Kamis, 28 November 2013

SKENARIO 1 PART 2 BLOK 9



BLOK 9 Skenario 1 part 2
GERD (Gastro Esofageal Reflux Disease)
DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan diagnosis GERD, yaitu:
Endoskopi saluran cerna bagian atas. Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien  dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut sebagai non-erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi (biopsi), dapat mengkorfimasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi tersebut disebabkan oleh GERD .
Pemeriksaan histopatologi juga dapat memastikan adanya Barret’s esophagus, dysplasia atau keganasan.Tidak ada bukti yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.
Tabel klasifikasi Los Angeles
Derajat Kerusakan
Gambaran Endoskopi
A
Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan diameter < 5 mm
B
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter > 5mm tanpa saling berbuhungan
C
Lesi yang konfluen tetapi tidak mengenal/mengelilingi seluruh lumen
D
Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial (mengelilingi seluruh lumen esophagus)

Esofagografi dengan barium.Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus esofagitis ringan.Pada kedaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen.Walaupun pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi yaitu pada 1) stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala disfagia. 2) hiatus hernia.
Pemantauan PH 24 jam.Episode refluks gastroesofageal menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.Episode ini dapat dimonitor dan direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal dapat memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal.PH di bawah 4 pada jarak 5 cm di atas LES dianggap diagnostic untuk refluks gastroesofageal.
Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dalam satu jam. Tes ini bersifat pelengkap dalam monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas. Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami pasien, sedangkan larutan NaCl  tidak menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dinaggap positif. Test Bernstein yang negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
Manometri esophagus. Test manometri akan memberi manfaat yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrum dan regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang normal.
Sintigrafi esophageal.Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau campuran makanan cair dan padat yang dilabel dengan radio isotop yang tidak diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma counter) eksternal akan memonitor transit dari makanan/cairan yang dilabel tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih diragukan.
Tes penghambat pompa proton (proton pump inhibitor/ppi test/ (tes supresi asam) acid suppression test. Pada dasrnya test ini merupakan terapi empiric untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi. Selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang terjadi. Test ini terutama dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostic seperti endoskopi, pH metri,dll. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-70% gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan kesehatan lini pertama untuk pasien yang tidak disertai gejala-gejala alarm( yang dimaksud gejala alarm adalah berat badan turun, anemia, hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker esofagus/lambung) dan umur > 40 tahun.
PENATALAKSANAAN
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esophagus ataupun esophagus Barrett yang merupakan keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekuat.
Pada prinsipnya, penatalaksanaa GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah: a) menyembuhkan lesi esophagus. b) menghilangkan gejala/keluhan, c) mencegah kekambuhan, d) memperbaiki kualitas hidup, e) mencegah timbulnya komplikasi.
Modifikasi Gaya Hidup
Merupakan salah satu bagian dari penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.Walaupun belum ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, 2) berhenti merokok dan mengkonsumsi alcohol Karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara langsung mempengaruhi sel-sel epitel, 3) mengurangi konsumsi lemak serta mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan distensi lambung, 4) menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen, 5) menghindari makanan/minuman seperti coklat, the, peppermint, kopi dan minuman bersoda karena dapat menstimulasi  sekresi asam, 6) jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate, antagonis kalsium, agonist beta adrenergic, progesterone.
Terapi Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini.Dimulai dengan dasar pola piker bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas saluran cerna bagian atas.Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terpai medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan dimulai dengan obat-obatan yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan golongan obat penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih lama (penghambat pompa proton/PPI).Sedangkan pada pendekatan step down pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval statemen (1999) serta consensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan pendekatan terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di atas 80% dalam waktu 6-8 minggu. Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” ( on demand therapy) yaitu pemberian obat-obatan selama beberapa hari sampai 2 minggu jika ada kekambuhan sampai gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti  bahwa respons perbaikan gejala menunjukkan adanya perbaikan respons pada lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi gejala pada tatalaksana GERD.
Antacid.Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esophagitis.
Selain sebagi buffer dalam HCl, obat ini dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
Kelemahan golongan obat ini adalah: 1) rasanya kurang menyenangkan, 2) dapat menimbulkan diare terutama yang mengandung magnesium serta konstipasi terutama antacid yang mengandung alumunium, 3) penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi ginjal.
Dosis: sehari 4x 1 sendok makan
Antagonis reseptor H2 yang termasuk golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan nizatidin.Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2x lebih tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.
Golongan obat ini hanya efektif pada pengobatan esophagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Dosis pemberian:
·         Simetidin : 2x 800mg atau 4 x 400mg
·         Ranitidine : 4 x 150mg
·         Famotidine : 2 x 20mg
·         Nizatidin : 2 x 150mg
Obat-obatan prokinetik.Secara teoritisobat inipaling sesuai untuk pengobatan GERD Karen apenyakit ini dianggap lebih condong kea rah gangguan motilitas.Namun pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung pada penekanan sekresi asam.
Metaklopramid:
·         Obat ini bekerja sebagai antagonis reseptor dopamine
·         Efektivitasnya rendah dalam mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa proton.
·         Karena melalui sawar darah otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk, pusing, agitasi, tremor, dan diakinesia
·         Dosis: 3 x 10mg
Domperidon:
·         Golongan obat ini adalh antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang dibanding metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
·         Walaupun dalam efektivitasnya dalam dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta mempercepat pengosongan lambung.
·         Dosis: 3 x 10-20mg sehari
Cisapride:
·         Sebagai suatu antagonis reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung serta meningkatkan tonus LES
·         Efektivitasnya dalam menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik disbanding domperidon
·         Dosis 3x 10mg sehari
Sukralfat (almunium hidroksida + sukrosa oktasulfat).berbeda dengan antacid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung terhadap asam lambung.
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di esophagus serta dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan karena bekerja secara topical (sitoproteksi)
Dosis: 4 x 1 gram
Penghambat Pompa Proton (Proton Pump Inhibitor/PPI)
·         Golongan obat ini merupakan drug of choice dalam pengobatan GERD
·         Bekerja langsung dalam pompa proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung
·         Sangat efektif dalam menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esophagitis erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor H2.
·         dosis yang diberikan untuk GERD adalah dosis penuh, yaitu:
-          omeprazole : 2x 20mg
-          lansoprazole: 2 x 30mg
-          pantoprazole: 2 x 40mg
-          rabeprazole: 2 x 10mg
-          esomeprazole: 2 x 40mg
umumnya pengobatan diberikan selama 6-8 minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemelliharaan (maintenance therapy) selama 4 bulan atau on demand therapy, tergantung dari derajat esofagitisnya.
Efektivitas obat golongan ini semakin bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik
·         untuk golongan NERD diberikan dosis standar, yaitu:
-          omeprazole : 1 x 20mg
-          lansoprazole: 1 x 30mg
-          pantoprazole: 1 x 40mg
-          rabeprazole: 1 x 10mg
-          esomeprazole: 1 x 40mg
umumnya pengobatan ini diberikan selama minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on demand therapy.
Terdapat beberapa algoritme dalam penatalaksanaan GERD pada pelayan kesehatan lini pertama, salah satu diantaranya adalah yang direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2004)(Gambar di bawah)



Adapun algoritme penatalaksanaan GERD di pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnosis memadai terdapat pada Gambar di bawah
 




Terapi terhadap KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi adalah striktur dan pendarahan. Sebagai dampak adanya rangsangan kronik asam lambung  terhadap mukosa esophagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang metaplastik. Keadaan ini disebut sebagai esophagus Barret (Barret’s esophagus) dan merupakan suatu keadaan premaligna.Risiko terjadinya karsinoma pada Barret’s esophagus adalah sampai 30-40 kali dibandingkan populasi normal.
Striktur esophagus
Jika pasien mengeluh disfagia dengan diameter striktur kurang dari 13mm, dapat dilakukan dilatasi busi (Hurts bougie, Maloney bougie, Savarry bougie, Pneumatic bougie).Jika dilatasi bugi gagal, dapat dilakukan operasi.
Esophagus Barrett
Dapat diobati secara medikamentosa. Berikut ini adalah algoritme penatalaksanaan Barrett’s esophagus pada pasien GERD:
1)      Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa yaitu:
-          Diagnosis tidak benar
-          Pasien GERD sering disertai gejala-gejala lainseperti rasa kembung, cepat kenyang, dan mual-mual yang sering tidak memberikan respons dengan pengobatan PPI serta menutupi perbaikan gejala refluksnya
-          Pada beberapa pasien, diperlukan waktu yang lebih lama untuk menyembuhkan esofagitisnya
-          Kadang-kadang beberapa kasusu Barrett’s esophagus tidak memberikan respon terhadap terapi PPI. Begitu pula halnya dengan adenokarsinoma
-          Terjadi striktur
-          Terdapat statis lambung dan disfungsi LES
Terapi bedah merupakan terapi alternative yang penting jika terapi medikamentosa gagal, atau pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan adalah fundoplikasi
2)      Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih terbatas serta masih dalam konteks penelitian, akhir-akhir ini mulai dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu:
-          Penggunaan energi radiofrekuensi
-          Plikasi gastrik  endoluminal
-          Implantasi endoskopis, yaitu dengan menyuntikkan zat implant di bawah mukosa esophagus bagian distal, sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.
REFERENSI: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I Edisi V
Author: Lita



Tidak ada komentar:

Posting Komentar