BLOK
9 Skenario 1 part 2
GERD (Gastro
Esofageal Reflux Disease)
DIAGNOSIS
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik
yang seksama, beberapa pemeriksaan penunjang dapat dilakukan untuk menegakkan
diagnosis GERD, yaitu:
Endoskopi saluran cerna bagian atas.
Pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas merupakan standar baku untuk
diagnosis GERD dengan ditemukannya mucosal break di esophagus (esofagitis
refluks). Dengan melakukan pemeriksaan endoskopi dapat dinilai perubahan
makroskopik dari mukosa esophagus, serta dapat menyingkirkan keadaan patologis
lain yang dapat menimbulkan gejala GERD. Jika tidak ditemukan mucosal break
pada pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas pada pasien dengan gejala khas GERD, keadaan ini disebut
sebagai non-erosive reflux disease (NERD).
Ditemukannya kelainan esofagitis pada
pemeriksaan endoskopi yang dipastikan dengan pemeriksaan histopatologi
(biopsi), dapat mengkorfimasikan bahwa gejala heartburn atau regurgitasi
tersebut disebabkan oleh GERD .
Pemeriksaan histopatologi juga dapat
memastikan adanya Barret’s esophagus, dysplasia atau keganasan.Tidak ada bukti
yang mendukung perlunya pemeriksaan histopatologi/biopsy pada NERD.
Terdapat beberapa klasifikasi kelainan
esofagitis pada pemeriksaan endoskopi dari pasien GERD, antara lain klasifikasi
Los Angeles dan klasifikasi Savarry-Miller.
Tabel
klasifikasi Los Angeles
Derajat Kerusakan
|
Gambaran Endoskopi
|
A
|
Erosi kecil-kecil pada mukosa esophagus dengan
diameter < 5 mm
|
B
|
Erosi pada mukosa/lipatan mukosa dengan diameter >
5mm tanpa saling berbuhungan
|
C
|
Lesi yang konfluen tetapi tidak
mengenal/mengelilingi seluruh lumen
|
D
|
Lesi mukosa esophagus yang bersifat sirkumferensial
(mengelilingi seluruh lumen esophagus)
|
Esofagografi dengan barium.Dibandingkan dengan endoskopi, pemeriksaan
ini kurang peka dan seringkali tidak menunjukkan kelainan, terutama pada kasus
esofagitis ringan.Pada kedaan yang lebih berat, gambar radiologi dapat berupa
penebalan dinding dan lipatan mukosa, ulkus atau penyempitan lumen.Walaupun
pemeriksaan ini sangat tidak sensitive untuk diagnosis GERD, namun pada keadaan
tertentu pemeriksaan ini mempunyai nilai lebih dari endoskopi yaitu pada 1)
stenosis esophagus derajat ringan akibat esofagitis peptic dengan gejala
disfagia. 2) hiatus hernia.
Pemantauan PH 24 jam.Episode refluks gastroesofageal
menimbulkan asidifikasi bagian distal esophagus.Episode ini dapat dimonitor dan
direkam dengan menempatkan mikroelektroda pH pada bagian distal dapat
memastikan ada tidaknya refluks gastroesofageal.PH di bawah 4 pada jarak 5 cm
di atas LES dianggap diagnostic untuk refluks gastroesofageal.
Tes Bernstein. Tes ini mengukur sensitivitas mukosa
dengan memasang selang transnasal dan melakukan perfusi bagian distal esophagus
dengan HCl 0,1 M dalam waktu kurang dalam satu jam. Tes ini bersifat pelengkap
dalam monitoring pH 24 jam pada pasien-pasien dengan gejala yang tidak khas.
Bila larutan ini menimbulkan rasa nyeri dada seperti yang biasanya dialami
pasien, sedangkan larutan NaCl tidak
menimbulkan rasa nyeri, maka test ini dinaggap positif. Test Bernstein yang
negative tidak menyingkirkan adanya nyeri yang berasal dari esophagus.
Manometri esophagus. Test manometri akan memberi manfaat
yang berarti jika pada pasien-pasien dengan gejala nyeri epigastrum dan
regurgitasi yang nyata didapatkan esofagografi barium dan endoskopi yang
normal.
Sintigrafi esophageal.Pemeriksaan ini menggunakan cairan atau
campuran makanan cair dan padat yang dilabel dengan radio isotop yang tidak
diabsorpsi, biasanya technetium. Selanjutnya sebuah penghitung gamma (gamma
counter) eksternal akan memonitor transit dari makanan/cairan yang dilabel
tersebut. Sensitivitas dan spesifisitas test ini masih diragukan.
Tes penghambat pompa proton
(proton pump inhibitor/ppi test/ (tes supresi asam) acid suppression test. Pada dasrnya test ini merupakan terapi
empiric untuk menilai gejala dari GERD dengan memberikan PPI dosis tinggi.
Selama 1-2 minggu sambil melihat respons yang terjadi. Test ini terutama
dilakukan jika tidak tersedia modalitas diagnostic seperti endoskopi, pH
metri,dll. Test ini dianggap positif jika terdapat perbaikan dari 50%-70%
gejala yang terjadi. Dewasa ini terapi empiric/PPI test merupakan salah satu
langkah yang dianjurkan dalam algoritme tatalaksana GERD pada pelayanan
kesehatan lini pertama untuk pasien yang tidak disertai gejala-gejala alarm(
yang dimaksud gejala alarm adalah berat badan turun, anemia,
hematemesis/melena, disfagia, odinofagia, riwayat keluarga dengan kanker
esofagus/lambung) dan umur > 40 tahun.
PENATALAKSANAAN
Walaupun keadaan ini jarang sebagai
penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang
berupa ulserasi, striktur esophagus ataupun esophagus Barrett yang merupakan
keadaan premaligna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang
adekuat.
Pada prinsipnya, penatalaksanaa GERD
terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, terapi bedah serta
akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.
Target penatalaksanaan GERD adalah: a)
menyembuhkan lesi esophagus. b) menghilangkan gejala/keluhan, c) mencegah
kekambuhan, d) memperbaiki kualitas hidup, e) mencegah timbulnya komplikasi.
Modifikasi Gaya Hidup
Merupakan salah satu bagian dari
penatalaksanaan GERD, namun bukan merupakan pengobatan primer.Walaupun belum
ada studi yang dapat memperlihatkan kemaknaannya, namun pada dasarnya usaha ini
bertujuan untuk mengurangi frekuensi refluks serta mencegah kekambuhan.
Hal-hal yang perlu dilakukan adalah sebagai berikut: 1) meninggikan posisi kepala pada saat tidur serta menghindari
makan sebelum tidur dengan tujuan untuk meningkatkan bersihan asam selama tidur
serta mencegah refluks asam dari lambung ke esophagus, 2) berhenti merokok dan
mengkonsumsi alcohol Karena keduanya dapat menurunkan tonus LES sehingga secara
langsung mempengaruhi sel-sel epitel, 3) mengurangi konsumsi lemak serta
mengurangi jumlah makanan yang dimakan karena keduanya dapat menimbulkan
distensi lambung, 4) menurunkan berat badan pada pasien kegemukan serta
menghindari pakaian ketat sehingga dapat mengurangi tekanan intra abdomen, 5)
menghindari makanan/minuman seperti coklat, the, peppermint, kopi dan minuman
bersoda karena dapat menstimulasi
sekresi asam, 6) jika memungkinkan menghindari obat-obat yang dapat
menurunkan tonus LES seperti anti kolinergik, teofilin, diazepam, opiate,
antagonis kalsium, agonist beta adrenergic, progesterone.
Terapi Medikamentosa
Terdapat berbagai tahap perkembangan terapi
medikamentosa pada penatalaksanaan GERD ini.Dimulai dengan dasar pola piker
bahwa sampai saat ini GERD merupakan atau termasuk dalam kategori gangguan motilitas
saluran cerna bagian atas.Namun dalam perkembangannya sampai saat ini terbukti
bahwa terapi supresi asam lebih efektif daripada pemberian obat-obat prokinetik
untuk memperbaiki gangguan motilitas.
Terdapat dua alur pendekatan terpai
medikamentosa, yaitu step up dan step down. Pada pendekatan step up pengobatan
dimulai dengan obat-obatan yang tergolong kurang kuat dalam menekan sekresi
asam (antagonis reseptor H2) atau golongan prokinetik, bila gagal diberikan
golongan obat penekan sekresi asam yang lebih kuat dengan masa terapi lebih
lama (penghambat pompa proton/PPI).Sedangkan pada pendekatan step down
pengobatan dimulai dengan PPI dan setelah berhasil dapat dilanjutkan dengan
terapi pemeliharaan dengan menggunakan dosis yang lebih rendah atau antagonis
reseptor H2 atau prokinetik atau bahkan antacid.
Dari berbagai studi dilaporkan bahwa
pendekatan terapi step down ternyata lebih ekonomis (dalam segi biaya yang
dikeluarkan pasien) dibandingkan dengan pendekatan terapi step up.
Menurut Genval statemen (1999) serta
consensus Asia Pasifik tentang penatalaksanaan GERD (2003) telah disepakati
bahwa terapi lini pertama untuk GERD adalah golongan PPI dan digunakan
pendekatan terapi step down.
Pada umumnya studi pengobatan
memperlihatkan hasil tingkat kesembuhan di atas 80% dalam waktu 6-8 minggu.
Untuk selanjutnya dapat diteruskan dengan terapi pemeliharaan (maintenance
therapy) atau bahkan terapi “bila perlu” ( on demand therapy) yaitu pemberian
obat-obatan selama beberapa hari sampai 2 minggu jika ada kekambuhan sampai
gejala hilang.
Pada berbagai penelitian terbukti bahwa respons perbaikan gejala menunjukkan
adanya perbaikan respons pada lesi organiknya (perbaikan esofagitisnya). Hal
ini tampaknya lebih praktis bagi pasien dan cukup efektif dalam mengatasi
gejala pada tatalaksana GERD.
Antacid.Golongan obat ini cukup efektif dan aman dalam menghilangkan gejala
GERD tetapi tidak menyembuhkan lesi esophagitis.
Selain sebagi buffer dalam HCl, obat ini
dapat memperkuat tekanan sfingter esophagus bagian bawah.
Kelemahan golongan obat ini adalah: 1)
rasanya kurang menyenangkan, 2) dapat menimbulkan diare terutama yang
mengandung magnesium serta konstipasi terutama antacid yang mengandung
alumunium, 3) penggunaannya sangat terbatas pada pasien dengan gangguan fungsi
ginjal.
Dosis: sehari 4x 1 sendok makan
Antagonis reseptor H2 yang termasuk
golongan obat ini adalah simetidin, ranitidin, famotidine, dan
nizatidin.Sebagai penekan sekresi asam, golongan obat ini efektif dalam
pengobatan penyakit refluks gastroesofageal jika diberikan dosis 2x lebih
tinggi dan dosis untuk terapi ulkus.
Golongan obat ini hanya efektif pada
pengobatan esophagitis derajat ringan sampai sedang serta tanpa komplikasi.
Dosis pemberian:
·
Simetidin : 2x 800mg atau 4 x
400mg
·
Ranitidine : 4 x 150mg
·
Famotidine : 2 x 20mg
·
Nizatidin : 2 x 150mg
Obat-obatan prokinetik.Secara teoritisobat inipaling sesuai
untuk pengobatan GERD Karen apenyakit ini dianggap lebih condong kea rah
gangguan motilitas.Namun pada prakteknya, pengobatan GERD sangat bergantung
pada penekanan sekresi asam.
Metaklopramid:
·
Obat ini bekerja sebagai
antagonis reseptor dopamine
·
Efektivitasnya rendah dalam
mengurangi gejala serta tidak berperan dalam penyembuhan lesi di esophagus
kecuali dalam kombinasi dengan antagonis reseptor H2 atau penghambat pompa
proton.
·
Karena melalui sawar darah
otak, maka dapat tumbuh efek terhadap susunan saraf pusat berupa mengantuk,
pusing, agitasi, tremor, dan diakinesia
·
Dosis: 3 x 10mg
Domperidon:
·
Golongan obat ini adalh
antagonis reseptor dopamine dengan efek samping yang lebih jarang dibanding
metoklopramid karena tidak melalui sawar darah otak.
·
Walaupun dalam efektivitasnya
dalam dalam mengurangi keluhan dan penyembuhan lesi esophageal belum banyak
dilaporkan, golongan obat ini diketahui dapat meningkatkan tonus LES serta
mempercepat pengosongan lambung.
·
Dosis: 3 x 10-20mg sehari
Cisapride:
·
Sebagai suatu antagonis
reseptor 5 HT4, obat ini dapat mempercepat pengosongan lambung serta
meningkatkan tonus LES
·
Efektivitasnya dalam
menghilangkan gejala serta penyembuhan lesi esophagus lebih baik disbanding
domperidon
·
Dosis 3x 10mg sehari
Sukralfat (almunium hidroksida +
sukrosa oktasulfat).berbeda
dengan antacid dan penekan sekresi asam, obat ini tidak memiliki efek langsung
terhadap asam lambung.
Obat ini bekerja dengan cara meningkatkan
pertahanan mukosa esophagus, sebagai buffer terhadap HCl di esophagus serta
dapat mengikat pepsin dan garam empedu. Golongan obat ini cukup aman diberikan
karena bekerja secara topical (sitoproteksi)
Dosis: 4 x 1 gram
Penghambat Pompa Proton (Proton
Pump Inhibitor/PPI)
·
Golongan obat ini merupakan
drug of choice dalam pengobatan GERD
·
Bekerja langsung dalam pompa
proton sel parietal dengan mempengaruhi enzim H, K ATP-ase yang dianggap
sebagai tahap akhir proses pembentukan asam lambung
·
Sangat efektif dalam
menghilangkan keluhan serta penyembuhan lesi esophagus, bahkan pada esophagitis
erosive derajat berat serta yang refrakter dengan golongan antagonis reseptor
H2.
·
dosis yang diberikan untuk GERD
adalah dosis penuh, yaitu:
-
omeprazole : 2x 20mg
-
lansoprazole: 2 x 30mg
-
pantoprazole: 2 x 40mg
-
rabeprazole: 2 x 10mg
-
esomeprazole: 2 x 40mg
umumnya pengobatan diberikan selama 6-8
minggu (terapi inisial) yang dapat dilanjutkan dengan dosis pemelliharaan
(maintenance therapy) selama 4 bulan atau on demand therapy, tergantung dari
derajat esofagitisnya.
Efektivitas obat golongan ini semakin
bertambah jika dikombinasi dengan golongan prokinetik
·
untuk golongan NERD diberikan
dosis standar, yaitu:
-
omeprazole : 1 x 20mg
-
lansoprazole: 1 x 30mg
-
pantoprazole: 1 x 40mg
-
rabeprazole: 1 x 10mg
-
esomeprazole: 1 x 40mg
umumnya pengobatan ini diberikan selama
minimal 4 minggu, dilanjutkan dengan on demand therapy.
Terdapat beberapa algoritme dalam
penatalaksanaan GERD pada pelayan kesehatan lini pertama, salah satu
diantaranya adalah yang direkomendasikan dalam Konsensus Nasional untuk
Penatalaksanaan GERD di Indonesia (2004)(Gambar
di bawah)
Adapun algoritme penatalaksanaan GERD di pusat pelayanan yang memiliki fasilitas diagnosis memadai terdapat pada Gambar di bawah
Terapi terhadap KOMPLIKASI
Komplikasi yang paling sering terjadi
adalah striktur dan
pendarahan. Sebagai
dampak adanya rangsangan kronik asam lambung
terhadap mukosa esophagus dari skuamosa menjadi epitel kolumnar yang
metaplastik. Keadaan ini disebut sebagai esophagus Barret (Barret’s esophagus)
dan merupakan suatu keadaan premaligna.Risiko terjadinya karsinoma pada
Barret’s esophagus adalah sampai 30-40 kali dibandingkan populasi normal.
Striktur esophagus
Jika pasien mengeluh disfagia dengan
diameter striktur kurang dari 13mm, dapat dilakukan dilatasi busi (Hurts
bougie, Maloney bougie, Savarry bougie, Pneumatic bougie).Jika dilatasi bugi
gagal, dapat dilakukan operasi.
Esophagus Barrett
Dapat diobati secara medikamentosa. Berikut
ini adalah algoritme penatalaksanaan Barrett’s esophagus pada pasien GERD:
1) Terapi Bedah
Beberapa keadaan dapat
menyebabkan gagalnya terapi medikamentosa yaitu:
-
Diagnosis tidak benar
-
Pasien GERD sering disertai
gejala-gejala lainseperti rasa kembung, cepat kenyang, dan mual-mual yang
sering tidak memberikan respons dengan pengobatan PPI serta menutupi perbaikan
gejala refluksnya
-
Pada beberapa pasien,
diperlukan waktu yang lebih lama untuk menyembuhkan esofagitisnya
-
Kadang-kadang beberapa kasusu
Barrett’s esophagus tidak memberikan respon terhadap terapi PPI. Begitu pula
halnya dengan adenokarsinoma
-
Terjadi striktur
-
Terdapat statis lambung dan
disfungsi LES
Terapi bedah
merupakan terapi alternative yang penting jika terapi medikamentosa gagal, atau
pada pasien GERD dengan striktur berulang. Umumnya pembedahan yang dilakukan
adalah fundoplikasi
2) Terapi Endoskopi
Walaupun laporannya masih
terbatas serta masih dalam konteks penelitian, akhir-akhir ini mulai
dikembangkan pilihan terapi endoskopi pada pasien GERD, yaitu:
-
Penggunaan energi
radiofrekuensi
-
Plikasi gastrik endoluminal
-
Implantasi endoskopis, yaitu
dengan menyuntikkan zat implant di bawah mukosa esophagus bagian distal,
sehingga lumen esophagus bagian distal menjadi lebih kecil.
REFERENSI: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam
Jilid I Edisi V
Author: Lita
Tidak ada komentar:
Posting Komentar