosis 6 mg/kgBB untuk 12 hari berturut-turut. Cara pemberian tersebut tidak praktis digunakan untuk community-based control programme karena mahal. Andrade dkk (1995) membandingkan pemberian dosis tunggal DEC 6 mg/kgBB dan pemberian DEC dosis yang sama selama 12 hari, didapatkan kadar mikrofilaria yang sama pada ke-2 grup setelah terapi 12 bulan, meskipun pada bulan 1, 3 dan 6 kadar mikrofilaremia tinggi pada grup dosis tunggal.
Dosis yang disarankan WHO digunakan untuk terapi selektif/perorangan, dimana orang tersebut yang mencari pertolongan, sedangkan untuk terapi massal digunakan dosis tunggal 6mg/kgBB yang diberikan setiap tahun selama 4-6 tahun berturut-turut. Terapi massal adalah terapi yang diberikan kepada seluruh penduduk di daerah endemis filariasis. Di Indonesia, dosis 6 mg/kg BB memberikan efek samping yang berat, sehingga pemberian DEC di lakukan berdasarkan usia dan dikombinasi dengan albendazol.
·         Ivermectin
Ivermectin terbukti sangat efektif dalam menurunkan mikrofilaremia pada filariasis bancrofti di sejumlah negara. Obat ini membunuh 96% mikrofilaremia dan menurunkan produksi mikrofilaremia sebesar 82%. Obat ini merupakan antibiotik semisintetik golongan makrolid yang berfungsi sebagai agent mikrofilarisidal poten. Dosis tunggal 200-400 µg/kg dapat menurunkan mikrofilaria dalam darah tepi untuk waktu 6-24 bulan. Dengan dosis tunggal 200 atau 400µl/kg dapat langsung membunuh mikrofilaremia dan menurunkan produksi mikrofilaremia. Obat belum digunakan di Indonesia.
·         Albendazol
Obat ini digunakan untuk pengobatan cacing intestine selama bertahun-tahun dan baru baru ini di coba digunakan sebagai anti-filaria. Dosis tunggal albendazol tidak mempunyai efek terhadap mikrofilaremia. Albendazole hanya mempunya sedikit efek untuk mikrofilaremia dan antigenaemia jika digunakan sendiri. ADosis tunggal 400 mg di kombinasi dengan DEC atau ivermectin efektif menghancurkan mikrofilaria.

Penatalaksanaan filariasis bergantung kepada keadaan klinis dan beratnya penyakit.
·         Asimptomatik atau subklinis
Pengobatan awal dengan anti-filaria pada pasien asimptomatik sangat disarankan untuk mencegah kerusakan limfatik lebih lanjut. Efektifitas terapi dapat di evaluasi dengan melakukan tes mikrofilaria 6-12 bulan setelah terapi.
·         Stadium akut
Selama serangan akut pemberian DEC tidak di anjurkan, karena diduga akan memperberat keaadaan akibat matinya cacing dewasa. Terapi supportif harus dilakukan termasuk istirahat, kompres, elevasi ekstremitas yang terkena dan pemberian analgetik dan antipiretik. Pada serangan akut ADLA pemberian antibiotik oral dapat dilakukan sewaktu menunggu hasil kultur.
·         Stadium kronik
Obat anti-filaria jarang digunakan untuk keadaan kronik tetapi diberikan jika pasien terbukti menderita infeksi aktif, misalnya dengan ditemukannya mikrofilaria, antigen mikrofilaria atau filarial dancing sign. Kerusakan limfatik akibat filariasis bersifat permanen dan obat anti-filaria tidak menyembuhkan keadaan limfedema, tetapi limfedema dapat di tatalaksana dengan cara menghentikan serangan akut dan mencegah keadaan menjadi berat/buruk. Terdapat 5 komponen dasar dalam penatalaksanaan limfedema yang dapat dilakukan oleh pasien yaitu kebersihan, pencegahan dan perawatan luka/entry lesion, latihan, elevasi dan penggunaan sepatu yang sesuai.  Komponen tambahan dalam penatalaksanaan limfedema adalah penggunaan emolien, verban, stocking, pijat, antibiotik pofilaksis dan tindakan bedah. 
 
Pemberian benzopyrenes, termasuk flavonoids dan coumarin dapat menjadi terapi tambahan. Obat ini mengikat protein yang telah terakumulasi sehingga menginduksi fagositosis makrofag menyebabkan terpecahnya protein yang kemudian keluar kedalam vena dan dibuang oleh sistem vascular.
Tindakan bedah pada limfedema bersifat paliatif, indikasi tindakan bedah adalah jika tidak terdapat perbaikan dengan terapi konservatif, limfedema sangat besar sehingga mengganggu aktivitas dan pekerjaan dan menyebabkan tidak berhasilnya terapi konsevatif. Berbagai prosedur operasi digunakan tetapi secara umum tidak memberikan hasil yang memuaskan. Yang termasuk dalam prosedur ini adalah lymphangioplasty, lympho-venous anastomosis dan eksisi (de-bulking) dari jaringan subkutan yang fibrotik. Peranan tindakan pembedahan limfedema ekstremitas akibat filariasis sangat terbatas.
Penatalaksanaan hidrokel adalah dengan pemberian obat anti-filaria, perawatan dasar seperti kebersihan, dan tindakan bedah. Indikasi operasi pada pasien dengan hidrokel adalah jika mengganggu pekerjaan, mengganggu aktivitas seksual, mengganggu berkemih, dan memberi efek sosial terhadap keluarga. Prosedur yang digunakan adalah dengan melakukan eksisi tunika vaginalis sebanyak mungkin dan membalikkannya (Bergmann Wingklemann) untuk hidrokel besar dan prosedur Lord untuk hidrokel kecil dimana dilakukan pengecilan tunika vaginalis dengan merempel.
Penatalaksanaan kiluria adalah istirahat, diet tinggi protein rendah lemak, minum banyak (paling sedikit 2 gelas/jam selama BAK masih seperti susu). Tindakan bedah masih kontroversi tetapi di anjurkan untuk kasus yang berat.15,16,28 Prosedure yang digunakan adalah lympho-venous disconnection, lymphangio-venous anastomosis, lymphnode-saphenous vein anastomosis.

Tropical Pulmonary Eosinophil
DEC adalah obat pilihan untuk TPE. Gejala pernapasan membaik secara cepat setelah pemberian DEC. Pemberian DEC 21-28 hari menyebabkan hilangnya microfilaria secara cepat dibandingkan dengan dosis tunggal 6 mg/kgBB, sehingga pemberian terapi lebih lama lebih disarankan.

VII.      Pencegahan dan kontrol filariasis
Tahun 1997, the World Health Assembly (WHA) mengajak anggota WHO untuk mendukung program The Global Elimination of Lymphatic Filariasis (GPELF) sebagai masalah kesehatan masyarakat.Tahun 2000 WHO mulai menetapkan GPELF dan merekomendasikan semua penduduk yang tinggal didaerah beresiko untuk di obati satu kali dalam satu tahun dengan dua kombinasi obat dan diberikan dalam 4-6 tahun berturut-turut.Tiga obat anti-parasit yang di sarankan adalah DEC, albendazol, ivermectin.
Pencegahan melawan infeksi filariasis juga dapat dilakukan secara individu dengan cara menghindari terkenanya gigitan nyamuk. Hal ini dapat dilakukan dengan cara memakai kelambu dan menggunakan repellent, tetapi hal ini tidak bisa diterapkan disemua wilayah.

Daftar Pustaka
http://www.edutenagakesehatan.org/edunakes/images/pdf/Modul_PatKlin/edit/bab_xx_FILARIASIS.pdf

Tidak ada komentar:

Posting Komentar