Senin, 21 September 2015

Skenario 2.2 blok 9 (2014)



Author : Yunita, Chandra

1. Pengertian dari functio laesa
  Fungsio Laesa (perubahan fungsi), bagian yang bengkak, nyeri disertai sirkulasi yang abnormal dan lingkungan kimiawi local yang abnormal, akhirnya berfungsi secara abnormal.

2. Etiologi inflamasi
o    Agen Kuman, Parasit, Jamur,dll
o    Benda-benda tajam
o    Suhu
o    Berbagai jenis sinar
o    Listrik
o    Zat-zat kimia

3. klasifikasi inflamasi

a. Inflamasi Akut
Respon segera terhadap stimulus yang berbahaya. Respon ini relatif singkat, hanya berlangsung beberapa jam atau hari. Pengenalan segera terhadap masuknya agen jejas akan mempunyai dua dampak penting yaitu :
* Berhimpunnya antibodi di sekitar agen jejas
* Emigrasi leukosit dari pembuluh darah ke jaringan yang terkena agen jejas
Inflamasi.

b. Inflamasi Kronik
Respon terhadap stimulus yang tidak terlalu kuat tetapi lebih persisten. Disebabkan oleh rangsang yang menetap. Seringkali selama beberapa minggu atau bulan. Menyebabkan infiltrasi mononuklir dan proliferasi fibroblas. Eksudat leukosit disebut monomorfonuklear. Radang kronik dapat Timbul melalui jalan:
* Menyusul radang akut
* Respon sejak awal bersifat kronik
Penyebab jejas seringkali memiliki toksisitas rendah dibandingkan penyebab yang menimbulkan radang akut.

4. Proses terjadinya nyeri

a. Proses Transduksi 
     Proses dimana stimulus noksius diubah ke impuls elektrikal pada ujung saraf. Suatu stimuli kuat (noxion stimuli) seperti tekanan fisik kimia, suhu dirubah menjadi suatu aktifitas listrik yang akan diterima ujung-ujung saraf perifer (nerve ending) atau organ-organ tubuh (reseptor meisneri, merkel, corpusculum paccini, golgi mazoni). Kerusakan jaringan karena trauma baik trauma pembedahan atau trauma lainnya menyebabkan sintesa prostaglandin, dimana prostaglandin inilah yang akan menyebabkan sensitisasi dari reseptor-reseptor nosiseptif dan dikeluarkannya zat-zat mediator nyeri seperti histamin, serotonin yang akan menimbulkan sensasi nyeri. Keadaan ini dikenal sebagai sensitisasi perifer.

b. Proses Transmisi 
     Proses penyaluran impuls melalui saraf sensori sebagai lanjutan proses transduksi melalui serabut A-delta dan serabut C dari perifer ke medulla spinalis, dimana impuls tersebut mengalami modulasi sebelum diteruskan ke thalamus oleh tractus spinothalamicus dan sebagian ke traktus spinoretikularis. Traktus spinoretikularis terutama membawa rangsangan dari organ-organ yang lebih dalam dan viseral serta berhubungan dengan nyeri yang lebih difus dan melibatkan emosi. Selain itu juga serabut-serabut saraf disini mempunyai sinaps interneuron dengan saraf-saraf berdiameter besar dan bermielin. Selanjutnya impuls disalurkan ke thalamus dan somatosensoris di cortex cerebri dan dirasakan sebagai persepsi nyeri.

c. Proses Modulasi 
     Proses perubahan transmisi nyeri yang terjadi disusunan saraf pusat (medulla spinalis dan otak). Proses terjadinya interaksi antara sistem analgesik endogen yang dihasilkan oleh tubuh kita dengan input nyeri yang masuk ke kornu posterior medulla spinalis merupakan proses ascenden yang dikontrol oleh otak. Analgesik endogen (enkefalin, endorphin, serotonin, noradrenalin) dapat menekan impuls nyeri pada kornu posterior medulla spinalis. Dimana kornu posterior sebagai pintu dapat terbuka dan tertutup untuk menyalurkan impuls nyeri untuk analgesik endogen tersebut. Inilah yang menyebabkan persepsi nyeri sangat subjektif pada setiap orang.

d. Persepsi
     Hasil akhir dari proses interaksi yang kompleks dari proses tranduksi, transmisi dan modulasi yang pada akhirnya akan menghasilkan suatu proses subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri, yang diperkirakan terjadi pada thalamus dengan korteks sebagai diskriminasi dari sensorik.

5. Bentuk-bentuk Peradangan

RADANG SEROSA
- Jejas ringan : sedikit Mengandung Protein
- contoh : Gelembung Kulit Yang Menyertai Luka Bakar
- Setelah beberapa Hari, Eksudat direbsorbsi

RADANG FIBRINOSA
- jejas berat : Menyebabkan Premeabilitas vaskular meningkat. Molekul yang lebih besar Dapat Lewat.
- Eksudat dapat hilang oleh Fibrinolisis dan penghapusan debris lain oleh makrofag : disebut RESSOLUSI
- ORGANISASI :Perubahan Eksudat fibrinosa Menjadi jaringan Parut yang Keruh.
- Contoh :karditis Rheumatik akut

RADANG PURULEN /SUPURATIF
- Emigrasi Neutrofil dalam jumlah banyak
- eksudatnya di sebut : NANAH, yaitu Eksudat Radang yang kaya protein yang mengandung Leukosit yang masih hidup bercampur dengan debris yang berasal dari Sel darah putih Nekrotik aktif dan yang datang dari luar. =ABSES=
- PIOGEN : Stafilokokus, E.coli klepsiela pneumoniae, strain proteus Psedomonas airuginosa, meningokokus, gonokokus, pneumokokus.
- Contoh : Folikulitis, furunkel, karbukel.

RADANG MEMBRANOSA (PSEUDOMEMBRANOSA)
- reaksi radang pada permukaan selaput lendir
- ditandai dengan pembentukan eksudat berupa lapisan selaput superfisial,mengandung agen penyebab,endapan fibrin, sel-sel nekrotik aktif dan sel-sel darah putih radang.
- Contoh : Difteri pada Faring Dan saluran Pernafasan, disebabkan oleh corine Bakterium diphteriae
- Radang pada colon Dan usus kecil oleh clostridim difficile.

RADANG HISTIOSITIK
- Karasteristik infeksi Salmonela adalah ikutnya secara difus sistem fagosit mononuklir dan agrenasi holistik fokal.
- Terjadi hipertrofi makrogaf = Mengalami proliferasi sehinga membentuk HISTIOSIT
- Contoh: Demam tipoid oleh karena Salmonela thiposa

RADANG INTERSSTISIAL DAN PERIFASKULER
- Tampak pada infeksi virus,riketsia,dan sifilis
- Pada dasarnya didapati limfosit dan makrofag,dan lebih jarang sel plasma
- Contoh:polimielitis,meokarditis virus,demam tifus
RADANG GRANULOMATOSA
- Memiliki gambaran morfologi yang khas dan relatif di jumpai pada beberapa penyakit
- Suatu granulama secara mikroskopis terdiri dari timbunan histiosit yang telah berubah menjadi sel mirip epitel disebut EPITELOID:di kelilingi oleh lingkaran leukosit mononuklir,terutama limfosit dan kadang kadang sel plasma
- Sering terdapat sel-sel datia besar ditepi atau di tengah granuloma:jenis Langhans dan jenis benda asing
- Dx ditegakkan terutama karena ditemukan sel-sel epitelid
- Contoh:TB,Limfogranuloma inguinal,Leprae,sifilis

6. Proses penyembuhan luka

* Penyembuhan Luka
Tubuh yang sehat mempunyai kemampuan alami untuk melindungi dan memulihkan dirinya. Peningkatan aliran darah ke daerah yang rusak, membersihkan sel dan benda asing dan perkembangan awal seluler bagian dari proses penyembuhan.
Proses penyembuhan terjadi secara normal tanpa bantuan, walaupun beberapa bahan perawatan dapat membantu untuk mendukung proses penyembuhan. Sebagai contoh, melindungi area yang luka bebas dari kotoran dengan menjaga kebersihan membantu untuk meningkatkan penyembuhan jaringan (Taylor, 1997).

Prinsip Penyembuhan Luka
Ada beberapa prinsip dalam penyembuhan luka menurut Taylor (1997) yaitu:
* Kemampuan tubuh untuk menangani trauma jaringan dipengaruhi oleh luasnya kerusakan dan keadaan umum kesehatan tiap orang.
* Respon tubuh pada luka lebih efektif jika nutrisi yang tepat tetap dijaga.
* Respon tubuh secara sistemik pada trauma
* Aliran darah ke dan dari jaringan yang luka
* Keutuhan kulit dan mukosa membran disiapkan sebagai garis pertama untuk mempertahankan diri dari mikroorganisme
*Penyembuhan normal ditingkatkan ketika luka bebas dari benda asing tubuh termasuk bakteri.

Tahapan penyembuhan luka
Tanpa memandang penyebab, tahapan penyembuhan luka terbagi atas :

* Fase koagulasi : setelah luka terjadi, terjadi perdarahan pada daerah luka yang diikuti dengan aktifasi kaskade pembekuan darah sehingga terbentuk klot hematoma. Proses ini diikuti oleh proses selanjutnya yaitu fase inflamasi.
* Fase inflamasi : Fase inflamasi mempunyai prioritas fungsional yaitu menggalakkan hemostasis, menyingkirkan jaringan mati, dan mencegah infeksi oleh bakteri patogen terutama bakteria. Pada fase ini platelet yang membentuk klot hematom mengalami

Kamis, 17 September 2015

SKENARIO 2 PERTEMUAN 1 (Blok 9)



By : Indra M, Diani S
            Seorang perempuan 20  tahun datang ke IGD dengan luka pada tubuhnya. Perempuan tersebut mengalami kecelakaan. Kaki kanannya bengkak dan terdapat warna kebiruan . Pada lengan bawah kanan terdapat vulnus ekskoriasi dengan ukuran 2X3 cm. Beberapa hari kemudian pasien kontrol, pada kaki kanannya terdapat warna kekuningan dan terdapat nanah dilengan. Perempuan tersebut merasakan demam dan tubuhnya sakit semua, nyeri saat berjalan .
PENJELASAN :
1.      Penjelasan tentang luka
ð  Luka adalah keadaan hilang atau terputusnya kontinuitas jaringan yang disebabkan banyak hal atau berbagai faktor. Luka adalah kerusakan kontinuitas jaringan atau kuit, mukosa mambran dan tulang atau organ tubuh lain.
Menurut Derajat Kontaminasi dibagi menjadi :
ü  Luka bersih
Luka bersih adalah luka yang tidak terdapat inflamasi dan infeksi, yang merupakan luka sayat elektif dan steril dimana luka tersebut berpotensi untuk terinfeksi. Luka tidak ada kontak dengan orofaring,traktus respiratorius maupun traktus genitourinarius. Dengan demikian kondisi luka tetap dalam keadaan bersih. Kemungkinan terjadinya infeksi luka sekitar 1% - 5%
ü  Luka bersih terkontaminasi
Luka bersih terkontaminasi adalah luka pembedahan dimana saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran perkemihan dalam kondisi terkontrol. Proses penyembuhan luka akan lebih lama namun luka tidak menunjukkan tanda infeksi. Kemungkinan timbulnya infeksi luka sekitar 3% - 11%.
ü  Luka terkontaminasi
Luka terkontaminasi adalah luka yang berpotensi terinfeksi spillage saluran pernafasan, saluran pencernaan dan saluran kemih. Luka menunjukan tanda infeksi. Luka ini dapat ditemukan pada luka terbuka karena trauma atau kecelakaan (luka laserasi), fraktur terbuka maupun luka penetrasi. Kemungkinan infeksi luka 10% - 17%
ü  Luka kotor
Luka kotor adalah luka lama, luka kecelakaan yang mengandung jaringan mati dan luka dengan tanda infeksi seperti cairan purulen. Luka ini bisa sebagai akibat pembedahan yang sangat terkontaminasi. Bentuk luka seperti perforasi visera, abses dan trauma lama.


2.      Penjelasan tentang vulnus ekskoriasi?
ð  uka lecet/gores adalah cedera pada permukaan epidermis akibat bersentuhan dengan benda berpermukaan kasar atau runcing. Luka ini banyak dijumpai pada kejadian traumatik seperti kecelakaan lalu lintas, terjatuh maupun benturan benda tajam ataupun tumpul.
3.      Penjelasan tentang nanah yang disebabkan luka?
Abses
(Latin:abscessus) merupakan kumpulan nanah (netrofil yang telah mati yang terakumulasi di sebuah kavitas jaringan karena adanya proses infeksi (biasanya oleh bakteri atau parasit) atau karena adanya benda asing (misalnya serpihan, luka peluru, atau jarum suntik). Proses ini merupakan reaksi perlindungan oleh jaringan untuk mencegah penyebaran/perluasan infeksi ke bagian lain dari tubuh.Organisme atau benda asing membunuh sel-sel lokal yang pada akhirnya menyebabkan pelepasan sitokin. Sitokin tersebut memicu sebuah respon inflamasi (peradangan), yang menarik kedatangan sejumlah besar sel-sel darah putih (leukosit) ke area tersebut dan meningkatkanaliran darah setempat. Struktur akhir dari suatu abses adalah dibentuknya dinding abses, atau kapsul, oleh sel-sel sehatdi sekeliling abses sebagai upaya untuk mencegah nanah menginfeksi struktur lain di sekitarnya.Meskipun demikian, seringkali proses enkapsulasi tersebut justru cenderung menghalangi sel-selimun untuk menjangkau penyebab peradangan (agen infeksi atau benda asing) dan melawan bakteri-bakteri yang terdapat dalam nanah. Abses harus dibedakan dengan empyema. Empyema mengacu pada akumulasi nanah di dalam kavitas yang telah ada sebelumnya secara normal, sedangkan abses mengacu pada akumulasinanah di dalam kavitas yang baru terbentuk melalui proses terjadinya abses tersebut.

4. Inflamasi
Inflamasi Inflamasi merupakan respons protektif setempat yang ditimbulkan oleh cedera atau kerusakan jaringan, yang berfungsi menghancurkan, mengurangi, atau mengurung (sekuestrasi) baik agen pencedera maupun jaringan yang cedera itu (Dorland, 2002).
            Inflamasi (peradangan) merupakan reaksi kompleks pada jaringan ikat yang memiliki vaskularisasi akibat stimulus eksogen maupun endogen. Dalam arti yang paling sederhana, inflamasi adalah suatu respon protektif yang ditujukan untuk menghilangkan penyebab awal jejas sel serta membuang sel dan jaringan nekrotik yang diakibatkan oleh kerusakan sel.
            Penyebab inflamasi antara lain mikroorganisme, trauma mekanis, zat-zat kimia, dan pengaruh fisika. Tujuan akhir dari respon inflamasi adalah menarik protein plasma dan fagosit ke tempat yang mengalami cedera atau terinvasi agar dapat mengisolasi, menghancurkan, atau menginaktifkan agen yang masuk, membersihkan debris dan mempersiapkan jaringan untuk proses penyembuhan.
            Respons inflamasi terjadi dalam tiga fase dan diperantarai oleh mekanisme yang berbeda : a. fase akut, dengan ciri vasodilatasi lokal dan peningkatan permeabilitas kapiler. b. reaksi lambat, tahap subakut dengan ciri infiltrasi sel leukosit dan fagosit. c. fase proliferatif kronik, dengan ciri terjadinya degenerasi dan fibrosis.
                        Respon antiinflamasi meliputi kerusakan mikrovaskular, meningkatnya permeabilitas kapiler dan migrasi leukosit ke jaringan radang. Gejala proses inflamasi yang sudah dikenal ialah:
1. Kemerahan (rubor) Terjadinya warna kemerahan ini karena arteri yang mengedarkan darah ke daerah tersebut berdilatasi sehingga terjadi peningkatan aliran darah ke tempat cedera (Corwin, 2008).
2. Rasa panas (kalor) Rasa panas dan warna kemerahan terjadi secara bersamaan. Dimana rasa panas disebabkan karena jumlah darah lebih banyak di tempat radang daripada di daerah lain di sekitar radang. Fenomena panas ini terjadi bila terjadi di permukaan kulit. Sedangkan bila terjadi jauh di dalam tubuh tidak dapat kita lihat dan rasakan (Wilmana, 2007). 11
3. Rasa sakit (dolor) Rasa sakit akibat radang dapat disebabkan beberapa hal: (1) adanya peregangan jaringan akibat adanya edema sehingga terjadi peningkatan tekanan lokal yang dapat menimbulkan rasa nyeri, (2) adanya pengeluaran zat – zat kimia atau mediator nyeri seperti prostaglandin, histamin, bradikinin yang dapat merangsang saraf – saraf perifer di sekitar radang sehingga dirasakan nyeri (Wilmana, 2007).
4. Pembengkakan (tumor) Gejala paling nyata pada peradangan adalah pembengkakan yang disebabkan oleh terjadinya peningkatan permeabilitas kapiler, adanya peningkatan aliran darah dan cairan ke jaringan yang mengalami cedera sehingga protein plasma dapat keluar dari pembuluh darah ke ruang interstitium (Corwin, 2008).
5. Fungsiolaesa Fungsiolaesa merupakan gangguan fungsi dari jaringan yang terkena inflamasi dan sekitarnya akibat proses inflamasi. (Wilmana, 2007).     
5. Sel-sel Radang

Pada pulpa gigi dan jaringan periradikular, inflamasi dapat akut atau kronis. Kedua tingkat ini hanya dapat dikenal pada tingkat histologi dan tergantung pada tipe/jenis sel yang dominan pada lesi. Sel neutrofil adalah sel darah putih pertama yang melakukan migrasi dari pembuluh darah ke tempat cedera. Fungsi neutrofil adalah untuk memfagositosis bakteri dan debris selular. 23 Neutrofil polimorfonuklear (PMN) tertarik ke daerah inflamasi oleh faktor kemotaktik, yang dihasilkan oleh bakteri, komplemen (C5a), produk jalur lipooksigenase (5-HETE dan leuktotrien B4) dan sitokin.28 Neutrofil juga melepaskan zat-zat kimia yang yang menarik sel darah putih lain ke tempat peradangan, dengan proses yang disebut kemotaksis.23 Sel ini mempunyai inti bersegmen dalam bentuk bermacam-macam, seperti kacang, tapal kuda, dan lain-lain. Sel ini memiliki diameter 10-12 μm. Segmen/lobus dari inti berkisar 2-4 buah. Inti terisi penuh oleh butir-butir khromatin padat sehingga sangat mengikat zat warna basa menjadi biru atau ungu.29 Universitas Sumatera Utara Makrofag merupakan sel jaringan yang berasal dari monosit dalam sirkulasi setelah beremigrasi dari aliran darah.24 Pada saat mencapai jaringan ekstravaskular, monosit berubah menjadi makrofag, dan mampu mengadakan fagositosis terhadap bakteri dan sisa-sisa sel dalam jumlah yang besar. Sel ini berukuran 10 sampai 30 µm dan umumnya memiliki inti lonjong atau berbentuk ginjal yang terletak eksentris. 29 Makrofag yang teraktivasi menyebabkan ukuran sel bertambah besar, kandungan enzim lisosom menjadi meningkat, metabolismenya lebih aktif, dan kemampuan membunuh mikroorganismenya lebih besar.24 Limfosit muncul pada tingkat kronis reaksi inflamasi. Sel ini berhubungan dengan sistem imun dan berfungsi untuk melepaskan zat antibodi.29 Limfosit terdiri dari limfosit B, limfosit T dan sel pembunuh alami (natural killer).23 Secara histologis limfosit memiliki ukuran sekitar 8-10 mikron, lebih kecil dari sel PMN. Intinya bulat, gelap yang hampir memenuhi seluruh sel, sedangkan sitoplasmanya hanya sedikit.29 Sel plasma merupakan produk akhir dari aktivasi sel B yang mengalami diferensiasi akhir. Sel ini menghasilkan antibodi untuk melawan antigen di tempat radang.24 Sel ini berentuk bulat atau lonjong, inti yang terletak eksentris dengan struktur seperti roda dan sitoplasma yang lebih banyak dan basofilik.29 Sel lain yang ditemukan pada pulpa dan jaringan periradikular yang terinflamasi adalah eosinofil, basofil, dan sel mast. Eosinofil ditemukan pada reaksi alergi dan infeksi parasit.27 Tidak seperti neutrofil, sel ini tidak berperan dalam pertahanan melawan bakteri. Sitoplasmanya mengandung granula yang kasar dan Universitas Sumatera Utara berwarna merah terang. Bentuk dan besarnya mirip dengan neutrofil, tapi intinya lebih sederhana dan sering hanya berlobus dua.29 Sel basofil memiliki granula kasar dan berwarna biru kehitaman.29 Basofil bersirkulasi di dalam darah dan apabila diaktifkan oleh cedera atau infeksi akan mengeluarkan histamin, bradikinin, dan serotonin. Zat-zat ini meningkatkan permeabilitas kapiler dan aliran darah ke tempat radang. Basofil mengeluarkan bahan alami anti pembekuan heparin. Sel ini juga terlibat dalam pembentukan respon alergi.23 Sel mast adalah sel jaringan ikat berbentuk bulat sampai lonjong, bergaris tengah 20-30 µm, sitoplasmanya bergranul kasar dan basofilik. Intinya agak kecil, bulat, letaknya di pusat, dan seringkali tertutup oleh granul sitoplasma. Sel mast adalah sel khusus yang berisi bahan kimia vasoaktif.29 Sel ini dijumpai pada jaringan ikat longgar yang mengelilingi pembuluh darah. Proses radang dimulai ketika sel mast membebaskan kandungan intraseluler selama cedera jaringan, terpajan pada toksin, pengaktifan protein pada jenjang komplemen, dan pengaktifan antigen antibodi. Proses pelepasan kandungan sel mast disebut degranulasi sel mast yang akan menghasilkan histamin, serotinin, dan bahan lain yang disintesis oleh sel mast. Zat-zat ini merupakan penyebab vasodilatasi, peningkatan permeabilitas kapiler, dan agen kemotaktik sel darah putih dan trombosit ke daerah radang

Sumber : repository.usu.ac.id
                scribd

Senin, 14 September 2015

Skenario 1.2 blok 9 (2014)

Author : andika wima, della

1.      Patofisiologi Demam
Secara teoritis kenaikan suhu pada infeksi dinilai menguntungkan, oleh karena aliran darah makin cepat sehingga makanan dan oksigenasi makin lancar. Namun kalau suhu terlalu tinggi (di atas 38,5ºC) pasien mulai merasa tidak nyaman, aliran darah cepat, jumlah darah untuk mengaliri organ vital (otak, jantung, paru) bertambah, sehingga volume darah ke ekstremitas dikurangi, akibatnya ujung kaki/tangan teraba dingin.
      Demam yang tinggi memacu metabolisme yang sangat cepat, jantung dipompa lebih kuat dan cepat, frekuensi napas lebih cepat. Dehidrasi terjadi akibat penguapan kulit dan paru dan disertai dengan ketidakseimbangan elektrolit,  yang mendorong suhu makin tinggi.
      Kerusakan jaringan akan terjadi bila suhu tubuh lebih tinggi dari 410C, terutama pada jaringan otak dan otot yang bersifat permanen. Kerusakan tersebut dapat menyebabkan kerusakan batang otak, terjadinya kejang, koma sampai kelumpuhan. Kerusakan otot yang terjadi berupa rabdomiolisis dengan akibat terjadinya mioglobinemia.

2.      Komplikasi Demam

Pada anak yang sering mengalami demam tinggi hingga kejang, anak memiliki potensi mengalami gangguan syaraf bahkan epilepsy akibat kerusakan saraf otak. Akibatnya kecerdasan anak akan berkurang. (komplikasi demam jangka panjang)
Dehidrasi yang di sertai mata cekung dan elastisitas kulit berkurang, anak terlihat lemas dengan bibir kering dan pecah-pecah. Demam juga dapat menyebabkan nafas menjadi sesak dan kesadaran menurun.

3. TERAPI TERHADAP DEMAM
Terapi non-farmakologi
Adapun yang termasuk dalam terapi non-farmakologi dari penatalaksanaan demam:
1. Pemberian cairan dalam jumlah banyak untuk mencegah dehidrasi dan beristirahat yang cukup.
2. Tidak memberikan penderita pakaian panas yang berlebihan pada saat menggigil. Kita lepaskan pakaian dan selimut yang terlalu berlebihan. Memakai satu lapis pakaian dan satu lapis selimut sudah dapat memberikan rasa nyaman kepada penderita.
3. Memberikan kompres hangat pada penderita. Pemberian kompres hangat efektif terutama setelah pemberian obat. Jangan berikan kompres dingin karena akan menyebabkan keadaan menggigil dan meningkatkan kembali suhu inti (Kaneshiro & Zieve, 2010).
Terapi farmakologi 
Obat-obatan yang dipakai dalam mengatasi demam (antipiretik) adalah parasetamol (asetaminofen) dan ibuprofen. Parasetamol cepat bereaksi dalam menurunkan panas sedangkan ibuprofen memiliki efek kerja yang lama (Graneto, 2010). Pada anak-anak, dianjurkan untuk pemberian parasetamol sebagai antipiretik. Penggunaan OAINS tidak dianjurkan dikarenakan oleh fungsi antikoagulan dan resiko sindrom Reye pada anak-anak (Kaushik, Pineda, & Kest, 2010).
Dosis parasetamol untuk dewasa 300 mg-1 g per kali dengan maksimum 4g hari. Anak 6-12 tahun: 150-300 mg/kali, maksimum 1,2 g/hari. Anak 1-6 tahun: 60-120 mg/kali dan bayi dibawah 1 tahun: 60 mg/kali (Wilmana & Gan, 2007). Parasetamol tersedia sebagai obat tunggal, berbentuk tablet 500 mg atau sirup yang mengandung 120 mg/5ml. Selain itu parasetamol terdapat sebagai sediaan kombinasi tetap, dalam bentuk tablet maupun cairan (Wilmana & Gan, 2007). 
Selain pemberian antipiretik juga perlu diperhatikan mengenai pemberian obat untuk mengatasi penyebab terjadinya demam. Antibiotik dapat diberikan untuk mengatasi infeksi bakteri. Pemberian antibiotik hendaknya sesuai dengan tes sensitivitas kultur bakteri apabila memungkinkan (Graneto, 2010).
4. FAKTOR RISIKO DEMAM
Risiko antara anak dengan terjadinya demam akut terhadap suatu penyakit serius bervariasi tergantung usia anak. Pada umur tiga bulan pertama, bayi memiliki risiko yang lebih tinggi untuk terkena infeksi bakteri yang serius dibandingkan dengan bayi dengan usia lebih tua. Demam yang terjadi  pada anak pada umumnya adalah demam yang disebabkan oleh infeksi virus. Akan tetapi infeksi bakteri yang serius dapat juga terjadi pada anak dan menimbulkan gejala demam seperti bakteremia, infeksi saluran kemih, pneumonia, meningitis, dan osteomyelitis (Jenson & Baltimore, 2007).
Pada anak dengan usia di diantara dua bulan sampai dengan tiga tahun, terdapat peningkatan risiko terkena penyakit serius akibat kurangnya IgG yang merupakan bahan bagi tubuh untuk membentuk sistem komplemen yang berfungsi mengatasi infeksi. Pada anak dibawah usia tiga tahun pada umumnya terkena infeksi virus yang berakhir sendiri tetapi bisa juga terjadi bakteremia yang tersembunyi (bakteremia tanpa tanda fokus). Demam yang terjadi pada anak dibawah tiga tahun pada umumnya merupakan demam yang disebabkan oleh infeksi seperti influenza, otitis media, pneumonia, dan infeksi saluran kemih. Bakteremia yang tersembunyi biasanya bersifat sementara dan dapat sembuh sendiri akan tetapi juga dapat menjadi pneumonia, meningitis, arthritis, dan pericarditis (Jenson & Baltimore, 2007). 
5. MEKANISME KERJA OBAT
 Efek obat terjadi karena adanya interaksi fisiko-kimiawi antara obat atau metabolit aktif dengan reseptor atau bagian tertentu dari tubuh. Obat tidak dapat menimbulkan fungsi baru dalam jaringan tubuh atau organ, tetapi hanya dapat menambah atau mempengaruhi fungsi dan proses fisiologi (Batubara, 2008).  Untuk dapat mencapai tempat kerjanya, banyak proses yang harus dilalui obat. Proses itu terdiri dari 3 fase, yaitu fase farmasetik, fase farmakokinetik, dan fase farmakodinamik. Fase farmasetik merupakan fase yang dipengaruhi oleh cara pembuatan obat, bentuk sediaan obat, dan zat tambahan yang digunakan (Batubara, 2008). Fase selanjutnya yaitu fase farmakokinetik, merupakan proses kerja obat pada tubuh (Katzung, 2007). Suatu obat selain dipengaruhi oleh sifat fisika kimia obat (zat aktif), juga dipengaruhi oleh sifat fisiologi tubuh, dan jalur atau rute pemberian obat (Batubara, 2008). Menurut Katzung (2007), suatu obat harus dapat mencapai tempat kerja yang diinginkan setelah masuk tubuh dengan jalur yang terbaik. Dalam beberapa hal, obat dapat langsung diberikan pada tempatnya bekerja, atau obat dapat diberikan melalui intravena maupun per oral. Fase selanjutnya yaitu fase farmakodinamik. Proses ini merupakan pengaruh tubuh pada obat (Katzung, 2007).  Fase ini menjelaskan bagaimana obat berinteraksi dengan reseptornya ataupun pengaruh obat terhadap fisiologi tubuh. Fase farmakodinamik dipengaruhi oleh struktur kimia obat, jumlah obat yang sampai pada reseptor, dan afinitas obat terhadap reseptor dan sifat ikatan obat dengan reseptornya (Batubara, 2008).


Sumber :
Sari Pediatri, Vol. 2, No. 2, Agustus 2000:

Artikel kesehatan
repositoryusu

Kamis, 10 September 2015

Blok 9 Semester 3 (2014)



SKENARIO 1
Seorang anak laki-laki usia 5 tahun di bawa oleh ibunya ke dokter karena demam tinggi. Demam muncul sejak 3 hari yang lalu. Ibu tersebut sudah memberikan obat penurun panas. Setelah minum obat tersebut anak berkeringat, demamnya berkurang tapi setelah itu akan naik kembali. Anak tersebut tidak ada batuk dan pilek. Sejak sakit anak tersebut tidak mau makan dan minum. Ibu tersebut khawatir akan kondisi anaknya
·         Demam atau fever adalah peningkatan temperatur tubuh di atas normal (37oC) atau setiap penyakit yang ditandai oleh peningkatan suhu tubuh (kamus kedokteran dorland)
·         Batuk atau cough adalah ekspulsi udara dari dalam paru yang tiba-tiba sambil mengeluarkan suara berisik (kamus kedokteran dorland)

1.      Mengapa demam muncul sejak 3 hari yang lalu ?
2.      Apa pengaruh/efek dari obat penurun panas ?
3.      Mengapa anak tersebut berkeringat setelah minum obat ?
Karena parasetamol merupakan penghambat prostaglandin yang lemah dengan cara menghambat COX-1 dan COX-2 di jaringan perifer (Frust & Ulrich, 2007). Efek anti-inflamasi sangat lemah, sehingga parasetamol tidak digunakan sebagai antireumatik (Wilmana & Gan, 2007). Penelitian terbaru menyatakan bahwa parasetamol menghambat secara selektif jenis lain dari enzim COX yang berbeda dari COX-1 dan COX-2 yaitu enzim COX-3 (University of Alberta, 2009). Sifat antipiretik dari parasetamol dikarenakan efek langsung ke pusat pengaturan panas di hipotalamus yang mengakibatkan vasodilatasi perifer, berkeringat, dan pembuangan panas (University of Alberta, 2009)
4.      Apa penyebab demam anak tersebut berkurang kemudian naik kembali?
Pemahaman tentang regulasi suhu tubuh, produksi dan konservasi panas, dan penerapan patofisiologi demam pada beberapa keadaan, serta mekanisme penumnan suhu tubuh akan menuntun kita dalam menangani demam secara rasional.Hal terpenting adalah meyakini bahwa demam merupakan suatu bentuk pertahanan tubuh yang tidak semuanya perlu diatasi. Penatalaksanaan lebih ditujukan untuk mengatasi penyakit yang mendasari demam tersebut. Demam adalah kondisi ketika otak mematok suhu di atas setting normal yaitu di atas 380C. Beberapa buku menyatakan bahwa demam adalah suhu tubuh > 38.50C untuk waktu minimal 24 jam. Akibat tuntutan peningkatan setting tersebut maka tubuh akan memproduksi panas. Proses pembentukan panas terdiri atas tiga fase yaitu:
·         Fase pertama, menggigil (fase pelepasan sitokin proinflamasi) yang berlangsung sampai suhu tubuh mencapai puncaknya;
·         Fase kedua,.suhu menetap tinggi untuk beberapa saat (sitokin berhasil meningkatkan set point) tetapi
·         Fase ketiga, akhirnya suhu turun, dengan atau tanpa obat demam (sitokin melakukan antipyretic response.).

5.      Mengapa nafsu makan dan minum anak tersebut menurun ?
Karena beberapa penyebab demam merupakan infeksi virus, adapun karakteristik utama infeksi virus  yaitu lesu, mual, dan tidak ada nafsu makan. Kondisi ini juga dialami saat flu sehingga menyebabkan mulut terasa pahit dan nafsu makan berkurang.

6.      Bagaimana mekanisme demam dan patofisiologinya ?
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan.
Demam terjadi karena adanya suatu zat yang dikenal dengan nama pirogen. Pirogen adalah zat yang dapat menyebabkan demam. Pirogen terbagi dua yaitu pirogen eksogen adalah pirogen yang berasal dari luar tubuh pasien. Contoh dari pirogen eksogen adalah produk mikroorganisme seperti toksin atau mikroorganisme seutuhnya. Salah satu pirogen eksogen klasik adalah endotoksin lipopolisakarida yang dihasilkan oleh bakteri gram negatif. Jenis lain dari pirogen adalah pirogen endogen yang merupakan pirogen yang berasal dari dalam tubuh pasien. Contoh dari pirogen endogen antara lain IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN. Sumber dari pirogen endogen ini pada umumnya adalah monosit, neutrofil, dan limfosit walaupun sel lain juga dapat mengeluarkan pirogen endogen jika terstimulasi (Dinarello & Gelfand, 2005).
Proses terjadinya demam dimulai dari stimulasi sel-sel darah putih (monosit, limfosit, dan neutrofil) oleh pirogen eksogen baik berupa toksin, mediator inflamasi, atau reaksi imun. Sel-sel darah putih tersebut akan mengeluarkan zat kimia yang dikenal dengan pirogen endogen (IL-1, IL-6, TNF-α, dan IFN). Pirogen eksogen dan pirogen endogen akan merangsang endotelium hipotalamus untuk membentuk prostaglandin (Dinarello & Gelfand, 2005). Prostaglandin yang terbentuk kemudian akan meningkatkan patokan termostat di pusat termoregulasi hipotalamus. Hipotalamus akan menganggap suhu sekarang lebih rendah dari suhu patokan yang baru sehingga ini memicu mekanisme-mekanisme untuk meningkatkan panas antara lain menggigil, vasokonstriksi kulit dan mekanisme volunter seperti memakai selimut. Sehingga akan terjadi peningkatan produksi panas dan penurunan pengurangan panas yang pada akhirnya akan menyebabkan suhu tubuh naik ke patokan yang baru tersebut (Sherwood, 2001).
Demam memiliki tiga fase yaitu: fase kedinginan, fase demam, dan fase kemerahan. Fase pertama yaitu fase kedinginan merupakan fase peningkatan suhu tubuh yang ditandai dengan vasokonstriksi pembuluh darah dan peningkatan aktivitas otot yang berusaha untuk memproduksi panas sehingga tubuh akan merasa kedinginan dan menggigil. Fase kedua yaitu fase demam merupakan fase keseimbangan antara produksi panas dan kehilangan panas di titik patokan suhu yang sudah meningkat. Fase ketiga yaitu fase kemerahan merupakan fase penurunan suhu yang ditandai dengan vasodilatasi pembuluh darah dan berkeringat yang berusaha untuk menghilangkan panas sehingga tubuh akan berwarna kemerahan (Dalal & Zhukovsky, 2006).

SUMBER :
1.      USU Institutional Repository
2.      Health Science Journals Demam Pada Anak oleh Purnamawati Sujud Pujiarto
3.      Demam Pada Anak Sari Pediatri oleh Ismoedijanto