Hemofilia
Bila terjadi pendarahan pada seseorang
yang normal dan sehat, misalnya terluka, maka dalam waktu yang tidak terlalu
lama perdarahan tersebut akan berhenti sendiri, apakah itu dengan bantuan
penekanan pada tempat luka ataupun tidak.
Mekanisme tubuh untuk menghentikan
perdarahan itu dinamakan mekanisme pembekuan darah. Dalam mekanisme itu
terlibat sebagai faktor yang berinteraksi satu sama lain membentuk sumbat
pembekuan.
Faktor-faktor yang terlibat terutama
pembuluh darah, keping darah atau trombosit, dan faktor pembekuan. Bila salah
satu faktor ini fungsinya kurang baik atau jumlah/kadarnya kurang, akan
mengakibatkan perdarahn yang berlangsung lama atau bahkan dapat terjadi
perdarahan spontan. Gangguan fungsi atau kekurangan tersebut biasanya berdiri
sendiri-sendiri. Contohnya, penyakit hemofilia.
Hemofilia adalah gangguan pembekuan
darah akibat kekurangan faktor pembekuan. Penyakit ini diturunkan dari orang
tua dan merupakan gangguan pembekuan yang terbanyak ditemukan. Namun demikian,
sekitar 30% tidak mempunyai riwayat keluarga (turunan).
Dikenal dua macam hemofilia. Hemofilia
A karena kekurangan faktor VIII dan hemofilia B akibat kekurangan faktor IX.
Faktor-faktor pembekuan berjumlah 13 dan diberi nomor dengan angka Romawi
(I-XIII).
Hemofilia, terutama A, tersebar di
seluruh dunia dan umumnya tidak mengenai ras tertentu. Angka kejadiannya
diperkirakan 1 di antara 5 ribu-10 ribu kelahiran bayi laki-laki. Sedangkan
hemofilia B, sekitar 1 diantara 25 ribu-30 ribu kelahiran bayi laki-laki.
Sebagian besar (sekitar 80%) hemofilia A.
Hemofilia diturunkan oleh ibu sebagai
pembawa sifat yang mempunyai 1 kromosom X normal dan 1 kromosom X hemofilia.
Penderita hemofilia, mempunyai kromosom Y dan 1 kromosom X hemofilia. Seorang
wanita diduga membawa sifat jika:
ayahnya pengidap hemofilia
mempunyai saudara laki-laki dan 1 anak
laki-laki hemofilia, dan
mempunyai lebih dari 1 anak laki-laki
hemofilia
Karena sifatnya menurun, gejala klinis
hemofilia A atau B dapat timbul sejak bayi, tergantung beratnya penyakit.
Hemofilia A atau B dibagi tiga kelompok:
Berat (kadar faktor VIII atau IX
kurang dari 1%)
Sedang (faktor VIII/IX antara 1%-5%)
dan
Ringan (faktor VIII/X antara 5%-30%).
Gejala bisa berupa perdarahan abnormal
dan biasanya terletak didalam, seperti sendi otot atau jaringan lunak lain, dan
kulit, ini biasanya ditemukan pada bayi yang mulai merangkak, atau bisa terjadi
perdarahan hidung, saluran kemih, bahkan perdarahan otak.
Pada hemofilia berat, perdarahan dapat
terjadi spontan tanpa trauma. Sedangkan yang sedang, biasanya perdarahan
didahului trauma ringan. Hemofilia ringan umumnya tanpa gejala atau dapat
terjadi perdarahan akibat trauma lebih berat.
Diagnosis biasanya ditegakkan
berdasarkan riwayat perdarahan, gejala klinik yang ditemukan, dan pemeriksaan
laboratorium secara khusus.
Apabila terjadi perdarahan pada
penderita, misalnya di sendi, tindakan sementara yang dapat segera dilakukan
ialah RICE.
Jadi, sendi yang mengalami perdarahan
diistirahatkan (Rest), dikompres es (Ice), ditekan/dibebat (Compression), dan
ditinggikan (Elevation). Kemudian, dalam dua jam, sudah harus diberikan
pengobatan komprehensif dengan memberikan faktor pembekuan yang kurang (faktor
VIII atau IX).
Faktor pembekuan diperoleh dari plasma
beku segar, bagian dari plasma yang dibekukan, atau faktor yang dimurnikan.
Tetapi, faktor-faktor ini mahal, khususnya yang dimurnikan.
Obat yang dapat mengganggu pembekuan
darah, seperti aspirin, tidak dibenarkan untuk penderita hemofilia.
Penanganan hemofilia perlu dilakukan
ahli terkait, seperti hematologi, tulang, transfusi darah, patologi klinik,
fisioterapi, infeksi, gizi, psikoterapi, dan terapi okupasional.
Dengan penanganan yang baik, penderita
merupakan sumber daya manusia berkualitas dan produktif, sama seperti orang
normal. Namun di Indonesia, penanganannya belum memuaskan sehingga cukup banyak
penderita yang menderita cacat. Akibatnya, lapangan kerja bagi mereka sulit terbuka.
Penyebab tidak terlaksananya
pengobatan secara baik karena asuransi kesehatan swasta tidak menyantuni
penderita hemofilia ini. Maka, hemofilia memerlukan penanganan yang baik dan
menjadi tanggung jawab seluruh masyarakat, kalangan medis saja.
DD
ITP
Apa
sih ITP??
ITP [Idiopathic Thrombocytopenic
Purpurae] ialah suatu gangguan autoimun yang ditandai dengan trombositopeni
[angka trombosit darah perifer kurang dari 150.000/mm3] akibat destruksi
prematur trombosit yang meningkat [akibat autoantibody yang mengikat antigen
trombosit]
Didalam tubuh manusia, ada yang
namanya sistem hemostasis. Hemostasis ialah suatu fungsi tubuh yang bertujuan
untuk mempertahankan keenceran darah sehingga darah tetap mengalir dalam
pembuluh darah dan menutup kerusakan dinding pembuluh darah sehingga mengurangi
kehilangan darah pada saat terjadinya ekrusakan pembuluh darah. Faal hemostasis
melibatkan 4 sistem, yakni ; sistem vaskkuler, sistem trombosit, sistem
koagulasi dan sistem fibrinolisis.
Adanya trombositopenia pada ITP ini
akan mengakibatkan gangguan pada sistem hemostasis tersebut.
Kok
bisa terjadi trombositopenia sih??
Dalam keadaan normal, umur trombosit
sekitar 10 hari, sedangkan pada ITP, umur trombosit memendek menjadi 2-3 hari
atau bahkan hanya beberapa menit saja. Memendeknya umur trombosit ini
disebabkan karena peningkatan destruksi trombosit di limpa oleh karena proses
imunologi, dan umur trombosit berhubungan dengan kadar antibody platelet,
sehingga bila kadar antibody platelet meninggi, maka umur trombosit semakin
pendek
Yang memegang peran dalam menimbulkan
perdarahan pada ITP diduga tidak saja tergantung pada jumlah trombosit, tetapi
juga fungsi trombosit dan kelainan vaskuler.
Diperkirakan insidensi ITP ini terjadi
pada 100 kasus pada 1 juta penduduk per tahun, dan setengahnya terjad pada
anak-anak.
Secara
klinis, ITP ini dibagi menjadi 2 kelompok, yaitu :
1. ITP Akut
ITP akut [kurang dari 6 bulan] ini
lebih sering terjadi pada anak [usia 2-6 tahun], seringkali terjadi setelah
infeksi virus akut [Rubeola, Rubella, Varicella zoozter, Epstein Barr virus]
dan penyakit saluran nafas yang disebabkan oleh virus. Manifestasi perdarahan
ITP akut pada anak biasanya ringan, perdarahan intracranial terjadi kurang dari
1% pasien. Biasanya ITP akut pada anak ini self limiting, remisi spontan
terjadi pada 90% pasien [dimana 60% sembuh dalam 4-6 minggu, dan lebih dari 90%
sembuh dalam 3-6 bulan]. Dan sekitar 5-10% lainnya berkembang menjadi ITP
kronik [berlangsung lebih dari 6 bulan]
2. ITP kronik
ITP kronik ini terutama dijumpai pada
wanita berumur 15-50 tahun. Episode perdarahan dapat berlangsung beberapa hari
sampai beberapa minggu, mungkin intermitten, bahkan terus menerus.
Bila penderita ITP diperiksa secara
fisik, maka biasanya keadaan umumnya baik, tidak didapatkan demam, dan tidak
ada pembesaran limpa maupun hati.
Gejala klinis bervariasi tergantung
jumlah trombosit serta kadar antibodi platelet. Anemia baru didapatkan bila
terjadi perdarahan hebat. Gejala ITP sendiri biasanya pelahan-lahan dengan
riwayat mudah berdarah dengan trauma maupun tanpa trauma. Pada umumnya bentuk
perdarahannya ialah purpura pada kulit dan mukosa [hidung, gusi, saluran
makanan dan traktus urogenital].
Perdarahan spontan terjadi bila jumlah
trombosit < 50.000/mm3, dan bila jumlah trombosit < 10.000/mm3 akan
berisiko terjadi perdarahan intracranial [komplikasi serius, mengenai sekitar
1% dari penderita ITP].
The
Next Thing… How to Diagnose?
Diagnosa ITP ditegakkan jika dijumpai
:
1. Gambaran klinik berupa perdarahan
kulit atau mukosa
2. Ada trombositopenia [jumlah
trombosit < 150.000/mm3]
3. Tidak didapatkan pembesaran limpa
4. Pada pemeriksaan sumsum tulang ;
megakariosit normal atau meningkat
5. Ada antibody platelet [IgG
positif]--> Tapi bukan suatu keharusan
6. Tidak ada penyebab trombositopenia
sekunder
Untuk praktisnya [dan juga karena
keterbatasan alat] sebagian besar diagnosa ITP ditegakkan dengan cara eksklusi
[menyingkirkan faktor-faktor sekunder yang dapat menyebabkan trombositopeni],
seperti SLE, obat-obatan, trombositopenia post transfuse, leukemia.
Dan mungkin pada sebagian besar kasus
ITP pada anak, awalnya akan didiagnosa dengan DHF dengan manifestasi perdarahan
[grade III-IV], tapi seperti yang disebutkan diatas, pada ITP tidak didapatkan
demam, pembesaran limpa dan tidak ada peningkatan hematokrit.
And
then the Next Step… Therapy…
Terapi ITP lebih ditujukan untuk
menjaga jumlah trombosit dalam kisaran aman, sehingga mencegah terjadinya
perdarahan mayor. Terapi umum meliputi aktivitas fisik berlebihan untuk
mencegah trauma [terutama trauma kepala], dan menghindari pemakaian obat-obatan
yang mempengaruhi fungsi trombosit [seperti Aspirin dan obat Aspirin-like
lainnya]
Pada prinsipnya, pengobatan pada ITP
ialah untuk menurunkan kadar PA IgG, dan terapi utama yang dianjurkan ialah
steroid. Pada penderita yang responsif terhadap terapi steroid, akan terjadi penurunan
kadar autoantibodi dan peningkatan trombosit. Efek steroid umumnya terlihat
setelah terapi selama 24-48 hari.
Steroid yang biasa digunakan ialah
prednison, dosis 1mg/kg BB/ hari [pada orang dewasa sekitar 60-mg/hari],
dievaluasi setelah pengobatan 2-4 minggu. Bila responsif --> dosis
diturunkan pelahan-lahan sampai kadar trombosit stabil atau dipertahankan
sekitar 50.000/mm3. Dosis pemeliharaan prednison ini sebaiknya < 15mg/hari
Bila terapi steroid ini dianggap gagal
[unresponsive] atau perlu dosis pemeliharaan yang tinggi, maka diperlukan
splenektomi [sebagian besar berespon baik]atau diberikan obat-obatan
imunosupresif lainnya seperti Vincristine, Cyclophosphamide, Azathioprin, atau
Danazol. Pemakaian high dose Immunoglobulin juga dilaporkan bermanfaat. Dan
pemberian transfuse TC dipertimbangkan pada penderita dengan perdarahan mayor.
And
now.. The Prognose…
Ada beberapa factor yang mempengaruhi
prognosa yaitu usia penderita, jumlah trombosit, kadar antibody platelet dan
lama timbulnya keluhan. Respon terapi dapat mencapai 50-70% dengan pemberian
steroid.
Pada penderita muda, umumnya prognosa
baik Sedangkan ITP yang refrakter terhadap pengobatan steroid, splenektomi,
maupun imunosupresif lainnya biasanya prognosa jelek [mortalitas sekitar 16%].
Dan penyebab kematian pada ITP biasanya disebabkan oleh perdarahan intrkranial,
sepsis post splenektomi atau post terapi imunosupresif.
ITP (Idiopathic Thrombocytopenic
Purupura) adalah suatu kelainan pada sel pembekuan darah yakni trombosit yang
jumlahnya menurun sehingga menimbulkan perdarahan. Perdarahan yang terjadi
umumnya pada kulit berupa bintik merah hingga ruam kebiruan.
Penyebab dari ITP ini tidak diketahui
secara pasti, mekanisme yang terjadi melalui pembentukan antibodi yang
menyerang sel trombosit, sehingga sel trombosit mati.
ITP terbagi dua yakni akut ITP dan
kronik ITP.Batasan yang dipakai adalah waktu jika dibawah 6 bulan disebut akut
ITP dan diatas 6 bulan disebut kronik ITP. Akut ITP sering terjadi pada
anak-anak sedangkan kronik ITP sering terjadi pada dewasa.
Diagnosis ITP adalah pada pemeriksaan
terdapat perdarahan di kulit bahkan mimisan dan pada laboratorium jumlah
trombosit menurun dan pada pemeriksaan BMP (bone marrow puncture) terdapat sel
megakariosit.
Pengobatan ITP umumnya tidak
memerlukan pengobatan yang serius tetapi bila terjadi perdarahan dan jumlah
trombosit menurun hingga dibawah 20.000/ul maka dianjurkan untuk transfusi
trombosit. Pengobatan lain yang dapat diberikan adalah dengan pemberian kortikosteroid
dan dihentikan obat ini bila sudah meningkat jumlah trombositnya.
Perhatian yang harus diingat pada
penderita ITP adalah hindari obatan yang dapat meningkatkan perdarahan seperti
aspirin, hindari benturan yang membuat luka.
DIC
Pengertian Disseminated Intravascular
Coagulation (DIC) adalah suatu keadaan dimana bekuan-bekuan darah kecil
tersebar di seluruh aliran darah, menyebabkan penyumbatan pada pembuluh darah
kecil dan berkurangnya faktor pembekuan yang diperlukan untuk mengendalikan
perdarahan. Disseminated intravascular coagulation (D.I.C. ) adalah suatu
keadaan hiperkoagulabilitas darah yang disebabkan oleh bermacam penyakit atau
keadaan, dimana pada suatu saat darah merah bergumpal didalam kapiler diseluruh
tubuh. Penggumpalan darah dapat terjadi dalam waktu singkat, beberapa jam
sampai satu sampai dua hari (acute D I C) dan dapat juga dalam waktu yang lama,
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan (chronic D I C). Pada D I C akut terjadi
penggumpalan darah dalam waktu singkat, hal ini mengaki-batkan sebagian besar
bahan-bahan koagulasi, seperti trombosit, fibrinogen dan lain faktor pembekuan
( I sampai XIII) dipergunakan dalam proses penggumpalan tersebut, oleh karena
itu, keadaan ini disebut juga consumption coagulapathy atau defibrinolysis syndrome.
Kesemuanya ini berakibat terjadinya perdarahan dari yang ringan sampai berat. Penyebab
Keadaan ini diawali dengan pembekuan darah yang berlebihan, yang biasanya
dirangsang oleh suatu zat racun di dalam darah. Karena jumlah faktor pembekuan
berkurang, maka terjadi perdarahan yang berlebihan. Orang-orang yang memiliki
resiko paling tinggi untuk menderita DIC : 5 Wanita yang telah menjalani
pembedahan kandungan atau persalinan disertai komplikasi, dimana jaringan rahim
masuk ke dalam aliran darah Penderita infeksi berat, dimana bakteri
melepaskan endotoksin (suatu zat yang menyebabkan terjadinya aktivasi
pembekuan) Penderita leukemia tertentu atau penderita kanker lambung,
pankreas maupun prostat. Orang-orang yang memiliki resiko tidak terlalu tinggi
untuk menderita DIC:5 Penderita cedera kepala yang hebat Pria yang telah
menjalani pembedahan prostat Terkena gigitan ular berbisa. Komplikasi
obstetrik bisa menyebabkan DIC, terutama pada keadaan abrupsi plasenta dan
emboli cairan amnion. Cairan amnion itu sendiri dapat mengaktivasi koagulasi,
sehingga jika terdapat sumbatan seperti pada preeklamsia dan sindrom HELLP
(hemolysis, elevated liver function, low platelet), juga akan terjadi koagulasi
sistemik. DIC biasanya menjadi komplikasi sekunder penyakit-penyakit tersebut.
Patofisiologi 1. Consumptive coagulopathy Pada prinsipnya DIC dapat dikenali
jika terdapat aktivasi sistem pembekuan darah secara sistemik. Trombosit yang
menurun terus-menerus, komponen fibrin bebas yang terus berkurang, disertai
tanda-tanda perdarahan merupakan tanda dasar yang mengarah kecurigaan ke DIC.
Karena dipicu penyakit/trauma berat, akan terjadi aktivasi pembekuan darah,
terbentuk fibrin dan deposisi dalam pembuluh darah, sehingga menyebabkan
trombus mikrovaskular pada berbagai organ yang mengarah pada kegagalan fungsi
berbagai organ. Akibat koagulasi protein dan platelet tersebut, akan terjadi
komplikasi perdarahan. Karena terdapat deposisi fibrin, secara otomatis tubuh
akan mengaktivasi sistem fibrinolitik yang menyebabkan terjadi bekuan
intravaskular. Dalam sebagian kasus, terjadinya fibrinolisis (akibat pemakaian
alfa2-antiplasmin) juga justru dapat menyebabkan perdarahan. Karenanya, pasien
dengan DIC dapat terjadi trombosis sekaligus perdarahan dalam waktu yang bersamaan,
keadaan ini cukup menyulitkan untuk dikenali dan ditatalaksana. Pengendapan
fibrin pada DIC terjadi dengan mekanisme yang cukup kompleks. Jalur utamanya
terdiri dari dua macam, pertama, pembentukan trombin dengan perantara faktor
pembekuan darah. Kedua, terdapat disfungsi fisiologis antikoagulan, misalnya
pada sistem antitrombin dan sistem protein C, yang membuat pembentukan trombin
secara terus-menerus. Sebenarnya ada juga jalur ketiga, yakni terdapat depresi
sistem fibrinolitik sehingga menyebabkan gangguan fibrinolisis, akibatnya
endapan fibrin menumpuk di pembuluh darah. Nah, sistem-sistem yang tidak
berfungsi secara normal ini disebabkan oleh tingginya kadar inhibitor
fibrinolitik PAI-1. Seperti yang tersebut di atas, pada beberapa kasus DIC
dapat terjadi peningkatan aktivitas fibrinolitik yang menyebabkan perdarahan.
Sepintas nampak membingungkan, namun karena penatalaksanaan DIC relatif
suportif dan relatif mirip dengan model konvensional, maka tulisan ini akan
membahas lebih dalam tentang patofisiologi DIC. depresi prokoagulan DIC terjadi
karena kelainan produksi faktor pembekuan darah, itulah penyebab utamanya.
Karena banyak sekali kemungkinan gangguan produksi faktor pembekuan darah,
banyak pula penyakit yang akhirnya dapat menyebabkan kelainan ini. Garis start
jalur pembekuan darah ialah tersedianya protrombin (diproduksi di hati)
kemudian diaktivasi oleh faktor-faktor pembekuan darah, sampai garis akhir
terbentuknya trombin sebagai tanda telah terjadi pembekuan darah. Pembentukan trombin dapat dideteksi saat tiga
hingga lima jam setelah terjadinya bakteremia atau endotoksemia melalui
mekanisme antigen-antibodi. Faktor koagulasi yang relatif mayor untuk dikenal
ialah sistem VII(a) yang memulai pembentukan trombin, jalur ini dikenal dengan
nama jalur ekstrinsik. Aktivasi pembekuan darah sangat dikendalikan oleh
faktor-faktor itu sendiri, terutama pada jalur ekstrinsik. Jalur intrinsik
tidak terlalu memegang peranan penting dalam pembentukan trombin. Faktor
pembekuan darah itu sendiri berasal dari sel-sel mononuklear dan sel-sel
endotelial. Sebagian penelitian juga mengungkapkan bahwa faktor ini dihasilkan
juga dari sel-sel polimorfonuklear. Kelainan fungsi jalur-jalur alami pembekuan
darah yang mengatur aktivasi faktor-faktor pembekuan darah dapat
melipatgandakan pembentukan trombin dan ikut andil dalam membentuk fibrin.
Kadar inhibitor trombin, antitrombin III, terdeteksi menurun di plasma pasien
DIC. Penurunan kadar ini disebabkan kombinasi dari konsumsi pada pembentukan trombin,
degradasi oleh enzim elastasi, sebuah substansi yang dilepaskan oleh netrofil
yang teraktivasi serta sintesis yang abnormal. Besarnya kadar antitrombin III
pada pasien DIC berhubungan dengan peningkatan mortalitas pasien tersebut.
Antitrombin III yang rendah juga diduga berperan sebagai biang keladi
terjadinya DIC hingga mencapai gagal organ. Berkaitan dengan rendahnya kadar
antitrombin III, dapat pula terjadi depresi sistem protein C sebagai
antikoagulasi alamiah. Kelainan jalur protein C ini disebabkan down regulation
trombomodulin akibat sitokin proinflamatori dari sel-sel endotelial, misalnya
tumor necrosis factor-alpha (TNF-α) dan interleukin 1b (IL-1b). Keadaan ini
dibarengi rendahnya zimogen pembentuk protein C akan menyebabkan total protein
C menjadi sangat rendah, sehingga bekuan darah akan terus menumpuk. Berbagai
penelitian pada hewan (tikus) telah menunjukkan bahwa protein C berperan
penting dalam morbiditas dan mortalitas DIC. Selain antitrombin III dan protein
C, terdapat pula senyawa alamiah yang memang berfungsi menghambat pembentukan
faktor-faktor pembekuan darah. Senyawa ini dinamakan tissue factor pathway
inhibitor (TFPI). Kerja senyawa ini memblok pembentukan faktor pembekuan (bukan
memblok jalur pembekuan itu sendiri), sehingga kadar senyawa ini dalam plasma
sangatlah kecil, namanya pun jarang sekali kita kenal dalam buku teks. Pada
penelitian dengan menambahkan TFPI rekombinan ke dalam plasma, sehingga kadar
TFPI dalam tubuh jadi meningkat dari angka normal, ternyata akan menurunkan
mortalitas akibat infeksi dan inflamasi sistemik. Tidak banyak pengaruh senyawa
ini pada DIC, namun sebagai senyawa yang mempengaruhi faktor pembekuan darah,
TFPI dapat dijadikan bahan pertimbangan terapi DIC dan kelainan koagulasi di
masa depan. Defek Fibrinolisis Pada keadaan aktivasi koagulasi maksimal, saat
itu sistem fibrinolisis akan berhenti, karenanya endapan fibrin akan terus
menumpuk di pembuluh darah. Namun pada keadaan bakteremia atau endotoksemia,
sel-sel endotel akan menghasilkan Plasminogen Activator Inhibitor tipe 1
(PAI-1). Pada kasus DIC yang umum, kelainan sistem fibrinolisis alami (dengan
antitrombin III, protein C, dan aktivator plasminogen) tidak berfungsi secara
optimal, sehingga fibrin akan terus menumpuk di pembuluh darah. Pada beberapa
kasus DIC yang jarang, misalnya DIC akibat acute myeloid leukemia M-3 (AML)
atau beberapa tipe adenokasrsinoma (mis. Kanker prostat), akan terjadi
hiperfibrinolisis, meskipun trombosis masih ditemukan di mana-mana serta
perdarahan tetap berlangsung. Ketiga patofisiologi tersebut menyebabkan
koagulasi berlebih pada pembuluh darah, trombosit akan menurun drastis dan
terbentuk kompleks trombus akibat endapan fibrin yang dapat menyebabkan iskemi
hingga kegagalan organ, bahkan kematian. Gejala DIC biasanya muncul tiba-tiba dan bisa
bersifat sangat berat. Jika keadaan ini terjadi setelah pembedahan atau
persalinan, maka permukaan sayatan atau jaringan yang robek bisa mengalami
perdarahan hebat dan tidak terkendali. Perdarahan bisa menetap di daerah tempat
penyuntikan atau tusukan; perdarahan masif bisa terjadi di dalam otak, saluran
pencernaan, kulit. Otot dan rongga tubuh. Bekuan darah di dalam pembuluh darah
yang kecil bisa merusak ginjal (kadang sifatnya menetap) sehingga tidak terbentuk
air kemih. Diagnosis Pemeriksaan darah
menunjukkan :4,5 – Penurunan jumlah faktor pembekuan – Adanya bekuan-bekuan
kecil yang tidak biasa – Sejumlah besar hasil pemecahan bekuan darah. Tidak ada
metode khusus untuk mendiagnosis DIC selain menilai gejala klinis berupa
perdarahan terus-menerus dengan gejala sianosis perifer serta melihat hasil lab
dengan trombositopenia, masa perdarahan global yang memanjang signifikan (PT
dan aPTT), serta Fibrin Degradation Produc (FDP), atau spesifiknya D-dimer akan
meningkat (walaupun keduanya juga meningkat pada trauma berat). DIC dapat
terjadi hampir pada semua orang tanpa perbedaan ras, jenis kelamin, serta usia.
Gejala-gejala DIC umumnya sangat terkait dengan penyakit yang mendasarinya,
ditambah gejala tambahan akibat trombosis, emboli, disfungsi organ, dan
perdarahan. Keadaan ini terjadi akibat sepsis atau infeksi berat, trauma,
destruksi organ, keganasan (tumor padat atau myelo/limfoproliferatif), penyakit
obstetrik (emboli cairan amnion dan abrupsi plasenta), abnormalitas vaskular
(sindrom Kasabach-Meritt dan aneurisma pembuluh darah besar), penyakit hepar
yang berat, reaksi toksik-imunologik dari bisa ular, obat-obatan, reaksi
transfusi, dan penolakan transplantasi. Pada pemeriksaan fisik DIC akan sangat
tergantung etiologi penyakit tersebut. DIC akut akan memperlihatkan petekia
pada palatum mole dan tungkai dan ekimosis pada bekas punksi vena, keduanya
akibat trombositeopenia. Pasien seperti ini juga akan terdapat ekimosis pada
area-area yang traumatik. Sedangkan pasien DIC kronik atau subakut hanya akan
memperlihatkan tanda dan gejala akibat trombosis dan tromboemboli pada organ
tertentu. Keadaan ini terjadi akibat kelainan berbagai penyakit. Secara umum
seperti yang tersebut di atas, terdapat dua jalur yang menjadi penyebab
terjadinya DIC, pertama, respon inflamasi sistemik yang umumnya akibat sepsis
atau trauma hebat sehingga mengaktifkan sitokin dan faktor pembekuan darah.
Kedua, pajanan materi prokoagulan ke pembuluh darah (mis. Pasien kanker atau
obstetrik). Pada situasi tertentu, dua jalur penyebab DIC ini bisa muncul
secara bersamaan (mis. Trauma mayor atau pankreatitis nekrotik berat).
Sangatlah buram untuk mendiagnosis jika kita hanya mengandalkan klinis dan lab
tersebut di atas. Cara terbaik untuk mengenali DIC selain pemeriksaan fisis dan
penunjang ialah dengan mengetahui penyakit-penyakit apa saja yang biasanya
potensial menyebabkan DIC. Penatalaksanaan Penyebabnya harus dicari dan
diatasi, apakah gangguan kebidanan, infeksi atau kanker. Jika penyebabnya
diatasi, maka gangguan pembekuan bisa berkurang. DIC bisa berakibat fatal,
sehingga harus diatasi sesegera mungkin. Diberikan transfusi trombosit dan
faktor pembekuan untuk menggantikan kekurangan dan menghentikan perdarahan.
Untuk memperlambat pembekuan kadang diberikan heparin. Tidak ada
penatalaksanaan khusus untuk DIC selain mengobati penyakit yang mendasarinya,
misalnya jika karena infeksi, maka bom antibiotik diperlukan untuk fase akut,
sedangkan jika karena komplikasi obstetrik, maka janin harus dilahirkan
secepatnya. Transfusi trombosit dan komponen plasma hanya diberikan jika
keadaan pasien sudah sangat buruk dengan trombositopenia berat dengan
perdarahan masif, memerlukan tindakan invasif, atau memiliki risiko komplikasi
perdarahan. Terbatasnya syarat transfusi ini berdasarkan pemikiran bahwa
menambahkan komponen darah relatif mirip menyiram bensin dalam api kebakaran,
namun pendapat ini tidak terlalu kuat, mengingat akan terjadinya
hiperfibrinolisis jika koagulasi sudah maksimal. Sesudah keadaan ini merupakan
masa yang tepat untuk memberi trombosit dan komponen plasma, untuk memperbaiki
kondisi perdarahan. Satu-satunya terapi medikamentosa yang dipakai ialah
pemberian antitrombosis, yakni heparin. Obat kuno ini tetap diberikan untuk meningkatkan
aktivitas antitrombin III dan mencegah konversi fibrinogen menjadi fibrin. Obat
ini tidak bisa melisis endapan koagulasi, namun hanya bisa mencegah terjadinya
trombogenesis lebih lanjut. Heparin juga mampu mencegah reakumulasi clot
setelah terjadi fibrinolisis spontan. Dengan dosis dewasa normal heparin drip
4-5 U/kg/jam IV infus kontinu, pemberian heparin harus dipantau minimal setiap
empat jam dengan dosis yang disesuaikan. Bolus heparin 80 U tidak terlalu
sering dipakai dan tidak menjadi saran khusus pada jurnal-jurnal hematologi.
Namun pada keadaan akut pemberian bolus dapat menjadi pilihan yang bijak dan
rasional. Apalagi ancaman DIC cukup serius, yakni menyebabkan kematian hingga
dua kali lipat dari risiko penyakit tersebut tanpa DIC. Semakin parah kondisi
DIC, semakin besar pula risiko kematian yang harus dihadapi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar