Kamis, 28 Mei 2015

Skenario 5 Blok 12


Skenario 5 Blok 12
Author : Fauzan Kurniawan

Tinnitus

  1. ETIOLOGI

Penyebab tinnitus sebenarnya masih belum dapat dipastikan. Tinnitus dapat disebabkan oleh adanya penurunan kemampuan pendengaran, antara lain: presbiacusis,penurunan pendengaran yang diakibatkan oleh suara (noise induced hearing loss ), Meniere’s syndrome, atau neuroma akustik (Wadddell, 2004).

Pendekatan untuk mempelajari etiologi tinnitus dapat dilakukan dengan membedakan tinnitus menjadi 2 kelompok besar yaitu tinnitus obyektif dan tinnitus subyektif.

Tinnitus obyektif adalah jika suara yang didengar oleh penderita dapat didengar pula oleh pemeriksa, sedangkan pada tinnitus subyektif suara hanya terdengar oleh penderita
saja (Lockwood et.al., 2002).

Subyektif tinnitus juga dapat disebabkan oleh beberapa keadaan. Tinnitus subyektif bias disebabkan oleh karena berasal dari gangguan telinga (otologic), karena efek dari medikasi ataupun obat-obatan (Ototoxic), gangguan neurologist, gangguan metabolisme, ataupun dikarenakan oleh depresi psikogenik. Sedangkan tinnitus obyektif dapat disebabkan oleh karena adanya gangguan vaskularisasi, gangguan neurologis.

Etiologi tinnitus subyektif antara lain adalah : presbiakusis, paparan suara bising yang lama, trauma akustik yaitu terpapar suara dengan intensitas tinggi sewaktu, otosklerosis yaitu terjadinya proses pengapuran pada tulang pendengaran di telinga tengah ataupun pengapuran pada cochlea, infeksi, autoimun, ataupun predisposisi genetic, dan juga trauma pada kepala ataupun leher (Folmer et.al., 2004).

Sedangkan tinnitus obyektif merupakan tinnitus yang sangat jarang ditemui (Crummer & Hassan, 2004). Berdasar klasifikasi etiologi tinnitus obyektif oleh Lockwood et. al., (2002), maka tinnitus obyektif dibagi menjadi dua (2) sub bagian yaitu pulsatil dan non pulsatil.

Pulsatile Tinnitus :
- Neoplasma pada umumnya pada vaskular
- Glomus tumors atau paragangliomas (chemodectoma, paragangliomas)
- Glomus tympanicum, glomus jugulare, glomus jugulotympanicum
- Hemangioma
- Hemangioma N VII, cavernous hemangioma
- Neoplasma Vaskular lainya
- Meningioma, adenoma
- Lesi Vaskular
- Lesi arteri akibat perlukaan
- Atherosclerotic plaque (carotid atau intracranial)
- Vaskular malformations (intracranial, dural; dapat berupa sekuel dari trauma)
- Aneurysma

Nonpulsatile Tinnitus :
- Palatal myoclonus
- Spasm, fasciculations, or fibrillations dari m. tensor tympani atau m. stapedius
- emisi otoakustik spontan
- Patulous eustachian tube

Tinnitus obyektif type pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang sering ditemukan. Tinnitus pulsatil pada umunya diakibatkan oleh adanya turbulensi aliran darah arteri (percabangan arteri carotis interna) ataupun adanya aliran darah yang sangat cepat pada pembuluh darah lain di sekitar organ pendengaran. Kelainan aliran darah tersebut akan menyebabkan hantaran gelombang melalui tulang ataupun didnding pembuluh darah yang terhubung kepada cochlea, dan menghasilkan interpretasi suara.

Sedangkan tinnitus obyektif tipe non-pulsatil merupakan tinnitus obyektif yang paling jarang ditemukan. Major cause dari tinnitus non-pulsatil adalah adanya palatal myoclonus yang diakibatkan adanya kontraksi ritmik pada palatum mole atau soft palatal (Lockwood et. al., 2002).

  1. PATOFISIOLOGI

B.1. Tinnitus Subyektif
Penyakit atau gangguan pada telinga merupakan sebab yang paling banyak sebagai etiologi tinnitus subyektif, yang kemudian disebut sebagai otologic disorder atau gangguan otologik. Sebagian besar tinnitus sebyektif disebabkan oleh hilangnya kemampuan pendengaran (hearing loss ), baik sensorineural ataupun konduktif. Gangguan pendengaran yang paling sering menyebabkan tinnitus subyektif adalah NIHL (noise induced hearing loss ) karena adanya sumber suara eksternal yang terlalu kuat impedansinya (Crummer & Hassan, 2004).

Sumber suara yang terlalu keras dapat menyebabkan tinnitus subyektif dikarenakan oleh impedansi yang terlalu kuat. Suara dengan impedansi diatas 85 dB akan membuat stereosilia pada organon corti terdefleksi secara lebih kuat atau sudutnya menjadi lebih tajam, hal ini akan direspon oleh pusat pendengaran dengan suara berdenging, jika sumber suara tersebut berhenti maka stereosilia akan mengalami pemulihan ke posisi semula dalam beberapa menit atau beberapa jam. Namun jika impedansi terlalu tinggi atau suara yang didengar berulang-ulang ( continous exposure) maka akan mengakibatkan kerusakan sel rambut dan stereosilia, yang kemudian akan mengakibatkan ketulian (hearing loss ) ataupun tinnitus kronis dikarenakan oleh adanya hiperpolaritas dan hiperaktivitas sel rambut yang berakibat adanya impuls terus-menerus kepa ganglion saraf pendengaran (Folmer et. al., 2004).

Meniere’s syndrome dengan adanya keadaan hidrops pada labirintus membranaseous dikaranakan cairan endolimphe yang berlebih, tinnitus yang terjadi pada penyakit ini ditandai dengan adanya episode tinnitus berdenging dan tinnitus suara bergemuruh (Crummer & Hassan, 2004). Neoplasma berupa acoustic neuroma juga dapat menyebabkan terjadinya tinnitus subyektif. Neoplasma ini berasal dari sel schwann yang tumbuh dan menyelimuti percabangan NC VIII (Nervus Oktavus) yaitu n. vestibularis sehingga terjadi kerusakan sel-sel saraf bahkan demyelinasi pada saraf tersebut Crummer & Hassan, 2004).

Tinnitus yang diakibatkan oleh obat-obatan digolongkan dalam tinnitus ototoksik. Ototoksisitas yang terjadi akibat dari penggunaan obat-obatan tertentu sebagaimana telah dibahas sebelumnya akan mempengaruhi sel-sel rambut pada organon corti, NC VIII, ataupun saraf-saraf penghubung antara cochlea dengan system nervosa central (Crummer & Hassan, 2004).

Gangguan neurologis ataupun trauma leher dan kepala juga dapat menyebabkan adanya tinnitus subyektif, namun demikian patofisiologi ataupun mekanisme terjadinya tinnitus karena hal ini belum jelas (Crummer & Hassan, 2004).

Penelitian-penelitian yang dilakukan didapatkan karakteristik penderita tinnitus obyektif yang memiliki gangguan metabolisme antara lain menderita hypothyroidism, hyperthyroidism, anemia, avitaminosa B12, atau defisiensi Zinc (Zn). Disamping itu penderita tinnitus rata-rata menunjukkan perubahan sikap dan gangguan psikologis walaupun sebetulnya depresi merupakan salah satu etiologi dari tinnitus subyektif (psikogenik). Gangguan tidur, deperesi, dan gangguan konsentrasi lebih banyak ditemukan pada penderita tinnitus subyektif dibandingkan dengan yang tidak mengalami gangguan psikologis (Crummer & Hassan, 2004).

B.2. Tinnitus Obyektif
Tinnitus obyektif banyak disebabkan oleh adanya abonormalitas vascular yang mengenai fistula arteriovenosa congenital, shunt arteriovenosa, glomus jugularis, aliran darah yang terlalu cepat pada arteri carotis (high-riding carotid) stapedial artery persisten, kompresi saraf-saraf pendengaran oleh arteri, ataupun dikarenakan oleh adanya kelainan mekanis seperti adanya palatal myoclonus, gangguan temporo mandibular joint, kekauan muscullus stapedius pada telinga tengah (Folmer et. al., 2004).

Kelainan pada tuba auditiva (patulous Eustachian tube ) akan menyebabkan terdengarnya suara bergemuruh terutama pada saat bernafas karena kelainan muara tuba pada nasofaring. Biasanya penderita tinnitus dengan keadaan ini akan menderita penurunan berat badan, dan mendengar suaranya sendiri saat berbicara atau autophony. Tinnitus dapat hilang jika dilakukan valsava maneuver atau saat penderita tidur terlentang dengan kepala dalam keadaan bebas atau tergantung melebihi tempat tidurnya (Crummer & Hassan, 2004).

B.2.a. Pulsatile Tinnitus
Tinnitus pulsatil banyak diderita oleh pasien dengan turbulensi aliran arteri ataupun aliran darah yang cepat pada pembuluh darah. Penyakit jantung yang berhubungan dengan arteriosklerosis dan penuaan meningkatkan prevalensii tinnitus pulsatil, adanya stenosis arteri juga banyak ditemukan pada penderita dengan tinnitus jenis ini. Stenosis artery intracranial dapat menyebabkan turbulensi aliran darah pada bagian stenosis dan bagian distal dari stenosis (Gambar 12). Sementara itu stenosis arteri carotis merupakan tempat yang umum ditemukan, padahal arteri carotis tempatnya berdekatan dengan bagian proximal cochlea. Sehingga melalui tulang getarab turbulensi aliran darah mempengaruhi cochlea dan menyebabkan tinnitus obyektif. Pasien dengan thyrotoksikosis dan atrial fibrilasi juga dapat menderita tinnitus pulsatill (Lockwood et.al., 2002)..

B.2.b. Non-pulsatile Tinnitus
Tinnitus jenis ini jarang ditemukan, sementara itu tinnitus obyektif juga merupakan kasus yang jarang, sehingga dapat dikatakan bahwa kasus non-pulsatil tinnitus adalah sangat jarang ditemukan. Penyebab terjadinya tinnitus jenis ini sebagaimana telah dijelaskan pada sub-bab etiologi sebelumnya. Tinnitus jenis ini juga sering berhubungan dengan kontraksi periodik abnormal pada otot-otot faring, mulut, dan wajah bagian bawah, sehingga akan mempengaruhi kerja tuba auditiva.

C. Pendekatan Diagnosis Klinis untuk Tinnitus
Mengingat penanganan terhadap tinnitus adalah meletakkan dasar pemikiran bahwa penyakit tersebut adalah gejala dari sebuah penyakit lain yang menyebabkanya, maka dalam melakukan diagnostik digunakan pendekatan klinis, supaya dapat dibedakan tinnitus menurut etiologinya (Waddel, 2004; Lockwood et. al., 2002).

Membedakan secara garis besar jenis tinnitus yang diderita dan penilaian secara menyeluruh terhadap riwayat tinnitus serta penyakit lain merupakan suatu hal yang harus diteliti. Evaluasi terhadap keluhan tinnitus meliputi (Crummer & Hassan, 2004) :

a. Riwayat tinnitus
Evaluasi tinnitus pada pasien diawali dengan mempelajari keseluruhan riwayat tinnitus semenjak pertama kali muncul . Evaluasi tinnitus berdasar riwayat tinnitus meliputi penilaian:
i. Onset
Jika tinnitus berkembang seiring dengan penurunan kemampuan mendengar atau penderita adalah usia lanjut maka Presbiakusis bias menjadi penyebabnya.

ii. Lokasi
Tinnitus unilateral bias disebabkan oleh adanya impaksi serumen, otitis eksterna, dan otitis media. Sedangkan tinnitus unilateral denganunilateral tuli sensorikmerupakan pertanda adanya neuroma akustik.

iii. Bentuk tinnitus (Pattern)
Tinnitus terus-menerus berhubungan dengan ketulian. Tinnitus yang episodic kemungkinan Meniere’s syndrome . Tinnitus pulsatil kemungkinan berasal darikelainan vascular.

iv. Karakteristik
Tinnitus dengan suara rendah dan bergemuruh suspek Meniere’s syndrome . Sedangkan tinnitus dengan frekuensi tinggi berhubungan dengan tuli sensorik.

v. Keterhubungan dengan keluhan vertigo dan penurunan kemampuan pendengaran
Ada hubungan kuat dengan Meniere’s syndrome.

vi. Paparan obat-obatan ototoksik
Kemungkinan disebabkan oleh adanya Noise Induced atau medication-induced Hearing Loss.

vii. Perubahan keluhan dan faktor eksaserbasi
Tinnitus dengan patulous Eustachian tube mengurang dengan berbaring atau melakukan valsava maneuver.

viii. Kelainan Metabolisme
Hiperlipidemi, gangguan tiroid, defisiensi Vitamin B12 , anemia, bias menjadi penyebab tinnitus.

ix. Lainya
Signifikansi keluhan penderita terhadap kualitas hidup sehari-harinya menjadi pedoman manajemen tinnitus.

b. Pemeriksaan Fisik
Pemeriksaan secara komprehensif pada telinga meliputi kanalis akustikus eksternus, serumen, membrane timpani, ataupun kemungkinan adanya infeksi. Auskultasi pada leher, periaurikularis, orbita dan mastoid juga harus dilakukan. Uji pendengaran menggunakan garpu tala (Weber dan Rinne) juga seharusnya dilakukan (Crummer & Hassan, 2004).

c. Pemeriksan Penunjang
Pemeriksaan menggunakan audiometri sebaiknya dilakukan, karena pada umunya keluhan tinnitus adalah keluhan subyektif penderita dengan hubungan kelainan organ pendengaran adalah sangat minimal (Crummer & Hassan, 2004).
Pendekatan diagnostik dalam langkah manajemen tinnitus berdasarkan kemungkinan penyebabnya dapat dilakukan melalui algoritma yang dibuat oleh Crummer dan Hassan (2004).

Sedangkan algoritma yang bertitik berat pada riwayat penyakit untuk mengklasifikasikan jenis keluhan tinnitus, dan langkah-langkah pemeriksaan yang diperlukan untuk melakukan evaluasi keluhan tinnitus yang diderita pasien mengikuti algoritma yang disampaikan oleh Lockwood et.al. (2002) tertera pada.

F. PENATALAKSANAAN
Di Amerika FDA ( Food and Drug Association ) hingga saat ini belum memberikan persetujuan ataupun pengesahan terhadap obat-obatan yang digunakan untuk menangani tinnitus (Lockwood et.al., 2002).
Tinnitus banyak berhubungan dengan berbagai penyakit ataupun gangguan pada organ pendengaran hingga pusat pendengaran, pada tataran inii maka tinnitus sebagai sebuah kelainan yang muncul sebagai kelainan membutuhkan beberapa penanganan khusus. Tinnitus menyebabkan adanya keluhan depresi, insomnia, ataupun kecemasan, maka penatalaksanaannya ditujukan pada terapi psikoterapi untuk mengurangi gangguan tinnitus terhadap kualitas hidupnya.

Accoustic Therapy (terapi akustik) di Amerika merupakan langkah Retraining Therapy yaitu terapi yang diformulasikan khusus secara individual sesuai riwayat penyakit pasien berupa menyarankan agar pasien mendengarkan musik yang disukainya pada saat berada di tempat sepi. Jika pasien memiliki kelainan pendengaran berupa ketulian maka penggunaan alat pendengaran akan menolong penurunan tinnitus. Hal tersebut menjadi acuan manajemen atau penatalaksanaan Tinnitus yang dapat dilakukan selama 1 bulan, 6 bulan, atau 12 bulan tergantung penyakit atau kelainan yang mendasarinya. Sedangkan sebab-sebab lain berupa abnormalitas pembuluh darah hingga adanya neoplasma pada otak yang mengakibatkan tinnitus, maka penatalaksanaannya berada pada penyakit tersebut. Namun pada tuli sensorineural yang menyebabkan tinnitus kronis merupakan penyakit yang hingga saat ini masih sangat sulit ditangani, hal ini menuntut adanya penjelasan yang mencukupi kepada penderita tinnitus kronis dengan penyebab tuli sensorineural (Folmer et.al., 2004).

Penggunaan sediaan agonis reseptor GABA dapat menunjukkan perbaikan pada penderita dengan tinnitus dalam mekanisme yang masih diteliti (Eggermont & Roberts, 2004).

Teori masking (menutupi), dengan metode noise generator (pembangkitan bunyi) yang dilakukan dengan menyalakan radio tanpa siaran (hanya desis) ataupun suara fan (kipas angina) pada saat hendak tidur sehingga tinnitus dikaburkan oleh suara dari luar dapat membuat penderita lebih baik (Folmer et.al., 2004; Crummer & Hassan, 2004; Lockwood et.al., 2002; The British Tinnitus Association, 2004).

Pada dasarnya manajemen tinnitus adalah melakukan masking pada penderita sehingga terjadi perubahan persepsi penderita terhadap keluhan tinnitusnya. Pengobatan terhadap penyakit yang menyebabkan tinnitus, ataupun factor-faktor yang menjadi etiologi tinnitus perlu dilakukan untuk mendukung penurunan keluhan tinnitus (Folmer et.al., 2004; Waddel, 2004; Lockwood et.al., 2002, Eggermont & Roberts, 2004).

Dari skenario 5 ini diduga pasien menderita tinnitus subjektif karena trauma akustik.

Senin, 25 Mei 2015

SKENARIO 3 BLOK 8 PART 2


Skenario 3 Blok 8 Part 2
Author : Yunita, Diani, Chandra, Pandu
CONTAIN
  1. PERUBAHAN PADA LANSIA PADA SEMUA SISTEM DAN IMPLIKASI KLINIK
  2. PERUBAHAN ANATOMI DAN FISIOLOGIS PADA PENUAAN
  3. FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT DEGENERATIF
  4. CARA HIDUP SEHAT MENCEGAH PENYAKIT DEGENERATIF

  1. PERUBAHAN PADA LANSIA PADA SEMUA SISTEM DAN IMPLIKASI KLINIK

Perubahan pada Sistem Sensoris 
Persepsi sensoris mempengaruhi kemampuan seseorang untuk saling berhubungan dengan orang lain dan untuk memelihara atau membentuk hubungan baru, berespon terhadap bahaya, dan menginterprestasikan masukan sensoris dalam aktivitas kehidupan sehari-hari. 
Pada lansia yang mengalami penurunan persepsi sensori akan terdapat keengganan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indra yang dimiliki seperti penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensori. 

Penglihatan 
Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil, akibat penuan, dan perubahan warna serta kekeruhan lansa mata, yaitu katarak. SemakIn bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi di sekitar kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan di antara iris dan sklera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya ditemukan pada lansia. 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua: 
  1. Terjadinya awitan presbiopi dengan kehilangan kemampuan akomodasi. Kerusakan ini terjadi karena otot-otot siliaris menjadi lebih lemah dan kendur, dan lensa kristalin mengalami sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk memusatkan penglihatan jarak dekat. Implikasi dari hal ini yaitu kesulitan dalam membaca huruf-huruf yang kecil dan kesukaran dalam melihat dengan jarak pandang dekat.
  2. Penurunan ukuran pupil atau miosis pupil terjadi karena sfingkter pupil mengalami sklerosis. Implikasi dari hal ini yaitu penyempitan lapang pandang dan mempengaruhi penglihatan perifer pada tingkat tertentu. 
  3. Perubahan warna dan meningkatnya kekeruhan lensa kristal yang terakumulasi dapat menimbulkan katarak. Implikasi dari hal ini adalah penglihatan menjadi kabur yang mengakibatkan kesukaran dalam membaca dan memfokuskan penglihatan, peningkatan sensitivitas terhadap cahaya, berkurangnya penglihatan pada malam hari, gangguan dalam persepsi kedalaman atau stereopsis (masalah dalam penilaian ketinggian), perubahan dal-am persepsi warna. 
  4. Penurunan produksi air mata. Implikasi dari hal ini adalah mata berpotensi terjadi sindrom mata kering. 

Pendengaran 
Penurunan pendengaran merupakan kondisi yang secara dramatis dapat mempengaruhi kualitas hidup. Kehilangan pendengaran pada lansia disebut presbikusis. 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada penglihatan akibat proses menua: 
  1. Pada telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan pendengaran secara bertahap. Ketidak mampuan untuk mendeteksi volume suara dan ketidakmampuan dalam mendeteksi suara dengan frekuensi tinggi seperti beberapa konsonan (misal f, s, sk, sh, l).1 
  2. Pada telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran timpani, pengapuran dari tulang pendengaran, otot dan ligamen menjadi lemah dan kaku. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi suara.2 
  3. Pada telingan bagian luar, rambut menjadi panjang dan tebal, kulit menjadi lebih tipis dan kering, dan peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara.2 

Perabaan 
Perabaan merupakan sistem sensoris pertama yang menjadi fungisional apabila terdapat gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Perubahan kebutuhan akan sentuhan dan sensasi taktil karena lansia telah kehilangan orang yang dicintai, penampilan lansia tidak semenarik sewaktu muda dan tidak mengundang sentuhan dari orang lain, dan sikap dari masyarakat umum terhadap lansia tidak mendorong untuk melakukan kontak fisik dengan lansia.
Pengecapan 
Hilangnya kemampuan untuk menikmati makanan seperti pada saat seseorang bertambah tua mungkin dirasakan sebagai kehilangan salah satu keniknatan dalam kehidupan. Perubahan yang terjadi pada pengecapan akibat proses menua yaitu penurunan jumlah dan kerusakan papila atau kuncup-kuncup perasa lidah. Implikasi dari hal ini adalah sensitivitas terhadap rasa (manis, asam, asin, dan pahit) berkurang. 

Penciuman 
Sensasi penciuman bekerja akibat stimulasi reseptor olfaktorius oleh zat kimia yang mudah menguap. Perubahan yang terjadi pada penciuman akibat proses menua yaitu penurunan atau kehilangan sensasi penciuman kerena penuaan dan usia. Penyebab lain yang juga dianggap sebagai pendukung terjadinya kehilangan sensasi penciuman termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi hidung, dan faktor lingkungan. Implikasi dari hal ini adalah penurunan sensitivitas terhadap bau. 




Perubahan pada Sistem Muskuloskeletal 
Otot mengalami atrofi sebagai akibat dari berkurangnya aktivitas, gangguan metabolik, atau denervasi saraf. Dengan bertambahnya usia, perusakan dan pembentukan tulang melambat. Hal ini terjadi karena penurunan hormon esterogen pada wanita, vitamin D, dan beberapa hormon lain. Tulang-tulang trabekulae menjadi lebih berongga, mikro-arsitektur berubah dan seiring patah baik akibat benturan ringan maupun spontan.

Sistem Skeletal 
Ketika manusia mengalami penuaan, jumlah masa otot tubuh mengalami penurunan. 

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua: 
  1. Penurunan tinggi badan secara progresif karena penyempitan didkus intervertebral dan penekanan pada kolumna vertebralis. Implikasi dari hal ini adalah postur tubuh menjadi lebih bungkuk dengan penampilan barrel-chest. 

  1. Penurunan produksi tulang kortikal dan trabekular yang berfungsi sebagai perlindungan terhadap beban geralkan rotasi dan lengkungan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan terjadinya risiko fraktur.

Sistem Muskular 

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem muskular akibat proses menua:
  1. Waktu untuk kontraksi dan relaksasi muskular memanjang. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan waktu untuk bereaksi, pergerakan yang kurang aktif. 
  2. Perubahan kolumna vertebralis, akilosis atau kekakuan ligamen dan sendi, penyusustan dan sklerosis tendon dan otot, den perubahan degeneratif ekstrapiramidal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan fleksi.

Sendi 

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sendi akibat proses menua: 
  1. Pecahnya komponen kapsul sendi dan kolagen. Implikasi dari hal ini adalah nyeri, inflamasi, penurunan mobilitas sendi da deformitas. 
  2. Kekakuan ligamen dan sendi. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko cedera. 

Estrogen 
Perubahan yang terjadi pada sistem skeletal akibat proses menua, yaitu penurunan hormon esterogen. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan unsur-unsur tulang yang berdampak pada pengeroposan tulang. 



Perubahan pada Sistem Neurologis 
Berat otak menurun 10 – 20 %. Berat otak ≤ 350 gram pada saat kelahiran, kemudian meningkat menjadi 1,375 gram pada usia 20 tahun,berat otak mulai menurun pada usia 45-50 tahun penurunan ini kurang lebih 11% dari berat maksimal. Berat dan volume otak berkurang rata-rata 5-10% selama umur 20-90 tahun. Otak mengandung 100 million sel termasuk diantaranya sel neuron yang berfungsi menyalurkan impuls listrik dari susunan saraf pusat.
Pada penuaan otak kehilangan 100.000 neuron / tahun. Neuron dapat mengirimkan signal kepada sel lain dengan kecepatan 200 mil/jam. Terjadi penebalan atrofi cerebral (berat otak menurun 10%) antar usia 30-70 tahun. Secara berangsur-angsur tonjolan dendrit di neuron hilang disusul membengkaknya batang dendrit dan batang sel. Secara progresif terjadi fragmentasi dan kematian sel. Pada semua sel terdapat deposit lipofusin (pigment wear and tear) yang terbentuk di sitoplasma, kemungkinan berasal dari lisosom atau mitokondria. 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem neurologis akibat proses menua: 
  1. Konduksi saraf perifer yang lebih lambat. Implikasi dari hal ini adalah refleks tendon dalam yang lebih lambat dan meningkatnya waktu reaksi. 
  2. Peningkatan lipofusin sepanjang neuron-neuron. Implikasi dari hal ini adalah vasokonstriksi dan vasodilatasi yang tidak sempurna. 
  3. Termoregulasi oleh hipotalamus kurang efektif. Implikasi dari hal ini adalah bahaya kehilangan panas tubuh. 

Perubahan pada Sistem Kardiovaskular 
Jantung dan pembuluh darah mengalami perubahan baik struktural maupun fungisional. Penurunan yang terjadi berangsur-angsur sering terjadi ditandai dengan penurunan tingkat aktivitas, yang mengakibatkan penurunan kebutuhan darah yang teroksigenasi. 
Jumlah detak jantung saat istirahat pada orang tua yang sehat tidak ada perubahan, namun detak jantung maksimum yang dicapai selama latihan berat berkurang. Pada dewasa muda, kecepatan jantung di bawah tekanan yaitu, 180-200 x/menit. Kecepatan jantung pada usia 70-75 tahun menjadi 140-160 x/menit.

Perubahan Struktur 
Pada fungsi fisiologis, faktor gaya hidup berpengaruh secara signifikan terhadap fungsi kardiovaskuler. Gaya hidup dan pengaruh lingkungan merupakan faktor penting dalam menjelaskan berbagai keragaman fungsi kardiovaskuler pada lansia, bahkan untuk perubahan tanpa penyakit-terkait. 
Secara singkat, beberapa perubahan dapat diidentifikasi pada otot jantung, yang mungkin berkaitan dengan usia atau penyakit seperti penimbunan amiloid, degenerasi basofilik, akumilasi lipofusin, penebalan dan kekakuan pembuluh darah, dan peningkatan jaringan fibrosis. Pada lansia terjadi perubahan ukuran jantung yaitu hipertrofi dan atrofi pada usia 30-70 tahun.


Berikut ini merupakan perubahan struktur yang terjadi pada sistem kardiovaskular akibat proses menua: 
  1. Penebalan dinding ventrikel kiri karena peningkatan densitas kolagen dan hilangnya fungsi serat-serat elastis. Implikasi dari hal ini adalah ketidakmampuan jantung untuk distensi dan penurunankekuatan kontraktil. 
  2. Jumlah sel-sel peacemaker mengalami penurunan dan berkas his kehilangan serat konduksi yang yang membawa impuls ke ventrikel. Implikasi dari hal ini adalah terjadinya disritmia. 
  3. Sistem aorta dan arteri perifer menjadi kaku dan tidak lurus karena peningkatan serat kolagen dan hilangnya serat elastis dalam lapisan medial arteri. Implikasi dari hal ini adalah penumpulan respon baroreseptor dan penumpulan respon terhadap panas dan dingin. 
  4. Vena meregang dan mengalami dilatasi. Implikasi dari hal ini adalah vena menjadi tidak kompeten atau gagal dalam menutup secara sempurna sehingga mengakibatkan terjadinya edema pada ekstremitas bawah dan penumpukan darah. 

Perubahan pada Sistem Pulmonal 
Perubahan anatomis seperti penurunan komplians paru dan dinding dada turut berperan dalam peningkatan kerja pernapasan sekitar 20% pada usia 60 tahun. Penurunan lajuekspirasi paksa atu detik sebesar 0,2 liter/dekade.5 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem pulmonal akibat proses menua: 
  1. Paru-paru kecil dan kendur, hilangnya rekoil elastis, dan pembesaran alveoli. Implikasi dari hal ini adalah penurunan daerah permukaan untuk difusi gas. 
  2. Penurunan kapasitas vital penurunan PaO2 residu. Implikasi dari hal ini adalah penurunan saturasi O2 dan peningkatan volume. 
  3. Pengerasan bronkus dengan peningkatan resistensi. Implikasi dari hal ini adalah dispnea saat aktivitas. 
  4. Kalsifikasi kartilago kosta, kekakuan tulang iga pada kondisi pengembangan. Implikasi dari hal ini adalah Emfisema sinilis, pernapasan abnominal, hilangnya suara paru pada bagian dasar. 
  5. Hilangnya tonus otot toraks, kelemahan kenaikan dasar paru. Implikasi dari hal ini adalah atelektasis. 
  6. Kelenjar mukus kurang produktif. Implikasi dari hal ini adalah akumulasi cairan, sekresi kental dan sulit dikeluarkan. 
  7. Penurunan sensitivitas sfingter esofagus. Implikasi dari hal ini adalah hilangnya sensasi haus dan silia kurang aktif. 

  1. Penurunan sensitivitas kemoreseptor. Implikasi dari hal ini adalah tidak ada perubahan dalam PaCO2 dan kurang aktifnya paru-paru pada gangguan asam basa. 
Perubahan pada Sistem Renal dan Urinaria 
Seiring bertambahnya usia, akan terdapat perubahan pada ginjal, bladder, uretra, dan sisten nervus yang berdampak pada proses fisiologi terlait eliminasi urine. Hal ini dapat mengganggu kemampuan dalam mengontrol berkemih, sehingga dapat mengakibatkan inkontinensia, dan akan memiliki konsekuensi yang lebih jauh. 

Perubahan pada Sistem Renal 
Pada usia dewasa lanjut, jumlah nefron telah berkurang menjadi 1 juta nefron dan memiliki banyak ketidaknormalan. Penurunan nefron terjadi sebesar 5-7% setiap dekade, mulai usia 25 tahun. Bersihan kreatinin berkurang 0,75 ml/m/tahun. Nefron bertugas sebagai penyaring darah, perubahan aliran vaskuler akan mempengaruhi kerja nefron dan akhirnya mempebgaruhi fungsi pengaturan, ekskresi, dan matabolik sistem renal.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem renal akibat proses menua: 
  1. Membrana basalis glomerulus mengalami penebalan, sklerosis pada area fokal, dan total permukaan glomerulus mengalami penurunan, panjang dan volume tubulus proksimal berkurang, dan penurunan aliran darah renal. Implikasi dari hal ini adalah filtrasi menjadi kurang efisien, sehingga secara fisiologis glomerulus yang mampu menyaring 20% darah dengan kecepatan 125 mL/menit (pada lansia menurun hingga 97 mL/menit atau kurang) dan menyaring protein dan eritrosit menjadi terganggu, nokturia. 
  2. Penurunan massa otot yang tidak berlemak, peningkatan total lemak tubuh, penurunan cairan intra sel, penurunan sensasi haus, penurunan kemampuan untuk memekatkan urine. Implikasi dari hal ini adalah penurunan total cairan tubuh dan risiko dehidrasi. 
  3. Penurunan hormon yang penting untuk absorbsi kalsium dari saluran gastrointestinal. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko osteoporosis. 

Perubahan pada Sistem Urinaria 
Perubahan yang terjadi pada sistem urinaria akibat proses menua, yaitu penurunan kapasitas kandung kemih (N: 350-400 mL), peningkatan volume residu (N: 50 mL), peningkatan kontraksi kandung kemih yang tidak di sadari, dan atopi pada otot kandung kemih secara umum. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan risiko inkotinensia. 

Perubahan pada Sistem Gasrointestinal 
Banyak masalah gastrointestinal yang dihadapi oleh lansia berkaitan dengan gaya hidup. Mulai dari gigi sampai anus terjadi perubahan morfologik degeneratif, antara lain perubahan atrofi pada rahang, mukosa, kelenjar dan otot-otot pencernaan.

Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem gastrointestinal akibat proses menua: 

Rongga Mulut 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada rongga mulut akibat proses menua: 
  1. Hilangnya tulang periosteum dan periduntal, penyusustan dan fibrosis pada akar halus, pengurangan dentin, dan retraksi dari struktur gusi. Implikasi dari hal ini adalah tanggalnya gigi, kesulitan dalam mempertahankan pelekatan gigi palsu yang lepas. 

  1. Hilangnya kuncup rasa. Implikasi dari hal ini adalah perubahan sensasi rasa dan peningkatan penggunaan garam atau gula untuk mendapatkan rasa yang sama kualitasnya. 
  2. Atrofi pada mulut. Implikasi dari hal ini adalah mukosa mulut tampak lebih merah dan berkilat. Bibir dan gusi tampak tipis kerena penyusutan epitelium dan mengandung keratin. 
  3. Air liur/ saliva disekresikan sebagai respon terhadap makanan yang yang telah dikunyah. Saliva memfasilitasi pencernaan melalui mekanisme sebagai berikut: penyediaan enzim pencernaan, pelumasan dari jaringan lunak, remineralisasi pada gigi, pengaontrol flora pada mulut, dan penyiapan makanan untuk dikunyah. Pada lansia produksi saliva telah mengalami penurunan.

Esofagus, Lambung, dan Usus 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada esofagus, lambung dan usus akibat proses menua: 
  1. Dilatasi esofagus, kehilangan tonus sfingter jantung, dan penurunan refleks muntah. Implikasi dari hal ini adalahpeningkatan terjadinya risiko aspirasi. 
  2. Atrofi penurunan sekresi asam hidroklorik mukosa lambung sebesar 11% sampai 40% dari populasi. Implikasi dari hal ini adalah perlambatan dalam mencerna makanan dan mempengaruhi penyerapan vitamin B12, bakteri usus halus akan bertumbuh secara berlebihan dan menyebabkan kurangnya penyerapan lemak. 
  3. Penurunan motilitas lambung. Implikasi dari hal ini adalah penurunan absorbsi obat-obatan, zat besi, kalsium, vitamin B12, dan konstipasi sering terjadi

Saluran Empedu, Hati, Kandung Empedu, dan Pankreas 
Pada hepar dan hati mengalami penurunan aliran darah sampai 35% pada usia lebih dari 80 tahun.
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada saluran empedu, hati, kandung empedu, dan pankreas akibat proses menua: 
  1. Pengecilan ukuran hari dan penkreas. Implikasi dari hal ini adalah terjadi penurunan kapasitas dalam menimpan dan mensintesis protein dan enzim-enzim pencernaan. Sekresi insulin normal dengan kadar gula darah yang tinggi (250-300 mg/dL). 
  2. Perubahan proporsi lemak empedu tampa diikuti perubahan metabolisme asam empedu yang signifikan. Implikasi dari hal ini adalah peningkatan sekresi kolesterol.1 

Perubahan pada Sistem Reproduksi 

Pria 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi pria akibat proses menua: 
  1. Testis masih dapat memproduksi spermatozoa meskipun adanya penurunan secara berangsur-angsur. 
  2. Atrofi asini prostat otot dengan area fokus hiperplasia. Hiperplasia noduler benigna terdapat pada 75% pria >90 tahun.6 

Wanita 
Berikut ini merupakan perubahan yang terjadi pada sistem reproduksi wanita akibat proses menua: 
  1. Penurunan estrogen yang bersikulasi. Implikasi dari hal ini adalah atrofi jaringan payudara dan genital. 

  1. Peningkatan androgen yang bersirkulasi. Implikasi dari hal ini adalah penurunan massa tulang dengan risiko osteoporosis dan fraktur, peningkatan kecepatan aterosklerosis.



2. PERUBAHAN ANATOMIN DAN FISIOLOGIS
  • Proses menua itu dipengaruhi oleh interaksi antara faktor genetik dan lingkungan.  Terjadi melalui  proses normal yang berlangsung sejak maturasi dan berakhir pada kematian , tapi efek biasanya terlihat pada usia 40 tahun. 
  • Proses fisiologi menua tidak lepas dari pengenalan konsep homeostenosis. Homeostenosis adalah penyempitan atau berkurangnya cadangan homestastis yang terjadi selama penuaan pada sistem organ 
  • Proses Fisiologi terlihat pada gambar berikut :
pastedGraphic.png
  • Keterangan 
  1. Seiring  bertambahnya usia jumlah cadangan fisiologi untuk menghadapi berbagai perubahan (challengen) berkurang
  2. Seti ap challenge terhadap homestatis merupakan pergerakan menjahui keadaan dasar (basaline) => Semakin besar challenge yang terjadi maka semakin besar cadangan fisiologi yang diperlukan untuk kembali pada homeostatis 
  3. Dengan semakin berkurangnya cadangan fisologi, maka seseorang usia lanjut lebih mudah untuk mencapai suatu ambang yang disebut dengan precipice => yang dapat berupa keadaan sakit atau kematian akibat challenge tersebut
  • Penilaian perubahan fisiologi akut yang terjadi dinyatakn dengan besarnya deviasi dari nilai homeostatis 
  1. Tanda Vital
  2. Oksigenesis
  3. pH
  4. Elektrolit 
  5. Hematokrit
  6. Hitung Leukosit
  7. Kreatin 
  • Walaupun merupakan suatu proses fisiologi, perubahan dan efek penuaan terjadi sangat  bervariasi dan variabilitas ini makin meningkat sering dengan peningkatam usia
  • Pada skenario terjadi penurunan fungsi dari penglihat, pendengaran dan pada perabaan 
  • Beberapa perubahan yang terjadi pada berbagai sistem tubuh pada proses penuaan 
  1. Otot 
  • Massa otot berkurang secara bermakna (sarkopeni) karensa berkurangnya serat otot.
  • Efek penuaan yang kecil pada otot diafragma, lebih pada otot tungkai dibandingkan lengan.
  • Berkurangnya sintesis rantai beat miosin
  • Berkurangnya inervasi, meningktany miofibril per unit otot
  • Infiltrasi lemak keberkas otot
  • Peningkat fatigabiltas
  • Berkurangnya laju metabolisme basal ( berkurang 4 % dekade setelah usia 50 tahun)
  1. Tulang
  • Melambatnya penyembuhan fraktur
  • Berkurangnya massa tulang pada pria dan perempuan, baik pada tulang trabekular maupun kortikal 
  • Berkurangnya formasi osteoblas
  1. Sendi 
  • Terganggunya matriks kartilago
  • Modifikasi proteoglikan dan glikosaminoglikan 
  1. Penglihatan
  • Terganggunya adaptasi gelap
  • Pengeruhan pada lensa
  • Ketidakmampuan untuk fokus pada benda jarak dekat (presbiospi)
  • Berkurangnya sensitivitas terhadap kontras
  • Berkurangnya lakrimasi
  1. Penghidu
  • Deteksi penghidu berkurang 50 % 
  1. Haus
  • Berkurang rasa haus
  • Terganggunya kontrol haus endorfin
  1. Keseimbangan 
  • Meningkatnya respons ambang vestibuler
  • Berkurangnya jumlah sel rambut pada organ corti
  1. Pendengaran
  • Hilangnya nada berfrekuensi tinggi secara bilateral
  • Defisit pada proses sentral
  • Kesulitan untuk membedakan sumber bunyi
  • Terganggunya kemampuan membedakan target dari noise
  1. Fungsi Kognitif
  • Kemampuan meningkatkan fungsi intelektual berkurang 
  • Berkurangnya efisiensi transmisi saraf diotak, menyebabkan proses informasi melambat dan banyak informasi yang hilang selama transmisi
  • Berkurangnya kemampuan mengakumualasi informasi baru dan mengambil informasi dari memori
  • Kemampuan mengingat kejadian masa lalu lebih baik dibandingkan kemampuan mengingat kejadian yang baru saja terjadi. 

3. FAKTOR- FAKTOR PENYEBAB PENYAKIT DEGENERATIF 
  • Gaya hidup tidak sehat
  • Pola makan tidak sehat (makanan tinggi lemak seperti goreng–gorengan, junk food, makanan–makanan instan)
  • Makanan teroksidasi
  • Genetik/ Keturunan
  • Obesitas
  • Paparan zat kimia
  • Radikal Bebas

4. TIPS CARA SEHAT MENCEGAH PENYAKIT DEGENERATIF
  • Batasi asupan gula (cemilan, soft drink, coklat dll)
  • Berhenti merokok
  • Berhenti minum alkohol
  • Olah raga rutin
  • Cegah kegemukan
  • Hindari asupan garam berlebih
  • Diet rendah lemak (Tinggi : Kuning telur, keju, kepiting, udang, kerang, cumi, susu, santan)
  • Kurangi asupan purin (JErohan, alkohol, sarden, unggas, kaldu daging, emping, tape)
  • Medical check up teratur terutama yang berusia >40 tahun

Source :
Teori Penuaan dan Perubahan Fisiologis Lansia.pdf (UNDIP)
Ilmu Penyakit Dalam Jilid 3

Minikuis Skenario 4 Blok 12


Minikuis Scenario 4 Block 12
Author            : Cindra P

1.     Perempuan 35 tahun keluhan lecet terasa nyeri, lesi menyebar hampir seluruh badan dengan paha, keluhan diawali dengan sariawan sejak 2 bulan yang lalu. Pemeriksaan fisik pasien tampak kesakitan, tampak bula dengan dinding kendor, erosi dengan dasar eritem, sebagian tampak perdarahan, multiple, Nikolsky sign + dihampir seluruh tubuh….
a.     Autoimun
b.     Virus
c.      Jamur
d.     Bakteri
e.     Alergi
2.     Terapi yang tepat pada pasien diatas?
a.     Antibakteri
b.     Antivirus
c.      Analgetika
d.     Antihistamin
e.     Kortikosteroid
3.     Sel target virus herpes simplex?
a.     Melanosit
b.     Sel merkel
c.      Sel epitel basal
d.     Korneosit
e.     Fibrosit
Keterangan : HC 3 Hal 63
4.     Cairan darah yang sudah mongering dan menempel pada lesi atau kulit?
a.     Vesikel
b.     Krusta
c.      Bula
d.     Patch
e.     Skuama
5.     Lesi pada zoster terjadi karena?
a.     Infeksi primer
b.     Reaksi hipersensitivitas
c.      Reaktivasi virus
d.     Infeksi sekunder
e.     Reaksi alergi
Keterangan HC 3 Hal 65
6.     Pemeriksaan penunjang apakah yang paling tepat untuk mengetahui aktivitas virus pada infeksi herpes simplex?
a.     Pengecatan gram dari cairan lesi
b.     Pengecatan giemsa dari cairan lesi
c.      Serologi (IgM dan IgG) anti HSV
d.     Biopsy lesi
e.     Pemeriksaan anestesi
Keterangan HC 3 Hal 64
7.     Penularan tersering varicella
a.     Pernapasan
b.     Pencernaan
c.      Hubungan sex
d.     Kontak langsung lesi
e.     Kontak langsung pakaian
Keterangan HC 3 Hal 65
8.     Seorang anak keluhan didaerah bibir eritem lesi ditutupi krusta
a.     Impetigo krusta
b.     Impetigo bulosa
c.      Herpes zoster
d.     Herpes labialis
e.     DKI
9.     Terapi untuk kasus diatas adalah
a.     Eritromisin
b.     Hidrokuinon
c.      Kotrimoxazol
d.     Cetirizine
e.     Prednisone
10. Kelenjar apokrin pada manusia terdapat
a.     Seluruh permukaan tubuh
b.     Seluruh permukaan tubuh kecuali telapak tangan
c.      Axilla, areolla mammae, genital
d.     Wajah, dada, punggung atas
e.     Lipatan tubuh