Kamis, 26 Maret 2015

SKENARIO 2 PART 2 BLOK 11


Skenario 2 Part 2 Blok 11
Author : Lilyana Ulfa

1.       Apa saja Jenis Parasite / cacing agen Filariasis? (yuk kenalan dulu)
Seperti yang telah disebutkan di atas, terdapat beberapa jenis cacing filariae yang dapat menyebabakan filariasis. Tapi yang sering kejadian di Indonesia Cuma 3 jenis Wucheria bancrofti, Brugia Malayi, dan Brugia Timori. FYI ada juga loh yg lain, cacing-cacing itu antara lain :
a.       Wucheria bancrofti               
Menurut Felix Partono, cacing ini tersebar luas di daerah yang beriklim tropis di seluruh dunia termasuk di Indonesia. Mempunyai ukuran bervariasi, yang betina berukuran 65-100 mm × 0,1 mm dan yang jantan 40 mm × 0.1 mm. Cacing betina dapat mengeluarkan mikrofilaria yang bersarung dengan ukuran 250 – 300 mikron × 7-8 mikron. Bentuknya halus seperti benang dan berwarna putih susu. Pada umumnya, microfilaria W.brancrofti bersifat periodisitas nokturna,artinya mikrofilaria hanya terdapat di dalam aliran darah tepi pada waktu malam. Pada siang hari microfilaria hanya terdapat di kapiler alat dalam.
Cacing ini mengalami 5 stadium pertumbuhan untuk menjadi dewasa. Mula-mula mikrofilaria yang terisap oleh nyamuk, melepaskan sarungnya di dalam lambung,kemudian bersarang di otot toraks.
        Pada stadium I, larva cacing ini memendek. Dalam waktu kurang dari seminggu,larva ini kemudian berganti kulit, tumbuh menjadi lebih gemuk dan panjang disebut larva stadium II. Larva berganti kulit sekali lagi pada hari kesepuluh menjadi larva stadium III. Kemudian, jika larva ini pindah ke tubuh manusia, larva ini dapat mengalami dua kali pergantian kulit,tumbuh menjadi larva stadium IV dan menjadi dewasa atau stadium V. Umur cacing dewasa mencapai 5-10 tahun.
b.      Brugia Malayi
        Menurut Tomio Yamaguchi, Brugia malayi adalah jenis cacing filariae yang dapat ditemukan dari Asia Tenggara sampai Pasifik Barat Daya. Juga pernah ditemukan di Korea Selatan. Cacing dewasa B.malayi lebih kecil daripada W.brancofti. Yang jantan panjangnya 22 – 23 mm dan lebarnya 0,88 mikron, dan yang betina mempunyai panjang 55×0,16 mm. Berbeda dengan W.bancrofti yang ekornya tak memiliki nuklei (titik inti) di ekornya,sementara B.malayi memiliki nuklei di ekornya.
Daur hidup dari B.malayi hampir sama dengan W.bancrofti, kecuali di daerah tertentu,di mana vektornya berbeda dari W.bancrofti. Yang termasuk vektor B.malayi adalah Mansonnia, Anopheles, dan Aedes.
c.       Brugia Timori
        Menurut Markell, Voge dan John, mikrofilaria dari jenis ini pertama kali ditemukan pada tahun 1964 di kepulauan Timor. Kemudian, penyakit ini menyebar ke pulau-pulau di Dangkalan Sunda.
Mikrofilaria B.timori dapat dengan jelas dibedakan dari mikrofilaria B.malayi. Mikrofilaria dari B.timori lebih panjang dari B.malayi,dengan rata-rata 310 mikron. Jarak cephalic (bagian dari mikrofilaria anterior ke nuclei tubuh) mempunyai perbandingan panjang dan lebar 2:1 di B.malayi, sedangkan di B.timori 3:1. Sarung B.malayi mengandung Giemsa stain, sedangkan hal itu tidak ditemui pada B.timori.
d.      Cacing dari genus Mansonella
Filaria ini adalah satu-satunya filaria yang ditemukan di benua Amerika. Mansonella ozzardi tidak memiliki nuklei di ujung ekornya sementara Mansonella streptocercamemilki nuklei yang memanjang sampai ke ujung ekor. Mikrofilaria dari jenis ini dapat ditemukan dengan biopsi kulit.
e.      Loa loa
Parasit ini hanya ditemukan pada manusia. Penyakitnya disebut loiasis atau Calabar Swelling. Loiasis terutama terdapat di daerah Afrika Barat, Afrika tengah dan Sudan. Parasit ini juga terdapat pada daerah khatulistiwa yang mempunyai hutan hujan. Cacing dewasa hidup dalam jaringan subkutan, yang betina berukuran 50-70 mm × 0,35-0,43 mm. Cacing betina mengeluakan mikrofilarianya yang beredar dalam darah pada siang hari (diurnal). Pada malam hari, mikrofilaria berada dalam pembulah darah paru-paru. Mikrofilaria mempunyai sarung berukuran 250 – 300 mikron × 6-8,5 mikron. Dapat ditemukan dalam urin, dahak dan kadang-kadang dapat ditemukan pada cairan sumsum tulang belakang. Cacing dewasa dapat tumbuh 1 samapi 4 tahun kemudian berkopulasi dan caing betina mengeluarkan mikrofilaria.

2.       Kenapa Terdapat warna urin putih keruh dan Protein (++) dalam urin?
Karena adanya Chyluria (urin yang mengandung cairan limfe). Disebabkan terjadinya rupture pembuluh limfe di bagian atas organ genitalia dan kemungkinan bocor sehingga cairan limfe masuk ke urin melalui pembuluh darah – pembuluh darah kapiler (ulah mikrofilaria) ataupun pembuluh limfe (ulah makrofilaria) yang juga rupture di area genitalia. Cairan limfe sendiri berwana putih karena mengandung antibody dan nutrient-nutrient (kaya protein) sebagai system pertahanan tubuh. Sehingga ketika cairan limfe masuk ke urin maka ia menimbulkan warna putih keruh pada urin dan terdapat proteinuria karena cairan limfe mengandung protein.

3.       Risk Factor, Hospes, dan Vektor infeksi parasite filariasis?
Manusia yang mengandung parasit selalu mendapat menjadi sumber infeksi bagi orang lain yang rentan (suseptibel). Biasanya pendatang baru ke daerah endemic (transmigran) lebih rentan terhadap infeksi filariasis dan lebih menderita dari pada penduduk asli. Pada umumnya laki-laki lebih banyak yang terkena infeksi, karena lebih banyak kesempatan untuk mendapat infeksi (exposure). Juga gejala penyakit lebih nyata laki-laki, karena pekerjaan fisik yang lebih berat.
                Tipe B.malayi yang dapat hidup pada hewan merupakan sumber infeksi untuk manusia. Hewan yang sering ditemukan mengandung infeksi adalah kucing dan kera terutama jenis Presbytis, meskipun hewan lain mungkin juga terkena infeksi (Sutanto dkk, 2009).
Pada dasarnya setiap orang dapat tertular filariasis apabila ditusuk oleh nyamuk infektif (mengandung larva stadium 3). Nyamuk infektif mendapat mikrofilaria dari pengidap, baik pengidap dengan gejala klinis maupun pengidap yang tidak menunjukkan gejala klinis. Pada daerah endemis filariasis, tidak semua orang terinfeksi filariasis dan tidak semua orang yang terinfeksi menunjukkan gejala klinis.
Seseorang yang terinfeksi filariasis tetapi belum menunjukkan gejala klinis biasanya sudah terjadi perubahan-perubahan patologis di dalam tubuhnya (Notoatmodjo,S,1997).
Penduduk pendatang pada suatu daerah endemis filariasis mempunyai risiko terinfeksi filariasis lebih besar dibanding penduduk asli. Penduduk pendatang dari daerah non endemis ke daerah endemis, misalnya transmigran, walaupun pada pemeriksaan darah jari belum atau sedikit mengandung mikrofilaria, tetapi sudah menunjukkan gejala klinis yang berat (Depkes RI,2006).
Hewan Banyak spesies nyamuk telah ditemukan sebagai vector filariasia, tergantung pada jenis cacing filarianya. W.bancrofti yang terdapat di daerah perkotaan (urba) ditularkan oleh Cx.quinque fasciatus yang yang tempat perindukannya air kotor dan tercemar. W.bancrofti di daerah pedesaan (rural) dapat ditukar oleh bermacam spesies nyamuk. Di Irian jaya W.bancrofti ditularkan terutama oleh An.farauti yang dapat menggunakan bekas jejak kaki binatang (footprint) untuk tempat perindukannya. Selain itu ditemukan juga sebagai vector An.subpictus, An.punctulatus, Cx.annulirostris dan Ae.kochi. W.bancoftidi daerah lain dapat ditularkan oleh spesies lain, seperti An.subpictusdi daerah pantai di NTT. Selain nyamuk Culex, Aedes pernah juga ditemukan sebagai vector (Sutanto dkk, 2009).
B.malayi yang hidup pada manusia dan hewan biasanya ditularkan oleh berbagai spesies Mansonia seperti Ma.uniformis, Ma.bonneae, Ma.dives dan lain-lain, yang berkembang biak di daerah rawa di Sumatra, Kalimatan, Maluku dan lain-lain. Sedangkan B.malayi yang periodik ditularkan oleh An.barbirostris yang memakai sawah sebagai tampat perindukannya, seperti di daerah Sulawesi.
B.timori, spesies ditemukan di Indonesia sejak 1965 hingga sekarang hanya ditemukan diaerah NTT dan Timor Timur, ditularkan oleh An.barbirostris yang berkembang biak di daerah sawah, baik di dekat pantai maupun di daerah pedalaman. Beberapa jenis hewan dapat berperan sebagai sumber penularan filariasis (hewan reservoir). Dari semua spesies cacing filaria yang menginfeksi manusia di Indonesia, hanya B. malayi tipe sub periodic nokturna dan non periodik yang ditemukan pada lutung (Presbytiscristatus), kera (Macaca fascicularis) dan kucing (Felis catus.). Pengendalian filariasis pada hewan reservoir ini tidak mudah, oleh karena itu juga akan menyulitkan upaya pemberantasan filariasis pada manusia (Sutanto dkk, 2009).
Nyamuk termasuk serangga yang melangsungkan siklus kehidupan di air. Kelangsungan hidup nyamuk akan terputus apabila tidak ada air.
Nyamuk dewasa sekali bertelur sebanyak ± 100-300 butir, besar telur sekitar 0,5 mm. Setelah 1-2 hari menetas menjadi jentik, 8-10 hari menjadi kepompong (pupa), dan 1-2 hari menjadi nyamuk dewasa. Nyamuk jantan akan terbang disekitar perindukannya dan makan cairan tumbuhan yang ada disekitarnya. Nyamuk betina hanya kawin sekali dalam hidupnya. Perkawinan biasanya terjadi setelah 24-48 jam setelah keluar dari kepompong. Makanan nyamuk betina yaitu darah, yang dibutuhkan untuk pertumbuhan telurnya (Depkes RI, 2007)

Beberapa aspek penting dari nyamuk adalah :
1)      Perilaku Nyamuk
a.       Tempat hinggap atau istirahat
                                                      i.      Eksofilik : yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di luar rumah.
                                                    ii.      Endofilik : yaitu nyamuk lebih suka hinggap atau istirahat di dalam rumah.

2)      Tempat menggigit
a.       Eksofagik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit di luar rumah.
b.      Endofagik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit di dalam rumah.

3)      Obyek yang digigit
a.       Antropofilik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit manusia.
b.      Zoofilik : yaitu nyamuk lebih suka menggigit hewan.
c.       Indiscriminate biters/indiscriminate feeders : yaitu nyamuktanpa kesukaan tertentu terhadap hospes.

4)      Frekuensi Menggigit Manusia Frekuensi membutuhkan atau menghisap darah tergantung spesiesnya dan dipengaruhi oleh temperatur dan kelembaban, yang disebut siklus gonotrofik. Untuk iklim tropis biasanya siklus ini berlangsung sekitar 48-96 jam.

5)      Siklus Gonotrofik yaitu waktu yang diperlukan untuk matangnya telur. Waktu ini juga merupakan interval menggigit nyamuk.

6)      Faktor Lain yang penting :
a.       Umur nyamuk (longevity) semakin panjang umur nyamuk semakin besar kemungkinannya untuk menjadi penular atau vektor. Umur nyamuk bervariasi tergantung dari spesiesnya dan dipengaruhi oleh lingkungan.
b.      Kemampuan nyamuk vektor untuk mendapatkan mikrofilaria saat menghisap darah yang mengandung mikrofilaria juga sangat terbatas, Nyamuk yang menghisap mikrofilaria terlalu banyak dapat mengalami kematian, tetapi jika yang terhisap terlalu sedikit dapat memperkecil jumlah microfilaria stadium larva-3 yang akan ditularkan.
c.       Periodisitas microfilaria dan perilaku menghisap darah nyamuk vektor berpengaruh terhadap risiko penularan. Pengetahuan kepadatan nyamuk vektor dan umur nyamuk vektor sangat penting untuk mengetahui musim penularan dan dapat digunakan sebagai parameter untuk menilai keberhasilan program pemberantasan vektor.

Cacing filaria (Nematoda:Filarioidea) baik limfatik maupun non limfatik, mempunyai ciri khas yang sama sebagai berikut:
-          Dalam reproduksinya tidak lagi mengeluarkan telur melainkan mikrofilaria (larva cacing), dan ditularkan oleh Arthropoda (nyamuk).
-          Mikrofilaria mempunyai periodisitas tertentu, Artinya mikrofilaria berada di darah tepipada waktu-waktu tertentu saja. Misalnya pada W. bancrofti bersifat periodik nokturnal, artinya mikrofilaria banyak terdapat di dalam darah tepi pada malam hari, sedangkan pada siang hari banyak terdapat di kapiler organ dalam seperti jantung dan ginjal (periodik diurnal). Varian subperiodik baik nokturnal maupun diurnal dijumpai pada filaria limfatik Wuchereria dan Brugia. Periodisitas mikrofilaria berpengaruh terhadap risiko penularan filarial (Depkes RI, 2009)
-          Daerah endemis filariasis pada umumnya adalah daerah dataran rendah, terutama di pedesaan, pantai, pedalaman, persawahan, rawa-rawa dan hutan.
-          Secara umum, filariasis W. bancrofti tersebar di Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Papua.
-          W. bancrofti tipe pedesaan masih banyak ditemukan di Papua, Nusa Tenggara Timur, sedangkan W. bancrofti tipe perkotaan banyak ditemukan di kota seperti di Bekasi, Tangerang, Pekalongan dan Lebak.
-          B. malayi tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan beberapa pulau di Maluku.
-          B. timori terdapat di kepulauan Flores, Alor, Rote, Timor danSumba, umumnya endemik di daerah persawahan (Ahmad WP, 2000)

4.       Pathofisiology dan Pathology Filariasis
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Departemen Kesehatan Republik Indonesia, gejala penyakit kaki gajah (filariasis) yang biasanya muncul adalah demam berulang-ulang selama 3-5 hari. Terjadi pembengkakan kelenjar getah bening tanpa luka di daerah lipatan paha, ketiak, dan tampak kemerahan. Kelenjar getah bening dapat pecah dan mengeluarkan nanah serta darah. Sasaran penyakit ini juga dapat terjadi pada pembebasaran tungkai, lengan, Glandula Mamae, dan Scrotum.
Gejala penyakit ini cukup sulit untuk dideteksi karena perjalanan penyakit yang tidak jelas dari satu stadium ke stadium berikutnya. Tetapi, Liliana Kurniawan,seorang peneliti penyakit menular dari Departemen Kesehatan RI, menjelaskan gejala penyakit kaki gajah dapat dibagi menjadi empat fase apabila diurut dari masa inkubasi.
Masa inkubasi tersebut yaitu:
a.       Masa prepaten : Masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya mikrofilaremia berkisar antara 3-7 bulan. Pada masa ini gejala-gejala klinis yang ditimbulkan belum terdeteksi.
b.      Masa inkubasi : Masa antara masuknya larva infektif sampai terjadinya gejala klinis berkisar antara 8-16 bulan.
Pathology dari filariasis pada lymph adalah hasil dari kerusakan inflamasi pada lymph yang dirusak oleh cacing dewasa (macrofilaria) bukan microfilaria. Empat factor pathogenesis nya adalah kehidupan dari cacing dewasa, respon inflamasi karena tubuh cacing dewasa yang mati, microfilaria, dan infeksi sekunder.
Pembengkakan pada pembuluh limfe ini karena menjadi tempat tinggal para cacing dewasa yaitu di limfe afferent dan sinus-nya. Pembuluh limfe akan mengalami kerusakan dan katup katup nya menjadi kurang kuat karena infiltrasi sel plasma, eosinphil, dan macrofag disertai terjadi respon inflamasi di sekitarnya, bersamaan dengan proliferasi sel endotel dan jaringan penunjang. Cacing yang dewasa ini melepaskan toxic yang menyebabkan lymphangiectasia. Dilatasi dari pembuluh ini membuat dysfunction dan pada keadaan kronis dapat menyebabkan lymphatic filariasis, lymphoedema, dan hydrocele.
Pada saat cacing cacing dewasa mati, membuat radang akut pada pembuluh limfe ini, dan terjadi penyumbatan setelah mereka mati dan menyebabkan infeksi sekunder. Dan dipercaya juga menyebabkan granulomatosa dan fibrosis jadilah elephantiasis.

5.       Prognosis & Komplikasi
Gejala klinis Akut merupakan limfadenitis dan limfangitis (peradangan kelenjar getah bening) disertai panas dan malaise. Kelanjar yang terkena biasanya unilateral.
        Filariasis brancofti Pembuluh limfe alat kelamin laki-laki sering terkena disusul funikulitis, epididimitis, dan orchitis. Umumnya sembuh dalam 3-15 hari dan serangan terjadi beberapa kali dalam setahun.
Filariasis brugia Pembuluh limfe menjadi keras dan nyeri dan sering terjadi limfedema pada pergelangan kaki dan kaki. Serangan dapat terjadi 1-2 kali per tahun sampai beberapa kali per bulan. Kelenjar limfe yang terkena dapat menjadi abses, memecah, membentuk ulkus dan meninggalkan parut yang khas, setelah 3 minggu-3 bulan.
Gejala Menahun terjadi 10-15 tahun setelah serangan akut pertama. Gejala yang ditimbulkan biasanya elephantiasis (penebalan kulit dan jaringan-jaringan di bawahnya). Elephantiasis biasanya menyerang bagian bawah tubuh, namun hal ini juga tergantung pada species filaria. W. bancrofti dapat menyerang kaki, tangan, vulva, dada, sedangkan Brugia timori jarang menyerang bagian kelamin. Infeksi oleh Onchocerca volvulus dan migrasi microfilariae lewat kornea adalah salah satu penyebab kebutaan (Onchocerciasis). Gejala menahun ini dapat menyebabkan terjadinya cacat yang mengganggu aktivitas penderita serta membebani keluarganya.
Menurut Rita Marleta, seorang peneliti penyakit menular dari Badan Litbang Kesehatan, seseorang dinyatakan menderita kaki gajah jika dalam darah ditemukan mikrofilaria. Mengingat gejala yang ditimbulkan cukup sulit dideteksi dan mikrofilaria kaki gajah terdapat dalam darah, maka deteksi penyakit ini harus dilakukan di laboratorium melalui pemeriksaan darah. Pemeriksaan darah dilakukan pada malam hari sebab sifat filariasis pergerakan dalam tubuh hanya pada malam hari.
Berdasarkan dari teori-teori beberapa pakar, gejala yang ditimbulkan oleh filariasis bertahap dan menahun. Gejala yang ditimbulkan disesuaikan dengan masa inkubasi mikrofilaria. Untuk mengetahui seseorang menderita penyakit filiriasis atau tidak, dapat dilakukan pemeriksaan darah. Jika pemeriksaan darah menunjukkan terdapat mikrofilaria di dalam darah maka penderita dapat dipastikan menderita penyakit kaki gajah (elephantiasis).

Sumber :
·         MISC 2012
·         Kuliah dr Tri Wulandari
·         Medscape
·         CDC

Tidak ada komentar:

Posting Komentar