Hemofilia berasal dari bahasa Yunani Kuno, yang
terdiri dari dua kata yaitu haimayang berarti darah dan philia yang berarti suka/cinta atau kasih sayang; hemofilia berarti
penyakit suka berdarah. Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi herediter
yang diturunkan secara X-linked resesif.
Gangguan terjadi pada jalur intrinsik mekanisme hemostasis herediter, di mana
terjadi defisiensi atau defek dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX
(hemofilia B). Biasanya bermanifestasi pada anak laki-laki namun, walaupun
jarang, hemofilia pada wanita juga telah dilaporkan. Wanita umumnya bertindak
sebagai karier hemofilia.
Pada keadaan normal bila seseorang mengalami
suatu trauma atau luka pada pembuluh darah besar atau pembuluh darah
halus/kapiler yang ada pada jaringan lunak maka sistem pembekuan darah/koagulation
cascade akan berkerja dengan
mengaktifkan seluruh faktor koagulasi secara beruntun sehingga akhirnya
terbentuk gumpalan darah berupa benang-benang fibrin yang kuat dan akan menutup
luka atau perdarahan, proses ini berlangsung tanpa pernah disadari oleh manusia
itu sendiri dan ini berlangsung selama hidup manusia. Sebaliknya pada penderita
hemofilia akibat terjadinya kekurangan F VIII dan F IX akan menyebabkan
pembentukan bekuan darah memerlukan waktu yang cukup lama dan sering bekuan
darah yang terbentuk tersebut mempunyai sifat yang kurang baik, lembek, dan
lunak sehingga tidak efektif menyumbat pembuluh darah yang mengalami trauma,
hal ini dikenal sebagai prinsip dasar hemostasis.
Darah pada seorang penderita hemofilia tidak
dapat membeku dengan sendirinya secara normal. Proses pembekuan darah pada
seorang penderita hemofilia tidak secepat dan sebanyak orang lain yang normal.
Ia akan lebih banyak membutuhkan waktu untuk proses pembekuan darahnya.
Manifestasi klinik hemofilia A dan B sama
yaitu berupa perdarahan yang dapat terjadi setelah trauma maupun spontan. Perdarahan
setelah trauma bersifat “delayed bleeding“,
karena timbulnya perdarahan terlambat. Jadi mula-mula luka dapat ditutup oleh
sumbat trombosit, tetapi karena defisiensi F VIII atau IX maka pembentukan
fibrin terganggu sehingga timbul perdarahan. Gambaran yang khas adalah hematoma
dan hemartrosis atau perdarahan dalam rongga sendi. Perdarahan yang
berulang-ulang pada rongga sendi dapat mengakibatkan cacat yang menetap dan
perdarahan pada organ tubuh yang penting seperti otak dapat membahayakan jiwa.
Beratnya penyakit tergantung aktivitas F VIII dan IX. Hemofilia berat jika
aktivitas F VIII atau F IX kurang dari 1%, hemofilia sedang jika aktivitasnya
1-5% dan hemofilia ringan jika aktivitasnya 5-25%.
Penderita hemofilia kebanyakan mengalami
gangguan perdarahan di bawah kulit; seperti luka memar jika sedikit mengalami
benturan, atau luka memar timbul dengan sendirinya jika penderita telah
melakukan aktifitas yang berat; pembengkakan pada persendian, seperti lulut,
pergelangan kaki atau siku tangan. Penderitaan para penderita hemofilia dapat
membahayakan jiwanya jika perdarahan terjadi pada bagian organ tubuh yang vital
seperti perdarahan pada otak.
Jumlah penderita hemofila di seluruh dunia
diperkirakan mencapai 400.000 orang. Sekitar 20.000 terdapat di Indonesia.
Hemofilia A lebih umum terjadi bila dibandingkan hemofilia B, yaitu sebanyak
80-85% dari seluruh kejadian hemofilia.
Gejala penyakit ini adalah pendarahan pada
sendi, otot dan organ. Setelah mengalami pendarahan pasien akan mengalami fase
akut kemudian fase kronik. Seseorang yang mengalami pendarahan akan mengalami
gangguan fungsi gerak yang mengakibatkan aktivitas sehari-harinya terganggu,
sehingga produktivitas dan kualitas hidupnya menurun. Disebutkan bahwa lutut
dan siku paling banyak mengalami pendarahan karena sering dipaksa kerja. Cara
penanganan dari setiap fase berbeda-beda dari mulai yang sederhana, yaitu
istirahat yang cukup lama dengan posisi tertentu, melakukan terapi, hingga
melakukan rekreasi/olahraga.
Sampai saat ini dikenal dua macam hemofilia,
yaitu :
1. Hemofilia
A; yang dikenal juga dengan nama :
Hemofilia
Klasik; karena jenis hemofilia ini adalah yang paling banyak kekurangan faktor
pembekuan pada darah.
Hemofilia
kekurangan Factor VIII; terjadi karena kekurangan faktor 8 (Factor VIII)
protein pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
2. Hemofilia
B; yang dikenal juga dengan nama :
Christmas
Disease; karena di temukan untuk pertama kalinya pada seorang bernama
Steven Christmas asal Kanada
Hemofilia
kekurangan Factor IX; terjadi karena kekurangan faktor 9 (Factor IX) protein
pada darah yang menyebabkan masalah pada proses pembekuan darah.
Pada keadaan normal bila seseorang mengalami
suatu trauma atau luka pada pembuluh darah besar atau pembuluh darah halus/kapiler
yang ada pada jaringan lunak maka sistem pembekuan darah/coagulation cascade
akan berkerja dengan mengaktifkan seluruh faktor koagulasi secara beruntun
sehingga akhirnya terbentuk gumpalan darah berupa benang-benang fibrin yang
kuat dan akan menutup luka atau perdarahan, proses ini berlangsung tanpa pernah
disadari oleh manusia itu sendiri dan ini berlangsung selama hidup manusia.
Sebaliknya pada penderita hemofilia akibat terjadinya kekurangan F VIII dan F
IX akan menyebabkan pembentukan bekuan darah memerlukan waktu yang cukup lama
dan sering bekuan darah yang terbentuk tersebut mempunyai sifat yang kurang
baik, lembek, dan lunak sehingga tidak efektif menyumbat pembuluh darah yang
mengalami trauma, hal ini dikenal sebagai prinsip dasar hemostasis.
Definisi
Hemofilia adalah penyakit gangguan koagulasi
herediter yang diturunkan secara X-linked resesif. Gangguan terjadi pada jalur
intrinsik mekanisme hemostasis herediter, di mana terjadi defisiensi atau defek
dari faktor pembekuan VIII (hemofilia A) atau IX (hemofilia B).
Fungsi Faktor VIII, Faktor von Willebrand dan
Faktor IX
Faktor VIII adalah suatu glikoprotein yang
dibentuk di sel sinusoidal hati. Produksi F VIII dikode oleh gen yang terletak
pada kromosom X. Di dalam sirkulasi F VIII akan membentuk kompleks dengan
faktor von Willebrand. Faktor von Willebrand adalah protein dengan berat
molekul besar yang dibentuk di sel endotel dan megakariosit. Fungsinya sebagai
protein pembawa F VIII dan melindunginya dari degradasi proteolisis. Di samping
itu faktor von Willebrand juga berperan pada proses adhesi trombosit. Faktor
VIII berfungsi pada jalur intrinsik sistem koagulasi yaitu sebagai kofaktor
untuk F IXa dalam proses aktivasi F X (lihar skema koagulasi). Pada orang
normal aktivitas faktor VIII berkisar antara 50-150%. Pada hemofilia A,
aktivitas F VIII rendah. Faktor VIII termasuk protein fase akut yaitu protein
yang kadarnya meningkat jika terdapat kerusakkan jaringan, peradangan, dan
infeksi. Kadar F VIII yang tinggi merupakan faktor resiko trombosis.
Faktor IX adalah faktor pembekuan yang
dibentuk di hati dan memerlukan vitamin K untuk proses pembuatannya. Jika tidak
tersedia cukup vitamin K atau ada antagonis vitamin K, maka yang terbentuk
adalah protein yang mirip F IX tetapi tidak dapat berfungsi. Gen yang mengatur
sintesis F IX juga terletak pada kromosom X. Faktor IX berfungsi pada jalur
intrinsik sistem koagulasi yaitu mengaktifkan faktor X menjadi Xa (lihat skema
koagulasi). Nilai rujukan aktivitas F IX berkisar antara 50-150%. Aktivitas F
IX yang rendah bisa dijumpai pada hemofilia B, defisiensi vitamin K, pemberian
antikoagulan oral dan penyakit hati.
Perbedaan Proses Pembekuan Darah antara Orang
Normal dengan Penderita Hemofilia
1.
Proses Pembekuan Darah pada Orang Normal
|
|
|
1.
Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi
luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh
tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
2.
Pembuluh darah mengerut/mengecil.
3.
Keping darah (trombosit) akan menutup luka
pada pembuluh.
4.
Faktor-faktor pembeku da-rah bekerja membuat
anyaman (benang-benang fibrin) yang akan menutup luka sehingga darah berhenti
mengalir keluar pembuluh.
|
1.
Proses Pembekuan Darah pada Penderita
Hemofilia
|
|
1.
Ketika mengalami perdarahan berarti terjadi
luka pada pembuluh darah (yaitu saluran tempat darah mengalir keseluruh
tubuh), lalu darah keluar dari pembuluh.
2.
Pembuluh darah mengerut/ mengecil.
3.
Keping darah (trombosit) akan menutup luka
pada pembuluh.
4.
Kekurangan jumlah factor pembeku darah
tertentu, mengakibatkan anyaman penutup luka tidak terbentuk sempurna,
sehingga darah tidak berhenti mengalir keluar pembuluh.
|
Epidemiologi
Penyakit ini bermanifestasi klinik pada
laki-laki. Angka kejadian hemofilia A sekitar 1:10.000 orang dan hemofilia B
sekitar 1:25.000-30.000 orang. Sebanyak 18.000 orang di Amerika Serikar
menderita hemofilia. Tiap tahun, sekitar 400 bayi dilahirkan dengan kelainan
bawaan ini.
Belum ada data mengenai angka kekerapan di
Indonesia, namun diperkirakan sekitar 20.000 kasus dari 200 juta penduduk
Indonesia saat ini. Kasus hemofilia A lebih sering dijumpai dibandingkan
hemofilia B. yaitu berturut-turut mencapai 80-85% dan 10-15% tanpa memandang
ras, geografi, dan keadaan sosial ekonomi. Mutasi gen secara spontan
diperkirakan mencapai 20-30% yang terjadi pada pasien tanpa riwayat keluarga.
Berdasarkan data terakhir dari Yayasan
Hemofilia Indonesia (HMHI) Pusat jumlah penderita hemofilia yang sudah
teregistrasi sampai Juli 2005 sebanyak 895 penderita yang tersebar di 21
provinsi dari 30 provinsi, berarti ada 9 provinsi yang belum membuat data
registrasi kemungkinan adanya penderita hemofilia di daerahnya, dengan jumlah
penduduk Indonesia yang mencapai 217.854.000 populasi (BPS Indonesia, 2004),
secara nasional prevalensi hemofilia hanya mencapai ± 4,1/1 juta populasi,
angka ini sangat kecil dibandingkan prediksi secara epidemiologi seharusnya di
Indonesia penderita hemofilia ± 21.000 orang.
Klasifikasi Hemofilia
Legg mengklasifikasikan hemofilia berdasarkan
kadar atau aktivitas faktor pembekuan (F VIII atau F IX) dalam plasma. Pada
hemofilia berat dapat terjadi perdarahan spontan atau akibat trauma ringan
(trauma yang tidak berarti). Pada hemofilia sedang, perdarahan terjadi akibat
trauma yang cukup kuat; sedangkan hemofilia ringan jarang sekali terdeteksi
kecuali pasien menjalani trauma cukup berat seperti ekstraksi gigi, sirkumsisi,
luka iris dan jatuh terbentur (sendi lutut, siku, dll).
1. Hemofilia
A
Hemofilia
A (hemofilia klasik, hemofilia faktor VIII) adalah defisiensi faktor pembekuan
herediter yang paling banyak ditemukan. Prevalensinya adalah sekitar 30-100
tiap sejuta populasi. Pewarisannya berkaitan dengan jenis kelamin, tetapi
hingga 33% pasien tidak mempunyai riwayat dalam keluarga dan terjadi akibat
mutasi spontan. Hemofilia A (hemofilia klasik, hemofilia defisiensi faktor
VIII) merupakan kelainan yang diturunkan di mana terjadi perdarahan akibat defisiensi
faktor koagulasi VIII. Pada kebanyakan kasus, protein koagulan faktor VIII
(VIII:C) secara kuantitas berkurang, tapi pada sejumlah kecil kasus protein
koagulan terdapat pada pemeriksaan imunoassay namun fungsinya terganggu.
Gen
faktor VIII terletak di dekat ujung lengan panjang kromosom X (regio Xq2.6).
2. Hemofilia
B
Hemofilia
B (penyakit Christmas, hemofilia faktor IX) merupakan penyakit gangguan
pembekuan darah yang diturunkan akibat berkurangnya faktor koagulasi IX. Faktor
IX dikode oleh gen yang terletak dekat gen untuk faktor VIII dekat ujung lengan
panjang kromosom X.
Kebanyakan
kasus jumlah faktor IX berkurang secara kuantitatif, namun pada sepertiga kasus
terdapat fungsi yang abnormal dari faktor IX melalui pemeriksaan imunoassay.
Jumlah kasus hemofilia defisiensi faktor IX adalah sebanyak sepertujuh dari
jumlah kasus hemofilia defisiensi faktor VIII; namun dilihat secara klinis dan
pola penurunannya identik.
PTT
memanjang dan kadar faktor IX menurun jika dilakukan pengukuran dengan tes yang
spesifik. Temuan laboratorium lainnya sama dengan hemofilia defisiensi faktor
VIII.
Penyebab Hemofilia
Hemofilia disebabkan oleh adanya defek pada
salah satu gen yang bertanggung jawab terhadap produksi faktor pembekuan darah
VIII atau XI. Gen tersebut berlokasi di kromosom X.
Laki-laki yang memiliki kelainan genetika di
kromosom X-nya akan menderita hemofilia. Perempuan harus memiliki kelainan
genetika di kedua kromosom X-nya untuk dapat menjadi hemofilia (sangat jarang).
Wanita menjadi karier hemofilia jika mempunyai kelainan genetika pada salah
satu kromosom X, yang kemudian dapat diturunkan kepada anak-anaknya..
Gejala dan Tanda Klinis
Gejala-gejala dan tanda klinis untuk hemofilia
biasanya sangat spesifik dan umumnya penderita hemofilia mempunyai
gejala-gejala klinis yang sama, hemofilia A dan hemofilia B secara klinis
sangat sulit untuk dibedakan. Keluhan-keluhan dan tanda-tanda klinis penderita
hemofilia sering diinterpretasikan kurang tepat oleh para dokter sehingga
kadang-kadang dapat membahayakan si penderita sendiri.
Gejala-gejala klinis pada penderita hemofilia
biasanya mulai muncul sejak masa balita pada saat anak mulai pandai merangkak,
berdiri, dan berjalan di mana pada saat itu karena seringnya mengalami trauma
berupa tekanan maka hal ini merupakan pencetus untuk terjadinya perdarahan
jaringan lunak (soft tissue) dari sendi lutut sehingga
menimbulkan pembengkakan sendi dan
keadaan ini kadang-kadang sering disangkakan sebagai arteritis rematik,
pembengkakan sendi ini akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Perdarahan spontan biasanya terjadi tanpa adanya trauma dan umumnya
sering terjadi pada penderita hemofilia berat. Selain persendian perdarahan
oleh karena trauma atau spontan sering juga terjadi pada lokasi yang lain diantaranya yaitu perdarahan pada daerah ileopsoas, perdarahan hidung
(epistaxis). Pada penderita hemofilia sedang dan ringan gejala-gejala awal
muncul biasanya pada waktu penderita hemofilia mulai tumbuh kembang
menjadi lebih besar, di mana pada saat itu si anak sering mengalami sakit
gigi dan perlu dilakukan ekstraksi gigi atau kadang-kadang giginya terlepas
secara spontan dan kemudian terjadi perdarahan yang sukar untuk
dihentikan, dan tidak jarang biasanya pada penderita hemofilia ringan
baru diketahui seseorang menderita hemofilia saat penderita menjalani
sirkumsisi/sunatan yang menyebabkan terjadi perdarahan yang terus
menerus dan kadang-kadang dapat menyebabkan terjadi hematom yang
hebat pada alat kelaminnya.
keadaan ini kadang-kadang sering disangkakan sebagai arteritis rematik,
pembengkakan sendi ini akan menimbulkan rasa sakit yang luar biasa.
Perdarahan spontan biasanya terjadi tanpa adanya trauma dan umumnya
sering terjadi pada penderita hemofilia berat. Selain persendian perdarahan
oleh karena trauma atau spontan sering juga terjadi pada lokasi yang lain diantaranya yaitu perdarahan pada daerah ileopsoas, perdarahan hidung
(epistaxis). Pada penderita hemofilia sedang dan ringan gejala-gejala awal
muncul biasanya pada waktu penderita hemofilia mulai tumbuh kembang
menjadi lebih besar, di mana pada saat itu si anak sering mengalami sakit
gigi dan perlu dilakukan ekstraksi gigi atau kadang-kadang giginya terlepas
secara spontan dan kemudian terjadi perdarahan yang sukar untuk
dihentikan, dan tidak jarang biasanya pada penderita hemofilia ringan
baru diketahui seseorang menderita hemofilia saat penderita menjalani
sirkumsisi/sunatan yang menyebabkan terjadi perdarahan yang terus
menerus dan kadang-kadang dapat menyebabkan terjadi hematom yang
hebat pada alat kelaminnya.
Perdarahan merupakan gejala dan tanda klinis
khas yang sering dijumpai pada kasus hemofilia. Perdarahan dapat timbul secara
spontan atau akibat trauma ringan sampai sedang serta dapat timbul saat bayi
mulai belajar merangkak. Manifestasi klinik tersebut tergantung pada beratnya
hemofilia (aktivitas faktor pembekuan). Tanda perdarahan yang sering dijumpai
yaitu berupa hemartrosis, hematom subkutan/intramuskular, perdarahan mukosa
mulut, perdarahan intrakranial, epistaksis dan hematuria. Sering pula dijumpai
perdarahan yang berkelanjutan pasca operasi kecil (sirkumsisi, ekstraksi gigi).
Hemartrosis paling sering ditemukan (85%)
dengan lokasi berturut-turut sebagai berikut, sendi lutut, siku, pergelangan
kaki, bahu, pergelangan tangan dan lainnya. Sendi engsel lebih sering mengalami
hemartrosis dibandingkan dengan sendi peluru, karena ketidakmampuannya menahan
gerakan berputar dan menyudut pada saat gerakan voluntar maupun involunter,
sedangkan sendi peluru lebih mampu menahan beban tersebut karena fungsinya.
Hematoma intramuskular terjadi pada otot-otot
fleksor besar, khususnya pada otot betis, otot-otot regio iliopsoas (sering
pada panggul) dan lengan bawah. Hematoma ini sering menyebabkan kehilangan
darah yang nyata, sindrom kompartemen, kompresi saraf dan kontraktur otot.
Perdarahan intrakranial merupakan penyebab
utama kematian, dapat terjadi spontan atau sesudah trauma. Perdarahan
retroperitoneal dan retrofaringeal yang membahayakan jalan nafas dapat
mengancam kehidupan.
Hematuria masif sering ditemukan dan dapat
menyebabkan kolik ginjal tetapi tidak mengancam kehidupan. Perdarahan pasca
operasi sering berlanjut selama beberapa jam sampai beberapa hari, yang
berhubungan dengan penyembuhan luka yang buruk.
Diagnosis Hemofilia
Diagnosis hemofilia dibuat berdasarkan riwayat
keluarga, riwayat perdarahan, gambaran klinik dan pemeriksaan laboratorium.
Hemofilia dicurigai pada pasien dengan adanya riwayat :
o
Mudah berdarah pada usia kanak-kanak awal
o
Perdarahan spontan (umumnya pada sendi-sendi
dan jaringan lunak)
o
Perdarahan masif setelah trauma atau tindakan
bedah
Pada penderita dengan gejala perdarahan atau
riwayat perdarahan, pemeriksaan laboratorium yang perlu diminta adalah
pemeriksaan penyaring hemostasis yang terdiri atas hitung trombosit, uji
pembendungan, masa perdarahan, PT (prothrombin
time – masa protrombin plasma), APTT
(activated partial thromboplastin time – masa tromboplastin parsial teraktivasi) dan TT (thrombin
time – masa trombin). Pada hemofilia A atau B akan dijumpai pemanjangan
APTT sedangkan pemerikasaan hemostasis lain yaitu hitung trombosit, uji
pembendungan, masa perdarahan, PT dan TT dalam batas normal. Pemanjangan APTT
dengan PT yang normal menunjukkan adanya gangguan pada jalur intrinsik sistem
pembekuan darah. Faktor VIII dan IX berfungsi pada jalur intrinsik sehingga
defisiensi salah satu dari faktor pembekuan ini akan mengakibatkan pemanjangan
APTT yaitu tes yang menguji jalur intrinsik sistem pembekuan darah.
Sampai saat ini riwayat keluarga masih
merupakan cara terbaik untuk melakukan tapisan pertama terhadap kasus
hemofilia, meskipun terdapat 20-30% kasus hemofilia terjadi akibat mutasi
spontan kromosom X pada gen penyandi F VIII/F IX. Seorang anak laki-laki diduga
menderita hemofilia jika terdapat riwayat perdarahan berulang (hemartrosis,
hematom) atau riwayat perdarahan memanjang setelah trauma atau tindakan
tertentu dengan atau tanpa riwayat keluarga. Anamnesis dan pemeriksaan fisik
sangat penting sebelum memutuskan pemeriksaan penunjang lainnya.
Kelainan laboratorium ditemukan pada gangguan
uji hemostasis, seperti pemanjangan masa pembekuan (CT) dan masa tromboplastin
partial teraktivasi (aPTT), abnormalitas uji thromboplastin generation, dengan
masa perdarahan dan masa protrombin (PT) dalam batas normal.
Diagnosis definitif ditegakkan dengan
berkurangnya aktivitas F VII/F IX, dan jika sarana pemeriksaan sitogenik
tersedia dapat dilakukan pemeriksaan petanda gen F VIII/F IX. Aktivitas F
VIII/F IX dinyatakan dalam U/mL dengan arti aktivitas faktor pembekuan dalam 1
mL plasma normal adalah 100%. Nilai normal aktivitas F VIII/F IX adalah 0,5-1,5
U/mL atau 50-150%. Harus diingat adalah membedakan hemofilia A dengan penyakit
von Willebrand, dengan melihat rasio F VIII C:F VIII AG dan aktivitas F vW (uji
Ristosetin) rendah.
1. Hasil
Pemeriksaan Laboratorium
Pemeriksaan
berikut ini hasilnya abnormal :
o
Masa tromboplastin parsial teraktivasi (Activated
partial thromboplastin time, APTT)
o
Pemeriksaan pembekuan faktor VIII atau faktor
IX
Masa perdarahan dan masa protrombin (PT)
normal.
1. Tingkatan
Hemofilia
Hemofilia
A dan B dapat di golongkan dalam 3 tingkatan, yaitu :
Table
2. Tingkat Hemofilia
Klasifikasi
|
Kadar Faktor VII dan Faktor IX di dalam
darah
|
Berat
Sedang
Ringan
|
Kurang dari 1% dari jumlah normalnya
1% – 5% dari jumlah normalnya
5% – 30% dari jumlah normalnya
|
Penderita hemofilia parah/berat yang hanya
memiliki kadar faktor VIII atau faktor IX kurang dari 1% dari jumlah normal di
dalam darahnya, dapat mengalami beberapa kali perdarahan dalam sebulan. Kadang
– kadang perdarahan terjadi begitu saja tanpa sebab yang jelas.
Penderita hemofilia sedang lebih jarang
mengalami perdarahan dibandingkan hemofilia berat. Perdarahan kadang terjadi
akibat aktivitas tubuh yang terlalu berat, seperti olah raga yang berlebihan.
Penderita hemofilia ringan lebih jarang
mengalami perdarahan. Mereka mengalami masalah perdarahan hanya dalam situasi
tertentu, seperti operasi, cabut gigi atau mangalami luka yang serius. Wanita
hemofilia ringan mungkin akan pengalami perdarahan lebih pada saat mengalami
menstruasi.
1. Manifestasi
Perdarahan pada Hemofilia
Table 3. Gambaran
Klinis dan Laboratoris pada Hemofilia A, Hemofilia B, dan Penyakit von
Willebrand
|
Hemofilia A
|
Hemofilia B
|
Penyakit von Willebrand
|
Pewarisan
Lokasi perdarahan utama
Jumlah trombosit
Waktu perdarahan
PPT
aPTT
F VIII C
F VIII AG
F IX
Tes Ristosetin
|
X-linked recessive
Sendi, otot, pascatrauma/operasi
Normal
Normal
Normal
Memanjang
Rendah
Normal
Normal
Normal
|
X-linked recessive
Sendi, otot, pascatrauma/operasi
Normal
Normal
Normal
Memanjang
Normal
Normal
Rendah
Normal
|
Autosomal dominant
Mukosa, kulit, pascatrauma/operasi
Normal
Memanjang
Normal
Memanjang/normal
Rendah
Rendah
Normal
Terganggu
|
Diagnosis Banding
o
Hemofilia A dan B dengan defisiensi faktor XI
dan XII.
o
Hemofilia A dengan penyakit von Willebrand
(khususnya varian Normandy), inhibitor F VIII yang didapat dan kombinasi
defisiensi F VIII dan V kongenital.
o
Hemofilia B dengan penyakit hati, pemakaian
warfarin, defisiensi vitamin K, sangat jarang inhibitor F IX yang didapat.
Penatalaksanaan
Pengobatan penderita hemofilia memerlukan
pemberian F VIII dan F IX yang adekuat, seumur hidup dan secara periodik
sehingga mereka dapat mencapai harapan hidup yang normal dan berkehidupan
seperti layaknya orang yang normal.
1. Terapi
Suportif
o
Melakukan pencegahan baik menghindari
luka/benturan
o
Merencanakan suatu tindakan operasi serta
mempertahankan kadar aktivitas faktor pembekuan sekitar 30-50%.
o
Untuk mengatasi perdarahan akut yang terjadi
maka dilakukan tindakan pertama seperti Rest,
Ice, Compressio, Elevation (RICE) pada lokasi perdarahan.
o
Kortikosteroid. Pemberian kortikosteroid
sangat membantu untuk menghilangkan proses inflamasi pada sinovitis akut yang
terjadi setelah serangan akut hemartrosis. Pemberian Prednison 0,5-1
mg/kgBB/hari selama 5-7 hari dapat mencegah terjadinya gejala sisa berupa kaku
sendi (artrosis) yang mengganggu aktivitas harian serta menurunkan kualitas
hidup pasien hemofilia.
o
Analgetika. Pemakaian analgetika diindikasikan
pada pasien hemartrosis dengan nyeri hebat, dan sebaiknya dipilih analgetika
yang tidak mengganggu agregasi trombosit (harus dihindari pemakaian Aspirin dan
antikoagulan).
o
Rehabilitasi medik. Sebaiknya dilakukan sedini
mungkin secara komprehensif dan holistik dalam sebuah tim, karena keterlambatan
pengelolaan akan menyebabkan kecacatan dan ketidakmampuan baik fisik, okupasi,
maupun psikososial dan edukasi. Rehabilitasi medik artritis hemofilia meliputi:
latihan pasif/aktif, terapi dingin dan panas (hati-hati), penggunaan ortosis,
terapi psikososial dan terapi rekreasi serta edukasi.
1. Terapi
Pengganti Faktor Pembekuan
Pemberian
faktor pembekuan dilakukan 3 kali seminggu untuk menghindari kecacatan fisik
(terutama sendi) sehingga pasien hemofilia dapat melakukan aktivitas normal.
Namun untuk mencapai tujuan tersebut dibutuhkan faktor anti hemofilia (AHF)
yang cukup banyak dengan biaya yang tinggi.
Pemberian
biasanya dilakukan dalam beberapa hari sampai luka atau pembengkakan membaik,
serta khususnya selama fisioterapi.
1. Konsentrat
F VIII/F IX
Hemofilia
A berat maupun hemofilia ringan dan sedang dengan episode perdarahan yang
serius membutuhkan koreksi faktor pembekuan dengan kadar yang tinggi yang harus
diterapi dengan konsentrat F VIII yang telah dilemahkan virusnya.
Faktor
IX tersedia dalam 2 bentuk, yaitu prothrombin complex concentrates (PCC) yang
berisi F II, VII, IX, dan purified F IX concentrates yang berisi sejumlah F IX
tanpa faktor yang lain. PCC dapat menyebabkan trombosis paradoksikal dan
koagulasi intravena tersebar yang disebabkan oleh sejumlah konsentrat faktor
pembekuan lain.
Waktu
paruh F VIII adalah 8-12 jam sedangkan F IX 24 jam dan volume distribusi dari F
IX kira-kira 2 kali dari F VIII.
Metode penghitungan alternatif lain adalah
satu unit F VIII mampu meningkatkan aktivitasnya di dalam plasma 0,02 U/mL (2%)
selama 12 jam; sedangkan 1 unit F IX dapat meningkatkan aktivitasnya di dalam
plasma sampai 0,01 U/mL (1%) selama 24 jam.
1. Kriopresipitat
AHF
Kriopresipitat
yaitu komponen darah non seluler yang mengandung banyak F VIII, fibrinogen,
faktor von Willebrand. Dapat diberikan pada hemofilia A, per kantong darah
mengandung F VIII 60 – 80 IU, dosis pemakaian F VIII berkisar antara 20 – 40
IU/kg BB/kali sehingga jumlah kriopresipitat yang dibutuhkan bisa berkisar
antara 5 – 20 kantong.
1. 1-Deamino
8-D Arginin Vasopresin (DDAVP) atau Desmopresin
Desmopresin
(DDAVP) merupakan hormon yang digunakan untuk mengobati pasien dengan hemofilia
A yang ringan hingga sedang. DDAVP tidak dapat digunakan untuk untuk mengobati
hemofilia B atau hemofilia A yang berat. Setelah pemberian DDAVP secara
intravena, terdapat peningkatan sedang faktor VIII pasien sendiri oleh karena
pelepasan dari sel endotel dan peningkatan ini proporsional terhadap kadar
istirahat. DDAVP juga dapat diberikan per-nasal – cara ini telah digunakan
sebagai pengobatan segera untuk hemofilia ringan setelah trauma kecelakaan atau
perdarahan.
2. Antifibrinolitik
Antifibrinolitik
(Asam traneksamat) dapat digunakan bersamaan dengan terapi pengganti untuk
menstabilisasikan bekuan/fibrin dengan cara menghambat proses fibrinolisis. Hal
ini ternyata sangat membantu dalam pengelolaan pasien hemofilia dengan
perdarahan; terutama pada kasus perdarahan mukosa mulut akibat ekstraksi gigi
karena saliva banyak mengandung enzim fibrinolitik.Epsilon
aminocarproic acid (EACA) dapat diberikan secara
oral maupun intravena dengan dosis awal 200 mg/kgBB, diikuti 100 mg/kgBB setiap
6 jam (maksimum 5 g setiap pemberian). Asam traneksamat diberikan dengan dosis
25 mg/kgBB (maksimum 1,5 g) secara oral, atau 10 mg/kgBB (maksimum 1 g) secara
intravena setiap 8 jam.asam traneksamat juga dapat dilarutkan 10% bagian dengan
cara parenteral, terutama salin normal.
3. Terapi
Gen
Penelitian
terapi gen dengan menggunakan vektor retrovirus, adenovirus dan
adeno-associated virus memberikan harapan baru bagi pasien hemofilia. Saat ini
sedang intensif dilakukan penelitian invivo dengan memindahkan vektor
adenovirus yang membawa gen antihemofilia ke dalam sel hati. Gen F VIII relatif
lebih sulit dibandingkan gen F IX, karena ukurannya (9 kb) lebih besar; namun
akhir tahun 1998 para ahli berhasil melakukan pemindahan plasmid-based factor
VIII secara ex vivo ke fibroblas.
4. Terapi
Profilaksis
Pengobatan
profilaksis teratur dengan faktor VIII sebagai usaha untuk mencegah terjadinya
episode perdarahan. Profilaksis yang dimulai sebelum usia 3 tahun yang
ditujukan untuk mempertahankan kadar faktor VIII atau faktor IX di atas 1%
telah direkomendasikan di AS.
Penderita
hemofilia dianjurkan untuk menjalani perawatan gigi yang teratur. Anak-anak
penderita hemofilia dan orang tua mereka sering kali memerlukan bantuan
ekstensif dalan masalah sosial dan psikologis. Dengan pengobatan modern, gaya
hidup seorang anak penderita hemofilia dapat menjadi hampir normal, tetapi
penderita harus menghindari aktivitas tertentu seperti olahraga dengan kontak
tubuh.
Penyulit Pengobatan
1. Inhibitor
Faktor Pembekuan
Penyulit
yang berpotensi mengancam kehidupan pasien hemofilia adalah terbentuknya
antibodi (inhibitor) poliklonal terhadap F VIII atau F IX yang ditemukan pada
5-10% pasien. Antibodi ini akan menghambat aktivitas faktor pembekuan, sehingga
pemberian terapi pengganti kurang efektif atau bahkan tidak efektif sama
sekali, sehingga harus diberikan dosis yang sangat besar untuk mencapai
peningkatan aktivitas faktor VIII dan IX plasma yang bermakna. Mekanisme
terbentuknya antibodi ini belum diketahui secara menyeluruh, kemungkinan
sensitisasi berulang akibat pemberian komponen darah atau konsentrat faktor
pembekuan, namun ternyata inhibitor ini dapat ditemukan pada anak-anak
hemofilia A yang hanya diberi faktor pembekuan rekombinan atau bahkan pada
mereka yang tidak pernah diterapi.
2. Penularan
Penyakit
Penularan
pengakit melalui produk darah cukup tinggi terjadi di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, seperti hepatitis, malaria, HIV, HTLV-1, virus Epstein
Barr, HHV6, Cytomegalovirus, Parvovirus B 19, penyakit Chagas, penyakit Lyme,
dan penyakit Creutzfeld-Jacob.
3. Reaksi
Alergi
Komplikasi
Komplikasi terpenting yang timbul pada
hemofilia A dan B adalah :
1. Timbulnya
inhibitor. Suatu inhibitor terjadi jika sistem kekebalan tubuh melihat
konsentrat faktor VIII atau faktor IX sebagai benda asing dan menghancurkannya.
2. Kerusakan
sendi akibat perdarahan berulang. Kerusakan sendi adalah kerusakan yang
disebabkan oleh perdarahan berulang di dalam dan di sekitar rongga sendi.
Kerusakan yang menetap dapat disebabkan oleh satu kali perdarahan yang berat
(hemarthrosis). Namun secara normal, kerusakan merupakan akibat dari perdarahan
berulang ulang pada sendi yang sama selama beberapa tahun. Makin sering
perdarahan dan makin banyak perdarahan makin besar kerusakan.
3. Infeksi
yang ditularkan oleh darah seperti HIV, hepatitis B dan hepatitis C yang
ditularkan melalui konsentrat faktor pada waktu sebelumnya.
Komplikasi yang sering ditemukan adalah
artropati hemofilia, yaitu penimbunan darah intra artikular yang menetap dengan
akibat degenerasi kartilago dan tulang sendi secara progresif. Hal ini
menyebabkan penurunan sampai rusaknya fungsi sendi. Hemartrosis yang tidak
dikelola dengan baik juga dapat menyebabkan sinovitis kronik akibat proses
peradangan jaringan sinovial yang tidak kunjung henti. Sendi yang sering
mengalami komplikasi adalah sendi lutut, pergelangan kaki dan siku.
Perdarahan yang berkepanjangan akibat tindakan
medis sering ditemukan jika tidak dilakukan terapi pencegahan dengan memberikan
faktor pembekuan darah bagi hemofilia sedang dan berat sesuai dengan macam
tindakan medis itu sendiri (cabut gigi, sirkumsisi, apendektomi, operasi
intraabdomen/intratorakal). Sedangkan perdarahan akibat trauma sehari-hari yang
tersering berupa hemartrosis, perdarahan intramuskular dan hematom. Perdarahan
intrakranial jarang terjadi, namun jika terjadi berakibat fatal.
Pencegahan
Belum banyak yang dapat dilakukan dalam
program pencegahan penurunan secara genetik dari hemofilia ini baik di
Indonesia maupun di luar negeri, dua hal yang perlu dipikirkan saat ini dan
bila mungkin dapat dilaksanakan agar tidak mendapat keturunan yang menderita
hemofilia yaitu:
1. Menentukan
apakah seorang wanita sebagai carier hemofilia atau tidak, dengan pemeriksaan DNA probe untuk menentukan kemungkinan adanya mutasi pada kromosom X, cara
ini yang paling baik. Atau dari wawancara riwayat keluarga namun cara ini
kurang akurat yaitu:
o
Seorang wanita diduga carier bila dia merupakan anak perempuan dari seorang laki-laki penderita
hemofilia,
o
Bila dia merupakan ibu dari seorang anak
laki-lakinya penderita hemofilia,
o
Wanita dimana saudara laki-lakinya penderita
hemofilia atau dia merupakan nenek dari seorang cucu laki-laki hemofilia,
1. Antenatal
diagnosis hemofilia yaitu dengan menentukan langsung F VIII dan F IX sampel
darah yang diambil dari vena tali pusat bayi di dalam kandungan dengan
kehamilan 16-20 minggu.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar