Kamis, 11 Juni 2015

Skenario 6 Part 2 Blok 12


Skenario 6 Part 2
Author : Cindra Pramesthi

Polip Nasi
  1. Pengertian
Polip Hidung adalah suatu pertumbuhan dari selaput lendir hidung yang bersifat jinak. Polip nasi atau polip hidung adalah kelainan selaput permukaan hidung berupa massa lunak yang bertangkai berbentuk bulat atau lonjong, berwarna putih keabu-abuan dengan permukaan licin dan agak bening karena mengandung banyak cairan.  Kelainan pada hidung biasanya timbul karena manifestasi dari penyakit yang lain dan tidak berdiri sendiri, penyakit ini sering dihubungkan dengan astma, rhinitis alergika, dan sinusitis, di luar negeri sendiri penyakit ini sering dihubungkan dengan seringnya penggunaan aspirin.
  1. Penyebab
Penyebab terjadinya polip tidak diketahui, tetapi beberapa polip tumbuh karena adanya pembengkakan akibat infeksi. Terdapat 3 faktor penting yang berperan di dalam terjadinya polip, yaitu
a.       Peradangan lama dan berulang pada selaput permukaan hidung dan sinus
b.      Gangguan keseimbangan Vasomotor
c.       Peningkatan tekanan cairan antar ruang sel dan bengkak selaput permukaan hidung
Dengan adanya faktor alergi dan radang kronis yang berulang-ulang, maka terjadilah perubahan pada mukosa hidung, perubahan pembuluh darah, dan juga pembuluh limfe. Keadaan ini akan berkembang terjadinya hambatan balik cairan interstitial. Cairan yang terkumpul selanjutnya akan menimbulkan semacam bendungan yang bersifat pasif. Dari keadaan ini, berkembang menjadi pembengkakan di mukosa hidung. Makin lama proses ini berlangsung, penonjolan mukosa hidung akan bertambah panjang, sampai pada akhirnya terbentuk tangkai, maka terbentuklah polip.
  1. Histopatologi
 Epitel normal dari kavum nasi adalah epitel kolumnar bertingkat semu bersilia. Epitel permukaan dari sinus lebih tipis, memiliki sel goblet dan silia yang lebih sedikit bila dibandingkan dengan kavum nasi.
Berdasarkan histologisnya terdapat 4 tipe dari polip nasi:
a.       Eosinofilik edematous
Tipe ini merupakan jenis yang paling banyak ditemui yang meliputi kira-kira 85% kasus. Tipe ini ditandai dengan adanya stroma yang edema, peningkatan sel goblet dalam jumlah normal, jumlah eosinofil yang meningkat tinggi, sel mast dalam stroma, dan penebalan membranbasement.

b.      Polip inflamasi kronik
Tipe ini hanya terdapat kurang dari 10% kasus polip nasi. Tipe ini ditandai dengan tidak ditemukannya edema stroma dan penurunan jumlah dari sel goblet. Penebalan dari membran basement tidak nyata. Tanda dari respon inflamasi mungkin dapat ditemukan walaupun yang dominan adalah limfosit. Stroma terdiri atas fibroblas.
c.       Polip dengan hiperplasia dari glandula seromusinous.
Tipe ini hanya terdapat kurang dari 5% dari seluruh kasus. Gambaran utama dari tipe ini adalah adanya glandula dan duktus dalam jumlah yang banyak.
d.      Polip dengan atipia stromal
Tipe ini merupakan jenis yang jarang ditemui dan dapat mengalami misdiagnosis dengan neoplasma. Sel stroma abnormal atau menunjukkan gambaran atipikal, tetapi tidak memenuhi syarat untuk disebut sebagai suatu neoplasma.2
Pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.
Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi.
  1. Patogenesis
Mekanisme patogenesis yang bertanggungjawab terhadap pertumbuhan polip nasi sulit ditentukan. Adapun faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pembentukan polip, antara lain:
a.       Proses inflamasi yang disebabkan penyebab multifaktorial termasuk familiar dan faktor herediter
b.      Aktivasi respon imun lokal
c.       Hiperaktivitas dari persarafan parasimpatis.
Semua jenis imunoglobulin dapat ditemui pada polip nasi, tapi peningkatan IgE merupakan jenis yang paling tinggi ditemukan bahkan apabila dibandingkan dengan tonsil dan serum sekalipun. Kadar IgG, IgA, IgM terdapat dalam jumlah bervariasi, dimana peningkatan jumlah memperlihatkan adanya infeksi pada saluran napas.
Beberapa mediator inflamasi juga dapat ditemukan di dalam polip. Histamin merupakan mediator terbesar yang konsentrasinya di dalam stroma polip 100-1000 konsentrasi serum. Mediator kimia lain yang ikut dalam patogenesis dari nasal polip adalah Gamma Interferon (IFN-γ) dan Tumour Growth Factor β (TGF-β). IFN-γ menyebabkan migrasi dan aktivasi eosinofil yang melalui pelepasan toksiknya bertanggungjawab atas kerusakan epitel dan sintesis kolagen oleh fibroblas . TGF-β yang umumnya tidak ditemukan dalam mukosa normal merupakan faktor paling kuat dalam menarik fibroblas dan meransang sintesis matrik ekstraseluler. Peningkatan mediator ini pada akhirnya akan merusak mukosa rinosinusal yang akan menyebabkan peningkatan permeabilitas terhadap natrium sehingga mencetuskan terjadinya edema submukosa pada polip nasi.
Fenomena bernouli menyatakan bahwa udara yang mengalir melalui celah yang sempit akan mengakibatkan tekanan negatif pada daerah sekitarnya, sehingga jaringan yang lemah akan terhisap oleh tekanan negatif ini sehingga menyebabkan polip, fenomena ini dapat menjelaskan mengapa polip banyak terjadi pada area yang sempit di kompleks osteomatal.
Patogenesis polip pada awalnya ditemukan bengkak selaput permukaan yang kebanyakan terdapat pada meatus medius, kemudian stroma akan terisi oleh cairan interseluler sehingga selaput permukaan yang sembab menjadi berbenjol-benjol. Bila proses terus membesar dan kemudian turun ke dalam rongga hidung sambil membentuk tangkai sehingga terjadi Polip.
  1. Polip sering ditemukan pada penderita:
·         Asma Bronkiale, 20-50% penderita asma mengalami polip
·         Ciystic Fibrosis – Polyps terjadi sekitar  6-48% pada penderita CF
·         Rinitis Alergi
·         allergic fungal sinusitis – Terjadi sekitar  85%
·         Rinosinusitis kronik
·         Primary ciliary dyskinesia
·         Aspirin intolerance – Terjadi sekitar   8-26% pada penderita polip
·         Alcohol intolerance – Terjadi sekitar   50% pada penderita polip
·         Churg-Strauss syndrome – Terjadi sekitar   50 % pada penderita Churg-Strauss syndrome
·         Young syndrome (chronic sinusitis, nasal polyposis, azoospermia)
·         Nonallergic rhinitis with eosinophilia syndrome (NARES) – Terjadi sekitar   20 % pada penderita NARES
  1. Gejala
Pada anamnesis kasus polip biasanya timbul keluhan utama adalah hidung tersumbat.sumbatan ini menetap dan tidak hilang timbul. Semakin lama keluhan dirasakan semakin berat. Pasien sering mengeluhkan terasa ada massa di dalam hidung dan sukar membuang ingus. Gejala lain adalah hiposmia (gangguan penciuman). Gejala lainnya dapat timbul jika teradapat kelainan di organ sekitarnya seperti post nasal drip (cairan yang mengalir di bagian belakang mulut), suara bindeng, nyeri muka,  telinga terasa penuh, snoring (ngorok), gangguan tidur dan penurunan kualitas hidup.
Polip menyebabkan penyumbatan hidung, karena itu penderita seringkali mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera penciuman. Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman.
Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis. Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya.
Secara pemeriksaan mikroskopis tampak epitel pada polip serupa dengan selaput permukaan hidung normal yaitu epitel bertingkat semu bersilia dengan subselaput permukaan yang sembab.
Polip menyebabkan penyumbatan hidung, karena itu penderita seringkali mengeluhkan adanya penurunan fungsi indera penciuman. Karena indera perasa berhubungan dengan indera penciuman, maka penderita juga bisa mengalami penurunan fungsi indera perasa dan penciuman. Polip hidung juga bisa menyebabkan penyumbatan pada drainase lendir dari sinus ke hidung. Penyumbatan ini menyebabkan tertimbunnya lendir di dalam sinus. Lendir yang terlalu lama berada di dalam sinus bisa mengalami infeksi dan akhirnya terjadi sinusitis. Penderita anak-anak sering bersuara sengau dan bernafas melalui mulutnya.
Jadi gejala polip ini sangat beragam. Mulai dari pilek yang berlangsung lama, bersin-bersin, hidung tersumbat yang bersifat menetap, sering mimisan, keluhan akan adanya massa di hidung, sukar buang ingus, gangguan penciuman, bentuk hidung yang tak lagi simetris, bengek atau bindeng, telinga rasa penuh, mendengkur/gangguan tidur, lendir dan rasa kering yang terkumpul di tenggorokan, sakit kepala, dll. Kesemua keluhan itu tentu saja amat mengganggu dan sangat mempengaruhi produktivitas hidup si penderita.
  1. Diagnosis
Diagnosis  dapat ditegakkan melalui beberapa pemeriksaan Anamnesis dan pemeriksaan fisik
a.       Anamnesis
Melalui anamnesis dapat ditanyakan keluhan-keluhan yang berkaitan dengan gangguan yang ditimbulkan oleh polip nasi, diantaranya:
·         Hidung tersumbat
·         Rinore, mulai dari jernih sampai purulen bila terdapat infeksi sekunder
·         Post nasal drip, gejala ini ditandai dengan merasakan adanya suatu cairan yang jatuh secara terus menerus ke belakang rongga mulut dikarenakan mukus yang berasal dari kavum nasi.
·         Anosmia atau hiposmia
·         Suara sengau karena sumbatan pada hidung
·         Sakit kepala dan snoring bila polipnya berukuran besar
·         Pembesaran hidung dan muka apabila massa polip sudah bertambah besar
·         Terdapatnya gejala-gejala sinusitis apabila polip sudah mengganggu drainase muara sinus ke rongga hidung
Polip yang besar kadang-kadang dapat mengganggu pernapasan saat tidur yang menimbulkan obstructive sleep apnea. Selain keluhan-keluhan di atas, harus juga ditanyakan riwayat rinitis, asma, intoleransi terhadap aspirin, alergi obat lainnya, dan alergi makanan.
b.      Pemeriksaan fisik
Dengan pemeriksaan rhinoskopi anterior biasanya polip sudah dapat dilihat, polip yang masif seringkali menciptakan kelainan pada hidung bagian luar. Pemeriksaan Rontgen dan CT scan dapat dilakukan untuk Polip biasanya tumbuh di daerah dimana selaput lendir membengkak akibat penimbunan cairan, seperti daerah di sekitar lubang sinus pada rongga hidung. Ketika baru terbentuk, sebuah polip tampak seperti air mata dan jika telah matang, bentuknya menyerupai buah anggur yang berwarna keabu-abuan.
Polip nasi yang masif dapat menyebabkan deformitas hidung luar sehingga hidung tampak mekar karena pelebaran batang hidung. Pada pemeriksaan rinoskopi anterior dapat terlihat adanya massa yang berwarna pucat yang berasal dari meatus medius dan mudah digerakkan. Pembagian polip nasi sebagai berikut :
·         Grade 0 : Tidak ada polip
·         Grade 1 : Polip terbatas pada meatus media
·         Grade 2 : Polip sudah keluar dari meatus media, tampak di rongga hidung tapi belum menyebabkan obstruksi total
·         Grade 3 : Polip sudah menyebabkan obstruksi total
c.       Naso-endoskopi
Naso-endoskopi memberikan gambaran yang baik dari polip, khususnya polip berukuran kecil di meatus media. Polip stadium 1 dan 2 kadang-kadang tidak terlihat pada pemeriksaan rinoskopi anterior tetapi tampak dengan pemeriksan naso-endoskopi. Pada kasus polip koanal juga dapat dilihat tangkai polip yang berasal dari ostium asesorius sinus maksila. Dengan naso-endoskopi dapat juga dilakukan biopsi pada layanan rawat jalan tanpa harus ke meja operasi.
d.      Pemeriksaan radiologi
Foto polos sinus paranasal (posisi water, AP, caldwell, dan lateral) dapat memperlihatkan penebalan mukosa dan adanya batas udara dan cairan di dalam sinus, tetapi pemeriksaan ini kurang bermanfaat pada pada kasus polip. Pemeriksaan CT scan sangat bermanfaat untuk melihat dengan jelas keadaan di hidung dan sinus paranasal apakah ada kelainan anatomi, polip, atau sumbatan pada komplek osteomeatal. CT scan terutama diindikasikan pada kasus polip yang gagal diterapi dengan medikamentosa.
  1. Pengobatan
Terapi polip nasi dapat terbagi atas terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Terapi medikamentosa bertujuan untuk mengurangi gejala dan ukuran polip, menunda selama mungkin perjalanan penyakit, mencegah pembedahan, dan mencegah kekambuhan setelah prosedur pembedahan. Terapi pembedahan bertujuan menghilangkan obstruksi hidung dan mencegah kekambuhan. Oleh karena sifatnya yang rekuren, kadang-kadang terapi pembedahan juga mengalami kegagalan dimana 7-50% pasien yang menjalani pembedahan akan mengalami kekambuhan.
Terapi medikamentosa ditujukan pada polip yang masih kecil yaitu pemberian kortikosteroid sistemik yang diberikan dalam jangka waktu singkat, dapat juga diberiksan kortikosteroid hidung atau kombinasi keduanya.
Penggunaa kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian topikal dan sistemik. Penggunaan kortikosteroid pada pasien polip nasi dapat terbagi atas pemberian topikal dan sistemik. Obat semprot hidung yang mengandung corticosteroid kadang bisa memperkecil ukuran polip atau bahkan menghilangkan polip.
Kortikosteroid sistemik  Penggunaan kortikosteroid sistemik jangka pendek merupakan metode alternatif untuk menginduksi remisi dan mengontrol polip. Berbeda dengan steroid topikal, steroid sistemik dapat mencapai seluruh bagian hidung dan sinus, termasuk celah olfaktorius dan meatus media dan memperbaiki penciuman lebih baik dari steroid topikal. Penggunaan steroid sistemik juga dapat merupakan pendahuluan dari penggunaan steroid topikal dimana pemberian awal steroid sistemik bertujuan membuka obstruksi nasal sehingga pemberian steroid topikal spray selanjutnya menjadi lebih sempurna
Antibiotik  Polip nasi dapat menyebabkan obstruksi dari sinus yang berakibat timbulnya infeksi. Pengobatan infeksi dengan antibiotik akan mencegah perkembangan polip lebih lanjut dan mengurangi perdarahan selama pembedahan. Pemilihan antibiotik dilakukan berdasarkan kekuatan daya bunuh dan hambat terhadap spesies staphylococcus, streptococcus, dan golongan anaerob yang merupakan mikroorganisme tersering yang ditemukan pada sinusitis kronik.
Tindakan pengangkatan polip dapat digunakan menggunakan senar polip dan anestesi lokal. Untuk polip yang besar dan menyebabkan kelainan pada hidung, memerlukan jenis operasi yang lebih besar dan anestesi umum.
Indikasi Pembedahan
·         Polip berhubungan dengan tumor.
·         Polip menghalangi saluran pernafasan
·         Polip menghalangi drainase dari sinus sehingga sering terjadi infeksi sinus

Rhinitis Alergika
Rinitis alergi adalah reaksi inflamasi yang disebabkan oleh reaksi alergi pada pasien atopi yang sebelumnya sudah tersensitisasi dengan allergen yang sama serta dilepaskannya suatu mediator kimia ketika terjadi paparan ulangan dengan allergen spesifik tersebut. Definisi menurut WHO ARIA (Allergic Rhinitis and its Impact on Asthma) tahun 2001 adalah kelainan pada hidung dengan gejala bersin-bersin, rinore, rasa gatal dan tersumbat setelah mukosa hidung terpapar allergen yang diperantarai oleh IgE (Irawati et.al, 2007).
Patofisiologi
                Histamine akan merangsang reseptor H1 pada ujung saraf vidianus sehingga menimbulkan rasa gatal pada hidung dan bersin-bersin. Histamine juga akan menyebabkan kelenjar mukosa dan sel goblet mengalami hipersekresi dan permeabilitas kapiler meningkat sehingga terjadi rinore. Gejala lain adalah hidung tersumbat akibat vasodilatasi sinusoid. Selain histamine merangsang ujung saraf Vidianus, juga menyebabkan rangsangan pada mukosa hidung sehingga terjadi pengeluaran Inter Cellular Adhesion Molecule 1 (ICAM 1). Timbulnya gejala hiperaktif atau hiperresponsif hidung adalah akibat peranan eosinofil dengan mediator inflamasi dari granulnya. Pada fase ini, selain faktor spesifik (allergen), iritasi oleh faktor non-spesifik dapat memperberat gejala seperti asap rokok, bau yang merangsang, perubahan cuaca, dan kelembapan udara yang tinggi (Irawati et.al, 2007).
Gambaran Klinis
Secara khas dimulai pada usia yang sangat muda dengan gejala kongesti atau sumbatan hidung, bersin, mata berair dan gatal, dan postnasal drip. Keluhan yang lazim menyertai polip hidung adalah hidung tersumbat dan rinore. Gejala dan tanda terjadinya sinusitis tergantung pada sinus yang terlibat. Secara khas dapat berupa nyeri kepala, nyeri tekan, atau nyeri pada daerah sinus yang terkena, sumbatan hidung, secret hidung, dan sakit tenggorokan. Oleh beberapa ahli dikatakan bahwa sebagian sinusitis aktif dapat memperhebat asma bronchial (Blumenthal, 1997).
Klasifikasi
Berdasarkan sifat berlangsungnya (Irawati et.al, 2007):
a.       Rhinitis alergi musiman (seasonal, hay fever, polinosis).
b.      Rhinitis alergi sepanjang tahun (perennial). Gejala intermiten atau terus menerus, tanpa variasi musim. Penyebab tersering adalah allergen inhalan.
Berdasarkan klasifikasi rekomendasi WHO ARIA tahun 2001, berdasarkan sifat berlangsungnya dibagi menjadi (Irawati et.al, 2007):
a.       Intermiten (kadang-kadang), kurang dari 4 hari/minggu atau kurang dari 4 minggu.
b.      Persisten/menetap, bila gejala lebih dari 4 hari/minggu dan lebih dari 4 minggu
Rhinitis alergi dibagi menjadi 3 (Irawati et.al, 2007) :
1)      Ringan. Tidak ada gangguan tidur, aktivitas, bersantai, olahraga, bekerja, dan hal-hal lain mengganggu.
2)      Sedang-berat. Bila terdapat satu atau lebih dari gangguan tersebut diatas.

Sinusitis
Ada empat pasang sinus paranasal, mulai dari yang terbesar yaitu sinus maxilla, sinus frontal, sinus etmoid, dan sinus sphenoid kanan dan kiri (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Sinusitis didefinisikan sebagai inflamasi mukosa sinus paranasal. Umumnya disertai dan dipicu oleh rhinitis sehingga sering disebut rinosinusitis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Sinus maxilla berbentuk pyramid. Dari segi klinik, yang perlu diperhatikan dari anatomi sinus maksila adalah: 1) dasar sinus maksila sangat berdekatan dengan akar gigi rahang atas, yaitu premolar (P1 dan P2), molar (M1 dan M2), kadang-kadang juga gigi taring (C), dan gigi molar M3, bahkan akar-akar gigi tersebut dapat menonjol kedalam sinus, sehingga infeksi gigi geligi mudah naik keatas menyebabkan sinusitis; 2) sinusitis maksila dapat menimbulkan komplikasi orbita; 3) ostium sinus maksila terletak lebih tinggi dari dasar sinus, sehingga drainase hanya tergantung dari gerak silia, lagipula drainase juga harus melalui infundibulum yang sempit. Infundibulum adalah bagian dari sinus etmoid anterior dan pembengkakan akibat radang atau alergi pada daerah ini dapat menghalangi drainase sinus maksila dan selanjutnya menyebabkan sinusitis (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus frontal biasanya bersekat-sekat dan tepi sinus berlekuk-lekuk. Tidak adanya gambaran septum-septum atau lekuk-lekuk dinding sinus pada foto rontgen menunjukkan adanya infeksi sinus. Sinus frontal dipisahkan oleh tulang yang relatif tipis dari orbita dan fossa cerebri anterior, sehingga infeksi dari sinus frontal mudah menjalar ke daerah ini. Sinus frontal berdrainase melalui ostiumnya yang terletak di resesus frontal, yang berhubungan dengan infundibulum etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus etmoid adalah sinus yang paling bervariasi dan akhir-akhir ini dianggap paling penting, karena dapat merupakan fokus infeksi bagi sinus-sinus lainnya. Pada orang dewasa bentuk sinus etmoid seperti pyramid, dasarnya di bagian posterior. Sinus etmoid berongga-rongga, terdiri dari sel-sel yang menyerupai sarang tawon, yang terdapat dalam massa bagian lateral os.etmoid, yang terletak diantara konka media dan dinding medial orbita. Pembengkakan atau peradangan di resesus frontal dapat menyebabkan sinusitis frontal dan pembengkakan di infundibulum dapat menyebabkan sinusitis maksila (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Sinus sphenoid terletak dalam os sphenoid di belakang sinus etmoid posterior. Saat sinus berkembang, pembuluh darah dari nervus di bagian lateral os sphenoid akan menjadi sangat berdekatan dengan rongga sinus dan tampak sebagai indentasi pada dinding sinus sphenoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).       
Di dalam sinus terdapat mukosa bersilia dan palut lendir diatasnya. Di dalam sinus silia bergerak secara teratur untuk mengalirkan lendir menuju ostium alamiahnya untuk mengikuti jalur-jalur yang sudah tertentu polanya. Pada dinding lateral hidung terdapat 2 aliran transport mukosiliar dari sinus. Lendir yang berasal dari kelompok sinus anterior yang bergabung di infundibulum etmoid dialirkan ke nasofaring didepan muara tuba Eustachius. Lendir yang berasal dari kelompok sinus posterior bergabung di resesus sfenoetmoidalis, dialirkan ke nasofaring di postero-superior muara tuba. Inilah sebabnya pada sinusitis didapati secret pasca-nasal (post nasal drip) tetapi belum tentu ada secret di rongga hidung (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Etiologi dan Faktor Predisposisi
                Beberapa faktor etiologi dan predisposisi antara lain ISPA akibat virus, bermacam rhinitis terutama rhinitis alergi, rhinitis hormonal pada wanita hamil, polip hidung, kelainan anatomi seperti deviasi septum atau hipertrofi konka, sumbatan kompleks ostio-meatal (KOM), infeksi tonsil, infeksi gigi, kelainan imunologik, diskinesia silia, dan diluar negeri adalah penyakit fibrosis kistik. Pada anak, hipertrofi adenoid merupakan faktor penting penyebab sinusitis. Faktor lain yang berpengaruh adalah lingkungan berpolusi, udara dingin dan kering serta kebiasaan merokok. Keadaan ini lama-lama menyebabkan perubahan mukosa dan merusak silia (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Patofisiologi
                Organ-organ pembentuk KOM letaknya berdekatan, dan bila terjadi edema, mukosa yang berhadapan akan saling bertemu sehingga silia tidak dapat bergerak dan ostium tersumbat. Akibatnya terjadi tekanan negative didalam rongga sinus yang menyebabkan terjadinya transudasi, mula-mula serous. Kondisi ini bisa dianggap sebagai rhinosinusitis non-bacterial dan biasanya sembuh dalam beberapa hari tanpa pengobatan (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
                Bila kondisi ini menetap, secret yang terkumpul dalam sinus merupakan media baik untuk tumbuhnya dan multiplikasi bakteri. Secret menjadi purulen. Keadaan ini disebut sebagai rhinosinusitis akut bacterial dan memerlukan terapi antibiotik (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
                Jika terapi tidak berhasil (misalnya karena ada faktor predisposisi), inflamasi berlanjut, terjadi hipoksia dan bakteri anaerob berkembang. Mukosa makin membengkak dan ini merupakan rantai siklus yang terus berputar sampai akhirnya perubahan mukosa menjadi kronik yaitu hipertrofi, polipoid, atau pembentukan polip dan kista. Pada keadaan ini mungkin diperlukan tindakan operasi (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Klasifikasi dan Mikrobiologi
                Konsensus internasional tahun 2004 membagi menjadi akut dengan batas sampai 4 minggu, subakut antara  4 minggu sampai 3 bulan dan kronik jika lebih dari 3 bulan. Sinusitis kronik dengan penyebab rinogenik umumnya merupakan lanjutan dari sinusitis akut yang tidak terobati secara adekuat. Pada sinusitis kronik adanya faktor predisposisi harus dicari dan diobati sampai tuntas (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Gejala Sinusitis
                Keluhan utama rhinosinusitis akut adalah hidung tersumbat disertai nyeri/rasa tekanan pada muka dan ingus purulen, yang seringkali turun ke tenggorok (post nasal drip). Dapat disertai gejala sistemik seperti demam dan lesu. Nyeri tekan di daerah sinus yang terkena, kadang nyeri terasa di tempat lain (referred pain). Nyeri pipi menandakan sinusitis maksila, nyeri diantara atau dibelakang bola mata menandakan sinusitis etmoid, nyeri dahi atau seluruh kepala menandakan sinusitis frontal. Pada sinusitis sphenoid, nyeri di vertex, oksipital, belakang bola mata, atau daerah mastoid. Pada sinusitis maksila kadang ada nyeri alih ke gigi dan telinga. Gejala lain adalah sakit kepala, hipoosmia/anosmia, halitosis, post-nasal drip yang menyebabkan batuk dan sesak pada anak (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
                Keluhan sinusitis kronik tidak khas sehingga sulit didiagnosis. Kadang hanya 1 atau 2 dari gejala seperti sakit kepala kronik, post-nasal drip, batuk kronik, gangguan tenggorok, gangguan telinga akibat sumbatan kronik muara tuba Eustachius, gangguan ke paru seperti bronchitis (sino-bronkhitis), bronkiektasis, dan yang penting adalah serangan asma yang meningkat dan sulit diobati. Pada anak, mukopus yang tertelan dapat menyebabkan gastroenteritis (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Pemeriksaan Sinus Paranasal
  1. Inspeksi
Adanya pembengkakan pada muka. Pembengkakan di pipi sampai kelopak mata bawah yang berwarna kemerahan mungkin menunjukkan sinusitis maksila akut. Pembengkakan di kelopak mata atas mungkin menunjukkan sinusitis frontal akut. Sinusitis etmoid jarang menyebabkan pembengkakan di luar, kecuali bila telah terbentuk abses (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
  1. Palpasi
Nyeri tekan pada pipi dan nyeri ketuk di gigi menunjukkan adanya sinusitis maksila. Pada sinusitis frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal terdapat nyeri tekan di dasar sinus frontal, yaitu pada bagian medial atap orbita. Sinusitis etmoid menyebabkan rasa nyeri tekan di daerah kantus medius (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
  1. Transiluminasi
Hanya dapat digunakan untuk memeriksa sinus maksila dan sinus frontal, bila fasilitas pemeriksaan radiologic tidak tersedia. Bila pada pemeriksaan transiluminasi tampak gelap di daerah infraorbita, mungkin berarti antrum terisi oleh pus atau mukosa antrum menebal atau terdapat neoplasma di dalam antrum (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007). Bila terdapat kista yang besar di dalam sinus maksila, akan tampak terang pada pemeriksaan transiluminasi, sedangkan pada foto rontgen tampak adanya perselubungan berbatas tegas di dalam sinus maksila (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
  1. Pemeriksaan Radiologik
Bila dicurigai adanya kelainan di sinus paranasal, maka dilakukan pemeriksaan radiologic. Posisi rutin yang dipakai ialah posisi Waters, P-A dan lateral. Posisi Waters terutama untuk melihat adanya kelainan di sinus maksila, frontal, dan etmoid. Posisi postero-anterior  untuk menilai sinus frontal dan posisi lateral untuk menilai sinus frontal, sphenoid, dan etmoid (Soetjipto & Mangunkusumo, 2007).
Terapi
  1. mempercepat penyembuhan
  2. mencegah komplikasi
  3. mencegah perubahan menjadi kronik
Prinsip pengobatan ialah membuka sumbatan di KOM sehingga drenase dan ventilasi sinus-sinus pulih secara alami (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).
Indikasi bedah sinus endoskopi fungsional (BSEF/FESS) berupa: sinusitis kronik yang tidak membaik setelah terapi adekuat; sinusitis kronik disertai kista atau kelainan yang ireversibel; polip ekstensif, adanya komplikasi sinusitis serta sinusitis jamur (Mangunkusumo & Soetjipto, 2007).

Daftar pustaka
Kramer MF, Rasp G. Nasal polyposis: eosinophils and interleukin-5. Allergy. Jul 1999;54(7):669-80. [Medline].
Lee CH, Lee KS, Rhee CS, Lee SO, Min YG. Distribution of rantes and interleukin-5 in allergic nasal mucosa and nasal polyps. Ann Otol Rhinol Laryngol. Jun 1999;108(6):594-8. [Medline].
Lund V. Advances in the treatment of nasal polypopsis. Introduction. Allergy. 1999;54 Suppl 53:5-6. [Medline].
Lund VJ. The effect of sinonasal surgery on asthma. Allergy. 1999;54 Suppl 57:141-5. [Medline].
Morinaka S, Nakamura H. Inflammatory cells in nasal mucosa and nasal polyps. Auris Nasus Larynx. Jan 2000;27(1):59-64. [Medline].
Mygind N. Advances in the medical treatment of nasal polyps. Allergy. 1999;54 Suppl 53:12-6. [Medline].
Mygind N, Dahl R, Bachert C. Nasal polyposis, eosinophil dominated inflammation, and allergy. Thorax. Oct 2000;55 Suppl 2:S79-83. [Medline].


Tidak ada komentar:

Posting Komentar