Senin, 25 November 2013

SKENARIO 1 BLOK 9



DIARE
Definisi
Adalah meningkatnya frekuensi buang air besar dan konsistensi feses menjadi cair. Secara praktis dikatakan diare bila frekuensi buang air besar lebih dari 3x sehari dengan konsistensi cair.
Diare dapat digolongkan diare akut atau diare diare kronik (bila telah berlangsung lebih dari 2 minggu)
A.      Klasifikasi
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan lama waktu diare (akut dan kronik), diare akut berlangsung kurang dari 15 hari, diare kronik lebih dari 15 hari., bisa juga diklasifikasikan dari mekanisme patologisnya (osmotik dan sekretorik), berat ringannya diare (diare kecil atau diare besar), penyebabnya ; diare karena infeksi atau non-infeksi, bisa juga karena penyebab organik atau fungsional (dari makanan atau dari kelainan sistem pencernaan).
B. Etiologi
Diare akut : virus, protozoa ( Giardia lambdia, Entamoeba hystolitica), bakteri : yang memproduksi enteroksin ( Shigella, Salmonella sp.Yersinia), iskemia intestinal, inflammatory Bowel Disease(acute on chronic), kolitis radiasi.
Faktor infeksi
 a. Infeksi enteral  infeksi pada   GIT (penyebab utama)
Bakteri : Vibrio cholerae, Salmonella spp, E. coli dll
Virus : Rotavirus (40-60%), Coronavirus, Calcivirus dll
Parasit: Cacing (Ascaris, Oxyuris,dll), Protozoa (Entamoba histolica,Giardia Lambia, dll)  Jamur (Candida Albicans)
 b. Infeksi parenteral  infeksi di  luar GIT (OMA, BP, Ensefalitis,dll)
Faktor malabsorbsi : KH, Lemak, P
Faktor makanan : basi/ beracun, alergi
Faktor psikologis : takut dan cemas

Diare kronik.
Umumnya etiologi diare kronik dikelompokkan dalam 6 kategori patogenesis terjadinya.
ü  Diare osmotik : disebabkan oleh osmolaritas intra lumen usus lebih tinggi dibandingkan osmolaritas serum. Terjafi pada intoleransi laktosa, obat laksatif (latulosa, magnesium sulfat), obat (antasida).
ü  Diare sekretorik : terjadinya sekresi intestinal yang berlebihan dan berkurangnya absorpsi menimbulkan diare yang cair dan banyak. Pada umumnya disebabkan oleh tumor endorskrin, malabsorpsi garam empedu, laksatif katartik.
ü  Diare karena gangguan maotilitas : Hal ini disebabkan oleh transit usus yang cepat atau justru karena terjadinya stasis yang menimbulkan perkembangan berlebih bakteri intralumen usus. Penyebab yang klasik adalah irritable bowel sindrome.
ü  Diarw inflamatorik : disebabkan oleh faktor inflamasi seperti inflammatory bowel disease.
ü  Malabsorpsi : pada umumnya disebabkan oleh penyakit usus halus, reseksi sebagian usus, obstruksi limfatik, defisiensi enzim pankreas, dan pertumbuhan bakteri yang diberlebihan.
ü  Infeksi kronik : seperti G Lamblia, Ehystolitica, nematoda usus, atau pada keadaan immuni-compromized.

C. Faktor resiko

§      Orang yang bepergian (terutama ke daerah tropis), seperti kemah, melancong, orang yang sukarelawan ke tempat pengungsian (misal lho ini);
§   Makanan atau keadaan makanan yang tidak biasa ; misalnya makanan setengah matang, fast food, dst;
§    Pekerja seks, homoseksual (gay bowel syndrome), pengguna obat intravena, dst;
§    Orang yang baru saja menggunakan obat anti mikroba pada suatu institusi (rumah sakit misalnya).

D. Patomekanisme/Patofisiologi

Diare dapat disebabkan oleh satu atau banyak patofisiologi, misal karenaosmolaritas intraluminal yang meninggi (diare osmotik), sekresi cairan dan elektrolit meninggi (diare sekretorik), inflamasi dinding usus (diare inflamatorik),infeksi dinding usus (diare infeksi), dst.

Diare osmosik  disebabkan meningkatnya tekanan osmotik intralumen dari usus halus, biasanya disebabkan obat-obatan atau zat kimia yang hiperosmotik.Diare sekretorik disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit dari usus tapi absorpsi menurun, gejala khasnya biasanya volume tinja banyak sekali (walaupun puasa makan dan minum tetap banyak tinjanya), penyebabnya karena efek enterotoksin pada infeksi e. Coli dan vibrio cholerae.

Diare air  merupakan gejala tipikal dari organisme yang menginvasi epitel usus dengan inflamasi minimal, seperti virus enterik. Beberapa organisme seperticampylobacter menghasilkan enterotoksin dan menginvasi mukosa usus sehingga menyebabkan diare air diikuti diare berdarah dalam beberapa jam atau hari.

Dehidrasi  dapat timbul jika diare berat dan asupan oral terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lansia. Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya buang air kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat dan perubahan ortostatik. Dalam keadaan berat dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala
E. Pemeriksaan fisik

Kelainan-kelainan yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya diare daripada menentukan penyebabnya diare. Status volume dinilai dengan memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur tubuh dan tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang penting. Adanya dan kualitas bunyi usus dan adanya atau tidak adanya distensi abdomen dan nyeri tekan merupakan ‘clue’ dari penentuan etiologi.


F. Pemeriksaan penunjang

Biasanya untuk diare yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat dan berlangsung beberapa hari.

Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan darah tepi lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit serum, ureum dan kreatinin, pemeriksaan tinja dan pemeriksaan ELISA, test serologic amebiasis dan foto x-ray abdomen, rektoskopi sigmoidoskopi dan pemeriksaan biopsi mukosa.
G. Penatalaksanaan
Rehidrasi; bila pasien dalam keadaan umum baik atau tidak dehidrasi, asupan air yang adekwat bisa dari minuman ringan, sari buah, sup dan keripik asin, bila pasien kekurangan banyak cairan atau dehidrasi, beri penatalaksanaan yang agresif seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung elektrolit dan gula. Cairan oral lebih murah daripada intravena, cairan oral meliputi oralit, dst, cairan intravena (infus) meliputi ringer laktat, dst. Cairan diberikan 50-200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi.

Untuk memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi. Dehidrasi terdiri dari ringan (kekurangan cairan 2-5% dari BB), sedang (kekurangan cairan 5-8% dari BB), berat (kekurangan cairan 8-10% dari BB). Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang nasogastrik atau intravena.

Diet; pasien diare tidak dianjurkan berpuasa (kecuali jika muntah hebat), pasien justru dianjurkan minum minuman sari buah, teh dan minuman tidak bergas lainnya, makan makanan yang mudah dicerna seperti pisang, nasi, sup dst. Susu sapi, minuman berkafein dan alkohol harus dihindari.

Obat anti-diare; mengurangi gejala, seperti derifat opioid (loperamide, dst), obat yang mengeraskan tinja, seperti atapulgite, dst, dan obat anti sekretorik seperti hidrasec, dst.

Obat antimikroba; misalnya kuinolon (misal siprofloksasin), alternatif lain seperti kotrimoksazol (misal trimetroprim).

GERD atau Gastroesofageal Reflux Disease

Definisi
Gastroesofageal Reflux Disease (GERD) merupakan suatu keadaan patologis sebagai akibat reflux (aliran balik) kandungan lambung ke esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Reflux kandungan lambung ke dalam esofagus ini dapat menimbulkan banyak gejala di esofagus maupun ekstra-esofagus seperti striktur, barrett’s esophagus maupun adenokarsinoma pada kardia dan esofagus.

Etiologi dan Patogenesis

GERD bersifat multifaktorial. Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari reflux gastroesofageal apabila terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa esofagus, serta terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.

Esofagus  dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esofageal sphincter (LES). Pada individual normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd pada saat sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES terjadi apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).

Refluks gastroesofageal pada pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :1. Refluks spontan pada saat relaksasi LES yang tidak adekwat, 2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus LES setelah menelan, 3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.

Dengan demikian dapat diterangkan bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk faktor defensif esofagus meliputi : 1. Pemisah refluks (menurunkan tonus LES, penyebabnya bisa adanya hiatus hernia, panjang pendeknya LES, faktor obat-obatan, dan hormonal), 2. Bersihan asam dari lumen esofagus (faktornya gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat), 3. Ketahanan epitalia esofagus (mekanisme ketahanan epitelia esofagus terdiri dari membran sel, batas intraseluler, aliran darah esofagus , dan sel-sel esofagus).

Faktor ofensif dari bahan refluksat tergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa esofagus makin meningkat pada PH <2, atau adanya pepsin atau garam empedu. Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah asam.

Faktor-faktor lain yang turut berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, seperti dilatasi lambung atau obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.

Manifestasi Klinik
Gejala klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa terbakar (heart-burn), kadang bercampur dengan gejala disfagia (sulit menelan), mual atau regurgitasi dan rasa pahit dilidah. Walau demikian derajat berat ringannya keluhan heart-burn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan endoskopik. Disfagia mungkin disebabkan striktur atau keganasan yang berkembang dari barrett’s esofagus.

Gejala GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.

Diagnosis
Disamping anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapapemeriksaan penunjang juga harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis, seperti pemeriksaan endoskopi saluran cerna bagian atas (termasuk pemeriksaan histopatologi), pemeriksaan esofagografi dengan barium, pemantauan pH 24 jam, Tes bernstein, manometri esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan PPI test.

Penatalaksanaan
Walaupun keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus barrett’s yang merupakan keadaan premalighna, maka seyogyanya penyakit ini mendapat penatalaksanaan yang adekwat.

Pada prinsipnya penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi medikamentosa, tyerapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi endoskopik.

Target penataaksanaan GERD meliputi : 1. Menyembuhkan lesi esofagus, 2. Menghilangkan gejala/keluhan, 3. Mencegah kekambuhan, 4. Memperbaiki kualitas hidup, 5. Mencegah timbulnya komplikasi.











DISPEPSIA
A. Definisi
Adalah istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perutbrasa penuh / begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua nya ada  pada pasien, bahkan pada satu pasien pun keluhan dapat berganti atau bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun kualitasnya. Dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapinmerupakan suatu sindrom yang harus dicari penyebabnya.

B. Etiologi
1.        Gangguan atau penyakit dalam lumen saluran cerna
2.        Obat-obatan : anti inflamasi non sterois (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin, dsb.
3.        Penyakit pada hati, pankreas, sistem bilier
4.        Penyakit sistemik : diabetes melitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
5.        Bersifat fungsional : yaitu dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan/ gangguan organik/ struktural biokimia. Tipe ini dikenal sebagai dispepsia fungsional atau dispepsia non ulkus.

C. Diagnosis
Dispepsia secara umum dibagi menjadi dispepsia organik dan dispepsia fungsional. Dispepsia organik disebabkan oleh berbagai penyakit yang menunjukkan gangguan patologis baik secara struktural atau biokimiawi. Apabila pada pemeriksaan penunjang diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan maka termasuk dalam dispepsia fungsional. ROME III mengklasifikasikan dispepsia fungsional menjadi Epigastric Pain Syndrom (EP) dan  Postprandial Distress Syndrom (PD). Dispepsia fungsional ditegakkan dengan kriteria :
1.        Terdapat minimal satu dari gejala rasa penuh setelah makan, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, dan rasa terbakar di epigastrium
2.        Tidak ada bukti kelainan struktural, termasuk endoskopi, yang menerangkan penyebab keluhan diatas
3.        Keluhan terjadi selam 3 bulan dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan
Dispepsia fungsional tipe EP ditegakkan bila memenuhi semua kriteria dibawah ini, yaitu
        Rasa nyeri atau sensasi terbakar di daerah epigastrium dengan kualitas nyeri sedang, setidaknya sekali seminggu
        Rasa nyeri bersifat intermitent
        Tidak dirasakan di bagian perut atau dada yang lain
        Tidak membaik dengan defekasi atau flatus
        Tidak memenuhi kriteria untuk kelainan kandung empedu atau sfingter Oddi
        Kriteria pendukung lain adalah nyeri tidak bersifat retrosternal, nyeri dipengaruhi oleh makanan tapi bisa muncul juga saat puasa

Sementara dispepsia fungsional tipe PD ditegakkan bila memenuhi salah satu kriteria, yaitu
a.        Rasa penuh yang mengganggu setelah makan dengan porsi normal, dirasakan beberapa kali seminggu
b.        Rasa cepat kenyang sehingga tidak menghabiskan makanannya, dirasakan beberapa kali seminggu
c.        Kriteria pendukung lain adalah rasa kembung, mual, dan sendawa.

Dalam ROME II, untuk kepentingan praktis pengobatan, dispepsia fungsional dibagi berdasarkan gejala yang dominan yaitu dispepsia tipe ulkus dimana rasa  nyeri epigastrik yang terutama dirasakan, dispepsia tipe dimotil dimana keluhan yang dominan adalah kembung, mual, muntah, dan rasa cepat kenyang. Dispepsia dikatakan tipe non-spesifik bila tidak ada keluhan yang dominan. Namun, pembagian ini dirasa kurang memuaskan karena definisi dispepsia fungsional menjadi tidak seragam. Selain itu, pengobatan menjadi lebih bersifat simptomatik dan tidak mengobati sindrom secara keseluruhan.

D. Penatalaksanaan
Pada pasien yang datang pertama kali dan belum dilakukan investigasi terhadap keluhan dispepsianya, terdapat 6 strategi yang terdiri atas
1.        Pastikan bahwa keluhan kemungkinan besar berasal dari saluran cerna bagian atas
2.        Singkirkan adanya alarm symptom seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, muntah berulang, disfagia yang progresif, atau perdarahan
3.        Evaluasi penggunaan obat-obatan. Adakah konsumsi asam asetil salisilat atai OAINS
4.        Bila ada gejala regurgitasi yang khas, maka dapat didiagnosa awal sebagai GERD dan dapat langsung diterapi dengan PPI. Apabila keluhan EP atau PD tetap persisten meskipun terapi PPI sudah adekuat, maka diagnosa GERD menjadi patut dipertanyakan.
5.        Tes non-invasif untuk H.pylori, dilanjutkan dengan terapi eradikasi merupakan pendekatan yang cukup efektif, terutama untuk mengurangi biaya endoscopy. Strategi ini dapat digunakan bila tidak terdapat alarm symptom. Bila gejala menetap setelah terapi eradikasi, maka terapi PPI dapat diberikan. Strategi ini kurang efektif bila diterapkan pada daerah dengan prevalensi H.pylori rendah
6.        Endoskpi dapat direkomendasikan pada pasien dengan alarm symptom atau dengan usia tua (diatas 45-55tahun).
Pada dispepsia organik, terapi utama adalah dengan menyingkirkan penyebabnya. Pada dispepsia fungsional, karena patofisiologi yang beragam, penatalaksanaannya pun masih belum ada yang benar-benar terbukti. Beberapa percobaan klinis menunjukkan efek placebo masih cukup besar yaitu sekitar 20-60%. Terapi non-farmakologik seperti psikoterapi, makan dalam jumlah kecil tapi sering, penghentian kebiasaan merokok, minum alkohol, dan konsumsi obat-obatan OAINS yang tidak perlu memang disarankan tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk menunjukkan efikasinya. Beberapa obat yang disarankan adalah obat penghambat asam lambung seperti antagonis reseptor H2(H2B) dan penghambat pompa proton(PPI). Terapi eradikasi H.pylori diberikan dengan mempertimbangkan risiko dan manfaat bagi pasien. Obat-obatan prokinetik seperti metoklopramid, domperidon, dan cisaprid dikatakan memiliki manfaat bila dibandingkan dengan placebo, namun penelitian yang ada masih sedikit dan bias. Obat-obatan anti-depresan seperti amitriptilin dosis kecil juga dikatakan memperbaiki gejala


Referensi :
I.         IPD FK UI JILID 1 EDISI V
II.      Djojoningrat D. Dispepsia Fungsional dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simandibrata M, Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing. Jakarta. 2010. P 529-33
III.   Tack J, Tally NJ, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, Malagelada JR, Stanghelilini V. Functional Gastroduodenal Disorder. Gastroenterology 2006; 130: 1466-79


author: nia

Tidak ada komentar:

Posting Komentar