Skenario 6 Part 2
Author : Cindra Pramesthi
Polip Nasi
- Pengertian
Polip Hidung adalah suatu pertumbuhan
dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak. Polip nasi atau polip hidung
adalah kelainan selaput permukaan hidung berupa massa lunak yang bertangkai
berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan dengan permukaan licin
dan agak bening karena mengandung banyak cairan. Kelainan pada hidung
biasanya timbul karena manifestasi dari penyakit yang lain dan tidak berdiri
sendiri, penyakit ini sering dihubungkan dengan astma, rhinitis alergika, dan
sinusitis, di luar negeri sendiri penyakit ini sering dihubungkan dengan
seringnya penggunaan aspirin.
- Penyebab
Penyebab terjadinya polip tidak
diketahui, tetapi beberapa polip tumbuh karena adanya pembengkakan akibat
infeksi. Terdapat 3 faktor penting yang berperan di dalam terjadinya polip,
yaitu
a.
Peradangan
lama dan berulang pada selaput permukaan hidung dan sinus
b.
Gangguan
keseimbangan Vasomotor
c.
Peningkatan
tekanan cairan antar ruang sel dan bengkak selaput permukaan hidung
Dengan adanya faktor alergi dan radang
kronis yang berulang-ulang, maka terjadilah perubahan pada mukosa hidung,
perubahan pembuluh darah, dan juga pembuluh limfe. Keadaan ini akan berkembang
terjadinya hambatan balik cairan interstitial. Cairan yang terkumpul selanjutnya
akan menimbulkan semacam bendungan yang bersifat pasif. Dari keadaan ini,
berkembang menjadi pembengkakan di mukosa hidung. Makin lama proses ini
berlangsung, penonjolan mukosa hidung akan bertambah panjang, sampai pada
akhirnya terbentuk tangkai, maka terbentuklah polip.
- Histopatologi
Epitel normal dari kavum nasi
adalah epitel kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel permukaan dari sinus
lebih tipis, memiliki sel goblet dan silia yang lebih sedikit bila dibandingkan
dengan kavum nasi.
Berdasarkan histologisnya terdapat 4
tipe dari polip nasi:
a.
Eosinofilik
edematous
Tipe ini merupakan jenis yang paling
banyak ditemui yang meliputi kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan
adanya stroma yang edema, peningkatan sel goblet dalam jumlah normal, jumlah
eosinofil yang meningkat tinggi, sel mast dalam stroma, dan penebalan
membranbasement.
b.
Polip
inflamasi kronik
Tipe ini hanya terdapat kurang dari
10% kasus polip nasi. Tipe ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma
dan penurunan jumlah dari sel goblet. Penebalan dari
membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi mungkin
dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri atas
fibroblas.
c.
Polip
dengan hiperplasia dari glandula seromusinous.
Tipe ini hanya terdapat kurang dari 5%
dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula dan
duktus dalam jumlah yang banyak.
d.
Polip
dengan atipia stromal
Tipe ini merupakan jenis yang jarang
ditemui dan dapat mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal
atau menunjukkan gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut
sebagai suatu neoplasma.2
Pada polip nasi, tapi peningkatan IgE
merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan
tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah
bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada
saluran napas.
Beberapa mediator inflamasi juga dapat
ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang
konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia
lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma
Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ
menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya
bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas .
TGF-β yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling
kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler.
Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan
terjadinya edema submukosa pada polip nasi.
- Patogenesis
Mekanisme patogenesis yang
bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip nasi sulit ditentukan. Adapun
faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara lain:
a. Proses inflamasi yang disebabkan
penyebab multifaktorial termasuk familiar dan faktor herediter
b. Aktivasi respon imun lokal
c. Hiperaktivitas dari persarafan
parasimpatis.
Semua jenis imunoglobulin dapat
ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling
tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun.
Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah
memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.
Beberapa mediator inflamasi juga dapat
ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang
konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia
lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma
Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ
menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya
bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas .
TGF-β yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling
kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler.
Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang
akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan
terjadinya edema submukosa pada polip nasi.
Fenomena bernouli menyatakan bahwa
udara yang mengalir melalui celah yang sempit akan mengakibatkan tekanan
negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan yang lemah akan terhisap oleh
tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini dapat menjelaskan
mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks osteomatal.
Patogenesis polip pada awalnya
ditemukan bengkak selaput permukaan yang kebanyakan terdapat pada meatus
medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga selaput
permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila proses terus membesar dan
kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadi
Polip.
- Polip sering ditemukan pada penderita:
·
Asma
Bronkiale, 20-50% penderita asma mengalami polip
·
Ciystic
Fibrosis – Polyps terjadi sekitar 6-48% pada penderita CF
·
Rinitis
Alergi
·
allergic
fungal sinusitis – Terjadi sekitar 85%
·
Rinosinusitis
kronik
·
Primary
ciliary dyskinesia
·
Aspirin
intolerance – Terjadi sekitar 8-26% pada penderita polip
·
Alcohol
intolerance – Terjadi sekitar 50% pada penderita polip
·
Churg-Strauss
syndrome – Terjadi sekitar 50 % pada penderita Churg-Strauss
syndrome
·
Young
syndrome (chronic sinusitis, nasal polyposis, azoospermia)
·
Nonallergic
rhinitis with eosinophilia syndrome (NARES) – Terjadi sekitar
20 % pada penderita NARES
- Gejala
Pada anamnesis kasus polip biasanya
timbul keluhan utama adalah hidung tersumbat.sumbatan ini menetap dan
tidak hilang timbul. Semakin lama keluhan dirasakan semakin berat. Pasien
sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus.
Gejala lain adalah hiposmia (gangguan penciuman). Gejala lainnya
dapat timbul jika teradapat kelainan di organ sekitarnya seperti post
nasal drip (cairan yang mengalir di bagian belakang mulut), suara bindeng,
nyeri muka, telinga terasa penuh, snoring (ngorok), gangguan tidur dan
penurunan kualitas hidup.
Polip menyebabkan penyumbatan hidung,
karena itu penderita seringkali mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera
penciuman. Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka
penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman.
Polip hidung juga bisa menyebabkan
penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke hidung. Penyumbatan ini
menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama berada
di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis. Penderita
anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya.
Secara pemeriksaan mikroskopis tampak
epitel pada polip serupa dengan selaput permukaan hidung normal yaitu epitel
bertingkat semu bersilia dengan subselaput permukaan yang sembab.
Polip menyebabkan penyumbatan hidung,
karena itu penderita seringkali mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera
penciuman. Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka
penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman. Polip
hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus
ke hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus.
Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan
akhirnya terjadi sinusitis. Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan
bernafas melalui mulutnya.
Jadi gejala polip ini sangat beragam.
Mulai dari pilek yang berlangsung lama, bersin-bersin, hidung tersumbat yang
bersifat menetap, sering mimisan, keluhan akan adanya massa di hidung, sukar
buang ingus, gangguan penciuman, bentuk hidung yang tak lagi simetris, bengek
atau bindeng, telinga rasa penuh, mendengkur/gangguan tidur, lendir dan rasa
kering yang terkumpul di tenggorokan, sakit kepala, dll. Kesemua keluhan itu
tentu saja amat mengganggu dan sangat mempengaruhi produktivitas hidup si
penderita.
- Diagnosis
Diagnosis dapat ditegakkan
melalui beberapa pemeriksaan Anamnesis dan pemeriksaan fisik
a. Anamnesis
Melalui anamnesis dapat ditanyakan
keluhan-keluhan yang berkaitan dengan gangguan yang ditimbulkan oleh polip
nasi, diantaranya:
·
Hidung
tersumbat
·
Rinore,
mulai dari jernih sampai purulen bila terdapat infeksi sekunder
·
Post
nasal drip, gejala ini ditandai dengan merasakan adanya suatu cairan yang jatuh
secara terus menerus ke belakang rongga mulut dikarenakan mukus yang berasal
dari kavum nasi.
·
Anosmia
atau hiposmia
·
Suara
sengau karena sumbatan pada hidung
·
Sakit
kepala dan snoring bila polipnya berukuran besar
·
Pembesaran
hidung dan muka apabila massa polip sudah bertambah besar
·
Terdapatnya
gejala-gejala sinusitis apabila polip sudah mengganggu drainase muara sinus ke
rongga hidung
Polip yang besar kadang-kadang dapat
mengganggu pernapasan saat tidur yang menimbulkan obstructive sleep apnea.
Selain keluhan-keluhan di atas, harus juga ditanyakan riwayat rinitis, asma,
intoleransi terhadap aspirin, alergi obat lainnya, dan alergi makanan.
b. Pemeriksaan fisik
Dengan pemeriksaan rhinoskopi
anterior biasanya polip sudah dapat dilihat, polip yang masif seringkali
menciptakan kelainan pada hidung bagian luar. Pemeriksaan Rontgen dan CT scan
dapat dilakukan untuk Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir
membengkak akibat penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus
pada rongga hidung. Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata
dan jika telah matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna
keabu-abuan.
Polip nasi yang masif dapat
menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena
pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat
adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah
digerakkan. Pembagian polip nasi sebagai berikut :
·
Grade
0 : Tidak ada polip
·
Grade
1 : Polip terbatas pada meatus media
·
Grade
2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi belum
menyebabkan obstruksi total
·
Grade
3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total
c. Naso-endoskopi
Naso-endoskopi memberikan gambaran
yang baik dari polip, khususnya polip berukuran kecil di meatus media. Polip
stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi
anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada kasus polip
koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius
sinus maksila. Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan
rawat jalan tanpa harus ke meja operasi.
d. Pemeriksaan
radiologi
Foto polos sinus paranasal
(posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan
penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi
pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan
sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus
paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek
osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi
dengan medikamentosa.
- Pengobatan
Terapi polip nasi dapat terbagi atas
terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa bertujuan
untuk mengurangi gejala dan ukuran polip, menunda selama mungkin perjalanan
penyakit, mencegah pembedahan, dan mencegah kekambuhan setelah prosedur
pembedahan. Terapi pembedahan bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan
mencegah kekambuhan. Oleh karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi
pembedahan juga mengalami kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani
pembedahan akan mengalami kekambuhan.
Terapi medikamentosa ditujukan pada
polip yang masih kecil yaitu pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan
dalam jangka waktu singkat, dapat juga diberiksan kortikosteroid hidung atau
kombinasi keduanya.
Penggunaa kortikosteroid pada pasien
polip nasi dapat terbagi atas pemberian topikal dan sistemik. Penggunaan
kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian topikal dan
sistemik. Obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid kadang bisa
memperkecil ukuran polip atau bahkan menghilangkan polip.
Kortikosteroid sistemik
Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek merupakan metode alternatif
untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip. Berbeda dengan steroid topikal,
steroid sistemik dapat mencapai seluruh bagian hidung dan sinus, termasuk celah
olfaktorius dan meatus media dan memperbaiki penciuman lebih baik dari steroid
topikal. Penggunaan steroid sistemik juga dapat merupakan pendahuluan dari
penggunaan steroid topikal dimana pemberian awal steroid sistemik bertujuan
membuka obstruksi nasal sehingga pemberian steroid topikal spray selanjutnya
menjadi lebih sempurna
Antibiotik Polip nasi dapat
menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat timbulnya infeksi. Pengobatan
infeksi dengan antibiotik akan mencegah perkembangan polip lebih lanjut dan
mengurangi perdarahan selama pembedahan. Pemilihan antibiotik dilakukan
berdasarkan kekuatan daya bunuh dan hambat terhadap spesies
staphylococcus, streptococcus, dan golongan anaerob yang merupakan
mikroorganisme tersering yang ditemukan pada sinusitis kronik.
Tindakan pengangkatan polip dapat
digunakan menggunakan senar polip dan anestesi lokal. Untuk polip yang besar
dan menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang lebih besar
dan anestesi umum.
Indikasi
Pembedahan
·
Polip
berhubungan dengan tumor.
·
Polip
menghalangi saluran pernafasan
·
Polip
menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus
Rhinitis Alergika
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi
yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah
tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator
kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut.
Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun
2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa
gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai
oleh IgE (Irawati et.al, 2007).
Patofisiologi
Histamine
akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa
gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar
mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat
sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat
vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga
menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi
pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Timbulnya gejala
hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan
mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik
(allergen), iritasi oleh faktor non-spesifik dapat memperberat gejala seperti
asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembapan udara yang
tinggi (Irawati et.al, 2007).
Gambaran Klinis
Secara khas dimulai pada usia yang
sangat muda dengan gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair
dan gatal, dan postnasal drip. Keluhan yang lazim menyertai polip hidung adalah
hidung tersumbat dan rinore. Gejala dan tanda terjadinya sinusitis tergantung
pada sinus yang terlibat. Secara khas dapat berupa nyeri kepala, nyeri tekan,
atau nyeri pada daerah sinus yang terkena, sumbatan hidung, secret hidung, dan
sakit tenggorokan. Oleh beberapa ahli dikatakan bahwa sebagian sinusitis aktif
dapat memperhebat asma bronchial (Blumenthal, 1997).
Klasifikasi
Berdasarkan sifat
berlangsungnya (Irawati et.al, 2007):
a.
Rhinitis
alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
b.
Rhinitis
alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala intermiten atau terus menerus, tanpa
variasi musim. Penyebab tersering adalah allergen inhalan.
Berdasarkan klasifikasi rekomendasi
WHO ARIA tahun 2001, berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi (Irawati
et.al, 2007):
a.
Intermiten
(kadang-kadang), kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
b.
Persisten/menetap,
bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu
Rhinitis alergi dibagi menjadi 3 (Irawati et.al, 2007) :
Rhinitis alergi dibagi menjadi 3 (Irawati et.al, 2007) :
1)
Ringan.
Tidak ada gangguan tidur, aktivitas, bersantai, olahraga, bekerja, dan hal-hal
lain mengganggu.
2)
Sedang-berat.
Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.
Sinusitis
Ada empat pasang sinus paranasal,
mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla, sinus frontal, sinus etmoid, dan
sinus sphenoid kanan dan kiri (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Sinusitis
didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai dan
dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Mangunkusumo &
Soetjipto, 2007).
Sinus maxilla berbentuk pyramid. Dari
segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1)
dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu
premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C),
dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus,
sehingga infeksi gigi geligi mudah naik keatas menyebabkan sinusitis; 2)
sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) ostium sinus maksila
terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari
gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit.
Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat
radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan
selanjutnya menyebabkan sinusitis (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat
dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau
lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus.
Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa
cerebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah
ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus
frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2007).
Sinus etmoid adalah sinus yang paling
bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan
fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid
seperti pyramid, dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga,
terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat dalam massa
bagian lateral os.etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial
orbita. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan
sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis
maksila (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus sphenoid terletak dalam os
sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Saat sinus berkembang, pembuluh
darah dari nervus di bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan
dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sphenoid
(Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Di dalam sinus terdapat mukosa
bersilia dan palut lendir diatasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara
teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya untuk mengikuti
jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2
aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus
anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring didepan
muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior
bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di
postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati secret
pasca-nasal (post nasal drip) tetapi belum tentu ada secret di rongga hidung
(Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Etiologi dan Faktor Predisposisi
Beberapa
faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam
rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip
hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan
kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik,
diskinesia silia, dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak,
hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis. Faktor lain
yang berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta
kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan
merusak silia (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Patofisiologi
Organ-organ
pembentuk KOM letaknya berdekatan, dan bila terjadi edema, mukosa yang
berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium
tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang
menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap
sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari
tanpa pengobatan (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Bila
kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik
untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini
disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Jika
terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi
berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak
dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan
mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan
kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo &
Soetjipto, 2007).
Klasifikasi dan Mikrobiologi
Konsensus
internasional tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu,
subakut antara 4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3
bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan
dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik
adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati sampai tuntas (Mangunkusumo
& Soetjipto, 2007).
Gejala Sinusitis
Keluhan
utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan
pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal
drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Nyeri tekan di
daerah sinus yang terkena, kadang nyeri terasa di tempat lain (referred pain).
Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang bola
mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan
sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri di vertex, oksipital,
belakang bola mata, atau daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada
nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala,
hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak
pada anak (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Keluhan
sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya 1 atau 2
dari gejala seperti sakit kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik,
gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba
Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkhitis),
bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit
diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Pemeriksaan Sinus Paranasal
- Inspeksi
Adanya pembengkakan pada muka.
Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin
menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin
menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan
pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2007).
- Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk
di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat
nyeri tekan di dasar sinus frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal,
yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri
tekan di daerah kantus medius (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
- Transiluminasi
Hanya dapat digunakan untuk memeriksa
sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologic tidak
tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah
infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal
atau terdapat neoplasma di dalam antrum (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Bila
terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada
pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya
perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila (Soetjipto &
Mangunkusumo, 2007).
- Pemeriksaan Radiologik
Bila dicurigai adanya kelainan di
sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologic. Posisi rutin yang
dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi Waters terutama untuk
melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi
postero-anterior untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral
untuk menilai sinus frontal, sphenoid, dan etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo,
2007).
Terapi
- mempercepat penyembuhan
- mencegah komplikasi
- mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka
sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Indikasi bedah sinus endoskopi
fungsional (BSEF/FESS) berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah
terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel;
polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur
(Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Daftar pustaka
Kramer MF, Rasp G. Nasal polyposis: eosinophils and
interleukin-5. Allergy. Jul 1999;54(7):669-80. [Medline].
Lee CH, Lee KS, Rhee CS, Lee SO, Min YG. Distribution of
rantes and interleukin-5 in allergic nasal mucosa and nasal polyps. Ann
Otol Rhinol Laryngol. Jun 1999;108(6):594-8. [Medline].
Lund V. Advances in the treatment of nasal polypopsis.
Introduction. Allergy. 1999;54 Suppl 53:5-6. [Medline].
Lund VJ. The effect of sinonasal surgery on
asthma. Allergy. 1999;54 Suppl 57:141-5. [Medline].
Morinaka S, Nakamura H. Inflammatory cells in nasal mucosa
and nasal polyps. Auris Nasus
Larynx. Jan 2000;27(1):59-64. [Medline].
Mygind N. Advances in the medical treatment of nasal
polyps. Allergy. 1999;54 Suppl 53:12-6. [Medline].
Mygind N, Dahl R, Bachert C. Nasal polyposis, eosinophil
dominated inflammation, and allergy. Thorax. Oct 2000;55 Suppl
2:S79-83. [Medline].
Tidak ada komentar:
Posting Komentar