DIARE
Definisi
Adalah meningkatnya frekuensi
buang air besar dan konsistensi feses menjadi cair. Secara praktis dikatakan
diare bila frekuensi buang air besar lebih dari 3x sehari dengan konsistensi
cair.
Diare dapat digolongkan diare
akut atau diare diare kronik (bila telah berlangsung lebih dari 2 minggu)
A.
Klasifikasi
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan lama waktu diare (akut dan kronik), diare akut berlangsung kurang dari 15 hari, diare kronik lebih dari 15 hari., bisa juga diklasifikasikan dari mekanisme patologisnya (osmotik dan sekretorik), berat ringannya diare (diare kecil atau diare besar), penyebabnya ; diare karena infeksi atau non-infeksi, bisa juga karena penyebab organik atau fungsional (dari makanan atau dari kelainan sistem pencernaan).
Diare dapat diklasifikasikan berdasarkan lama waktu diare (akut dan kronik), diare akut berlangsung kurang dari 15 hari, diare kronik lebih dari 15 hari., bisa juga diklasifikasikan dari mekanisme patologisnya (osmotik dan sekretorik), berat ringannya diare (diare kecil atau diare besar), penyebabnya ; diare karena infeksi atau non-infeksi, bisa juga karena penyebab organik atau fungsional (dari makanan atau dari kelainan sistem pencernaan).
B. Etiologi
Diare akut : virus, protozoa (
Giardia lambdia, Entamoeba hystolitica), bakteri : yang memproduksi enteroksin
( Shigella, Salmonella sp.Yersinia), iskemia intestinal, inflammatory Bowel
Disease(acute on chronic), kolitis radiasi.
Faktor
infeksi
a. Infeksi enteral infeksi pada
GIT (penyebab utama)
Bakteri
: Vibrio cholerae, Salmonella spp, E. coli dll
Virus
: Rotavirus (40-60%), Coronavirus, Calcivirus dll
Parasit:
Cacing (Ascaris, Oxyuris,dll), Protozoa (Entamoba histolica,Giardia Lambia,
dll) Jamur (Candida Albicans)
b. Infeksi parenteral infeksi di
luar GIT (OMA, BP, Ensefalitis,dll)
Faktor
malabsorbsi : KH, Lemak, P
Faktor
makanan : basi/ beracun, alergi
Faktor psikologis : takut dan
cemas
Diare kronik.
Umumnya etiologi diare kronik
dikelompokkan dalam 6 kategori patogenesis terjadinya.
ü
Diare osmotik : disebabkan
oleh osmolaritas intra lumen usus lebih tinggi dibandingkan osmolaritas serum.
Terjafi pada intoleransi laktosa, obat laksatif (latulosa, magnesium sulfat),
obat (antasida).
ü
Diare sekretorik : terjadinya
sekresi intestinal yang berlebihan dan berkurangnya absorpsi menimbulkan diare
yang cair dan banyak. Pada umumnya disebabkan oleh tumor endorskrin,
malabsorpsi garam empedu, laksatif katartik.
ü
Diare karena gangguan maotilitas
: Hal ini disebabkan oleh transit usus yang cepat atau justru karena terjadinya
stasis yang menimbulkan perkembangan berlebih bakteri intralumen usus. Penyebab
yang klasik adalah irritable bowel sindrome.
ü
Diarw inflamatorik :
disebabkan oleh faktor inflamasi seperti inflammatory bowel disease.
ü
Malabsorpsi : pada umumnya
disebabkan oleh penyakit usus halus, reseksi sebagian usus, obstruksi limfatik,
defisiensi enzim pankreas, dan pertumbuhan bakteri yang diberlebihan.
ü
Infeksi kronik : seperti G
Lamblia, Ehystolitica, nematoda usus, atau pada keadaan immuni-compromized.
C.
Faktor resiko
§
Orang yang bepergian (terutama ke daerah
tropis), seperti kemah, melancong, orang yang sukarelawan ke tempat pengungsian
(misal lho ini);
§
Makanan atau keadaan makanan
yang tidak biasa ; misalnya makanan setengah matang, fast food, dst;
§
Pekerja seks, homoseksual (gay bowel
syndrome), pengguna obat intravena, dst;
§
Orang yang baru saja menggunakan obat anti
mikroba pada suatu institusi (rumah sakit misalnya).
D.
Patomekanisme/Patofisiologi
Diare dapat disebabkan oleh
satu atau banyak patofisiologi, misal karenaosmolaritas intraluminal yang
meninggi (diare osmotik), sekresi cairan dan elektrolit meninggi (diare
sekretorik), inflamasi dinding usus (diare inflamatorik),infeksi dinding usus
(diare infeksi), dst.
Diare osmosik disebabkan meningkatnya tekanan osmotik
intralumen dari usus halus, biasanya disebabkan obat-obatan atau zat kimia yang
hiperosmotik.Diare sekretorik disebabkan oleh meningkatnya sekresi air dan elektrolit
dari usus tapi absorpsi menurun, gejala khasnya biasanya volume tinja banyak
sekali (walaupun puasa makan dan minum tetap banyak tinjanya), penyebabnya
karena efek enterotoksin pada infeksi e. Coli dan vibrio cholerae.
Diare air merupakan gejala tipikal dari organisme yang
menginvasi epitel usus dengan inflamasi minimal, seperti virus enterik.
Beberapa organisme seperticampylobacter menghasilkan enterotoksin dan
menginvasi mukosa usus sehingga menyebabkan diare air diikuti diare berdarah
dalam beberapa jam atau hari.
Dehidrasi dapat timbul jika diare berat dan asupan oral
terbatas karena nausea dan muntah, terutama pada anak kecil dan lansia.
Dehidrasi bermanifestasi sebagai rasa haus yang meningkat, berkurangnya buang
air kecil dengan warna urin gelap, tidak mampu berkeringat dan perubahan
ortostatik. Dalam keadaan berat dapat mengarah ke gagal ginjal akut dan
perubahan status jiwa seperti kebingungan dan pusing kepala
E.
Pemeriksaan fisik
Kelainan-kelainan
yang ditemukan pada pemeriksaan fisik sangat berguna dalam menentukan beratnya
diare daripada menentukan penyebabnya diare. Status volume dinilai dengan
memperhatikan perubahan ortostatik pada tekanan darah dan nadi, temperatur
tubuh dan tanda toksisitas. Pemeriksaan abdomen yang seksama merupakan hal yang
penting. Adanya dan kualitas bunyi usus dan adanya atau tidak adanya distensi
abdomen dan nyeri tekan merupakan ‘clue’ dari penentuan etiologi.
F.
Pemeriksaan penunjang
Biasanya untuk diare yang mengalami dehidrasi atau toksisitas berat dan berlangsung beberapa hari.
Pemeriksaannya meliputi pemeriksaan darah tepi
lengkap, pemeriksaan kadar elektrolit serum, ureum dan kreatinin, pemeriksaan
tinja dan pemeriksaan ELISA, test serologic amebiasis dan foto x-ray abdomen,
rektoskopi sigmoidoskopi dan pemeriksaan biopsi mukosa.
G.
Penatalaksanaan
Rehidrasi;
bila pasien dalam keadaan umum baik atau tidak dehidrasi, asupan air yang
adekwat bisa dari minuman ringan, sari buah, sup dan keripik asin, bila pasien
kekurangan banyak cairan atau dehidrasi, beri penatalaksanaan yang agresif
seperti cairan intravena atau rehidrasi oral dengan cairan isotonik mengandung
elektrolit dan gula. Cairan oral lebih murah daripada intravena, cairan oral
meliputi oralit, dst, cairan intravena (infus) meliputi ringer laktat, dst.
Cairan diberikan 50-200 ml/kgBB/24 jam tergantung kebutuhan dan status hidrasi.
Untuk
memberikan rehidrasi pada pasien perlu dinilai dulu derajat dehidrasi.
Dehidrasi terdiri dari ringan (kekurangan cairan 2-5% dari BB), sedang
(kekurangan cairan 5-8% dari BB), berat (kekurangan cairan 8-10% dari BB).
Cairan rehidrasi dapat diberikan melalui oral, enteral melalui selang
nasogastrik atau intravena.
Diet;
pasien diare tidak dianjurkan berpuasa (kecuali jika muntah hebat), pasien
justru dianjurkan minum minuman sari buah, teh dan minuman tidak bergas
lainnya, makan makanan yang mudah dicerna seperti pisang, nasi, sup dst. Susu
sapi, minuman berkafein dan alkohol harus dihindari.
Obat
anti-diare; mengurangi gejala, seperti derifat opioid (loperamide, dst), obat
yang mengeraskan tinja, seperti atapulgite, dst, dan obat anti sekretorik
seperti hidrasec, dst.
Obat
antimikroba; misalnya kuinolon (misal siprofloksasin), alternatif lain seperti
kotrimoksazol (misal trimetroprim).
GERD
atau Gastroesofageal Reflux Disease
Definisi
Gastroesofageal Reflux Disease
(GERD) merupakan suatu keadaan patologis sebagai akibat reflux (aliran balik)
kandungan lambung ke esofagus, dengan berbagai gejala yang timbul akibat
keterlibatan esofagus, faring, laring dan saluran nafas. Reflux kandungan
lambung ke dalam esofagus ini dapat menimbulkan banyak gejala di esofagus
maupun ekstra-esofagus seperti striktur, barrett’s esophagus maupun
adenokarsinoma pada kardia dan esofagus.
Etiologi dan Patogenesis
GERD bersifat multifaktorial.
Esofagitis dapat terjadi sebagai akibat dari reflux gastroesofageal apabila
terjadi kontak dalam waktu yang cukup lama antara bahan refluksat dengan mukosa
esofagus, serta terjadi penurunan resistensi jaringan mukosa esofagus, walaupun
waktu kontak antara bahan refluksat dengan esofagus tidak cukup lama.
Esofagus dan gaster dipisahkan oleh suatu zona tekanan
tinggi yang dihasilkan oleh kontraksi lower esofageal sphincter (LES). Pada
individual normal, pemisah ini akan dipertahankan kecuali pada saat terjadinya
aliran antegrad yang terjadi pada saat menelan, atau aliran retrograd pada saat
sendawa atau muntah. Aliran balik dari gaster ke esofagus melalui LES terjadi
apabila tonus LES tidak ada atau sangat rendah (<3 mmHg).
Refluks gastroesofageal pada
pasien GERD terjadi melalui 3 mekanisme :1. Refluks spontan pada saat relaksasi
LES yang tidak adekwat, 2. Aliran retrograd yang mendahului kembalinya tonus
LES setelah menelan, 3. Meningkatnya tekanan intra abdomen.
Dengan demikian dapat diterangkan
bahwa patogenesis terjadinya GERD menyangkut keseimbangan antara faktor
defensif dari esofagus dan faktor ofensif dari bahan refluksat. Yang termasuk
faktor defensif esofagus meliputi : 1. Pemisah refluks (menurunkan tonus LES,
penyebabnya bisa adanya hiatus hernia, panjang pendeknya LES, faktor
obat-obatan, dan hormonal), 2. Bersihan asam dari lumen esofagus (faktornya
gravitasi, peristaltik, eksresi air liur dan bikarbonat), 3. Ketahanan epitalia
esofagus (mekanisme ketahanan epitelia esofagus terdiri dari membran sel, batas
intraseluler, aliran darah esofagus , dan sel-sel esofagus).
Faktor ofensif dari bahan
refluksat tergantung pada bahan yang dikandungnya. Derajat kerusakan mukosa
esofagus makin meningkat pada PH <2, atau adanya pepsin atau garam empedu.
Namun dari kesemuanya itu yang memiliki potensi daya rusak paling tinggi adalah
asam.
Faktor-faktor lain yang turut
berperan dalam timbulnya gejala GERD adalah kelainan di lambung yang
meningkatkan terjadinya refluks fisiologis, seperti dilatasi lambung atau
obstruksi gastric outlet dan delayed gastric emptying.
Manifestasi Klinik
Gejala
klinik yang khas dari GERD adalah nyeri/rasa tidak enak di epigastrium atau
retrosternal bagian bawah. Rasa nyeri biasanya dideskripsikan sebagai rasa
terbakar (heart-burn), kadang bercampur dengan gejala disfagia (sulit menelan),
mual atau regurgitasi dan rasa pahit dilidah. Walau demikian derajat berat
ringannya keluhan heart-burn ternyata tidak berkorelasi dengan temuan
endoskopik. Disfagia mungkin disebabkan striktur atau keganasan yang berkembang
dari barrett’s esofagus.
Gejala
GERD biasanya berjalan perlahan-lahan, sangat jarang terjadi episode akut atau
keadaan yang bersifat mengancam nyawa. Oleh sebab itu, umumnya pasien dengan
GERD memerlukan penatalaksanaan secara medik.
Diagnosis
Disamping
anamnesis dan pemeriksaan fisik yang seksama, beberapapemeriksaan penunjang
juga harus dilakukan untuk menegakkan diagnosis, seperti pemeriksaan endoskopi
saluran cerna bagian atas (termasuk pemeriksaan histopatologi), pemeriksaan
esofagografi dengan barium, pemantauan pH 24 jam, Tes bernstein, manometri
esofagus, sintigrafi gastroesofageal, dan PPI test.
Penatalaksanaan
Walaupun
keadaan ini jarang sebagai penyebab kematian, mengingat kemungkinan timbulnya
komplikasi jangka panjang berupa ulserasi, striktur esofagus ataupun esofagus
barrett’s yang merupakan keadaan premalighna, maka seyogyanya penyakit ini
mendapat penatalaksanaan yang adekwat.
Pada
prinsipnya penatalaksanaan GERD terdiri dari modifikasi gaya hidup, terapi
medikamentosa, tyerapi bedah serta akhir-akhir ini mulai dilakukan terapi
endoskopik.
Target
penataaksanaan GERD meliputi : 1. Menyembuhkan
lesi esofagus, 2. Menghilangkan gejala/keluhan, 3. Mencegah kekambuhan, 4.
Memperbaiki kualitas hidup, 5. Mencegah timbulnya komplikasi.
DISPEPSIA
A. Definisi
Adalah istilah yang digunakan untuk suatu sindrom atau
kumpulan gejala/ keluhan yang terdiri dari nyeri atau rasa tidak nyaman di ulu
hati, kembung, mual, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, perutbrasa penuh /
begah. Keluhan ini tidak perlu selalu semua nya ada pada pasien, bahkan pada satu pasien pun
keluhan dapat berganti atau bervariasi baik dari segi jenis keluhan maupun
kualitasnya. Dispepsia bukanlah suatu penyakit tetapinmerupakan suatu sindrom
yang harus dicari penyebabnya.
B. Etiologi
1.
Gangguan atau penyakit dalam
lumen saluran cerna
2.
Obat-obatan : anti inflamasi
non sterois (OAINS), aspirin, beberapa jenis antibiotik, digitalis, teofilin,
dsb.
3.
Penyakit pada hati, pankreas,
sistem bilier
4.
Penyakit sistemik : diabetes
melitus, penyakit tiroid, penyakit jantung koroner.
5.
Bersifat fungsional : yaitu
dispepsia yang terdapat pada kasus yang tidak terbukti adanya kelainan/
gangguan organik/ struktural biokimia. Tipe ini dikenal sebagai dispepsia fungsional
atau dispepsia non ulkus.
C. Diagnosis
Dispepsia secara umum dibagi menjadi dispepsia organik dan
dispepsia fungsional. Dispepsia organik disebabkan oleh berbagai penyakit yang
menunjukkan gangguan patologis baik secara struktural atau biokimiawi. Apabila
pada pemeriksaan penunjang diagnostik tidak ditemukan adanya kelainan maka
termasuk dalam dispepsia fungsional. ROME III mengklasifikasikan dispepsia
fungsional menjadi Epigastric Pain Syndrom (EP) dan Postprandial Distress Syndrom (PD). Dispepsia
fungsional ditegakkan dengan kriteria :
1.
Terdapat minimal satu dari
gejala rasa penuh setelah makan, rasa cepat kenyang, nyeri epigastrium, dan
rasa terbakar di epigastrium
2.
Tidak ada bukti kelainan
struktural, termasuk endoskopi, yang menerangkan penyebab keluhan diatas
3.
Keluhan terjadi selam 3 bulan
dalam waktu 6 bulan terakhir sebelum diagnosis ditegakkan
Dispepsia fungsional tipe EP ditegakkan bila memenuhi semua
kriteria dibawah ini, yaitu
①
Rasa nyeri atau sensasi
terbakar di daerah epigastrium dengan kualitas nyeri sedang, setidaknya sekali
seminggu
②
Rasa nyeri bersifat
intermitent
③
Tidak dirasakan di bagian
perut atau dada yang lain
④
Tidak membaik dengan defekasi
atau flatus
⑤
Tidak memenuhi kriteria untuk
kelainan kandung empedu atau sfingter Oddi
⑥
Kriteria pendukung lain adalah
nyeri tidak bersifat retrosternal, nyeri dipengaruhi oleh makanan tapi bisa
muncul juga saat puasa
Sementara
dispepsia fungsional tipe PD ditegakkan bila memenuhi salah satu kriteria,
yaitu
a.
Rasa penuh yang mengganggu
setelah makan dengan porsi normal, dirasakan beberapa kali seminggu
b.
Rasa cepat kenyang sehingga
tidak menghabiskan makanannya, dirasakan beberapa kali seminggu
c.
Kriteria pendukung lain adalah
rasa kembung, mual, dan sendawa.
Dalam ROME II, untuk kepentingan praktis pengobatan,
dispepsia fungsional dibagi berdasarkan gejala yang dominan yaitu dispepsia
tipe ulkus dimana rasa nyeri epigastrik
yang terutama dirasakan, dispepsia tipe dimotil dimana keluhan yang dominan
adalah kembung, mual, muntah, dan rasa cepat kenyang. Dispepsia dikatakan tipe
non-spesifik bila tidak ada keluhan yang dominan. Namun, pembagian ini dirasa
kurang memuaskan karena definisi dispepsia fungsional menjadi tidak seragam.
Selain itu, pengobatan menjadi lebih bersifat simptomatik dan tidak mengobati sindrom
secara keseluruhan.
D. Penatalaksanaan
Pada
pasien yang datang pertama kali dan belum dilakukan investigasi terhadap
keluhan dispepsianya, terdapat 6 strategi yang terdiri atas
1.
Pastikan bahwa keluhan
kemungkinan besar berasal dari saluran cerna bagian atas
2.
Singkirkan adanya alarm
symptom seperti penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan, muntah
berulang, disfagia yang progresif, atau perdarahan
3.
Evaluasi penggunaan
obat-obatan. Adakah konsumsi asam asetil salisilat atai OAINS
4.
Bila ada gejala regurgitasi
yang khas, maka dapat didiagnosa awal sebagai GERD dan dapat langsung diterapi
dengan PPI. Apabila keluhan EP atau PD tetap persisten meskipun terapi PPI
sudah adekuat, maka diagnosa GERD menjadi patut dipertanyakan.
5.
Tes non-invasif untuk H.pylori,
dilanjutkan dengan terapi eradikasi merupakan pendekatan yang cukup efektif,
terutama untuk mengurangi biaya endoscopy. Strategi ini dapat digunakan bila
tidak terdapat alarm symptom. Bila
gejala menetap setelah terapi eradikasi, maka terapi PPI dapat diberikan.
Strategi ini kurang efektif bila diterapkan pada daerah dengan prevalensi
H.pylori rendah
6.
Endoskpi dapat
direkomendasikan pada pasien dengan alarm
symptom atau dengan usia tua (diatas 45-55tahun).
Pada
dispepsia organik, terapi utama adalah dengan menyingkirkan penyebabnya. Pada
dispepsia fungsional, karena patofisiologi yang beragam, penatalaksanaannya pun
masih belum ada yang benar-benar terbukti. Beberapa percobaan klinis
menunjukkan efek placebo masih cukup besar yaitu sekitar 20-60%. Terapi
non-farmakologik seperti psikoterapi, makan dalam jumlah kecil tapi sering,
penghentian kebiasaan merokok, minum alkohol, dan konsumsi obat-obatan OAINS
yang tidak perlu memang disarankan tapi belum ada bukti yang cukup kuat untuk
menunjukkan efikasinya. Beberapa obat yang disarankan adalah obat penghambat
asam lambung seperti antagonis reseptor H2(H2B) dan penghambat pompa
proton(PPI). Terapi eradikasi H.pylori diberikan dengan mempertimbangkan risiko
dan manfaat bagi pasien. Obat-obatan prokinetik seperti metoklopramid,
domperidon, dan cisaprid dikatakan memiliki manfaat bila dibandingkan dengan
placebo, namun penelitian yang ada masih sedikit dan bias. Obat-obatan
anti-depresan seperti amitriptilin dosis kecil juga dikatakan memperbaiki
gejala
Referensi :
I.
IPD
FK UI JILID 1 EDISI V
II.
Djojoningrat
D. Dispepsia Fungsional dalam: Sudoyo AW, Setyohadi B, Alwi I, Simandibrata M,
Setiati S. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam jilid I edisi 5. Interna Publishing.
Jakarta. 2010. P 529-33
III.
Tack
J, Tally NJ, Camilleri M, Holtmann G, Hu P, Malagelada JR, Stanghelilini V.
Functional Gastroduodenal Disorder. Gastroenterology 2006; 130: 1466-79
author: nia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar