Akut Abdomen
Berikut dibahas beberapa differensial diagnosis untuk nyeri
abdomen kuadran kanan bawah:
1.
Apendisitis Akut
Patogenesis. Berdasarkan studi
baru-baru ini, adanya ulserasi mukosa apendiks merupakan peristiwa awal kasus
apendisitis akut. Penyebab ulserasi sendiri belum diketahui pasti, namun
kemungkinan disebabkan oleh virus, mungkin juga disebabkan oleh infeksi kuman Yersinia. Akan tetapi sampai saat ini
belum diketahui pasti apakah reaksi radang yang menyertai ulserasi cukup
membuat obstruksi pada lumen apendiks. Bila ada obstruksi, penyebab tersering
adalah fekolith, yang disebabkan oleh kumpulan dan pengeringan bahan feses.
Pembesaran folikel limfois berkaitan dengan infeksi virus (misalnya campak),
pengeringan barium, cacing (misalnya, cacing gelang, Ascaris dan Taenia), dan
tumor juga dapat menyumbat lumen apendiks. Adanya peradangan menyebabkan
peningkatan sekresi mukus pada lumen apendiks sehingga mengembangkan lumen
apendiks yang seharusnya lumen hanya dapat menampung 0,1-0,2 ml mukus, dan
terjadilah peningkatan tekanan intraluminal sebesar 60 cmH2O.
Bakteri dalam lumen apendiks berkembang dan menginvasi dinding apendiks sejalan
dengan terjadinya pembesaran vena dan
kemudian terganggunya arteri akibat tekanan intraluminal yang tinggi, akhirnya
terjadi ganggren dan perforasi. Bila proses itu berjalan lambat, organ
berdekatan seperti ileum terminal, sekum dan omentum dapat menyelimuti daerah
apendiks sehingga timbul abses lokal,sedangkan gangguan vaskuler yang
berkembang cepat dapat menyebabkan perforasi yang berhubungan langsung dengan
rongga peritoneum. Selanjutnya ruptur abses apendisitis primer dapat
menimbulkan fistula antara apendiks dengan kandung kemih, usus halus, sigmoid,
atau sekum.
Manifestasi Klinis. Gejala awal hampir
selalu berupa nyeri abdomen jenis viseral, yang disebabkan oleh kontraksi
apendiks atau distensi lumen apendiks. Nyeri ini ringan dan dapat tidak terasa
oleh seseorang yang tahan sakit atau orang yang sedang tidur. Nyeri biasanya
terletak di daerah periumbilikus atau epigastrium. Sering muncul keinginan
untuk defekasi atau flatus. Sejalan dengan menyebarnya proses inflamasi ke
permukaan peritoneum parietal, nyeri menjadi somatik, menetap dan lebih berat
serta berlokasi di kuadran kanan bawah. Timbul pula gejala anoreksia, mual dan
muntah. Munculnya gejala yang
berhubungan dengan buang air besar dan kecil disebabkan oleh peradangan
apendiks yang mendekati organ berkaitan. Radang apendiks yang mendekati colon
sigmoid dapat menimbulkan diare. Jika apendiks letaknya dekan dengan kandung
kemih dan ureter kanan dapat menyebabkan gangguan pada frekuensi berkemih dan
ditemukannya sel darah pada urin penderita. Diagnosis
apendisitis tak dapat ditegakkan jika tak ditemukannya nyeri tekan.
Meskipun nyeri tekan ini dapat tidak ditemukan pada awal penyakit, namun pada
akhirnya dapat terasa nyeri tekan dimana saja letak apendiks. Terkadang nyeri
tekan dapat sama sekali tak teraba jika posisi apendiks retrosekal atau
pelvinal, pada kasus tersebut satu-satunya temuan fisik yang mungkin adalah
nyeri panggul. Hiperestesia pada kulit perut kuadran kanan bawah dan tanda
psoas atau obturator yang positif sering ditemukan terakhir. Suhu badan
biasanya normal, atau ringan (37,2O-38OC), namun suhu
badan diatas 38,3OC hendaknya selalu memberi kesan timbulnya
perforasi. Takikardi juga dapat terjadi sepadan dengan peningkatan suhu.
Pemeriksaan laboratorium yang berhubungan yaitu pemeriksaan darah. Mungkin
terjadi leukositosis sedang dengan jumlah sel 10.000-18.000 per mikrometer,
namun bisa juga tidak terjadi leukositosis. Apabila sel darah putih mencapai
angka 20.000 sel permikrometer mengindikasikan terjadinya perforasi. Adanya
anemia dan daraf dalam feses memberi kesan diagnosis karsinoma sekum primer.
Pemeriksaan urinalisis diperlukan untuk membuang kemungkinan gangguan
urogenital yang menyerupai apendisitis. Pemeriksaan sinar-X sedikit sekali
nilainya kecuali bila ditemukan suatu fekolit yang opak pada kuadran kanan
bawah. Diagnosis juga dapat ditegakkan melalui pemeriksaan ultrasonografi yang
memperlihatkan apendiks yang membesar dengan dindingnya yang tipis. Pemeriksaan
ini juga dapat digunakan untuk menyingkirkan diagnosis kista ovarium, kehamilan
ektopik, atau abses tuboovarium.
Terapi. Bila dicurigai apendisitis,
hindari pemakaian katartik dan enema, dan antibiotik sebaiknya jangan diberikan
bila diagnosis masih diragukan. Pengobatannya adalah operasi sedini mungkin.
2.
Kehamilan
ektopik
Kehamilan ektopik adalah setiap kehamilan yang terjadi
di luar kavum uteri. Kehamilan ektopik
merupakan keadaanemergensi yang menjadi penyebab kematian maternal selama kehamilan trimester
pertama. Tempat tersering
mengalami implantasi ekstrauteri adalah pada tuba Falopii (95%). Secara
endokrinologis tuba dipengaruhi hormon steroid ovarium, yaitu yang paling
menonjol adalah estradiol (E2) dan progesteron (P4). Hormon steroid ovarium ini
mempengaruhi otot-otot polos tuba melalui
perubahan-perubahan pada aktivitas adrenergik, perubahan dalam
sintesis prostaglandin, dan pengaruh
langsung pada myosalping. Nyeri
abdominal dan perdarahan pervaginam pada trimester pertama kehamilan merupakan
tanda dan gejalaklinis yang mengarah ke diagnosis kehamilan ektopik. Meskipun
gejala-gejala ini umumnya ditemukan dalam komplikasi pada awal kehamilan,
seperti ancaman keguguran, dan dapat juga merupakan akibat dari keadaan yang
tidak berhubungan tetapi terjadi bersamaan, seperti iritasi serviks, infeksi atau
trauma. Gejala-gejala nyeri abdominal dan perdarahan pervaginam tidak terlalu
spesifik atau juga sensitif. Kehamilan ektopik yang belum terganggu tidak dapat
didiagnosis secara tepat semata-mata atas adanya gejala-gejala klinis dan
pemeriksaan fisik.
Diagnosis.
Saat ini telah dikembangkan pemeriksaan kehamilan yang sensitif dalam
mendiagnosis kehamilan ektopik. Ada tiga hormon protein yang dapat dipakai
untuk mendeteksi suatu kehamilan dan dapat dipakai dalam mendiagnosis suatu
kehamilan ektopik. Dalam hal ini sensitivitas menjadi satu hal yang lebih
diperhatikan karena jaringan
trofobalstik yang ektopik diketahui mensekresikan sedikit hCG.
Pengembangan selanjutnya lebih ditujukan pada pendeteksian kadar hCG baik dalam
urin atau serum. Beberapa teknik pemeriksaan kehamilan yang telah berkembang
adalah bioassay, metoda imunologi, RIA, RRA, dan ELISA. Kombinasi pemeriksaan
kehamilan dengan ultrasonografi memberikan nilai diagnostik yang tinggi
sehingga diagnosis suatu kehamilan ektopik dapat cepaat ditegakkan. Saat ini
dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan USG transvaginal memudahkan kita
untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Dengan diagnosis dini
tersebut maka penatalaksanaan kehamilan ektopik telah bergeser dari mengurangi
mortalitas menjadi mengurangi morbiditas dan mempertahankan fertilitas.
Diagnosis dini ini memungkinkan kita melakukan penatalaksanaan ekspektatif atau
pembedahan konservatif pada pasien dengan kehamilan ektopik yang belum
terganggu. Dalam hal ini kemoterapi dengan methotrexate menjadi pilihan
terapiuntuk kehamilan ektopik yang belum terganggu.
Penatalaksanaan
A. Pembedahan
Pembedahan merupakan
penatalaksanaan primer pada
kehamilan ektopik terutama pada
KET dimana terjadi abortus atau ruptur
pada tuba. Penatalaksanaan pembedahan sendiridapat dibagi atas dua yaitu
pembedahan konservatif dan radikal. Pembedahan konservatif terutama ditujukan
pada kehamilan ektopik yang mengalami ruptur pada tubanya. Ada dua kemungkinan
prosedur yang dapat dilakukan yaitu: 1. salpingotomi linier, atau 2. reseksi
segmental.Pendekatan dengan pembedahan konservatif ini mungkin dilakukan apabila
diagnosis kehamilan ektopik cepat ditegakkan sehingga belum terjadi ruptur pada
tuba.
1. Salpingotomi linier
Tindakan ini
merupakan suatu prosedur pembedahan yang ideal dilakukan pada kehamilan tuba
yangbelum mengalami ruptur. Karena lebih dari 75% kehamilan ektopik terjadi
pada 2/3 bagian luar dari tuba. Prosedur
ini dimulai dengan menampakkan, mengangkat, dan menstabilisasi tuba. Satu
insisi linier kemudian dibuat diatas segmen tuba yang meregang. Insisi kemudian
diperlebar melalui dinding
antimesenterika
hingga memasuki ke dalam lumen dari tuba yang meregang. Tekanan yang hati-hati
diusahakan dilakukan pada sisi yang berlawanan dari tuba, produk kehamilan
dikeluarkan dengan hati-hati dari dalam lumen. Biasanya terjadi pemisahan
trofoblas dalam jumlah yang cukup besar maka secara umum mudah untuk melakukan
pengeluaran produk kehamilan ini dari lumen tuba. Tarikan yang hatihati dengan
menggunakan sedotan atau dengan menggunakan gigi forsep dapat digunakan bila
perlu, hindari jangan sampai terjadi trauma pada mukosa. Setiap sisa trofoblas
yang ada harus dibersihkan dengan melakukan irigasi pada lumen dengan menggunakan
cairan ringer laktat yang hangat untuk mencegah kerusakan lebih jauh pada
mukosa. Hemostasis yang komplit pada
mukosa tuba harus dilakukan, karena kegagalan pada tindakan ini akan
menyebabkan perdarahan postoperasi yang akan membawa pada terjadinya adhesi
intralumen. Batas mukosa kemudian ditutup dengan jahitan terputus, jahitan
harus diperhatikan hanya dilakukanuntuk mendekatkan lapisan serosa dan lapisan
otot dan tidak ada tegangan yang berlebihan. Perlu juga diperhatikan bahwa
jangan ada sisa material benang yang tertinggal pada permukaan mukosa, karena
sedikit saja dapat menimbulkan reaksi peradangan sekunder yang diikuti dengan
terjadinya perlengketan.
2. Reseksi
segmental
Reseksi segmental
dan reanastomosis end to end telah diajukan sebagai satu alternatif dari
salpingotomi.Prosedur ini dilakukan dengan mengangkat bagian implantasi, jadi
prosedur ini tidak dapat melibatkan kehamilan tuba yang terjadi berikutnya.
Tujuan lainnya adalah dengan merestorasi arsitektur normal tuba. Prosedur ini
baik dilakukan dengan mengunaka loupe magnificationatau mikroskop. Penting
sekali jangan sampai terjadi trauma pada pembuluh darah tuba. Hanya pasien
dengan perdarahan yang sedikit dipertimbangkan untuk menjalani prosedur ini.
Mesosalping yang berdekatan harus diinsisi dan dipisahkan dengan hatihati untuk
menghindari terbentuknya hematom pada ligamentum latum. Jahitan seromuskuler
dilakukan dengan menggunakan mikroskop/loupe. Dengan benang absorbable 6-0 atau
7-0, dan lapisan serosa ditunjang dengan jahitan terputus tambahan.
3. Salpingektomi
Salpingektomi total
diperlukan apabila satu
kehamilan tuba mengalami ruptur,
karena perdarahanintraabdominal akan terjadi dan harus segera diatasi.
Hemoperitoniumj yang luas akan menempatkan pasien pada keadaan krisis
kardiopulmunonal yang serius. Insisi
suprapubik Pfannenstiel dapat digunakan , dan tuba yang meregang
diangkat. Mesosalping diklem berjejer dengan klem Kelly
sedekat mungkin
dengan tuba. Tuba kemudian dieksisi dengan memotong irisan kecil pada myometriumdi
daerah cornu uteri, hindari insisi yang terlalu dalam ke myometrium. Jahitan
matras angka delapan dengan benang absorable 0 digunakan untuk menutup
myometrium pada sisi reseksi baji. Mesosalping ditutup dengan jahitan terputus
dengan menggunakan benang absorbable. Hemostasis yang komplit sangat penting
untuk mencegah terjadinya hematom pada ligamentum latum.
B. Medisinalis
Saat ini
dengan adanya tes kehamilan yang sensitif dan
ultrasonografi transvaginal, memungkinkan kita
untuk membuat diagnosis kehamilan ektopik secara dini. Keuntungan
dariditegakkannya diagnosis kehamilan ektopik secara dini adalah bahwa
penatalaksanaan secara medisinalis dapat dilakukan. Penatalaksanaan medisinalis
memiliki keuntumngan yaitu kurang invasif, menghilangkan risiko pembedahan dan
anestesi, mempertahankan fungsi fertilitas dan mengurangi biaya serta memperpendek waktu penyembuhan.
Terapi medisinalis yang utama pada kehamilan ektopik adalah methotrexate (MTX).
Methotrexate merupakan analog asam folat yang akan mempengaruhi sintesis DNA
dan multiplikasi sel dengan cara menginhibisi kerja enzim Dihydrofolate
reduktase. MTX ini akan menghentikan proliferasi trofoblas. Pemberian MTX dapat
secara oral, sistemik iv,im) atau injeksi lokal dengan panduan USG atau laparoskopi.
Efek sampingyang timbul tergantung dosis yang diberikan. Dosis yang tinggi akan
menyebabkan enteritis hemoragik dan perforasi usus, supresi sumsum tulang,
nefrotoksik, disfungsi hepar permanen, alopesia, dermatitis, pneumonitis, dan
hipersensitivitas. Pada dosis rendah akan menimbulkan dermatitis, gastritis,
pleuritis, disfungsi hepar reversibel, supresi sumsum tulang sementara.
Pemberian MTX biasanya disertai pemberian folinic acid (leucovorin calcium atau
citroforum factor) yaitu zat yang mirip asam folat namun tidak tergantung pada
enzim dihydrofolat reduktase. Pemberian folinic acid ini akan menyelamatkan
sel-sel normal dan mengurangi efek MTX pada sel-sel tersebut. Regimen yang
dipakai saat ini adalah dengan pemberian dosis tungal MTX 50 mg/m2 luas
permukaan tubuh. Sebelumnya penderita diperikasa dulu kadar hCG, fungsi hepar,
kreatinin, golongan darah. Pada hari ke-4 dan ke-7 setelah pemberian MTX kadar
hCG diperiksa kembali. Bila kadar hCG berkurang 15% atau lebih, dari kadar yang
diperiksa pada hari ke-4 maka mTX tidak diberikan lagi dan kadar hCG diperiksa
setiap minggu sampai hasilnya negatif atau evaluasi dapat dilakukan dengan
menggunakan USG transvaginal setiap minggu. Bila kadar hCG tidak berkurang atau
sebaliknya meningkat dibandingkan kadar hari ke-4 atau menetap selama interval
setiap minggunya, maka diberikan MTX 50 mg/m2kedua. Stoval dan Ling pada tahun
1993 melaporkan keberhasilan metoda ini sebesar 94,3%. Selain dengan dosis
tunggal, dapat juga diberikan multidosis sampai empat dosis atau kombinasi
dengan leucovorin 0,1 mg/kgBB. Kontraindikasi pemberian MTX absolut adalah
ruptur tuba, adanya penyakit ginjal atau hepar yang aktif. Sedangkan
kontraindikasi relatif adalah nyeri abdomen, FHB (+).
digilib.unsri.ac.id/.../Kehamilan%20Ektopik.pdf
author: stella
Tidak ada komentar:
Posting Komentar