Author : andika wima, della
1. Patofisiologi Demam
Secara teoritis kenaikan suhu
pada infeksi dinilai menguntungkan, oleh karena aliran darah makin cepat
sehingga makanan dan oksigenasi makin lancar. Namun kalau suhu terlalu tinggi
(di atas 38,5ºC) pasien mulai merasa tidak nyaman, aliran darah cepat, jumlah
darah untuk mengaliri organ vital (otak, jantung, paru) bertambah, sehingga
volume darah ke ekstremitas dikurangi, akibatnya ujung kaki/tangan teraba
dingin.
Demam
yang tinggi memacu metabolisme yang sangat cepat, jantung dipompa lebih kuat
dan cepat, frekuensi napas lebih cepat. Dehidrasi terjadi akibat penguapan
kulit dan paru dan disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit, yang mendorong suhu makin tinggi.
Kerusakan
jaringan akan terjadi bila suhu tubuh lebih tinggi dari 410C, terutama pada jaringan otak
dan otot yang bersifat permanen. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan
batang otak, terjadinya kejang, koma sampai kelumpuhan. Kerusakan otot yang
terjadi berupa rabdomiolisis dengan akibat terjadinya mioglobinemia.
2. Komplikasi Demam
Pada anak yang sering mengalami
demam tinggi hingga kejang, anak memiliki potensi mengalami gangguan syaraf
bahkan epilepsy akibat kerusakan saraf otak. Akibatnya kecerdasan anak akan
berkurang. (komplikasi demam jangka panjang)
Dehidrasi yang di sertai mata
cekung dan elastisitas kulit berkurang, anak terlihat lemas dengan bibir kering
dan pecah-pecah. Demam juga dapat menyebabkan nafas menjadi sesak dan kesadaran
menurun.
3. TERAPI TERHADAP
DEMAM
Terapi
non-farmakologi
Adapun
yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:
1.
Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat
yang cukup.
2. Tidak
memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita
lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis
pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada
penderita.
3.
Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif
terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan
menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro
& Zieve, 2010).
Terapi
farmakologi
Obat-obatan
yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol
(asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas
sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada
anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik.
Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan
resiko sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik, Pineda, & Kest, 2010).
Dosis
parasetamol untuk dewasa 300 mg-1 g per kali dengan maksimum 4g hari. Anak 6-12
tahun: 150-300 mg/kali, maksimum 1,2 g/hari. Anak 1-6 tahun: 60-120 mg/kali dan
bayi dibawah 1 tahun: 60 mg/kali (Wilmana & Gan, 2007). Parasetamol
tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang
mengandung 120 mg/5ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan
kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan (Wilmana & Gan,
2007).
Selain
pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk
mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi
infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas
kultur bakteri apabila memungkinkan (Graneto, 2010).
4. FAKTOR RISIKO DEMAM
Risiko
antara anak dengan terjadinya demam akut terhadap suatu penyakit serius
bervariasi tergantung usia anak. Pada umur tiga bulan pertama, bayi memiliki
risiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi bakteri yang serius dibandingkan
dengan bayi dengan usia lebih tua. Demam yang terjadi pada anak pada umumnya adalah demam yang
disebabkan oleh infeksi virus. Akan tetapi infeksi bakteri yang serius dapat
juga terjadi pada anak dan menimbulkan gejala demam seperti bakteremia, infeksi
saluran kemih, pneumonia, meningitis, dan osteomyelitis (Jenson &
Baltimore, 2007).
Pada anak
dengan usia di diantara dua bulan sampai dengan tiga tahun, terdapat
peningkatan risiko terkena penyakit serius akibat kurangnya IgG yang merupakan
bahan bagi tubuh untuk membentuk sistem komplemen yang berfungsi mengatasi
infeksi. Pada anak dibawah usia tiga tahun pada umumnya terkena infeksi virus
yang berakhir sendiri tetapi bisa juga terjadi bakteremia yang tersembunyi
(bakteremia tanpa tanda fokus). Demam yang terjadi pada anak dibawah tiga tahun
pada umumnya merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi seperti influenza,
otitis media, pneumonia, dan infeksi saluran kemih. Bakteremia yang tersembunyi
biasanya bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri akan tetapi juga dapat
menjadi pneumonia, meningitis, arthritis, dan pericarditis (Jenson & Baltimore,
2007).
5. MEKANISME KERJA OBAT
Efek obat terjadi karena adanya interaksi
fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian
tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru dalam jaringan
tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi dan
proses fisiologi (Batubara, 2008). Untuk
dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses
itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase
farmakodinamik. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara
pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan (Batubara,
2008). Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik, merupakan proses kerja obat
pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat fisika
kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur
atau rute pemberian obat (Batubara, 2008). Menurut Katzung (2007), suatu obat
harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan
jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada
tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral.
Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh tubuh
pada obat (Katzung, 2007). Fase ini
menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh
obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur
kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap
reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya (Batubara, 2008).
Sumber :
Sari Pediatri,
Vol. 2, No. 2, Agustus 2000:
Artikel
kesehatan
repositoryusu
Tidak ada komentar:
Posting Komentar