Senin, 23 Desember 2013

Skenario 5 Part 1 Blok 9



Akut Abdomen

Berikut dibahas beberapa differensial diagnosis untuk nyeri abdomen kuadran kanan bawah:
1.       Apendisitis Akut
Patogenesis. Berdasarkan studi baru-baru ini, adanya ulserasi mukosa apendiks merupakan peristiwa awal kasus apendisitis akut. Penyebab ulserasi sendiri belum diketahui pasti, namun kemungkinan disebabkan oleh virus, mungkin juga disebabkan oleh infeksi kuman Yersinia. Akan tetapi sampai saat ini belum diketahui pasti apakah reaksi radang yang menyertai ulserasi cukup membuat obstruksi pada lumen apendiks. Bila ada obstruksi, penyebab tersering adalah fekolith, yang disebabkan oleh kumpulan dan pengeringan bahan feses. Pembesaran folikel limfois berkaitan dengan infeksi virus (misalnya campak), pengeringan barium, cacing (misalnya, cacing gelang, Ascaris dan Taenia), dan tumor juga dapat menyumbat lumen apendiks. Adanya peradangan menyebabkan peningkatan sekresi mukus pada lumen apendiks sehingga mengembangkan lumen apendiks yang seharusnya lumen hanya dapat menampung 0,1-0,2 ml mukus, dan terjadilah peningkatan tekanan intraluminal sebesar 60 cmH2O. Bakteri dalam lumen apendiks berkembang dan menginvasi dinding apendiks sejalan dengan terjadinya  pembesaran vena dan kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi, akhirnya terjadi ganggren dan perforasi. Bila proses itu berjalan lambat, organ berdekatan seperti ileum terminal, sekum dan omentum dapat menyelimuti daerah apendiks sehingga timbul abses lokal,sedangkan gangguan vaskuler yang berkembang cepat dapat menyebabkan perforasi yang berhubungan langsung dengan rongga peritoneum. Selanjutnya ruptur abses apendisitis primer dapat menimbulkan fistula antara apendiks dengan kandung kemih, usus halus, sigmoid, atau sekum.
Manifestasi Klinis. Gejala awal hampir selalu berupa nyeri abdomen jenis viseral, yang disebabkan oleh kontraksi apendiks atau distensi lumen apendiks. Nyeri ini ringan dan dapat tidak terasa oleh seseorang yang tahan sakit atau orang yang sedang tidur. Nyeri biasanya terletak di daerah periumbilikus atau epigastrium. Sering muncul keinginan untuk defekasi atau flatus. Sejalan dengan menyebarnya proses inflamasi ke permukaan peritoneum parietal, nyeri menjadi somatik, menetap dan lebih berat serta berlokasi di kuadran kanan bawah. Timbul pula gejala anoreksia, mual dan muntah.  Munculnya gejala yang berhubungan dengan buang air besar dan kecil disebabkan oleh peradangan apendiks yang mendekati organ berkaitan. Radang apendiks yang mendekati colon sigmoid dapat menimbulkan diare. Jika apendiks letaknya dekan dengan kandung kemih dan ureter kanan dapat menyebabkan gangguan pada frekuensi berkemih dan ditemukannya sel darah pada urin penderita. Diagnosis apendisitis tak dapat ditegakkan jika tak ditemukannya nyeri tekan. Meskipun nyeri tekan ini dapat tidak ditemukan pada awal penyakit, namun pada akhirnya dapat terasa nyeri tekan dimana saja letak apendiks. Terkadang nyeri tekan dapat sama sekali tak teraba jika posisi apendiks retrosekal atau pelvinal, pada kasus tersebut satu-satunya temuan fisik yang mungkin adalah nyeri panggul. Hiperestesia pada kulit perut kuadran kanan bawah dan tanda psoas atau obturator yang positif sering ditemukan terakhir. Suhu badan biasanya normal, atau ringan (37,2O-38OC), namun suhu badan diatas 38,3OC hendaknya selalu memberi kesan timbulnya perforasi. Takikardi juga dapat terjadi sepadan dengan peningkatan suhu. Pemeriksaan laboratorium yang berhubungan yaitu pemeriksaan darah. Mungkin terjadi leukositosis sedang dengan jumlah sel 10.000-18.000 per mikrometer, namun bisa juga tidak terjadi leukositosis. Apabila sel darah putih mencapai angka 20.000 sel permikrometer mengindikasikan terjadinya perforasi. Adanya anemia dan daraf dalam feses memberi kesan diagnosis karsinoma sekum primer. Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk membuang kemungkinan gangguan urogenital yang menyerupai apendisitis. Pemeriksaan sinar-X sedikit sekali nilainya kecuali bila ditemukan suatu fekolit yang opak pada kuadran kanan bawah. Diagnosis juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ultrasonografi yang memperlihatkan apendiks yang membesar dengan dindingnya yang tipis. Pemeriksaan ini juga dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis kista ovarium, kehamilan ektopik, atau abses tuboovarium.
Terapi. Bila dicurigai apendisitis, hindari pemakaian katartik dan enema, dan antibiotik sebaiknya jangan diberikan bila diagnosis masih diragukan. Pengobatannya adalah operasi sedini mungkin.

2.       Kehamilan ektopik

Kehamilan ektopik adalah setiap kehamilan yang terjadi di luar kavum uteri.  Kehamilan ektopik merupakan keadaanemergensi yang menjadi penyebab  kematian maternal selama kehamilan trimester pertama.  Tempat  tersering  mengalami implantasi ekstrauteri adalah pada tuba Falopii (95%). Secara endokrinologis tuba dipengaruhi hormon steroid ovarium, yaitu yang paling menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4). Hormon steroid ovarium ini mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui  perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik, perubahan dalam sintesis  prostaglandin, dan pengaruh langsung pada myosalping.  Nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan tanda dan gejalaklinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Meskipun gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam komplikasi pada awal kehamilan, seperti ancaman keguguran, dan dapat juga merupakan akibat dari keadaan yang tidak berhubungan tetapi terjadi bersamaan, seperti iritasi serviks, infeksi atau trauma. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu spesifik atau juga sensitif. Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan pemeriksaan fisik.
Diagnosis. Saat ini telah dikembangkan pemeriksaan kehamilan yang sensitif dalam mendiagnosis kehamilan ektopik. Ada tiga hormon protein yang dapat dipakai untuk mendeteksi suatu kehamilan dan dapat dipakai dalam mendiagnosis suatu kehamilan ektopik. Dalam hal ini sensitivitas menjadi satu hal yang lebih diperhatikan karena jaringan  trofobalstik yang ektopik diketahui mensekresikan sedikit hCG. Pengembangan selanjutnya lebih ditujukan pada pendeteksian kadar hCG baik dalam urin atau serum. Beberapa teknik pemeriksaan kehamilan yang telah berkembang adalah bioassay, metoda imunologi, RIA, RRA, dan ELISA. Kombinasi pemeriksaan kehamilan dengan ultrasonografi memberikan nilai diagnostik yang tinggi sehingga diagnosis suatu kehamilan ektopik dapat cepaat ditegakkan. Saat ini dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan USG transvaginal memudahkan kita untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Dengan diagnosis dini tersebut maka penatalaksanaan kehamilan ektopik telah bergeser dari mengurangi mortalitas menjadi mengurangi morbiditas dan mempertahankan fertilitas. Diagnosis dini ini memungkinkan kita melakukan penatalaksanaan ekspektatif atau pembedahan konservatif pada pasien dengan kehamilan ektopik yang belum terganggu. Dalam hal ini kemoterapi dengan methotrexate menjadi pilihan terapiuntuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
Penatalaksanaan
A. Pembedahan
Pembedahan  merupakan  penatalaksanaan  primer  pada  kehamilan  ektopik terutama pada KET dimana terjadi  abortus atau ruptur pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiridapat dibagi atas dua yaitu pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua kemungkinan prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau 2. reseksi segmental.Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada tuba.
1.  Salpingotomi linier
Tindakan ini merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada kehamilan tuba yangbelum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi pada 2/3 bagian luar dari tuba.  Prosedur ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu insisi linier kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi kemudian diperlebar melalui dinding
antimesenterika hingga memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati diusahakan dilakukan pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan trofoblas dalam jumlah yang cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan pengeluaran produk kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hatihati dengan menggunakan sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila perlu, hindari jangan sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas yang ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada mukosa.  Hemostasis yang komplit pada mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi intralumen. Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan harus diperhatikan hanya dilakukanuntuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa jangan ada sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena sedikit saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti dengan terjadinya perlengketan.
2. Reseksi segmental
Reseksi segmental dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu alternatif dari salpingotomi.Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi berikutnya. Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini baik dilakukan dengan mengunaka loupe magnificationatau mikroskop. Penting sekali jangan sampai terjadi trauma pada pembuluh darah tuba. Hanya pasien dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini. Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan dengan hatihati untuk menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan seromuskuler dilakukan dengan menggunakan mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau 7-0, dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan.
 3. Salpingektomi
Salpingektomi  total  diperlukan  apabila  satu  kehamilan  tuba mengalami ruptur, karena perdarahanintraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi. Hemoperitoniumj yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis kardiopulmunonal yang serius. Insisi  suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan , dan tuba yang meregang diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly
sedekat mungkin dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada myometriumdi daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan matras angka delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk menutup myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus dengan menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum latum.
B.  Medisinalis
Saat  ini  dengan  adanya  tes kehamilan yang sensitif dan ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita  untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan dariditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan medisinalis memiliki keuntumngan yaitu kurang invasif, menghilangkan risiko pembedahan dan anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan mengurangi  biaya serta memperpendek waktu penyembuhan. Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate (MTX). Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX dapat secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan panduan USG atau laparoskopi. Efek sampingyang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang tinggi akan menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum tulang, nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis, pneumonitis, dan hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis, gastritis, pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara. Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut. Regimen yang dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX 50 mg/m2 luas permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar hCG, fungsi hepar, kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval setiap minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2kedua. Stoval dan Ling pada tahun 1993 melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB. Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen, FHB (+).

digilib.unsri.ac.id/.../Kehamilan%20Ektopik.pdf

author: stella

Tidak ada komentar:

Posting Komentar